Pendahuluan : Kuncup yang mulai merekah
Ibaratnya bunga, industri perbankan syariah di Indonesia adalah kuncup yang mulai merekah. Hampir semua mata melirik, mengamati perkembangannya dari waktu ke waktu. Berbagai seminar, kajian, dan diskusi diadakan untuk memperdalam sekaligus mensosialisasikan kajian perbankan syariah. Tidak hanya dari kalangan praktisi, ulama, dan akademisi, bahkan jurnalis media pun seolah berlomba untuk menampilkan berita-berita perkembangan terkini pada sektor tersebut.
Pembukaan kantor cabang baru, launching produk-produk baru, pengesahan fatwa terkini dari Dewan Syariah Nasional (DSN), hingga tulisan-tulisan otokritik dari kalangan intern praktisi, mendapatkan porsi penyajian yang signifikan di beberapa media . Belum lagi paparan tentang sukses dan prospektifnya industri perbankan syariah, hingga ada yang menyebutnya over exposed, terlalu sering diulang-ulang dan kurang kreatif dalam mengomunikasikan perbankan syariah.
Apapun kata orang, sebagai sebuah kuncup, perbankan syariah memang masih membutuhkan rentang waktu yang cukup lama untuk merekah. Merekah dalam arti, membuktikan keunggulan sistem bagi hasil ( profit and loss sharing ) bank syariah atas sistem bunga ribawi bank konvensional. Tulisan ini diharapkan dapat memberi gambaran, akan banyaknya peluang sekaligus hambatan, serta hal-hal yang perlu dibenahi, untuk mencapai masa keemasan perbankan syariah di negri kita tercinta.
Sejarah dan Perkembangan
Jika dibandingkan dengan munculnya upaya awal penerapan sistem profit and loss sharing di Pakistan pada akhir tahun 50-an dan Malaysia pada pertengahan 40-an , ditambah lagi jika dibandingkan dengan keberadaan bank konvensional di tanah air yang sudah berusia puluhan tahun, maka 13 tahun usia perbankan syariah di Indonesia benar-benar masih belia. Terlebih lagi, pada enam tahun pertama sejak beroperasinya pada 1 Mei 1992, hanya Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang menjadi single fighter dalam kancah industri perbankan syariah di Indonesia. Sementara UU No 7 tahun 1992 tentang Perbankan yang berlaku pada waktu itu, juga tidak sepenuhnya menyebutkan tentang sistem bagi hasil, tetapi hanya memungkinkan bank umum untuk menjalankan operasional bisnis dengan sistem tersebut.
Fase perkembangan perbankan syariah selanjutnya justru dimulai paska krisis ekonomi tahun 1997/1998. Bergugurannya bank-bank konvensional ribawi, yang disebabkan oleh momok menakutkan negative spread membuat banyak kalangan mulai melirik sistem bagi hasil. Sejarah kelam perbankan konvensional di negri ini waktu itu mencatat setidaknya 63 bank telah ditutup, 14 bank di-take over, dan 9 bank lagi harus direkapitalisasi dengan biaya ratusan trilyun rupiah. Mungkin ini adalah sebagian dari bukti isyarat Al-Quran yang menyatakan secara implisit -dengan ilustrasi- bahwa sistem riba hanyalah akan menghasilkan sebuah kondisi perekonomian yang gonjang-ganjing, alias tidak stabil (QS 2 : 275 ) .
Terhitung sejak diberlakukannya UU No 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang mengatur adanya Dual Banking system, (konvensional dan syariah) maka dimulailah masa booming pertumbuhan perbankan syariah. Jika pada pertengahan tahun 1999, hanya ada 1 (satu) bank umum syariah dan 78 BPRS, maka pada awal 2005 telah mencapai sejumlah 3 bank umum syariah, 16 Unit Usaha Syariah Bank Konvensional, 355 KC/KCP, serta 88 BPRS, dengan jumlah total jaringan mencapai 443 kantor . Selain itu, pertumbuhan aset perbankan syariah meningkat pesat dari sekitar Rp 800 miliar pada akhir tahun 1999 menjadi sebesar Rp 14 trilyun pada akhir tahun 2004, dengan pertumbuhan rata-rata 70 % pertahun .
Bagaimanapun, meningkatnya angka-angka indikator perbankan syariah dari tahun ke tahun yang menandakan periode fast growing, adalah sebuah prestasi tersendiri. Meskipun, jika kita konversikan ke skala nasional saat ini, maka peran perbankan syariah dalam industri perbankan nasional bisa dibilang ‘nyaris tak terdengar’. Mengapa ? Karena dengan total aset industri perbankan nasional saat ini yang mencapai Rp 1000 trilyun lebih, berarti industri perbankan syariah hanya ‘mewarnai’ sekitar 1,1 % nya saja.
Kecilnya angka partisipasi perbankan syariah dalam industri perbankan nasional, sungguh bisa dimaklumi. Faktor yang paling utama tentu saja adalah usia yang prematur, sehingga penyebaran jaringan perbankan syariah juga cukup terbatas, jika dibanding dengan jaringan bank konvensional yang telah mencapai 160 bank umum, 2000 lebih BPR, dan ditunjang dengan puluhan ribu kantor yang tersebar di seluruh penjuru negeri. Sungguhpun demikian, para praktisi perbankan syariah masih bisa cukup optimis. Tercatat angka pertumbuhan yang meningkat dari tahun ke tahun. Sebut saja dari volume usaha perbankan syariah yang tumbuh mencapai 68,6 %, sedangkan perbankan nasional rata-rata mencapai 4,74 %. Dari sisi pertumbuhan kredit perbankan nasional hanya sebesar 18,6 %, sementara pertumbuhan pembiayaan (financing) perbankan syariah justru mencapai 72,11 %. Begitupula yang terjadi pada pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK), perbankan syariah mencatat angka 79,31 %, sementara perbankan nasional ‘hanya’ 6,77 % . Prestasi yang lain, perbankan syariah juga telah menjalankan fungsi intermediasi dengan baik, terbukti dengan munculnya angka rasio pembiayaan dan dan pihak ketiga ( financing to deposit ratio /FDR ) yang mencapai 104 % dengan rata-rata lebih dari 90 % dalam tiga tahun terakhir.
Realita kondisi perbankan syariah yang prospektif bukan berarti tanpa kendala. Justru sebaliknya, sekian waktu beroperasi telah banyak membuktikan beberapa permasalahan dan kendala yang melingkupi kinerja perbankan syariah. Tahun 2006 ini diharapkan akan menjadi fase baru bagi perkembangan perbankan syariah di Indonesia. Apalagi setelah terbitnya Fatwa MUI tentang haramnya bunga bank (akhir 2004), kemudian juga rencana pengesahan UU Perbankan Syariah oleh DPR pada tahun ini, maka bisa dipastikan, hari-hari mendatang dunia perbankan syariah di Indonesia akan semakin dipenuhi oleh impian-impian yang produktif dan menjanjikan.
Bank Syariah, Pemerintah, BI & DPR ; Peluang & Kendala
Dalam upaya pengembangan perbankan syariah, pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia (BI) telah melakukan berbagai langkah nyata. Empat hal diantaranya ; Pertama, membentuk Komite Pengarah, Komite Ahli, dan Komite Kerja Pengembangan Perbankan Syariah. Kedua, melakukan inventarisasi perangkat ketentuan yang ada, serta menyusun ketentuan yang lebih lengkap dan dibutuhkan. Setidaknya, hingga akhir 2004 telah ada 17 regulasi tentang perbankan syariah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia . Ketiga, membantu pelaksanaan kegiatan pendidikan dan pelatihan SDM, melalui pelatihan, workshop, dan seminar-seminar. Serta Keempat, melaksanakan kegiatan sosialisasi perbankan syariah, diantaranya dengan penyusunan buku panduan dan sillaturrahmi dengan para ulama, bankir, dan usahawan muslim di daerah-daerah .
Bentuk perhatian BI terhadap perbankan syariah dari waktu ke waktu juga terus meningkat, jika dulu urusan perbankan syariah hanya ditangani oleh sebuah tim, maka kini telah ada sebuah Direktorat khusus yang mengurusi masalah tersebut . Meskipun demikian, masih ada beberapa kebijakan BI terhadap perbankan syariah yang dianggap sebagai sebuah bentuk kesenjangan dalam perlakuan. Misalnya yang terkini, usulan dari kalangan perbankan syariah agar di Bank Indonesia (BI) memiliki deputi khusus syariah, masih dianggap belum perlu oleh Gubernur BI, Burhanuddin Abdullah. Hal lainnya, berkaitan dengan rencana konsolidasi dan penguatan industri perbankan di Indonesia, yang tampaknya belum mencakup perbankan syariah. Isu merger dan akuisi baru menyentuh bank BUMN dan bank swasta. Kemudian, masalah regulasi BI yang dianggap sebagian kalangan praktisi ‘menganaktirikan’ perbankan syariah dalam usaha pengembangan jaringannya.
Sebenarnya, sebagian masalah-masalah tersebut bisa dimaklumi, mengingat perbankan syariah jika diukur dengan skala industri perbankan nasional memang masih teramat kecil. Namun sebaliknya, pemerintah juga perlu belajar dari sejarah krisis ekonomi 1998, dimana pemerintah melalui BLBI ( Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) – yang pada akhirnya adalah uang rakyat – mengucurkan setidaknya Rp 300 trilyun (versi pemerintah) atau Rp 500-600 trilyun (versi pengamat) untuk menutupi kebutuhan likuiditas bank-bank konvensional. Pelajaran terbaru di akhir tahun 2004, pemerintah harus mengeluarkan setidaknya 300 miliar dalam kasus beku operasi Bank Global pada 13 Desember 2004, mengingat aset bank tersebut hanya Rp 745 miliar, sementara dana penjaminan nasabah mencapai hampir Rp 1 trilyun . Dengan semua pelajaran ini, apakah belum saatnya bagi pemerintah untuk lebih intensif mengembangkan perbankan syariah melalui semua aspeknya dibanding bank konvensional ?
Selain Bank Indonesia (BI), unsur pemerintah yang lainnya, seperti jajaran kabinet, juga mulai terlihat melirik potensi industri perbankan syariah. Meski saat ini memang baru tercatat tiga mentri, masing-masing : Meneg BUMN Sugiharto, Mentri Pertanian Anton Apriyanto, dan Menpera Yusuf Asyari yang dengan tegas menyatakan siap bermitra dengan perbankan syariah dalam menjalankan proyek-proyeknya. Langkah riil yang cukup menggembirakan adalah ditempatkannya praktisi ekonomi syariah, Iwan Pontjowinoto sebagai direktur utama PT. Jamsostek, meski sebelumnya sempat ditentang oleh kalangan serikat pekerja . Peluang rintisan yang telah terbuka ini, semestinya bisa terus dikembangkan pada departemen-departemen lainnya untuk bermitra dengan industri perbankan syariah. Di negara lain, pembangunan infrastruktur semacam bandara, jalan, dan bangunan-bangunan pemerintah yang melibatkan bank syariah, bukan hal yang baru .Bahkan di negri jiran kita, Malaysia, setiap proyek pembangunan dijatahkan 30 persen investasinya dibiayai dengan pola syariah .
Hal lain yang ditunggu-tunggu kalangan perbankan syariah dari pemerintah saat ini, antara lain : Pertama, pemerintah mempunyai bank syariah sendiri, dengan mengkonversi bank BUMN menjadi syariah , dan kedua, pemerintah berani dan tidak ragu-ragu lagi dalam menerbitkan obligasi negara dengan prinsip syariah . Adapun dari kalangan DPR, khususnya mereka yang terlibat dalam Komisi XI, kalangan praktisi perbankan syariah sedang menunggu-nunggu pembahasan dan pengesahan RUU Perbankan Syariah yang terpisah dari perbankan konvensional. Komisi XI DPR sendiri menegaskan, kehadiran UU Perbankan Syariah sudah mendesak sebab pertumbuhan industri ini cukup tinggi. Namun permasalahan apakah undang-undang tersebut akan dibahas terpisah atau disisipkan dalam revisi UU Perbankan, nampaknya masih belum terjawab.
Bank Syariah, Ulama, Nasabah dan Masyarakat Umum : Peluang & Kendala
Kehadiran industri perbankan syariah di Indonesia, diakui atau tidak, murni lahir dari rahim para ulama. Kerisauan, gagasan dan inisiatif para ulama yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi benih awal tumbuhnya bank syariah. Wacana awal pendirian BMI – bank syariah pertama di Indonesia- sendiri berasal dari lokakarya yang diselenggarakan MUI pada 18-20 Agustus 1990 tentang “ Bunga Bank dan Perbankan “. Selanjutnya, wacana ini dipertegas lagi dalam Munas VI MUI pada 22-25 Agustus 1990 yang mengamanatkan untuk memulai langkah mendirikan bank Islam .
Suatu hal yang patut disyukuri pada masa-masa berikutnya, adalah peran ulama pakar syariah yang demikian aktif mendukung sosialisasi produk-produk perbankan syariah di kalangan masyarakat. Selain sosialisasi, para ulama juga ikut terjun langsung bergabung dalam DSN ( Dewan Syariah Nasional ) dan DPS ( Dewan Pengawas Syariah) untuk menjaga dan mengawasi operasional bank sehari-hari agar selalu sesuai dengan ketentuan syariah.
Peluang cukup besar yang dimiliki industri perbankan syariah saat ini adalah kecintaan dan kepedulian para ulama dengan bank syariah. Puncak dari kecintaan dan kepedulian ini adalah dengan keluarnya fatwa MUI pada 16 Desember 2004 tentang keharaman bunga bank. Berbagai macam fenomena yang muncul paska fatwa tersebut antara lain ; pertama, berbagai macam reaksi yang muncul dari ulama-ulama yang berlainan persepsi , dan kedua, tidak terbuktinya kekhawatiran akan terjadinya rush besar-besaran dari bank konvensional ke syariah, ataupun ketiga, ‘sempatnya’ perbankan syariah mengalami over likuiditas sehingga penitipan dana di Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) mencapai peningkatan yang signifikan periode Januari hingga April 2004 . Terlepas dari semua itu, bagaimanapun, fatwa tersebut – yang oleh sebagian praktisi dinilai agak terlambat – akan mempunyai pengaruh yang cukup signifikan bagi perkembangan industri perbankan syariah di Indonesia pada masa-masa selanjutnya.
Sebaliknya, kendala yang dimungkinkan muncul adalah pada saat pihak praktisi sendiri mulai meninggalkan prinsip-prinsip kepatuhan syariah baik dalam operasional kerja dan transaksi, maupun perilaku sehari-hari. Pada saat itu, para ulama akan menarik kepercayaan dan dukungannya terhadap bank syariah, dan pada saat yang sama, masyarakat umum akan berpikir dua kali untuk berinteraksi dengan bank syariah. Wall iyyaadzh billah.
Kendala klasik lain yang selalu ada, adalah masalah regenerasi dan kaderisasi ulama yang mempunyai kompetensi dalam bidang perbankan islam. Minimnya jumlah ulama pakar perbankan syariah saat ini bisa dilihat dengan adanya beberapa fenomena tumpang tindihnya amanah di DPS dan DSN saat ini . Tidak ada solusi lain masalah ini kecuali menggalakkan spirit pembelajaran ekonomi islam atau fiqh mua’malah di berbagai bidang atau jenis pendidikan, dari mulai pondok pesantren sampai perguruan tinggi, tentu saja dengan pengetahuan aplikasi operasional perbankan syariah secara lebih komprehensif.
Sementara itu, masyarakat umum yang merupakan pasaran potensial perbankan syariah juga tidak lepas dari kendala. Peluang industri perbankan syariah di negeri dengan populasi muslim terbesar di dunia saat ini memang tidak diragukan lagi. Hasil penelitian Karim Bussiness Consulting menyatakan, potensi pasar loyalis syariah sekitar Rp 10 trilyun, pasar loyalis konvensional berkisar Rp 200-an trilyun, sementara potensi pasar mengambang (floating market) diperkirakan mencapai Rp 720 trilyun . Pasar loyalis syariah lambat laun akan bergabung sebagai investor pada industri perbankan syariah. Hal ini bergantung pada sosialisasi produk dan keluasan jaringan perbankan syariah. Namun angka Rp 10 trilyun yang dimiliki pasar loyalis syariah tentu belum cukup untuk mengembangkan industri perbankan syariah secara kompetitif.
Pada potensi pasar mengambang yang rasional, seseorang akan menanamkan investasinya setelah memperbandingkan besarnya benefit atau return antara bank syariah dan konvensional. Pasar dengan ciri profit oriented ini cenderung untuk tidak setia dalam berinvestasi. Maka yang selayaknya dilakukan oleh perbankan syariah dalam menghadapi tipe pasaran mengambang, ada dua hal : pertama, terus menjaga tingkat kompetitif return bagi hasil bank syariah dengan tingkat bunga bank konvensional, dengan peningkatan rasio pembiayaan dan dana pihak ketiga ( financing to deposit ratio/FDR) dan minimalisasi pembiayaan tidak lancar ( Non performing financing /NPF). Kedua, secara aktif bersama para ulama secara khusus dan intensif menggalakkan kegiatan dakwah, sehingga dengan sendirinya pasar mengambang akan bergabung dalam pasar loyalis syariah. Sesuai dengan karakter dakwah, maka langkah kedua ini tentu saja bercirikan progam jangka panjang. Karena itu, setiap praktisi perbankan syariah, pada saat yang sama dia adalah seorang da’i.
Sebagai tambahan, angka indikator pembiayaan tidak lancar ( NPF) pada akhir tahun 2004 adalah sebesar 2,8 %. Ini berarti kendala yang muncul dari sisi kemampuan dan kredibilitas nasabah peminjam dalam memenuhi komitmennya pada bank syariah, masih terbilang relatif kecil. Sungguhpun demikian, fatwa DSN-MUI terbaru tentang potongan utang (discount) pembiayaan murabahah, penjadwalan ulang ( rescheduling) pembiayaan murabahah, dan pembuatan akad baru (reconditioning) pembiayaan murobahah, bisa dipandang sebagai langkah yang cukup preventif sekaligus solutif untuk menekan angka NPF .
Masalah klasik yang ada pada masyarakat umum kaitannya dengan perbankan syariah adalah kurangnya sosialisasi dan pemahaman yang cukup tentang produk-produk perbankan syariah. Mungkin agak ekstrim jika sampai dikatakan ‘ bank syariah ada pada suatu lembah, dan masyarakat berada pada lembah yang lain’ atau mungkin diibaratkan ‘bagai katak dalam tempurung’.Namun jika kita melihat kembali masyarakat kita secara lebih objektif dan dalam skala yang lebih luas, perumpamaan-perumpamaan di atas bisa jadi benar.
Bank Syariah dan SDI internal : Permasalahan inti
Perkembangan pesat industri perbankan syariah ternyata tidak diikuti dengan peningkatan kualitas Sumber Daya Insani (SDI) bank syariah. Kelemahan pada aspek internal ini telah diakui dan disadari oleh kalangan praktisi, namun yang paling intens menyuarakan hal ini adalah kalangan pengamat perbankan syariah. Satu hal yang selalu mendapat perhatian adalah dampak negatif SDM perbankan konvensional dalam pengelolaan perbankan syariah . Sebenarnya ini lebih tepat jika disebut ‘spirit’ konvensionalnya. Karena meski berlatar belakang perbankan konvensional, jika mereka segera berbenah diri dengan mempelajari segala sesuatu mengenai nilai-nilai islam, bank syariah, serta berupaya keras untuk mengaplikasikannya, maka dampak negatif tersebut bisa dicegah.
Akses negatif yang disebabkan ‘spirit’ konvensional pada SDI perbankan syariah bisa berakibat pada dua hal besar ; Pertama, dari sisi etika dan kepribadian SDI itu sendiri. Mereka yang mempunyai paradigma konvensional, tentu kurang memperhatikan masalah penjagaan nilai-nilai islam sehari-hari. Kasus yang terjadi, ada bank syariah yang tidak mewajibkan karyawan wanitanya (muslimah) untuk berbusana muslimah yang menutup aurat. Begitu pula ada seorang pimpinan bank syariah yang dengan tega memarahi anak buahnya di depan orang banyak, hal ini tentu saja bertentangan dengan akhlak islam . Kasus lain yang mungkin muncul adalah gaya hidup mewah para bankir syariah.
Sementara dampak negatif yang kedua, adalah pelanggaran kepatuhan syariah dalam kebijakan operasional dan transaksi-transaksi yang dilakukan bank syariah. Bentuknya bisa berupa penghitungan marjin atau mark up murabahah yang cenderung menjadikan tingkat suku bunga bank konvensional sebagai benchmark . Bahkan ada pula SDI bank syariah yang dalam mensosialisasikan produk mudharabah pada masyarakat, langsung mengatakan bahwa margin atau return- nya ekuivalen dengan 10 %, tanpa menyebut asal-usul dan mekanisme kerjanya .Pada tahapan yang kronis, akan muncul fenomena negatif dalam kinerja bank syariah, misalnya ; manipulasi informasi pada DPS, hadiah dalam rangka pencairan pembiayaan, merubah akad secara sepihak, atau bahkan memberikan pelayanan yang rendah mutunya . Semua dampak ini tentu akan merusak reputasi perbankan syariah pada kalangan awam. Hasil penelitian BI sendiri pernah menunjukkan bahwa 15% responden menilai bank syariah tidak ada bedanya dengan bank konvensional, “hanya beda bungkusnya.”
Memang, menkonversikan moral atau spirit konvensional menjadi spirit syariah tidak secepat mengkonversi bank konvensional menjadi bank syariah. Hal ini tentu membutuhkan waktu yang lama dan pergulatan batin. . Pada jangka 5 sampai 10 tahun ke depan, para mahasiswa yang kini tengah berkutat dengan perkuliahan perbankan syariah, baik di dalam maupun di luar negri , diharapkan siap all out untuk mengusung dan menghidupkan spirit syariah dalam dunia perbankan syariah nantinya.
Beberapa Permasalahan Lain
Selain permasalahan SDI internal di atas, di akhir tulisan ini penulis ingin menyoroti keberadaan dua fenomena unik yang sesungguhnya bisa disebut peluang bagi pengembangan perbankan syariah, namun pada saat yang sama juga bisa menjadi hambatan.
Fenomena unik yang pertama adalah ; mulai maraknya bank-bank asing konvensional yang membuka Unit Usaha Syariah (UUS) di Indonesia. Tercatat Hongkong Shanghai Banking Corporations (HSBC) berpusat di London, adalah pemain asing pertama yang membuka UUS di Indonesia pada Oktober 2003 . Langkah HSBC ini kemudian siap diikuti oleh Citibank dan Standard Chartered yang sudah mendatangi BI sebagai langkah permulaan . Sebenarnya ini bukan hal yang baru, di luar sana raksasa-raksasa perbankan barat telah lama menggarap pasar syariah . Total aset perbankan syariah dunia yang mencapai kisaran 200-500 milliar dolar AS, ditambah dengan angka pertumbuhan sekitar 10-15% per tahun cukup membuat mereka tertarik untuk ikut terjun langsung dalam bisnis ini.
Banyak pakar perbankan syariah melihat kehadiran bank asing dalam perbankan syariah bukan sebagai masalah, namun justru menguntungkan perbankan syariah di Indonesia. Tak pelak pakar dan pengamat ekonomi syariah, M. Syafii Antonio, menyatakan bahwa kehadiran bank asing dalam pasaran syariah bukan sebuah ancaman, serta tidak akan mempengaruhi perkembangan bank syariah lokal . Pengamat yang lain seperti Direktur Karim Bussines Consulting (KBC), Adiwarman Karim dan Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), Arief Mufti juga sepakat bahwa masuknya bank asing akan ikut mendorong pertumbuhan sektor riil sebagaimana telah berlangsung pada pola pembiayaan syariah .
Lalu mengapa unik ? Benar, bahwa dalam aturan fiqh muamalah memang tidak ada larangan bagi kalangan asing –yang notabene non muslim- untuk menjadi nasabah, pemilik saham atau bahkan pengelola bank syariah .Akan tetapi, dalam hal masuknya bank asing dalam industri perbankan syariah nasional, ada dua harga psikologis bertentangan yang harus sama-sama dibayar.
Pada satu sisi hal itu dapat mendukung sosialisasi dan image perbankan syariah, sekaligus membuktikan bahwa sistem keuangan islam (islamic financial system) adalah produk yang layak jual dan mempunyai benefit. Namun pada sisi yang lain, adalah sebuah ironi ditengah bangkitnya perbankan syariah di indonesia, setelah melalui kerja keras pengembangan dan sosialisasi para perintisnya bertahun-tahun, tiba-tiba saja muncul pemain-pemain asing untuk ikut memanen ‘benih yang mulai tumbuh’itu. Pemain asing yang benar-benar profit oriented, tanpa ada unsur ideologis untuk melaksanakan sistem islam, sebagai manifesto ketundukan pada aturan-aturan Allah di muka bumi ini. Lalu apa yang terjadi jika kemudian pemain asing tersebut yang didukung dengan modal yang kuat serta jaringan yang luas, tampil menjadi pemenang ? Menyingkirkan bank-bank syariah lokal yang masih terseok-seok dengan kendala SDI internal yang lemah ?. Sungguh ini bukan wacana inferior, akan tetapi sebuah isyarat awal bahwa ‘peperangan’ sesungguhnya antara bank asing dengan bank syariah lokal, adalah dalam kompetisi menarik dana Rp 720 trilyun dari pasar mengambang (floating market), bukan pasaran loyalis syariah ! Memang tidak berlebihan saat Kelvin Miranda, fund Manager dari Asian Asset Management di Kualalumpur, menyatakan “Semua pemain dari industri perbankan, pasti menginginkan sepotong kue yang manis dari populasi muslim terbesar di dunia ini ”!
Kemudian fenomena kedua yang tidak kalah unik adalah ; dominasi pembiayaan murobahah (deffered payment sale) dalam perbankan syariah atas pembiayaan (financing) lainnya. Laporan perkembangan Perbankan Syariah tahun 2004 yang dikeluarkan BI menunjukkan portfolio pembiayaan murobahah mencapai sekitar 66,3 %. Sementara pada saat yang sama, pembiayaan mudharabah dan musyarokah hanya berkisar pada angka 17,4 % . Kondisi seperti ini sebenarnya bukan hanya ada di Indonesia saja, bahkan bank-bank Islam papan atas dunia, seperti Bahrain Islamic Bank, Faisal Islamic Bank, Dubai Islamic Bank, Bank Islam Malaysia, dan Kuwait Finance House, juga memiliki kecenderungan menjadikan skema murobahah sebagai skema pembiayaan yang utama .
Popularitas murobahah yang menjadi pembiayaan utama bank syariah saat ini disebabkan banyak hal antara lain ; Pertama, dari sisi bank syariah ; investasi jangka pendek yang cukup memudahkan, benefit yang berasal dari mark up bisa ditentukan dan dipastikan ; serta menjauhi ketidakpastian dan minimalisasi resiko yang ada pada sistem bagi hasil. Kedua, dari sisi nasabah ; murabahah tidak memungkinkan bank-bank syari’ah untuk mencampuri manajemen bisnis. Lain ceritanya dengan pembiayaan mudharabah (Trust financing) yang terkadang pihak bank memaksakan untuk menempatkan satu wakilnya pada jajaran manajemen perusahaan, untuk melakukan pengawasan internal.
Tak pelak, dominasi murobahah ini menuai kritikan yang cukup signifikan dari para pengamat perbankan syariah. Sisi yang pertama menuai kritik adalah ; dominasi murobahah itu sendiri , yang dikatakan menjauhi esensi ruh perbankan syariah, karena sistem bagi hasil (dalam musyarokah dan mudhoroba), merupakan keunggulan sekaligus pembeda antara bank syariah dengan bank konvensional . Efek lanjutannya, dengan minimnya pembiayaan mudhorobah dan musyarokah, dapat mengakibatkan pengembangan sektor riil juga terhambat . Sisi yang kedua yang dikritisi adalah ; penentuan margin murobahah dengan menggunakan benchmark perbankan konvensional, bahkan kadang di atasnya, yang dinilai bisa merusak reputasi perbankan syariah . Sehingga kalangan awam ada yang menilai bahwa bank syari’ah mengambil keuntungan lebih besar dibandingkan dengan bank konvensional .
Sebenarnya, kalangan praktisi juga tidak salah ketika menjalankan prinsip kehati-hatian dalam mengeluarkan pembiayaan mudhorobah yang cukup beresiko, karena dana adalah amanat dari investor. Sementara pada saat yang sama, para nasabah yang telah sukses juga tidak salah jika lebih memilih akad murabahah, karena dipandang lebih efisien dan tidak mengikat.
Penutup : Impian hari ini, kenyataan esok hari
Betatapun rumitnya permasalahan dan kendala yang dihadapi, kalangan praktisi perbankan syariah tetap optimis dengan masa depan industri perbankan syariah di negri ini. Bahkan BI memproyeksikan pada tahun 2011 aset perbankan syariah diperkirakan mencapai 171,35 Trilyun ( 9,10 % dari total industri perbankan nasional). Sementara Presdir Kareem Bussines Consulting ( KBC) Adiwarman Karim, berani memproyeksikan lebih dari itu. Ia memperkirakan aset perbankan syariah di Indonesia pada 2011 akan berada ada kisaran 300-360 trilyun ( 16,7 % dari pangsa pasar indutri perbankan nasional) . Pada saat itulah, diperkirakan peran industri perbankan syariah dalam menata perekonomian nasional, akan terasa lebih signifikan.
Akhirnya, genderang jihad perbankan Islam di negri ini telah ditabuh. Target dan proyeksi telah ditentukan. Peluang dan tantangan sama-sama telah disadari. Tidak ada hari-hari setelah ini kecuali harus dipenuhi optimalisasi usaha dan pembenahan aspek internal-eksternal. Meminjam istilah Imam Hasan Al-Bana ; Impian hari ini, harus menjadi kenyataan di esok hari. Sehingga, pada saat pertolongan Allah telah terlihat, maka tidak ada lagi selain tasbih dan istighfar.( QS 110 :3 ). Wallahu a’lam bisshowab.
Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya dia adalah Maha Penerima taubat.
i Artikel, diterbitkan dalam Rubrik Kajian Utama Majalah El-Nilein, Media Komunikasi Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Sudan, bulan Juli 2006
ii Alumnus S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Internasional Afrika, Khartoum Sudan
Ibaratnya bunga, industri perbankan syariah di Indonesia adalah kuncup yang mulai merekah. Hampir semua mata melirik, mengamati perkembangannya dari waktu ke waktu. Berbagai seminar, kajian, dan diskusi diadakan untuk memperdalam sekaligus mensosialisasikan kajian perbankan syariah. Tidak hanya dari kalangan praktisi, ulama, dan akademisi, bahkan jurnalis media pun seolah berlomba untuk menampilkan berita-berita perkembangan terkini pada sektor tersebut.
Pembukaan kantor cabang baru, launching produk-produk baru, pengesahan fatwa terkini dari Dewan Syariah Nasional (DSN), hingga tulisan-tulisan otokritik dari kalangan intern praktisi, mendapatkan porsi penyajian yang signifikan di beberapa media . Belum lagi paparan tentang sukses dan prospektifnya industri perbankan syariah, hingga ada yang menyebutnya over exposed, terlalu sering diulang-ulang dan kurang kreatif dalam mengomunikasikan perbankan syariah.
Apapun kata orang, sebagai sebuah kuncup, perbankan syariah memang masih membutuhkan rentang waktu yang cukup lama untuk merekah. Merekah dalam arti, membuktikan keunggulan sistem bagi hasil ( profit and loss sharing ) bank syariah atas sistem bunga ribawi bank konvensional. Tulisan ini diharapkan dapat memberi gambaran, akan banyaknya peluang sekaligus hambatan, serta hal-hal yang perlu dibenahi, untuk mencapai masa keemasan perbankan syariah di negri kita tercinta.
Sejarah dan Perkembangan
Jika dibandingkan dengan munculnya upaya awal penerapan sistem profit and loss sharing di Pakistan pada akhir tahun 50-an dan Malaysia pada pertengahan 40-an , ditambah lagi jika dibandingkan dengan keberadaan bank konvensional di tanah air yang sudah berusia puluhan tahun, maka 13 tahun usia perbankan syariah di Indonesia benar-benar masih belia. Terlebih lagi, pada enam tahun pertama sejak beroperasinya pada 1 Mei 1992, hanya Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang menjadi single fighter dalam kancah industri perbankan syariah di Indonesia. Sementara UU No 7 tahun 1992 tentang Perbankan yang berlaku pada waktu itu, juga tidak sepenuhnya menyebutkan tentang sistem bagi hasil, tetapi hanya memungkinkan bank umum untuk menjalankan operasional bisnis dengan sistem tersebut.
Fase perkembangan perbankan syariah selanjutnya justru dimulai paska krisis ekonomi tahun 1997/1998. Bergugurannya bank-bank konvensional ribawi, yang disebabkan oleh momok menakutkan negative spread membuat banyak kalangan mulai melirik sistem bagi hasil. Sejarah kelam perbankan konvensional di negri ini waktu itu mencatat setidaknya 63 bank telah ditutup, 14 bank di-take over, dan 9 bank lagi harus direkapitalisasi dengan biaya ratusan trilyun rupiah. Mungkin ini adalah sebagian dari bukti isyarat Al-Quran yang menyatakan secara implisit -dengan ilustrasi- bahwa sistem riba hanyalah akan menghasilkan sebuah kondisi perekonomian yang gonjang-ganjing, alias tidak stabil (QS 2 : 275 ) .
Terhitung sejak diberlakukannya UU No 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang mengatur adanya Dual Banking system, (konvensional dan syariah) maka dimulailah masa booming pertumbuhan perbankan syariah. Jika pada pertengahan tahun 1999, hanya ada 1 (satu) bank umum syariah dan 78 BPRS, maka pada awal 2005 telah mencapai sejumlah 3 bank umum syariah, 16 Unit Usaha Syariah Bank Konvensional, 355 KC/KCP, serta 88 BPRS, dengan jumlah total jaringan mencapai 443 kantor . Selain itu, pertumbuhan aset perbankan syariah meningkat pesat dari sekitar Rp 800 miliar pada akhir tahun 1999 menjadi sebesar Rp 14 trilyun pada akhir tahun 2004, dengan pertumbuhan rata-rata 70 % pertahun .
Bagaimanapun, meningkatnya angka-angka indikator perbankan syariah dari tahun ke tahun yang menandakan periode fast growing, adalah sebuah prestasi tersendiri. Meskipun, jika kita konversikan ke skala nasional saat ini, maka peran perbankan syariah dalam industri perbankan nasional bisa dibilang ‘nyaris tak terdengar’. Mengapa ? Karena dengan total aset industri perbankan nasional saat ini yang mencapai Rp 1000 trilyun lebih, berarti industri perbankan syariah hanya ‘mewarnai’ sekitar 1,1 % nya saja.
Kecilnya angka partisipasi perbankan syariah dalam industri perbankan nasional, sungguh bisa dimaklumi. Faktor yang paling utama tentu saja adalah usia yang prematur, sehingga penyebaran jaringan perbankan syariah juga cukup terbatas, jika dibanding dengan jaringan bank konvensional yang telah mencapai 160 bank umum, 2000 lebih BPR, dan ditunjang dengan puluhan ribu kantor yang tersebar di seluruh penjuru negeri. Sungguhpun demikian, para praktisi perbankan syariah masih bisa cukup optimis. Tercatat angka pertumbuhan yang meningkat dari tahun ke tahun. Sebut saja dari volume usaha perbankan syariah yang tumbuh mencapai 68,6 %, sedangkan perbankan nasional rata-rata mencapai 4,74 %. Dari sisi pertumbuhan kredit perbankan nasional hanya sebesar 18,6 %, sementara pertumbuhan pembiayaan (financing) perbankan syariah justru mencapai 72,11 %. Begitupula yang terjadi pada pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK), perbankan syariah mencatat angka 79,31 %, sementara perbankan nasional ‘hanya’ 6,77 % . Prestasi yang lain, perbankan syariah juga telah menjalankan fungsi intermediasi dengan baik, terbukti dengan munculnya angka rasio pembiayaan dan dan pihak ketiga ( financing to deposit ratio /FDR ) yang mencapai 104 % dengan rata-rata lebih dari 90 % dalam tiga tahun terakhir.
Realita kondisi perbankan syariah yang prospektif bukan berarti tanpa kendala. Justru sebaliknya, sekian waktu beroperasi telah banyak membuktikan beberapa permasalahan dan kendala yang melingkupi kinerja perbankan syariah. Tahun 2006 ini diharapkan akan menjadi fase baru bagi perkembangan perbankan syariah di Indonesia. Apalagi setelah terbitnya Fatwa MUI tentang haramnya bunga bank (akhir 2004), kemudian juga rencana pengesahan UU Perbankan Syariah oleh DPR pada tahun ini, maka bisa dipastikan, hari-hari mendatang dunia perbankan syariah di Indonesia akan semakin dipenuhi oleh impian-impian yang produktif dan menjanjikan.
Bank Syariah, Pemerintah, BI & DPR ; Peluang & Kendala
Dalam upaya pengembangan perbankan syariah, pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia (BI) telah melakukan berbagai langkah nyata. Empat hal diantaranya ; Pertama, membentuk Komite Pengarah, Komite Ahli, dan Komite Kerja Pengembangan Perbankan Syariah. Kedua, melakukan inventarisasi perangkat ketentuan yang ada, serta menyusun ketentuan yang lebih lengkap dan dibutuhkan. Setidaknya, hingga akhir 2004 telah ada 17 regulasi tentang perbankan syariah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia . Ketiga, membantu pelaksanaan kegiatan pendidikan dan pelatihan SDM, melalui pelatihan, workshop, dan seminar-seminar. Serta Keempat, melaksanakan kegiatan sosialisasi perbankan syariah, diantaranya dengan penyusunan buku panduan dan sillaturrahmi dengan para ulama, bankir, dan usahawan muslim di daerah-daerah .
Bentuk perhatian BI terhadap perbankan syariah dari waktu ke waktu juga terus meningkat, jika dulu urusan perbankan syariah hanya ditangani oleh sebuah tim, maka kini telah ada sebuah Direktorat khusus yang mengurusi masalah tersebut . Meskipun demikian, masih ada beberapa kebijakan BI terhadap perbankan syariah yang dianggap sebagai sebuah bentuk kesenjangan dalam perlakuan. Misalnya yang terkini, usulan dari kalangan perbankan syariah agar di Bank Indonesia (BI) memiliki deputi khusus syariah, masih dianggap belum perlu oleh Gubernur BI, Burhanuddin Abdullah. Hal lainnya, berkaitan dengan rencana konsolidasi dan penguatan industri perbankan di Indonesia, yang tampaknya belum mencakup perbankan syariah. Isu merger dan akuisi baru menyentuh bank BUMN dan bank swasta. Kemudian, masalah regulasi BI yang dianggap sebagian kalangan praktisi ‘menganaktirikan’ perbankan syariah dalam usaha pengembangan jaringannya.
Sebenarnya, sebagian masalah-masalah tersebut bisa dimaklumi, mengingat perbankan syariah jika diukur dengan skala industri perbankan nasional memang masih teramat kecil. Namun sebaliknya, pemerintah juga perlu belajar dari sejarah krisis ekonomi 1998, dimana pemerintah melalui BLBI ( Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) – yang pada akhirnya adalah uang rakyat – mengucurkan setidaknya Rp 300 trilyun (versi pemerintah) atau Rp 500-600 trilyun (versi pengamat) untuk menutupi kebutuhan likuiditas bank-bank konvensional. Pelajaran terbaru di akhir tahun 2004, pemerintah harus mengeluarkan setidaknya 300 miliar dalam kasus beku operasi Bank Global pada 13 Desember 2004, mengingat aset bank tersebut hanya Rp 745 miliar, sementara dana penjaminan nasabah mencapai hampir Rp 1 trilyun . Dengan semua pelajaran ini, apakah belum saatnya bagi pemerintah untuk lebih intensif mengembangkan perbankan syariah melalui semua aspeknya dibanding bank konvensional ?
Selain Bank Indonesia (BI), unsur pemerintah yang lainnya, seperti jajaran kabinet, juga mulai terlihat melirik potensi industri perbankan syariah. Meski saat ini memang baru tercatat tiga mentri, masing-masing : Meneg BUMN Sugiharto, Mentri Pertanian Anton Apriyanto, dan Menpera Yusuf Asyari yang dengan tegas menyatakan siap bermitra dengan perbankan syariah dalam menjalankan proyek-proyeknya. Langkah riil yang cukup menggembirakan adalah ditempatkannya praktisi ekonomi syariah, Iwan Pontjowinoto sebagai direktur utama PT. Jamsostek, meski sebelumnya sempat ditentang oleh kalangan serikat pekerja . Peluang rintisan yang telah terbuka ini, semestinya bisa terus dikembangkan pada departemen-departemen lainnya untuk bermitra dengan industri perbankan syariah. Di negara lain, pembangunan infrastruktur semacam bandara, jalan, dan bangunan-bangunan pemerintah yang melibatkan bank syariah, bukan hal yang baru .Bahkan di negri jiran kita, Malaysia, setiap proyek pembangunan dijatahkan 30 persen investasinya dibiayai dengan pola syariah .
Hal lain yang ditunggu-tunggu kalangan perbankan syariah dari pemerintah saat ini, antara lain : Pertama, pemerintah mempunyai bank syariah sendiri, dengan mengkonversi bank BUMN menjadi syariah , dan kedua, pemerintah berani dan tidak ragu-ragu lagi dalam menerbitkan obligasi negara dengan prinsip syariah . Adapun dari kalangan DPR, khususnya mereka yang terlibat dalam Komisi XI, kalangan praktisi perbankan syariah sedang menunggu-nunggu pembahasan dan pengesahan RUU Perbankan Syariah yang terpisah dari perbankan konvensional. Komisi XI DPR sendiri menegaskan, kehadiran UU Perbankan Syariah sudah mendesak sebab pertumbuhan industri ini cukup tinggi. Namun permasalahan apakah undang-undang tersebut akan dibahas terpisah atau disisipkan dalam revisi UU Perbankan, nampaknya masih belum terjawab.
Bank Syariah, Ulama, Nasabah dan Masyarakat Umum : Peluang & Kendala
Kehadiran industri perbankan syariah di Indonesia, diakui atau tidak, murni lahir dari rahim para ulama. Kerisauan, gagasan dan inisiatif para ulama yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi benih awal tumbuhnya bank syariah. Wacana awal pendirian BMI – bank syariah pertama di Indonesia- sendiri berasal dari lokakarya yang diselenggarakan MUI pada 18-20 Agustus 1990 tentang “ Bunga Bank dan Perbankan “. Selanjutnya, wacana ini dipertegas lagi dalam Munas VI MUI pada 22-25 Agustus 1990 yang mengamanatkan untuk memulai langkah mendirikan bank Islam .
Suatu hal yang patut disyukuri pada masa-masa berikutnya, adalah peran ulama pakar syariah yang demikian aktif mendukung sosialisasi produk-produk perbankan syariah di kalangan masyarakat. Selain sosialisasi, para ulama juga ikut terjun langsung bergabung dalam DSN ( Dewan Syariah Nasional ) dan DPS ( Dewan Pengawas Syariah) untuk menjaga dan mengawasi operasional bank sehari-hari agar selalu sesuai dengan ketentuan syariah.
Peluang cukup besar yang dimiliki industri perbankan syariah saat ini adalah kecintaan dan kepedulian para ulama dengan bank syariah. Puncak dari kecintaan dan kepedulian ini adalah dengan keluarnya fatwa MUI pada 16 Desember 2004 tentang keharaman bunga bank. Berbagai macam fenomena yang muncul paska fatwa tersebut antara lain ; pertama, berbagai macam reaksi yang muncul dari ulama-ulama yang berlainan persepsi , dan kedua, tidak terbuktinya kekhawatiran akan terjadinya rush besar-besaran dari bank konvensional ke syariah, ataupun ketiga, ‘sempatnya’ perbankan syariah mengalami over likuiditas sehingga penitipan dana di Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) mencapai peningkatan yang signifikan periode Januari hingga April 2004 . Terlepas dari semua itu, bagaimanapun, fatwa tersebut – yang oleh sebagian praktisi dinilai agak terlambat – akan mempunyai pengaruh yang cukup signifikan bagi perkembangan industri perbankan syariah di Indonesia pada masa-masa selanjutnya.
Sebaliknya, kendala yang dimungkinkan muncul adalah pada saat pihak praktisi sendiri mulai meninggalkan prinsip-prinsip kepatuhan syariah baik dalam operasional kerja dan transaksi, maupun perilaku sehari-hari. Pada saat itu, para ulama akan menarik kepercayaan dan dukungannya terhadap bank syariah, dan pada saat yang sama, masyarakat umum akan berpikir dua kali untuk berinteraksi dengan bank syariah. Wall iyyaadzh billah.
Kendala klasik lain yang selalu ada, adalah masalah regenerasi dan kaderisasi ulama yang mempunyai kompetensi dalam bidang perbankan islam. Minimnya jumlah ulama pakar perbankan syariah saat ini bisa dilihat dengan adanya beberapa fenomena tumpang tindihnya amanah di DPS dan DSN saat ini . Tidak ada solusi lain masalah ini kecuali menggalakkan spirit pembelajaran ekonomi islam atau fiqh mua’malah di berbagai bidang atau jenis pendidikan, dari mulai pondok pesantren sampai perguruan tinggi, tentu saja dengan pengetahuan aplikasi operasional perbankan syariah secara lebih komprehensif.
Sementara itu, masyarakat umum yang merupakan pasaran potensial perbankan syariah juga tidak lepas dari kendala. Peluang industri perbankan syariah di negeri dengan populasi muslim terbesar di dunia saat ini memang tidak diragukan lagi. Hasil penelitian Karim Bussiness Consulting menyatakan, potensi pasar loyalis syariah sekitar Rp 10 trilyun, pasar loyalis konvensional berkisar Rp 200-an trilyun, sementara potensi pasar mengambang (floating market) diperkirakan mencapai Rp 720 trilyun . Pasar loyalis syariah lambat laun akan bergabung sebagai investor pada industri perbankan syariah. Hal ini bergantung pada sosialisasi produk dan keluasan jaringan perbankan syariah. Namun angka Rp 10 trilyun yang dimiliki pasar loyalis syariah tentu belum cukup untuk mengembangkan industri perbankan syariah secara kompetitif.
Pada potensi pasar mengambang yang rasional, seseorang akan menanamkan investasinya setelah memperbandingkan besarnya benefit atau return antara bank syariah dan konvensional. Pasar dengan ciri profit oriented ini cenderung untuk tidak setia dalam berinvestasi. Maka yang selayaknya dilakukan oleh perbankan syariah dalam menghadapi tipe pasaran mengambang, ada dua hal : pertama, terus menjaga tingkat kompetitif return bagi hasil bank syariah dengan tingkat bunga bank konvensional, dengan peningkatan rasio pembiayaan dan dana pihak ketiga ( financing to deposit ratio/FDR) dan minimalisasi pembiayaan tidak lancar ( Non performing financing /NPF). Kedua, secara aktif bersama para ulama secara khusus dan intensif menggalakkan kegiatan dakwah, sehingga dengan sendirinya pasar mengambang akan bergabung dalam pasar loyalis syariah. Sesuai dengan karakter dakwah, maka langkah kedua ini tentu saja bercirikan progam jangka panjang. Karena itu, setiap praktisi perbankan syariah, pada saat yang sama dia adalah seorang da’i.
Sebagai tambahan, angka indikator pembiayaan tidak lancar ( NPF) pada akhir tahun 2004 adalah sebesar 2,8 %. Ini berarti kendala yang muncul dari sisi kemampuan dan kredibilitas nasabah peminjam dalam memenuhi komitmennya pada bank syariah, masih terbilang relatif kecil. Sungguhpun demikian, fatwa DSN-MUI terbaru tentang potongan utang (discount) pembiayaan murabahah, penjadwalan ulang ( rescheduling) pembiayaan murabahah, dan pembuatan akad baru (reconditioning) pembiayaan murobahah, bisa dipandang sebagai langkah yang cukup preventif sekaligus solutif untuk menekan angka NPF .
Masalah klasik yang ada pada masyarakat umum kaitannya dengan perbankan syariah adalah kurangnya sosialisasi dan pemahaman yang cukup tentang produk-produk perbankan syariah. Mungkin agak ekstrim jika sampai dikatakan ‘ bank syariah ada pada suatu lembah, dan masyarakat berada pada lembah yang lain’ atau mungkin diibaratkan ‘bagai katak dalam tempurung’.Namun jika kita melihat kembali masyarakat kita secara lebih objektif dan dalam skala yang lebih luas, perumpamaan-perumpamaan di atas bisa jadi benar.
Bank Syariah dan SDI internal : Permasalahan inti
Perkembangan pesat industri perbankan syariah ternyata tidak diikuti dengan peningkatan kualitas Sumber Daya Insani (SDI) bank syariah. Kelemahan pada aspek internal ini telah diakui dan disadari oleh kalangan praktisi, namun yang paling intens menyuarakan hal ini adalah kalangan pengamat perbankan syariah. Satu hal yang selalu mendapat perhatian adalah dampak negatif SDM perbankan konvensional dalam pengelolaan perbankan syariah . Sebenarnya ini lebih tepat jika disebut ‘spirit’ konvensionalnya. Karena meski berlatar belakang perbankan konvensional, jika mereka segera berbenah diri dengan mempelajari segala sesuatu mengenai nilai-nilai islam, bank syariah, serta berupaya keras untuk mengaplikasikannya, maka dampak negatif tersebut bisa dicegah.
Akses negatif yang disebabkan ‘spirit’ konvensional pada SDI perbankan syariah bisa berakibat pada dua hal besar ; Pertama, dari sisi etika dan kepribadian SDI itu sendiri. Mereka yang mempunyai paradigma konvensional, tentu kurang memperhatikan masalah penjagaan nilai-nilai islam sehari-hari. Kasus yang terjadi, ada bank syariah yang tidak mewajibkan karyawan wanitanya (muslimah) untuk berbusana muslimah yang menutup aurat. Begitu pula ada seorang pimpinan bank syariah yang dengan tega memarahi anak buahnya di depan orang banyak, hal ini tentu saja bertentangan dengan akhlak islam . Kasus lain yang mungkin muncul adalah gaya hidup mewah para bankir syariah.
Sementara dampak negatif yang kedua, adalah pelanggaran kepatuhan syariah dalam kebijakan operasional dan transaksi-transaksi yang dilakukan bank syariah. Bentuknya bisa berupa penghitungan marjin atau mark up murabahah yang cenderung menjadikan tingkat suku bunga bank konvensional sebagai benchmark . Bahkan ada pula SDI bank syariah yang dalam mensosialisasikan produk mudharabah pada masyarakat, langsung mengatakan bahwa margin atau return- nya ekuivalen dengan 10 %, tanpa menyebut asal-usul dan mekanisme kerjanya .Pada tahapan yang kronis, akan muncul fenomena negatif dalam kinerja bank syariah, misalnya ; manipulasi informasi pada DPS, hadiah dalam rangka pencairan pembiayaan, merubah akad secara sepihak, atau bahkan memberikan pelayanan yang rendah mutunya . Semua dampak ini tentu akan merusak reputasi perbankan syariah pada kalangan awam. Hasil penelitian BI sendiri pernah menunjukkan bahwa 15% responden menilai bank syariah tidak ada bedanya dengan bank konvensional, “hanya beda bungkusnya.”
Memang, menkonversikan moral atau spirit konvensional menjadi spirit syariah tidak secepat mengkonversi bank konvensional menjadi bank syariah. Hal ini tentu membutuhkan waktu yang lama dan pergulatan batin. . Pada jangka 5 sampai 10 tahun ke depan, para mahasiswa yang kini tengah berkutat dengan perkuliahan perbankan syariah, baik di dalam maupun di luar negri , diharapkan siap all out untuk mengusung dan menghidupkan spirit syariah dalam dunia perbankan syariah nantinya.
Beberapa Permasalahan Lain
Selain permasalahan SDI internal di atas, di akhir tulisan ini penulis ingin menyoroti keberadaan dua fenomena unik yang sesungguhnya bisa disebut peluang bagi pengembangan perbankan syariah, namun pada saat yang sama juga bisa menjadi hambatan.
Fenomena unik yang pertama adalah ; mulai maraknya bank-bank asing konvensional yang membuka Unit Usaha Syariah (UUS) di Indonesia. Tercatat Hongkong Shanghai Banking Corporations (HSBC) berpusat di London, adalah pemain asing pertama yang membuka UUS di Indonesia pada Oktober 2003 . Langkah HSBC ini kemudian siap diikuti oleh Citibank dan Standard Chartered yang sudah mendatangi BI sebagai langkah permulaan . Sebenarnya ini bukan hal yang baru, di luar sana raksasa-raksasa perbankan barat telah lama menggarap pasar syariah . Total aset perbankan syariah dunia yang mencapai kisaran 200-500 milliar dolar AS, ditambah dengan angka pertumbuhan sekitar 10-15% per tahun cukup membuat mereka tertarik untuk ikut terjun langsung dalam bisnis ini.
Banyak pakar perbankan syariah melihat kehadiran bank asing dalam perbankan syariah bukan sebagai masalah, namun justru menguntungkan perbankan syariah di Indonesia. Tak pelak pakar dan pengamat ekonomi syariah, M. Syafii Antonio, menyatakan bahwa kehadiran bank asing dalam pasaran syariah bukan sebuah ancaman, serta tidak akan mempengaruhi perkembangan bank syariah lokal . Pengamat yang lain seperti Direktur Karim Bussines Consulting (KBC), Adiwarman Karim dan Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), Arief Mufti juga sepakat bahwa masuknya bank asing akan ikut mendorong pertumbuhan sektor riil sebagaimana telah berlangsung pada pola pembiayaan syariah .
Lalu mengapa unik ? Benar, bahwa dalam aturan fiqh muamalah memang tidak ada larangan bagi kalangan asing –yang notabene non muslim- untuk menjadi nasabah, pemilik saham atau bahkan pengelola bank syariah .Akan tetapi, dalam hal masuknya bank asing dalam industri perbankan syariah nasional, ada dua harga psikologis bertentangan yang harus sama-sama dibayar.
Pada satu sisi hal itu dapat mendukung sosialisasi dan image perbankan syariah, sekaligus membuktikan bahwa sistem keuangan islam (islamic financial system) adalah produk yang layak jual dan mempunyai benefit. Namun pada sisi yang lain, adalah sebuah ironi ditengah bangkitnya perbankan syariah di indonesia, setelah melalui kerja keras pengembangan dan sosialisasi para perintisnya bertahun-tahun, tiba-tiba saja muncul pemain-pemain asing untuk ikut memanen ‘benih yang mulai tumbuh’itu. Pemain asing yang benar-benar profit oriented, tanpa ada unsur ideologis untuk melaksanakan sistem islam, sebagai manifesto ketundukan pada aturan-aturan Allah di muka bumi ini. Lalu apa yang terjadi jika kemudian pemain asing tersebut yang didukung dengan modal yang kuat serta jaringan yang luas, tampil menjadi pemenang ? Menyingkirkan bank-bank syariah lokal yang masih terseok-seok dengan kendala SDI internal yang lemah ?. Sungguh ini bukan wacana inferior, akan tetapi sebuah isyarat awal bahwa ‘peperangan’ sesungguhnya antara bank asing dengan bank syariah lokal, adalah dalam kompetisi menarik dana Rp 720 trilyun dari pasar mengambang (floating market), bukan pasaran loyalis syariah ! Memang tidak berlebihan saat Kelvin Miranda, fund Manager dari Asian Asset Management di Kualalumpur, menyatakan “Semua pemain dari industri perbankan, pasti menginginkan sepotong kue yang manis dari populasi muslim terbesar di dunia ini ”!
Kemudian fenomena kedua yang tidak kalah unik adalah ; dominasi pembiayaan murobahah (deffered payment sale) dalam perbankan syariah atas pembiayaan (financing) lainnya. Laporan perkembangan Perbankan Syariah tahun 2004 yang dikeluarkan BI menunjukkan portfolio pembiayaan murobahah mencapai sekitar 66,3 %. Sementara pada saat yang sama, pembiayaan mudharabah dan musyarokah hanya berkisar pada angka 17,4 % . Kondisi seperti ini sebenarnya bukan hanya ada di Indonesia saja, bahkan bank-bank Islam papan atas dunia, seperti Bahrain Islamic Bank, Faisal Islamic Bank, Dubai Islamic Bank, Bank Islam Malaysia, dan Kuwait Finance House, juga memiliki kecenderungan menjadikan skema murobahah sebagai skema pembiayaan yang utama .
Popularitas murobahah yang menjadi pembiayaan utama bank syariah saat ini disebabkan banyak hal antara lain ; Pertama, dari sisi bank syariah ; investasi jangka pendek yang cukup memudahkan, benefit yang berasal dari mark up bisa ditentukan dan dipastikan ; serta menjauhi ketidakpastian dan minimalisasi resiko yang ada pada sistem bagi hasil. Kedua, dari sisi nasabah ; murabahah tidak memungkinkan bank-bank syari’ah untuk mencampuri manajemen bisnis. Lain ceritanya dengan pembiayaan mudharabah (Trust financing) yang terkadang pihak bank memaksakan untuk menempatkan satu wakilnya pada jajaran manajemen perusahaan, untuk melakukan pengawasan internal.
Tak pelak, dominasi murobahah ini menuai kritikan yang cukup signifikan dari para pengamat perbankan syariah. Sisi yang pertama menuai kritik adalah ; dominasi murobahah itu sendiri , yang dikatakan menjauhi esensi ruh perbankan syariah, karena sistem bagi hasil (dalam musyarokah dan mudhoroba), merupakan keunggulan sekaligus pembeda antara bank syariah dengan bank konvensional . Efek lanjutannya, dengan minimnya pembiayaan mudhorobah dan musyarokah, dapat mengakibatkan pengembangan sektor riil juga terhambat . Sisi yang kedua yang dikritisi adalah ; penentuan margin murobahah dengan menggunakan benchmark perbankan konvensional, bahkan kadang di atasnya, yang dinilai bisa merusak reputasi perbankan syariah . Sehingga kalangan awam ada yang menilai bahwa bank syari’ah mengambil keuntungan lebih besar dibandingkan dengan bank konvensional .
Sebenarnya, kalangan praktisi juga tidak salah ketika menjalankan prinsip kehati-hatian dalam mengeluarkan pembiayaan mudhorobah yang cukup beresiko, karena dana adalah amanat dari investor. Sementara pada saat yang sama, para nasabah yang telah sukses juga tidak salah jika lebih memilih akad murabahah, karena dipandang lebih efisien dan tidak mengikat.
Penutup : Impian hari ini, kenyataan esok hari
Betatapun rumitnya permasalahan dan kendala yang dihadapi, kalangan praktisi perbankan syariah tetap optimis dengan masa depan industri perbankan syariah di negri ini. Bahkan BI memproyeksikan pada tahun 2011 aset perbankan syariah diperkirakan mencapai 171,35 Trilyun ( 9,10 % dari total industri perbankan nasional). Sementara Presdir Kareem Bussines Consulting ( KBC) Adiwarman Karim, berani memproyeksikan lebih dari itu. Ia memperkirakan aset perbankan syariah di Indonesia pada 2011 akan berada ada kisaran 300-360 trilyun ( 16,7 % dari pangsa pasar indutri perbankan nasional) . Pada saat itulah, diperkirakan peran industri perbankan syariah dalam menata perekonomian nasional, akan terasa lebih signifikan.
Akhirnya, genderang jihad perbankan Islam di negri ini telah ditabuh. Target dan proyeksi telah ditentukan. Peluang dan tantangan sama-sama telah disadari. Tidak ada hari-hari setelah ini kecuali harus dipenuhi optimalisasi usaha dan pembenahan aspek internal-eksternal. Meminjam istilah Imam Hasan Al-Bana ; Impian hari ini, harus menjadi kenyataan di esok hari. Sehingga, pada saat pertolongan Allah telah terlihat, maka tidak ada lagi selain tasbih dan istighfar.( QS 110 :3 ). Wallahu a’lam bisshowab.
Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya dia adalah Maha Penerima taubat.
i Artikel, diterbitkan dalam Rubrik Kajian Utama Majalah El-Nilein, Media Komunikasi Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Sudan, bulan Juli 2006
ii Alumnus S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Internasional Afrika, Khartoum Sudan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar