Sejarah tidak selalu melahirkan seorang tokoh besar , justru kadang sejarah lahir dari prestasi besar yang ditorehkan seorang tokoh. Sejarah kemenangan Islam di Andalusia tidak melahirkan seorang tokoh bernama Thoriq bin Ziyad. Namun sebaliknya, prestasi Thoriq bin Ziyad dan kematangannyalah-dengan izin Allah- telah memasukkan Andalusia dalam catatan sejarah sebagai tanah air kejayaan Islam. Orang-orang besar dan para pahlawan yang lain demikian pula. Bagi mereka apa yang telah mereka prestasikan dan bagi kita apa yang akan kita usahakan meraihnya.
Prestasi adalah masalah ketepatan waktu. Setiap orang berhak bahkan harus untuk mengisi waktunya dengan prestasi-prestasi yang dapat diusahakannya. Namun, sejarah terlalu selektif dalam mencatat perstasi-prestasi tersubut. Sejarah ternyata hanya tertarik untukmencatat prestasi-prestasi besar. Prestasi besar para pahlawan akan dengan mudah kita temukan dalam kitab-kita besar sejarah, ensiklopedi dunia dan nostalgia heroik anak manusia. Sedangkan prestasi-prestasi kecil, tempatnya hanyalah di buku-buku otobiografi kecil, majalah-majalah temporal, atau buku-buku usang di sudut-sudut perpustakaan.
Pun begitu, kita tentu tidak akan menyingkirkan prestasi-prestasi kecil kita, sebagaimana sejarah’menyingkirkannya’. Namun merupakan suatu kebutuhan, untuk mengkaji ulang bagaimana prestasi-prestasi besar itu ditorehkan. Agar ketika saatnya tiba,kita tidak terlalu shock dengan prestasi-prestasi besar yang kita capai. Shock ketika berprestasi besar hanyalah akan memunculkan sikap overconfidence (terlalu percaya diri)
Lalu, bagaimana sebuah prestasi besar ditorehkan? Sebuah proses metamorfosis yang kompleks, rumit, terjamin, adalah jawabannya. Prestasi besar pada awalnya hanyalah sebuah cita-cita, kemudian bergerak menjadi suatu target yang termotivasi (baca: azzam). Dari azzam ia menjadi satuan aktifitas kerja yang terprogram (munaddhom), professional (itqon), dan sungguh-sungguh (mujahaddah).
Proses selanjutnya adalah masalah timing atau ketepatan waktu sebagaimana disebutkan awal. Seseorang dengan aktivitas menuju cita-citanya adalah sebuah bom waktu. Ia hanya menunggu waktu untuk meledakkannya. Setiap prestasi besar adalah sebuah ledakan potensi seorang tokoh. Ledakan itu harus sesuai dengan timing yang disepakati sejarah.Jika tidak, maka yang muncul hanyalah sebuah letupan kecil.Tentunya letupan tidak sama dengan ledakan explosiv! Ledakan selalu menempati porsi besar dalam pemberitaan manapun. Bandingkan saja antara pemberitaan bom Hiroshima dan Nagasaki pada awal Agustus 1945, atau peristiwa WTC 9 September (WTC 911) dengan ledakan di Legian Bali 12 Oktober 2002. Begitulah… lagi-lagi sejarah hanya pedulu dengan ledakan-ledakan besar atau dengan kata lain prestasi-prestasi besar.
Selanjutnya, mari kita menghubungkan antara sejarah prestasi dan legitimasi cita-cita. Sejarah prestasi para tokoh dan pahlawan, sesungguhnya bermula dari cita-cita mereka yang legitimate. Begini contohnya. Khalid bin Walid Ra, mengukir prestasi kemenangan di medan Yarmuk, apa rahasianya? Singkat cerita, karena sejak kecil ia telah memiliki cita-cita untuk mengukir prestasi di medan Yarmuk.Sering kalidi masa kecilnya ia melakukan ‘survey lapangan’ di medan Yarmuk, hingga ia faham betul strategi meraih kemenangan dimedan tersebut. Puluhan tahun lewat, akhirnya strategi itulah yang mengantar pasukan Islam mencapai kemenangannya. Contoh lain, pemuda bernama Hasan Al-Banna,dalam perjalanannya naik kereta menuju kota Ismailiyah-kota tempat beliau bertugas menjadi pengajar- menuliskan dalam diarynya, “Disinilah kejadian besar itu akan terjadi”.Apa yang terjadi setelah itu? Tidak lebih dari dua tahun, ia berhasil mendirikan sebuah organisasi da’wah terbesar yang paling ditakuti oleh Amerika dan Inggris. Dan ketika operasi pembunuhan yang ditujukan kepadanya berhasil, ratusan bahkan ribuan rakayat Amerika merayakannya dengan pesta! Kini prestasi itu terukir indah dan abadi dalam sejarah pergerakan Islam abad 20. mereka-para tokoh dan pahlawan- tidak sekedar memiliki cita-cita yang besar namun cita-cita yang legitimate! Apa itu?
Begini, seseorang berhak memiliki cita-cita, baik anak kecil, orang muda maupun tua. Sebagaimana hukum kekekalan energi, cita-cita tidak akan pernah habis atau hilang, namun ia hanya akan berubah bentuk menyesuaikan realita.Cita-cita akan berproses dan berkembang sesuai dengan bertambahnya usia dan berubahnya zaman. Seorang anak kecilakan memulia prosesnya dengan mencita-citakan profesi atau statusnya di tengah masyarakat. Ia ingin menjadi dokter, tentara, guru bahkan presiden. Seorang pemuda akan mencita-citakan diri sesuai dengan idealisme dan semangat heroiknya. Mungkin ia akan bercita-cita menjadi dubes, politikus, pengusaha sukses. Seorang dewasa yang mulai menekuni profesinya akan sedikit realistis dalam bercita-cita. Ia mulai ingin memfokuskan pada prestasi dilingkungannya; ingin menjadi pucuk pimpinan patai politik misalanya, menjadi kepala bagian di kantor tempat ia bekerja atau mendirikan anak perusahaan di setiap daerah. Seorang yang telah tua, pensiunan misalnay, akan lebih arif dan memiliki cita-cita yang bersifat ‘sosial’.Misalnya, mendirikan yayasan yatim piatu, atau menulis biografinya. Begitulah cita-cita manusia secara umum. Perubahan cita-cita itu dipenagruhi oleh banyak hal,diantaranya ; interest pribadi (factor intern0 dan kebutuhan masyarakat (factor ekstrn).
Lalu, bagaimana cita-cita yang legitimatif? Apakah sekedar setinggi langit? Cita-cita yang legitimatif adalah cita-cita yang tepat, pada orang yang tepat, dan pada saat yang tepat pula. Ini sama sekali tidak berhubungan dengan the right man in the right place . Sekarang coba kita bandingkan!
Seorang anak kecil yang bercita-cita menjadi direktur, dengan seorang mahasiswa jurusan manajemen dengan cita-cita yang sama, mana yang lebih legitimate? Atau, seorang mahasiwa dengan seorang pimpinan partai yang sama-sama ingin menjadi presiden, mana yang lebih legitimate? Kita memang berhak untuka menagatkan pada semua orang bahwa cita-cita kita adalah besar dan setinggi langit. Namun tingkat legitimasi cita-cita tiap orang tentu berbeda. Seorang dengan tingkat legitimasi cita-cita yang kecil adalah ‘bagai punguk merindukan bulan’ atau sama dengan ‘jauh panggang dari api’. Sedangkan seorang dengan tingkat legitimasi cita-cita yang tinggi adalah sebuah bom waktu. Ia tinggal menunggu saat yang tepat untuk meledakkan prestasinya. Meledak atau tidak, sejarah akan tetap mencatatnya. Baik sebagai pemenang dengan prestasi besarnya maupun sebagai pejuang yang gugur dalam keteguhan memperjuangkan cita-citanya. Legitimasi cita-cita adalah ‘formulir pendaftaran’ bagi yang mendaftarkan diri sebagai pahalawan, orang yang membuat prestasi besar bagai kemashlahatan (kebaikan, kemanfaatan) umat dijamannya.
Lalu, bagaimana sebuah cita-cita itu dapat memiliki tingkat legitimasi yang tinggi?
Pertama: Cita-cita tersebut harus lahir dari visi yang benar
Sahabat Rasulullah, Anas bin Malik, Ra adalah salah seorang yang sukses dalam hidupnya.Baik didunia maupun di kahirat. Beliau, selain sebagai seorang ulama terkemuka dijalannya juga mempunyai aktivitas dagang yang padat dan menjanjikan. Lebih hebatnya lagi, beliau memiliki sekitar 70 orang anak yang lebih dari setengah anak-anaknya telah syahid di medan jihad.
Suatu hari Anas ditanya oleh salah seorang sahabatnya, “Sejak kapan engkau mencita-citakan kesuksesan yang telah engkau dapatkan saat ini??
Dengan mantap dan teguh Anas menjawab, “Sejak saya pertama kali mengikrarkan laa ilaaha illallah”. Kesuksesan Anas bin Malik, berawal dari cita-cita yang timbul dari sebuah visi yang jelas dan benar, yaitu visi laa ilaaha illallah muhammadar rasulullah.
Visi bagi seorang muslim adalah aqidah, falasafah dan ideologinya dalam beraktifitas. Kesalahan dalam memahami dan menentukan visi akan mengakibatkan cita-cita tidak efektif. Visi yang islami yang jelas dan benar hanya akan terbentuk oleh sebuah pemahaman aqidah dan keimanan yang lurus. Apakah visi yang paling maksimal seorang muslim? Jawabannya singkat, padat dan berat, yaitu ridho Allah SWT. Menggapai ridho Allaha adalah visi terbesar dan terberat bagi seorang muslim. Visi ini harus senantiasa ada dan melekat di benak setiap muslim. Visi inilah yang akan mengarahkan setiap aktifitas, pemikiran bahkan cita-citanya. Seorang muslim dengan visi yang benar, akan mempunyai cita-cita yang tidak kontraproduktif terhadap visi terbesarnya. Seorang dengan visi menggapai ridho Allah dengan sendirinya tidak akan mencita-citakan sesuatu yang menjauhkannya dengan dai ridho Allah. Kita ambil contoh begini, seorang muslim dengan visi yang benar, tidaka akan bercita-cita menjadi pengusaha ternak babi terbesar di dunia! Atau menjadi jajaran konglomerat koruptor yang dekat dengan penguasa dan kebal hukum. Dengan demikian, setiap cita-cita yang menjauhkan pemiliknya dari ridho Allah SWT secara otomatis menjadi tidak legitimatif.
Kedua: Cita-cita itu harus sesuatu yang besar dan agung
Setiap orang di dunia ini berhak mempunyai cita-cita. Menentukan cita-cita adalah hak pribadi. Kita, tentu akan menghargai segala bentuk cita-cita, apapun itu, besar atau kecil. Setiap orang berhak bercita-cita menjadi lurah sampai dengan presiden, tho?Namun, kita disini akan memandang dari perspektif sejarah peradaban dunia dan manusia. Sekali lagi, sejarah ternyata hanya peduli dengan prestasi-prestasi besar. Sejarah ‘terlalu sombong’ untuk disibukkan dengan prestasi-prestasi kecil. Contoh kasus, Berapa banyak sahabat Rasulullah? Mereka semua tentu mempunyai prestasi masing-masing sesuai dengan kemampuannya. Namun hanya beberapa saja dari mereka yang ‘hidup’ di benak anak-anak umat sekarang ini. Hanya beberapa dari mereka yang kisah hidupnya terdokumentasikan rapi bahkan dalam berpuluh-puluh judul buku.
Apakah sejarah tidak adil? Tidak! Sejarah cukup adil dengan mendokumentasikan seseorang sesuai dengan prestasi yang diukirnya. Jika prestasi tersebut kecil sejarah tentu akan menghilangkannya atau cukup mewakilkan pada sejarah yang lebih sempit untuk mencatatnya. Kita sedang berbicara ‘sejarah peradaban manusia ‘ yang hanya peduli dengan pretasi-restasi besar dan agung. Prestasi besar muncul dari cita-cita yang agung pula. Karena itu, cita-cita yang legitimatif salah satunya besar dan agung! Cita-cita yang kecil kalaupun terealisasi tidak akan mengubah jalan sejarah! Jadi, cita-cita menjadi legitimatif apabila cita-cita tersebut terealisasikan dapat mengubah irama sejarah! Contoh: bagaiman jika cita-cita membebaskan masjid al-Aqsa dari genggaman Yahudi dibandingkan ‘hanya’ dengan cita-cita membangun masjid megah di kampung kita? Mana yang besar dan agung? Mana yang mengubah sejarah? Jadi..mengapa kita tidak membuat cita-cita besar dan agung untuk merubah irama sejarah hidup kita??
Ketiga: Cita-cita itu harus Jelas dan dapat Didefinisikan
Cita-cita tidak sama dengan mimpi! Bukan pula angan-angan. Meskipun kadangkala ia –cita-cita- merupakan metamorfosis dari keduanya. Pada awalnya cita-cita berupa impian kemudian berubah menjadi angan-anagan. Dari impian menjadi cita-cita. Namun, cita-cita menjadi tidak legitimatif jika masih dalam tahap impian dan angan-angan.
Salah satu cirri tahapan impian dan angan-angan adalah adanya ketidakjelasan! Seorang yang bermimpi akan mengatakan, “ Saya ingin memiliki mobil dan rumah mewah”. Sedangkan seseorang yang bercita-cita akan mengatakan, “Saya akan mendirikan perusahaan elektronik terbesar di negeri ini” otomatis dengan itu bisa jadi ia dapat memiliki mobil dan rumah mewah bukan??
Kejelasan sebuah cita-cita sangat diperlukan untuk menentukan tingkat legitimasi cita-cita tersebut. Lihatlah salah seorang sahabat dalam sebuah peperangan. Ketika ditanya oleh Rasulullah SAW tentang cita-citanya maka ia menjawab dengan jelas dan mantap, “Saya ingin syahid dengan tombak tertancap di kerongkonganku ini”. Dan cita-citanya yang jelas itu –dengan izin Allah- dapat terealisasikan. Atau lihat saja bagaiaman Umar bin Khattab Ra menjelaskan cita-citanya dalam do’anya: “Ya Allah, matikanlah aku di bumi nabimu SAW”. Cita-cita harus mempunyai titik penekanan yang jelas dan tidak mengandung penafsiaran. Cita-cita yang teralalu luas adalah bentuk lain dari angan-anagan dan impian dan hal tersebut dapat juga mengindikasikan keragu-raguan seseorag dalam menentukan cita-citanya.
Kita sering mendengar orang berkata atau menuliskan tentang cita-citanya: “menjadi orang yang berguna bagi bangsa, negara dan agama”. Cita-cita seperti itu pada dasarnya adalah baik namunmenjadi tidak legitimatif kerena ada ketidakjelasan bahakan keraguan didalamnya. Contoh cita-cita yang jelas dan dapat didefinisikan : mendirikan pesantern mahasiswa di kota X, pada tahun Y, dengan nama Z. Secara tidak langsung, dengan cita-cita seperti itu, ia menjadi orang yang bermanfaat bagi bangsa negara dan agama.
Keempat; Cita-cita harus seimbang antara sejarah potensi dan kemampuan dirinya
Cita-cita sebesar dan seagung apapun, tidak akan legitimatif jika tidak sesuai dengan sejarah potensi dan kemampuan seseorang. Contohnya sangat banyak dalam sejarah. Khalid bin Walid, panglima terbesar dalam sejarah Islam, ternyata mempunyai sejarah dan potensi besar dalam bidang militer. Begitu juga kecerdasan dan keberanian Umar bin Khattab Ra. Rasulullah SAW pun secara tersirat mengatakan bahwa yang terbaik diantara kaumnya dimasa jahiliyah adalah yang terbaik dimasa Islam. Ini adalah pengakuan Rasulullah SAW terhadap kekuatan potensi diri dimana setiap orang mempunyai potensi yang berbeda-beda. Jika kita mengkaji sejarah para tokoh, kita adakan dapati mereka memiliki sejarah potensi dan kemampuan yang realistis dimasa lalunya. Setiap orang yang berpotensi besar di dunia ini pasti telah merintis prestasi-prestasi kecil sebelumnya. Jika seseorang yang tidak memiliki ‘sejarah potensi’ kepimpinan dimanapun tiba-tiba ingin menjadi menetri atau presiden, maka ada dua kemungkinan. Pertama, cita-cita itu tidak legitimatif, yang kedua, bisa jadi cita-cita tersebut menjadi motivasi baginya untuk memulai mengukir prestasi-prestasi kecil terlebih dahulu.
Kelima: Cita-cita harus efektif
Keefektifan cita-cita diukur dengan tiga hal:
1- keikhlasan, mengapa?
Sebuah cita-cita yang tidak diawalidengankeikhlasan, ketika terealisasi tidak akan mendapat apresiasi apapun dari Allah SWT., meskipun sejarah mencatatnya. Coba kita lihat Albert Einstein penemu rumus E=mc2 (cikal bakal bom atom), Thomas Alfa Edison penemu bola lampu atau James Watt penemu mesin uap, sejarah kemanusiaan boleh jadi mencatat mereka.Namun jika prestasi itu hanya untuk memenuhi kebutuhan penelitian dan intelektualitas mereka, bukanuntuk kemaslahatan umat manusia ,bisa jadi Allah memberikan penghargaan pada mereka di dunia saj atidak untuk akhirat. Cita-cita yang tidak dilandasi keikhlasan maka setiap usaha untuk meraihnya menjadi sia-sia dan tidak efektif
2- tingkat kebutuhan masyarakat
Cita-cita yang efektif harus mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Misalnya,ditengah-tengah masyarakat yang masih terbelakang dan primitif kita bercita-cita untuk membangun sarana kesehatan , sarana pendidikan sarana social yang terpadau dan berkesinambungan hal tersebut akan efektif daripada mendirikan perumahan realestate atau mall disana
3- strategi perealisasian
Ketika sebuah cita-cita dijabarkan dalam strategi pencapaian yang bertahap, jelas dan terarah maka otomatis cita-cita tersebuta kan efektif.
Bagaimana? Ternyata bercita-cita dan berprestasi adalah suatu yang niscaya bukan? Dan bukan hanya ‘setinggi langit’, bukan? Namun legitimatif dan dapat kita pertanggungjawabkan. Tentunya ini ula harapannya bahwa dengan menempuh penddikan yang lebih tinggi semstinya kita mulai merencanakan dan memperjuangkan cita-cita dan sejarah kita .
Prestasi adalah masalah ketepatan waktu. Setiap orang berhak bahkan harus untuk mengisi waktunya dengan prestasi-prestasi yang dapat diusahakannya. Namun, sejarah terlalu selektif dalam mencatat perstasi-prestasi tersubut. Sejarah ternyata hanya tertarik untukmencatat prestasi-prestasi besar. Prestasi besar para pahlawan akan dengan mudah kita temukan dalam kitab-kita besar sejarah, ensiklopedi dunia dan nostalgia heroik anak manusia. Sedangkan prestasi-prestasi kecil, tempatnya hanyalah di buku-buku otobiografi kecil, majalah-majalah temporal, atau buku-buku usang di sudut-sudut perpustakaan.
Pun begitu, kita tentu tidak akan menyingkirkan prestasi-prestasi kecil kita, sebagaimana sejarah’menyingkirkannya’. Namun merupakan suatu kebutuhan, untuk mengkaji ulang bagaimana prestasi-prestasi besar itu ditorehkan. Agar ketika saatnya tiba,kita tidak terlalu shock dengan prestasi-prestasi besar yang kita capai. Shock ketika berprestasi besar hanyalah akan memunculkan sikap overconfidence (terlalu percaya diri)
Lalu, bagaimana sebuah prestasi besar ditorehkan? Sebuah proses metamorfosis yang kompleks, rumit, terjamin, adalah jawabannya. Prestasi besar pada awalnya hanyalah sebuah cita-cita, kemudian bergerak menjadi suatu target yang termotivasi (baca: azzam). Dari azzam ia menjadi satuan aktifitas kerja yang terprogram (munaddhom), professional (itqon), dan sungguh-sungguh (mujahaddah).
Proses selanjutnya adalah masalah timing atau ketepatan waktu sebagaimana disebutkan awal. Seseorang dengan aktivitas menuju cita-citanya adalah sebuah bom waktu. Ia hanya menunggu waktu untuk meledakkannya. Setiap prestasi besar adalah sebuah ledakan potensi seorang tokoh. Ledakan itu harus sesuai dengan timing yang disepakati sejarah.Jika tidak, maka yang muncul hanyalah sebuah letupan kecil.Tentunya letupan tidak sama dengan ledakan explosiv! Ledakan selalu menempati porsi besar dalam pemberitaan manapun. Bandingkan saja antara pemberitaan bom Hiroshima dan Nagasaki pada awal Agustus 1945, atau peristiwa WTC 9 September (WTC 911) dengan ledakan di Legian Bali 12 Oktober 2002. Begitulah… lagi-lagi sejarah hanya pedulu dengan ledakan-ledakan besar atau dengan kata lain prestasi-prestasi besar.
Selanjutnya, mari kita menghubungkan antara sejarah prestasi dan legitimasi cita-cita. Sejarah prestasi para tokoh dan pahlawan, sesungguhnya bermula dari cita-cita mereka yang legitimate. Begini contohnya. Khalid bin Walid Ra, mengukir prestasi kemenangan di medan Yarmuk, apa rahasianya? Singkat cerita, karena sejak kecil ia telah memiliki cita-cita untuk mengukir prestasi di medan Yarmuk.Sering kalidi masa kecilnya ia melakukan ‘survey lapangan’ di medan Yarmuk, hingga ia faham betul strategi meraih kemenangan dimedan tersebut. Puluhan tahun lewat, akhirnya strategi itulah yang mengantar pasukan Islam mencapai kemenangannya. Contoh lain, pemuda bernama Hasan Al-Banna,dalam perjalanannya naik kereta menuju kota Ismailiyah-kota tempat beliau bertugas menjadi pengajar- menuliskan dalam diarynya, “Disinilah kejadian besar itu akan terjadi”.Apa yang terjadi setelah itu? Tidak lebih dari dua tahun, ia berhasil mendirikan sebuah organisasi da’wah terbesar yang paling ditakuti oleh Amerika dan Inggris. Dan ketika operasi pembunuhan yang ditujukan kepadanya berhasil, ratusan bahkan ribuan rakayat Amerika merayakannya dengan pesta! Kini prestasi itu terukir indah dan abadi dalam sejarah pergerakan Islam abad 20. mereka-para tokoh dan pahlawan- tidak sekedar memiliki cita-cita yang besar namun cita-cita yang legitimate! Apa itu?
Begini, seseorang berhak memiliki cita-cita, baik anak kecil, orang muda maupun tua. Sebagaimana hukum kekekalan energi, cita-cita tidak akan pernah habis atau hilang, namun ia hanya akan berubah bentuk menyesuaikan realita.Cita-cita akan berproses dan berkembang sesuai dengan bertambahnya usia dan berubahnya zaman. Seorang anak kecilakan memulia prosesnya dengan mencita-citakan profesi atau statusnya di tengah masyarakat. Ia ingin menjadi dokter, tentara, guru bahkan presiden. Seorang pemuda akan mencita-citakan diri sesuai dengan idealisme dan semangat heroiknya. Mungkin ia akan bercita-cita menjadi dubes, politikus, pengusaha sukses. Seorang dewasa yang mulai menekuni profesinya akan sedikit realistis dalam bercita-cita. Ia mulai ingin memfokuskan pada prestasi dilingkungannya; ingin menjadi pucuk pimpinan patai politik misalanya, menjadi kepala bagian di kantor tempat ia bekerja atau mendirikan anak perusahaan di setiap daerah. Seorang yang telah tua, pensiunan misalnay, akan lebih arif dan memiliki cita-cita yang bersifat ‘sosial’.Misalnya, mendirikan yayasan yatim piatu, atau menulis biografinya. Begitulah cita-cita manusia secara umum. Perubahan cita-cita itu dipenagruhi oleh banyak hal,diantaranya ; interest pribadi (factor intern0 dan kebutuhan masyarakat (factor ekstrn).
Lalu, bagaimana cita-cita yang legitimatif? Apakah sekedar setinggi langit? Cita-cita yang legitimatif adalah cita-cita yang tepat, pada orang yang tepat, dan pada saat yang tepat pula. Ini sama sekali tidak berhubungan dengan the right man in the right place . Sekarang coba kita bandingkan!
Seorang anak kecil yang bercita-cita menjadi direktur, dengan seorang mahasiswa jurusan manajemen dengan cita-cita yang sama, mana yang lebih legitimate? Atau, seorang mahasiwa dengan seorang pimpinan partai yang sama-sama ingin menjadi presiden, mana yang lebih legitimate? Kita memang berhak untuka menagatkan pada semua orang bahwa cita-cita kita adalah besar dan setinggi langit. Namun tingkat legitimasi cita-cita tiap orang tentu berbeda. Seorang dengan tingkat legitimasi cita-cita yang kecil adalah ‘bagai punguk merindukan bulan’ atau sama dengan ‘jauh panggang dari api’. Sedangkan seorang dengan tingkat legitimasi cita-cita yang tinggi adalah sebuah bom waktu. Ia tinggal menunggu saat yang tepat untuk meledakkan prestasinya. Meledak atau tidak, sejarah akan tetap mencatatnya. Baik sebagai pemenang dengan prestasi besarnya maupun sebagai pejuang yang gugur dalam keteguhan memperjuangkan cita-citanya. Legitimasi cita-cita adalah ‘formulir pendaftaran’ bagi yang mendaftarkan diri sebagai pahalawan, orang yang membuat prestasi besar bagai kemashlahatan (kebaikan, kemanfaatan) umat dijamannya.
Lalu, bagaimana sebuah cita-cita itu dapat memiliki tingkat legitimasi yang tinggi?
Pertama: Cita-cita tersebut harus lahir dari visi yang benar
Sahabat Rasulullah, Anas bin Malik, Ra adalah salah seorang yang sukses dalam hidupnya.Baik didunia maupun di kahirat. Beliau, selain sebagai seorang ulama terkemuka dijalannya juga mempunyai aktivitas dagang yang padat dan menjanjikan. Lebih hebatnya lagi, beliau memiliki sekitar 70 orang anak yang lebih dari setengah anak-anaknya telah syahid di medan jihad.
Suatu hari Anas ditanya oleh salah seorang sahabatnya, “Sejak kapan engkau mencita-citakan kesuksesan yang telah engkau dapatkan saat ini??
Dengan mantap dan teguh Anas menjawab, “Sejak saya pertama kali mengikrarkan laa ilaaha illallah”. Kesuksesan Anas bin Malik, berawal dari cita-cita yang timbul dari sebuah visi yang jelas dan benar, yaitu visi laa ilaaha illallah muhammadar rasulullah.
Visi bagi seorang muslim adalah aqidah, falasafah dan ideologinya dalam beraktifitas. Kesalahan dalam memahami dan menentukan visi akan mengakibatkan cita-cita tidak efektif. Visi yang islami yang jelas dan benar hanya akan terbentuk oleh sebuah pemahaman aqidah dan keimanan yang lurus. Apakah visi yang paling maksimal seorang muslim? Jawabannya singkat, padat dan berat, yaitu ridho Allah SWT. Menggapai ridho Allaha adalah visi terbesar dan terberat bagi seorang muslim. Visi ini harus senantiasa ada dan melekat di benak setiap muslim. Visi inilah yang akan mengarahkan setiap aktifitas, pemikiran bahkan cita-citanya. Seorang muslim dengan visi yang benar, akan mempunyai cita-cita yang tidak kontraproduktif terhadap visi terbesarnya. Seorang dengan visi menggapai ridho Allah dengan sendirinya tidak akan mencita-citakan sesuatu yang menjauhkannya dengan dai ridho Allah. Kita ambil contoh begini, seorang muslim dengan visi yang benar, tidaka akan bercita-cita menjadi pengusaha ternak babi terbesar di dunia! Atau menjadi jajaran konglomerat koruptor yang dekat dengan penguasa dan kebal hukum. Dengan demikian, setiap cita-cita yang menjauhkan pemiliknya dari ridho Allah SWT secara otomatis menjadi tidak legitimatif.
Kedua: Cita-cita itu harus sesuatu yang besar dan agung
Setiap orang di dunia ini berhak mempunyai cita-cita. Menentukan cita-cita adalah hak pribadi. Kita, tentu akan menghargai segala bentuk cita-cita, apapun itu, besar atau kecil. Setiap orang berhak bercita-cita menjadi lurah sampai dengan presiden, tho?Namun, kita disini akan memandang dari perspektif sejarah peradaban dunia dan manusia. Sekali lagi, sejarah ternyata hanya peduli dengan prestasi-prestasi besar. Sejarah ‘terlalu sombong’ untuk disibukkan dengan prestasi-prestasi kecil. Contoh kasus, Berapa banyak sahabat Rasulullah? Mereka semua tentu mempunyai prestasi masing-masing sesuai dengan kemampuannya. Namun hanya beberapa saja dari mereka yang ‘hidup’ di benak anak-anak umat sekarang ini. Hanya beberapa dari mereka yang kisah hidupnya terdokumentasikan rapi bahkan dalam berpuluh-puluh judul buku.
Apakah sejarah tidak adil? Tidak! Sejarah cukup adil dengan mendokumentasikan seseorang sesuai dengan prestasi yang diukirnya. Jika prestasi tersebut kecil sejarah tentu akan menghilangkannya atau cukup mewakilkan pada sejarah yang lebih sempit untuk mencatatnya. Kita sedang berbicara ‘sejarah peradaban manusia ‘ yang hanya peduli dengan pretasi-restasi besar dan agung. Prestasi besar muncul dari cita-cita yang agung pula. Karena itu, cita-cita yang legitimatif salah satunya besar dan agung! Cita-cita yang kecil kalaupun terealisasi tidak akan mengubah jalan sejarah! Jadi, cita-cita menjadi legitimatif apabila cita-cita tersebut terealisasikan dapat mengubah irama sejarah! Contoh: bagaiman jika cita-cita membebaskan masjid al-Aqsa dari genggaman Yahudi dibandingkan ‘hanya’ dengan cita-cita membangun masjid megah di kampung kita? Mana yang besar dan agung? Mana yang mengubah sejarah? Jadi..mengapa kita tidak membuat cita-cita besar dan agung untuk merubah irama sejarah hidup kita??
Ketiga: Cita-cita itu harus Jelas dan dapat Didefinisikan
Cita-cita tidak sama dengan mimpi! Bukan pula angan-angan. Meskipun kadangkala ia –cita-cita- merupakan metamorfosis dari keduanya. Pada awalnya cita-cita berupa impian kemudian berubah menjadi angan-anagan. Dari impian menjadi cita-cita. Namun, cita-cita menjadi tidak legitimatif jika masih dalam tahap impian dan angan-angan.
Salah satu cirri tahapan impian dan angan-angan adalah adanya ketidakjelasan! Seorang yang bermimpi akan mengatakan, “ Saya ingin memiliki mobil dan rumah mewah”. Sedangkan seseorang yang bercita-cita akan mengatakan, “Saya akan mendirikan perusahaan elektronik terbesar di negeri ini” otomatis dengan itu bisa jadi ia dapat memiliki mobil dan rumah mewah bukan??
Kejelasan sebuah cita-cita sangat diperlukan untuk menentukan tingkat legitimasi cita-cita tersebut. Lihatlah salah seorang sahabat dalam sebuah peperangan. Ketika ditanya oleh Rasulullah SAW tentang cita-citanya maka ia menjawab dengan jelas dan mantap, “Saya ingin syahid dengan tombak tertancap di kerongkonganku ini”. Dan cita-citanya yang jelas itu –dengan izin Allah- dapat terealisasikan. Atau lihat saja bagaiaman Umar bin Khattab Ra menjelaskan cita-citanya dalam do’anya: “Ya Allah, matikanlah aku di bumi nabimu SAW”. Cita-cita harus mempunyai titik penekanan yang jelas dan tidak mengandung penafsiaran. Cita-cita yang teralalu luas adalah bentuk lain dari angan-anagan dan impian dan hal tersebut dapat juga mengindikasikan keragu-raguan seseorag dalam menentukan cita-citanya.
Kita sering mendengar orang berkata atau menuliskan tentang cita-citanya: “menjadi orang yang berguna bagi bangsa, negara dan agama”. Cita-cita seperti itu pada dasarnya adalah baik namunmenjadi tidak legitimatif kerena ada ketidakjelasan bahakan keraguan didalamnya. Contoh cita-cita yang jelas dan dapat didefinisikan : mendirikan pesantern mahasiswa di kota X, pada tahun Y, dengan nama Z. Secara tidak langsung, dengan cita-cita seperti itu, ia menjadi orang yang bermanfaat bagi bangsa negara dan agama.
Keempat; Cita-cita harus seimbang antara sejarah potensi dan kemampuan dirinya
Cita-cita sebesar dan seagung apapun, tidak akan legitimatif jika tidak sesuai dengan sejarah potensi dan kemampuan seseorang. Contohnya sangat banyak dalam sejarah. Khalid bin Walid, panglima terbesar dalam sejarah Islam, ternyata mempunyai sejarah dan potensi besar dalam bidang militer. Begitu juga kecerdasan dan keberanian Umar bin Khattab Ra. Rasulullah SAW pun secara tersirat mengatakan bahwa yang terbaik diantara kaumnya dimasa jahiliyah adalah yang terbaik dimasa Islam. Ini adalah pengakuan Rasulullah SAW terhadap kekuatan potensi diri dimana setiap orang mempunyai potensi yang berbeda-beda. Jika kita mengkaji sejarah para tokoh, kita adakan dapati mereka memiliki sejarah potensi dan kemampuan yang realistis dimasa lalunya. Setiap orang yang berpotensi besar di dunia ini pasti telah merintis prestasi-prestasi kecil sebelumnya. Jika seseorang yang tidak memiliki ‘sejarah potensi’ kepimpinan dimanapun tiba-tiba ingin menjadi menetri atau presiden, maka ada dua kemungkinan. Pertama, cita-cita itu tidak legitimatif, yang kedua, bisa jadi cita-cita tersebut menjadi motivasi baginya untuk memulai mengukir prestasi-prestasi kecil terlebih dahulu.
Kelima: Cita-cita harus efektif
Keefektifan cita-cita diukur dengan tiga hal:
1- keikhlasan, mengapa?
Sebuah cita-cita yang tidak diawalidengankeikhlasan, ketika terealisasi tidak akan mendapat apresiasi apapun dari Allah SWT., meskipun sejarah mencatatnya. Coba kita lihat Albert Einstein penemu rumus E=mc2 (cikal bakal bom atom), Thomas Alfa Edison penemu bola lampu atau James Watt penemu mesin uap, sejarah kemanusiaan boleh jadi mencatat mereka.Namun jika prestasi itu hanya untuk memenuhi kebutuhan penelitian dan intelektualitas mereka, bukanuntuk kemaslahatan umat manusia ,bisa jadi Allah memberikan penghargaan pada mereka di dunia saj atidak untuk akhirat. Cita-cita yang tidak dilandasi keikhlasan maka setiap usaha untuk meraihnya menjadi sia-sia dan tidak efektif
2- tingkat kebutuhan masyarakat
Cita-cita yang efektif harus mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Misalnya,ditengah-tengah masyarakat yang masih terbelakang dan primitif kita bercita-cita untuk membangun sarana kesehatan , sarana pendidikan sarana social yang terpadau dan berkesinambungan hal tersebut akan efektif daripada mendirikan perumahan realestate atau mall disana
3- strategi perealisasian
Ketika sebuah cita-cita dijabarkan dalam strategi pencapaian yang bertahap, jelas dan terarah maka otomatis cita-cita tersebuta kan efektif.
Bagaimana? Ternyata bercita-cita dan berprestasi adalah suatu yang niscaya bukan? Dan bukan hanya ‘setinggi langit’, bukan? Namun legitimatif dan dapat kita pertanggungjawabkan. Tentunya ini ula harapannya bahwa dengan menempuh penddikan yang lebih tinggi semstinya kita mulai merencanakan dan memperjuangkan cita-cita dan sejarah kita .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar