A. PENGERTIAN IKHTILAF
Ikhtilaf adalah lawan dari ittifaq / kesepakatan. Dalam kamus Lisanul Arab : Ikhtalafa al-amr in lam yattafiqa – sesuatu disebut ikhtilaf ketika belum bisa bersatu/bersepakat. Setiap yang tidak sama bisa juga disebut dengan ikhtilaf (perbedaan). Sedangkan khilaf mempunyai makna lain, yaitu : berlawanan / berkebalikan, artinya lebih khusus dari sekedar berbeda.
Ikhtilaf bagi para ulama juga dimaknai sebagaimana asal katanya, yaitu perbedaan. Sebagian ulama membedakan antara ikhtilaf dan khilaf dengan perincian yang lebih khusus.
B. HAKEKAT IKHTILAF Sebuah perbedaan, apapun bentuknya ; dari perbedaan warna kulit, bahasa, hingga perbedaan aqidah atau keyakinan sekalipun, semua itu adalah sunnah kauniyah yang telah ditakdirkan oleh Allah SWT atas makhluknya.
Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman :
"Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. (QS Huud 118-119)
Namun, perbedaan sebagai sebuah sunnah kauniyah bukan berarti kita tidak diperintahkan untuk berusaha menghindarinya. Ini sebagaimana ada pada kekufuran dan maksiat, yang tidak akan menimpa seseorang kecuali atas takdir Allah SWT. Meski demikian kita semua diperintahkan untuk menghindarinya, karena pada dua hal itu tetap saja mengandung unsur kehendak (irodah) dan pilihan manusia (al-ikhtiyar). Bahkan secara umum, para ulama menyatakan bahwa manusia wajib berusaha menghindari sunnah kauniyah yang bersifat buruk (seperti maksiat atau kekufuran).
C. PEMBAGIAN IKHTILAF
Al-Ikhtilaf terbagi menjadi dua, yaitu terpuji (mahmud) dan tercela. (madzmum). Ikhtilaf disebut terpuji jika merupakan hasil ijtihad yang berlandaskan niat mencari kebenaran dan memenuhi syarat dan adabnya, bahkan meskipun hasil ijtihad tersebut keliru. Dari Amr bin Ash Rasulullah SAW bersabda :
" Jika seorang hakim menghukumi (suatu urusan) kemudian dia berijtihad dan benar maka baginya dua pahala, dan jika ia menghukumi lalu berijtihadi kemudian salah, maka baginya satu pahala " (HR Bukhori dan Muslim)
Ikhtilaf yang terpuji ini sebagaimana perbedaan yang ada di antara para shahabat dalam masalah fiqh yang cabang. Contoh : hak waris antara kakek dan saudara, jatuhnya talak tiga dalam satu majlis, beberapa masalah riba, dst. Begitu pula perbedaan yang ada di antara imam madzhab yang sangat banyak kita jumpai dalam kitab fikih. Maka perbedaan yang terpuji ini justru merupakan bentuk rahmat dan kelapangan bagi umat manusia.
Adapun bentuk ikhtilaf yang tercela, adalah hasil ijtihad yang keliru karena bukan berlandaskan pada kebenaran, tetapi permusuhan, nafsu, fanatisme dan sikap tercela lainnya. Maka kemudian mereka berusaha menafsirkan, mentakwilkan hal-hal yang sebenarnya sudah final. Atau bahkan membuat dalil-dalil baru palsu untuk menguatkan pendapatnya. Ikhtilaf dalam bentuk yang tercela adalah sebagaimana ikhtilaf yang muncul dari faham-faham tertentu seperti : Syiakh, khowariz, mu'tazilah dan sebagainya. Inilah bentuk ikhtilaf yang diisyaratkan dalam sebuah hadits dari Anas bin Malik, Rasulullah SAW bersabda :
" dan sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi 72 golongan, semuanya di neraka kecuali satu golongan saja yaitu al-jamaah " ( HR Ibnu Majah)
D. SEBAB –SEBAB IKHTILAF YANG TERCELA
Ikhtilaf yang tercela disebabkan oleh banyak hal, antara lain:
1. Al-Baghi ( Pembangkangan)
Ini adalah sebab paling banyak dari ikhtilaf yang tercela, dimana sejarah islam banyak mencatat perbedaan-perbedaan yang berasal dari pembangkangan, dan pembelaan kepentingannya. Seperti : Khowarij, Syiah Rofidhoh dan seterusnya.
2. Al-Ghurur Bi an-Nafsi ( Tertipu oleh dirinya sendiri)
Adalah merasa takjub dengan pendapatnya sendiri, merasa sombong dan meremehkan pendapat orang lain. Maka ia tetap pada pendapatnya sendiri meskipun jelas keliru, tanpa mau mendengarkan pendapat dan pertimbangan dari pihak lain.
3. Berburuk sangka pada yang lain (suudzhan bil akhorin )
Yaitu melihat kepada yang lain dengan cara pandang negatif, menuduh pemahaman orang lain cacat, amal-amal orang lain salah, tujuan-tujuan orang lain adalah buruk. Maka mereka ini senantiasa menuduh dan menjelek-jelekkan orang lain, baik dengan perkataan dan juga dengan perbuatan.
4. Suka tebar pesona dan berdebat ( Hubbu adzdzuhur wal jidal)
Yang senantiasa menjadi sebab sifat ini adalah dorongan hawa nafsu semata. Maka ia berbeda pendapat hanya karena menginginkan popularitas, pengakuan dan penghargaan dari yang lainnya. Begitu pula mereka berbeda pendapat karena memang menyukai perdebatan panjang, pada hal-hal yang semestinya tidak prioritas.
5. Fanatik dengan pendapat seseorang atau madzhab tertentu
Ini ada sejak jaman dulu hingga kini. Bahkan hingga mengorbankan nyawa atau darah sekalipun. Ibnu Taimiyah mengatakan : " Barang siapa yang bertaashob kepada salah satu dari para imam madzhab tanpa yang lainnya, maka ia bagaikan bertaashob pada salah seorang sahabat tanpa yang lainnya". Contoh dalam masalah ini seperti Syiah dengan fanatisme terhadap para imamnya.
6. Faktor-faktor dari luar
Para musuh-musuh Islam dari Yahudi dan Nasrani sangat mengetahui persis bahwa kekuatan umat Islam adalah pada persatuannya. Maka langkah pertama yang ia ambil dalam rangka menguasai negri muslim adalah dengan memecah belah kaum muslimin di daerah tersebut. Maka merekapun mempelajari hal-hal dalam ajaran Islam yang bisa djadikan sebab perpecahan, kemudian menambah-nambahi, menghias, memperbesar dan memperuncing perbedaan yang semestinya sederhana dan wajar.
D. SEBAB PERBEDAAN DALAM FIKH
Perbedaan dalam fikh yang cabang termasuk dalam perbedaan yang terpuji, dan hal tersebut disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya sebagai berikut :
1. Perbedaan pada kecenderungan dan tabiat manusia, serta tingkat pemahaman akal yang berbeda.
Ibnul Qayyim mengatakan : " terjadinya perbedaan diantara manusia adalah hal yang sangat pantas dan harus terjadi, karena mereka juga berbeda keinginan, pemahaman dan kekuatan logikanya ". Contoh riilnya apa yang terjadi pada Sahabat Umar ra dan Abu Bakar pada kebijakan tawanan perang Badr. Umar yang cenderung keras dan tegas berpendapat untuk membunuh tawanan perang tersebut, sedang Abu Bakar yang dikenal dengan kelembutannya cenderung membolehkan tawanan tersebut dibebaskan dengan tebusan.
Termasuk dalam pembahasan ini adalah perbedaan yang mungkin terjadi karena lupa (nisyan). Dalam sejarah az-Zubair pernah diingatkan Ali pada sabda Rasulullah SAW yang berpesan untuk tidak memusuhi Ali. Maka setelah itu Zubair pun teringat dan mundur dari peperangannya melawan kubu Ali ra.
2. Perbedaan manusia dalam Ilmu dan pengetahuan
Secara umum bisa digambarkan bahwa perbedaan tersebut terjadi karena satu dari tiga hal. Pertama, perbedaan penilaian kuat lemahnya sebuah hadits. Kedua, perbedaan makna atas sebuah lafadz dalam hadits, dan yang ketiga : Perbedaan menilai apakah hadits tersebut masih berlaku atau sudah dihapus. Secara khusus perbedaan tersebut terjadi karena hal-hal seperti dibawah ini :
1. Perbedaan karena tidak sampainya dalil (nash) pada salah satu pihak.
Ada kalanya ada sebuah nash yang tidak sampai pada salah satu pihak, maka ia beramal dengan dalil lain, baik berupa dhohir ayat, hadits maupun qiyas dan istishhab. Ibnu Taimiyah mengatakan : "sebab ini adalah yang paling banyak menjadikan perbedaan diantara para salaf, karena menguasai seluruh hadits Nabi SAW itu tidak akan dapat dilakukan oleh seorangpun dari umat ini "
Contoh riilnya adalah Abu Bakar ra yang sempat menghukumi bahwa tidak ada jatah warisan bagi nenek, kemudian setelah mendapat hadits lain dari Mughiroh maka kemudian ia menetapkan jatah seperenam bagi nenek dalam masalah warisan.
2. Perbedaan karena salah satu pihak tidak mengetahui bahwa dalil yang diyakininya telah dihapus / (mansukh) dengan dalil lain. Contoh yang paling jelas dalam masalah ini adalah tentang nikah mut'ah , riba nisa' dan juga akad muzaro'ah dan sejenisnya.
3. Perbedaan dalam menilai kuat tidaknya suatu hadits. Maka yang menganggap kuat akan beramal dengannya, sementara yang menganggap lemah akan beramal dengan hadits lain yang berbeda maknanya. Contoh dalam masalah ini banyak tersebar dalam kitab fikh.
4. Perbedaan dalam memahami lafadz sebuah dalil . Sebagian besar perbedaan yang ada terjadi karena dua sebab utama. Pertama, karena memang ada lafadz yang dianggap asing (gharib) sehingga pemaknaannya pun berbeda. Seperti : Muzabanah, Muhaqolah dan Munabadzah dalam fiqh muamalat. Atau Kedua, karena satu pihak memaknai secara mutlak (hakekatnya) dan ada yang memaknainya secara kias (majazi). Contoh dalam masalah ini , kata 'al-lams' yang membatalkan wudhu. Ada yang mengartikan hakikatnya yaitu menyentuh (kulit) sudah membatalkan. Ada pula yang mengkiaskan dengan bersetubuh (jimak), sehingga menyentuh tidak membatalkan. Begitu pula dalam masalah penetapan awal ramadhan dengan rukyah. Lafadz rukyah dalam hadits ada yang diartikan melihat dengan mata kepala, dan ada yang memaknai melihat dengan banyak cara, seperti hisab.
5. Perbedaan dalam menentukan posisi / kedudukan makna sebuah dalil. Yaitu berbeda dalam masalah lafadz 'aam (umum ) atau khos (khusus), mutlak atau taqyiid (terikat) dst. Contoh seperti larangan dalam isbal (memanjangkan celana hingga melebihi mata kaki ), ada yang menyatakan mutlak : bahwa adalah haram jika celana melebihi mata kaki, dan ada pula yang mensyaratkan keharaman isbal jika diikuti dengan perasaan sombong.
6. Salah satu pihak meyakini ada dalil lain yang maknanya berlawanan dengan makna dalil yang diyakini pihak lain. Sebagaimana perbedaan yang terjadi antara Umar bin Khatab dan Aisyah ra. Umar ra meriwayatkan hadits Rasulullah SAW yang berbunyi :
" Sesungguhnya mayit itu sungguh akan disiksa dengan tangisan keluarganya terhadapnya " .
Maka Aisyah ra mengingkari pendapat tersebut, karena berlawanan dengan dalil yang lebih kuat yaitu ayat Al-Quran, dimana Allah berfirman :
" dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain."(QS al-An'am 164 )
E. ADAB DALAM IKHTILAF
1. Menyadari bahwa perbedaan dalam hal furu' adalah sesuatu yang dharurah dan rahmat.
2. Mengikuti manhaj moderat / pertengahan dan menghindari berlebih-lebihan dalam agama
3. Fokus pada hal-hal yang muhkamat (jelas) dari hal yang mutasyabihat.(masih rancu)
4. Menghindari pengingkaran dan penetapan final dalam masalah-masalah ijtihadiyah yang masih debatable.
5. Pentingnya membaca perbedaan di antara ulama
6. Penentuan dan pembatasan dalam pemahaman dan istilah.
7. Menyibukkan diri dengan agenda umat yang lebih besar dan prioritas
8. Saling bekerja sama dan membantu dalam hal-hal yang disepakati
Saling bertoleransi dan memahami dalam hal-hal yang masih berbeda dan belum bisa disepakati.
Ikhtilaf adalah lawan dari ittifaq / kesepakatan. Dalam kamus Lisanul Arab : Ikhtalafa al-amr in lam yattafiqa – sesuatu disebut ikhtilaf ketika belum bisa bersatu/bersepakat. Setiap yang tidak sama bisa juga disebut dengan ikhtilaf (perbedaan). Sedangkan khilaf mempunyai makna lain, yaitu : berlawanan / berkebalikan, artinya lebih khusus dari sekedar berbeda.
Ikhtilaf bagi para ulama juga dimaknai sebagaimana asal katanya, yaitu perbedaan. Sebagian ulama membedakan antara ikhtilaf dan khilaf dengan perincian yang lebih khusus.
B. HAKEKAT IKHTILAF Sebuah perbedaan, apapun bentuknya ; dari perbedaan warna kulit, bahasa, hingga perbedaan aqidah atau keyakinan sekalipun, semua itu adalah sunnah kauniyah yang telah ditakdirkan oleh Allah SWT atas makhluknya.
Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman :
"Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. (QS Huud 118-119)
Namun, perbedaan sebagai sebuah sunnah kauniyah bukan berarti kita tidak diperintahkan untuk berusaha menghindarinya. Ini sebagaimana ada pada kekufuran dan maksiat, yang tidak akan menimpa seseorang kecuali atas takdir Allah SWT. Meski demikian kita semua diperintahkan untuk menghindarinya, karena pada dua hal itu tetap saja mengandung unsur kehendak (irodah) dan pilihan manusia (al-ikhtiyar). Bahkan secara umum, para ulama menyatakan bahwa manusia wajib berusaha menghindari sunnah kauniyah yang bersifat buruk (seperti maksiat atau kekufuran).
C. PEMBAGIAN IKHTILAF
Al-Ikhtilaf terbagi menjadi dua, yaitu terpuji (mahmud) dan tercela. (madzmum). Ikhtilaf disebut terpuji jika merupakan hasil ijtihad yang berlandaskan niat mencari kebenaran dan memenuhi syarat dan adabnya, bahkan meskipun hasil ijtihad tersebut keliru. Dari Amr bin Ash Rasulullah SAW bersabda :
" Jika seorang hakim menghukumi (suatu urusan) kemudian dia berijtihad dan benar maka baginya dua pahala, dan jika ia menghukumi lalu berijtihadi kemudian salah, maka baginya satu pahala " (HR Bukhori dan Muslim)
Ikhtilaf yang terpuji ini sebagaimana perbedaan yang ada di antara para shahabat dalam masalah fiqh yang cabang. Contoh : hak waris antara kakek dan saudara, jatuhnya talak tiga dalam satu majlis, beberapa masalah riba, dst. Begitu pula perbedaan yang ada di antara imam madzhab yang sangat banyak kita jumpai dalam kitab fikih. Maka perbedaan yang terpuji ini justru merupakan bentuk rahmat dan kelapangan bagi umat manusia.
Adapun bentuk ikhtilaf yang tercela, adalah hasil ijtihad yang keliru karena bukan berlandaskan pada kebenaran, tetapi permusuhan, nafsu, fanatisme dan sikap tercela lainnya. Maka kemudian mereka berusaha menafsirkan, mentakwilkan hal-hal yang sebenarnya sudah final. Atau bahkan membuat dalil-dalil baru palsu untuk menguatkan pendapatnya. Ikhtilaf dalam bentuk yang tercela adalah sebagaimana ikhtilaf yang muncul dari faham-faham tertentu seperti : Syiakh, khowariz, mu'tazilah dan sebagainya. Inilah bentuk ikhtilaf yang diisyaratkan dalam sebuah hadits dari Anas bin Malik, Rasulullah SAW bersabda :
" dan sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi 72 golongan, semuanya di neraka kecuali satu golongan saja yaitu al-jamaah " ( HR Ibnu Majah)
D. SEBAB –SEBAB IKHTILAF YANG TERCELA
Ikhtilaf yang tercela disebabkan oleh banyak hal, antara lain:
1. Al-Baghi ( Pembangkangan)
Ini adalah sebab paling banyak dari ikhtilaf yang tercela, dimana sejarah islam banyak mencatat perbedaan-perbedaan yang berasal dari pembangkangan, dan pembelaan kepentingannya. Seperti : Khowarij, Syiah Rofidhoh dan seterusnya.
2. Al-Ghurur Bi an-Nafsi ( Tertipu oleh dirinya sendiri)
Adalah merasa takjub dengan pendapatnya sendiri, merasa sombong dan meremehkan pendapat orang lain. Maka ia tetap pada pendapatnya sendiri meskipun jelas keliru, tanpa mau mendengarkan pendapat dan pertimbangan dari pihak lain.
3. Berburuk sangka pada yang lain (suudzhan bil akhorin )
Yaitu melihat kepada yang lain dengan cara pandang negatif, menuduh pemahaman orang lain cacat, amal-amal orang lain salah, tujuan-tujuan orang lain adalah buruk. Maka mereka ini senantiasa menuduh dan menjelek-jelekkan orang lain, baik dengan perkataan dan juga dengan perbuatan.
4. Suka tebar pesona dan berdebat ( Hubbu adzdzuhur wal jidal)
Yang senantiasa menjadi sebab sifat ini adalah dorongan hawa nafsu semata. Maka ia berbeda pendapat hanya karena menginginkan popularitas, pengakuan dan penghargaan dari yang lainnya. Begitu pula mereka berbeda pendapat karena memang menyukai perdebatan panjang, pada hal-hal yang semestinya tidak prioritas.
5. Fanatik dengan pendapat seseorang atau madzhab tertentu
Ini ada sejak jaman dulu hingga kini. Bahkan hingga mengorbankan nyawa atau darah sekalipun. Ibnu Taimiyah mengatakan : " Barang siapa yang bertaashob kepada salah satu dari para imam madzhab tanpa yang lainnya, maka ia bagaikan bertaashob pada salah seorang sahabat tanpa yang lainnya". Contoh dalam masalah ini seperti Syiah dengan fanatisme terhadap para imamnya.
6. Faktor-faktor dari luar
Para musuh-musuh Islam dari Yahudi dan Nasrani sangat mengetahui persis bahwa kekuatan umat Islam adalah pada persatuannya. Maka langkah pertama yang ia ambil dalam rangka menguasai negri muslim adalah dengan memecah belah kaum muslimin di daerah tersebut. Maka merekapun mempelajari hal-hal dalam ajaran Islam yang bisa djadikan sebab perpecahan, kemudian menambah-nambahi, menghias, memperbesar dan memperuncing perbedaan yang semestinya sederhana dan wajar.
D. SEBAB PERBEDAAN DALAM FIKH
Perbedaan dalam fikh yang cabang termasuk dalam perbedaan yang terpuji, dan hal tersebut disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya sebagai berikut :
1. Perbedaan pada kecenderungan dan tabiat manusia, serta tingkat pemahaman akal yang berbeda.
Ibnul Qayyim mengatakan : " terjadinya perbedaan diantara manusia adalah hal yang sangat pantas dan harus terjadi, karena mereka juga berbeda keinginan, pemahaman dan kekuatan logikanya ". Contoh riilnya apa yang terjadi pada Sahabat Umar ra dan Abu Bakar pada kebijakan tawanan perang Badr. Umar yang cenderung keras dan tegas berpendapat untuk membunuh tawanan perang tersebut, sedang Abu Bakar yang dikenal dengan kelembutannya cenderung membolehkan tawanan tersebut dibebaskan dengan tebusan.
Termasuk dalam pembahasan ini adalah perbedaan yang mungkin terjadi karena lupa (nisyan). Dalam sejarah az-Zubair pernah diingatkan Ali pada sabda Rasulullah SAW yang berpesan untuk tidak memusuhi Ali. Maka setelah itu Zubair pun teringat dan mundur dari peperangannya melawan kubu Ali ra.
2. Perbedaan manusia dalam Ilmu dan pengetahuan
Secara umum bisa digambarkan bahwa perbedaan tersebut terjadi karena satu dari tiga hal. Pertama, perbedaan penilaian kuat lemahnya sebuah hadits. Kedua, perbedaan makna atas sebuah lafadz dalam hadits, dan yang ketiga : Perbedaan menilai apakah hadits tersebut masih berlaku atau sudah dihapus. Secara khusus perbedaan tersebut terjadi karena hal-hal seperti dibawah ini :
1. Perbedaan karena tidak sampainya dalil (nash) pada salah satu pihak.
Ada kalanya ada sebuah nash yang tidak sampai pada salah satu pihak, maka ia beramal dengan dalil lain, baik berupa dhohir ayat, hadits maupun qiyas dan istishhab. Ibnu Taimiyah mengatakan : "sebab ini adalah yang paling banyak menjadikan perbedaan diantara para salaf, karena menguasai seluruh hadits Nabi SAW itu tidak akan dapat dilakukan oleh seorangpun dari umat ini "
Contoh riilnya adalah Abu Bakar ra yang sempat menghukumi bahwa tidak ada jatah warisan bagi nenek, kemudian setelah mendapat hadits lain dari Mughiroh maka kemudian ia menetapkan jatah seperenam bagi nenek dalam masalah warisan.
2. Perbedaan karena salah satu pihak tidak mengetahui bahwa dalil yang diyakininya telah dihapus / (mansukh) dengan dalil lain. Contoh yang paling jelas dalam masalah ini adalah tentang nikah mut'ah , riba nisa' dan juga akad muzaro'ah dan sejenisnya.
3. Perbedaan dalam menilai kuat tidaknya suatu hadits. Maka yang menganggap kuat akan beramal dengannya, sementara yang menganggap lemah akan beramal dengan hadits lain yang berbeda maknanya. Contoh dalam masalah ini banyak tersebar dalam kitab fikh.
4. Perbedaan dalam memahami lafadz sebuah dalil . Sebagian besar perbedaan yang ada terjadi karena dua sebab utama. Pertama, karena memang ada lafadz yang dianggap asing (gharib) sehingga pemaknaannya pun berbeda. Seperti : Muzabanah, Muhaqolah dan Munabadzah dalam fiqh muamalat. Atau Kedua, karena satu pihak memaknai secara mutlak (hakekatnya) dan ada yang memaknainya secara kias (majazi). Contoh dalam masalah ini , kata 'al-lams' yang membatalkan wudhu. Ada yang mengartikan hakikatnya yaitu menyentuh (kulit) sudah membatalkan. Ada pula yang mengkiaskan dengan bersetubuh (jimak), sehingga menyentuh tidak membatalkan. Begitu pula dalam masalah penetapan awal ramadhan dengan rukyah. Lafadz rukyah dalam hadits ada yang diartikan melihat dengan mata kepala, dan ada yang memaknai melihat dengan banyak cara, seperti hisab.
5. Perbedaan dalam menentukan posisi / kedudukan makna sebuah dalil. Yaitu berbeda dalam masalah lafadz 'aam (umum ) atau khos (khusus), mutlak atau taqyiid (terikat) dst. Contoh seperti larangan dalam isbal (memanjangkan celana hingga melebihi mata kaki ), ada yang menyatakan mutlak : bahwa adalah haram jika celana melebihi mata kaki, dan ada pula yang mensyaratkan keharaman isbal jika diikuti dengan perasaan sombong.
6. Salah satu pihak meyakini ada dalil lain yang maknanya berlawanan dengan makna dalil yang diyakini pihak lain. Sebagaimana perbedaan yang terjadi antara Umar bin Khatab dan Aisyah ra. Umar ra meriwayatkan hadits Rasulullah SAW yang berbunyi :
" Sesungguhnya mayit itu sungguh akan disiksa dengan tangisan keluarganya terhadapnya " .
Maka Aisyah ra mengingkari pendapat tersebut, karena berlawanan dengan dalil yang lebih kuat yaitu ayat Al-Quran, dimana Allah berfirman :
" dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain."(QS al-An'am 164 )
E. ADAB DALAM IKHTILAF
1. Menyadari bahwa perbedaan dalam hal furu' adalah sesuatu yang dharurah dan rahmat.
2. Mengikuti manhaj moderat / pertengahan dan menghindari berlebih-lebihan dalam agama
3. Fokus pada hal-hal yang muhkamat (jelas) dari hal yang mutasyabihat.(masih rancu)
4. Menghindari pengingkaran dan penetapan final dalam masalah-masalah ijtihadiyah yang masih debatable.
5. Pentingnya membaca perbedaan di antara ulama
6. Penentuan dan pembatasan dalam pemahaman dan istilah.
7. Menyibukkan diri dengan agenda umat yang lebih besar dan prioritas
8. Saling bekerja sama dan membantu dalam hal-hal yang disepakati
Saling bertoleransi dan memahami dalam hal-hal yang masih berbeda dan belum bisa disepakati.
Aww...Ustad kasih shoutboxnya, biar bisa comeet secara cepat dan efeketif...dari Habib di www.habibns.blogspot.com
BalasHapusTerima kasih ustadz, jazakum Allah khair al-jaza'. Mdh2n tulisan ini dapat memberikan pencerahan bagi kita semua dalam menyikapi perbedaan pendapat. "menang tanpa mengalahkan".
BalasHapus