Laki-laki tidak pantas menangis. Tangisan adalah bentuk kecengengan, pekerjaan kaum perempuan dan anak-anak
Jika ada teman lelaki yang mengatakan bahwa lelaki tidak pantas menangis, maka akan saya katakan kepadanya bahwa ia sedang mengubur sejarahnya sendiri. Karena, bukankah ia terlahir sebagai bayi dengan tangisan yang meraung tanpa henti? Kemudian tiga atau bahkan empat tahun setelahnya tangisan itu masih selalu ada. Membuat sang orang tua bersedih hati atau bahkan mengelus dada menahan murka. Lalu siapa yang bisa memaksa atau menjamin bahwa bayi kecil itu– yang sekarang telah menjadi lelaki dewasa- tak akan menangis lagi ? Sejatinya air mata tidak pernah mengenal perbedaan gender, laki-laki dan perempuan sama-sama memilikinya. Hanya saja, kaum lelaki lebih membutuhkan alasan yang tepat untuk mengalirkan airmata. Bukankah demikian, wahai segenap kaum laki-laki?
Lalu, jika teman tadi masih ngotot dengan pendapatnya bahwa lelaki tetap tidak pantas menangis, maka akan saya katakan kepadanya bahwa ia telah melupakan sejarah. Terlalu banyak sejarah yang mencatat tangisan para nabi, sahabat, raja-raja, ulama, bahkan juga tangisan para panglima perang. Kisah kehidupan dan kepahlawanan mereka selain bersimbah darah juga disisipi linangan air mata. Kebanyakan mereka para lelaki yang gagah berani, tegas dan berwibawa, tetapi itu semua tidak membuat air mata mereka mengering.
Mereka tetap bisa menangis, bahkan mereka selalu punya alasan untuk menangis. Atau justru sebaliknya, tangisan-tangisan itulah lah yang merawat energi kepahlawanan mereka dan menghasilkan sebuah prestasi yang dikenang sejarah. Semoga kita tidak lupa dengan tangisan Abdullah bin Rowahah sang Panglima, jelang keberangkatannya menuju medan jihad Mu'tah. Bukan tangisan ketakutan atau kecintaan akan dunia, tetapi tangisan karena takut akan terhambat menuju surga. Maka tangisan itulah yang mengantarkannya berperang dengan berani, dan menjadi panglima yang syahid di medan laga. Sekali lagi, sejarah kita terlalu banyak merekam tangisan para pahlawan itu. Tidak ada sama sekali yang mencela tangisan itu, padahal mereka adalah kaum lelaki.
Terakhir, kepada mereka yang masih mengatakan bahwa lelaki tidak layak menangis, maka akan saya katakan bahwa : jangankan manusia yang mempunyai jiwa dan rasa, bahkan jagad semesta dan apa yang ada di dalamnya juga terkadang menangis. Jangankan 'hanya' seorang lelaki, bahkan langit 'arsy yang agung pun pernah menangis, berguncang dalam kesedihan dengan kematian seorang sahabat yang bernama Said bin Hushoin ra, sebagaimana di sebutkan dalam hadits Rasulullah SAW. Dalam keseharian juga sering kita dengar, langit tiba-tiba mendung atau bahkan hujan lebat mengguyur mengirimi pemakaman jenazah para ulama dan orang-orang sholih. Jika kembali menengok dalam sejarah kenabian, maka akan kita temukan bagaimana tongkat dari dahan pohon kurma yang dimiliki Nabi Muhammad SAW menangis bersedih. Tongkat itu bersedih setelah Rasulullah SAW mempunyai mimbar dan tak lagi menggunakannya ketika berkhutbah. Tangisannya begitu nyaring bahkan semua yang di masjid pun mendengarnya. Tongkat kayu itu tidak berhenti menangis kecuali setelah Rasulullah SAW memegangnya. Nah, jika sang 'tongkat kayu' pun bisa menangis, siapa lagi yang menyatakan bahwa kaum lelaki tidak pantas menangis ? Maka menangislah kaum lelaki, selama air mata itu masih ada, dan selama engkau mempunyai alasan yang benar untuk mengeluarkannya.
Air Mata Kenabian
Saya sering menangis tetapi saya belum pernah menceritakan apalagi menuliskan mengapa saya menangis. Karenanya, tawaran hangat dari seorang sahabat untuk menulis 'proses menangis' yang saya alami, sungguh tak layak untuk ditampik begitu saja. Maka mulailah saya mengingat-ingat kapan saja air mata ini pernah menggenang atau bahkan mengalir. Menelusuri masa lalu yang begitu indah tetapi tak akan bisa terulang lagi, Ternyata tidak mudah, saya harus berkonsentrasi. Ada beberapa peristiwa yang menyedihkan tapi tidak semuanya mengalirkan air mata. Yang terjadi malah sebaliknya, terkadang air mata saya keluar justru tidak pada tempat dan waktu yang terduga. Walhasil, begitu banyak episode menangis yang saya alami, hingga saya merasa bingung untuk memilih yang mana yang layak untuk ditulis. Apakah semua tangisan itu layak diceritakan ?
Dalam kebingungan saya membutuhkan inspirasi. Biasanya saya langsung merujuk pada kehidupan Nabi Muhammad SAW, sang inspirator yang kisahnya tak pernah usang untuk dikaji dan dihayati. Beliau juga menangis, bukan satu atau dua kali tetapi lebih dari yang kita duga. Tangisan kenabian tentu bukan tangis biasa. Berbeda dari sisi alasan, dan juga berbeda dari cara menangisnya. Tangisan Rasulullah SAW begitu elegan, sama seperti senyum dan tawa beliau. Saat tertawa maka beliau hanya mengulas senyum simpulnya, sesekali terlihat barisan giginya yang mulia. Tidak pernah ada suara terbahak-bahak, terpingkal-pingkal, apalagi tersedak-sedak nafasnya. Namun meski demikian, aura kehangatan dan ukhuwah tetap terpancar begitu dalamnya. Begitu pula ketika beliau menangis, yang ada adalah air mata yang keluar perlahan, terkadang diiringi gemuruh dalam dada beliau, yang diibaratkan bagai suara air yang mendidih.Ini terjadi khususnya ketika beliau sedang menghidupkan malam dengan sholat-sholat panjangnya. Tidak ada sahabat yang mendengarnya kecuali merasakan ketakutan, kesedihan, atau kekhusyukan yang mengharukan jiwa. Tangisan kenabian adalah qudwah bagi segenap perindu surga.
Rasulullah SAW senantiasa punya alasan untuk menangis. Bahkan terkadang sahabat pun harus bertanya mengapa beliau menangis. Sebagaimana tangisan beliau ketika si bungsu yang lucu Ibrahim meninggal. Maka para sahabat pun bertanya hingga beliau SAW menjelaskan : " Air mata mengalir dan hati bersedih, tapi kami tidak mengatakan selain yang diridhoi Tuhan kami, dan wahai Ibrahim, sungguh kami bersedih ". Ini adalah tangisan rahmat dan kasih sayang seorang ayah pada anaknya. Tidak ada yang menyangkal karena itu adalah fitrah manusia yang mulia. Bahkan beliau juga pernah menangis saat mendapati putrinya yang tercinta sedang bekerja keras menumbuk gandum dengan batu besar untuk makan keluarganya. Fatimah bunga surga itu juga mengenakan pakaian dari kulit unta yang begitu sederhana. Rasulullah SAW pun bersedih dan menangis. Sang ayah yang penuh cinta itu berucap singkat dalam tangisnya : " Wahai Fatimah, engkau mendapati pahitnya dunia untuk sebuah kenikmatan yang abadi ". Air mata kenabian pun mengalir, untuk sebuah fitrah mulia : kasih sayang seorang ayah pada anaknya.
Selain tangisan kasih sayang, beliau juga menangis karena peduli dan khawatir atas nasib umatnya sepeninggalnya. Betapa besar rasa tanggung jawab di dadanya. Beliau tidak bisa tenang, gelisah dan bahkan menangis memikirkan nasib umatnya. Suatu ketika beliau membaca ayat Al-Quran yang menukil ucapan Nabi Isa tentang kondisi umat yang sesat sepeninggalnya :
Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS Al-Maidah : 117)
Sesaat setelah membaca ayat tersebut, tiba-tiba beliau mengangkat kedua tangannya dan berdoa : " Ya Allah ..umatku.. umatku ! " lalu beliau pun menangis. Tangisan Rasul mulia itu terdengar hingga ke atas langit. Allah SWT – dan Dia Maha Mengetahui- menyuruh malaikat Jibril untuk mendatangi Rasulullah SAW dan menanyakan mengapa ia menangis. Rasul yang mulia pun menceritakan tentang kekhawatirannya akan nasib kaum muslimin sepeninggalnya. Setelah Jibril mengabarkan hal ini kepada Allah SWT, maka Allah SWT berpesan untuk menyampaikan kepada Rasulullah SAW : " Sungguh Kami akan membuatmu ridho atas nasib umatmu dan tidak akan berbuat buruk padamu ". Inilah kepedulian seorang Rasul atas umatnya. Ia menangis karena takut umatnya akan terjatuh dalam kesesatan sepeninggalnya.
Dalam beberapa kesempatan lain Rasulullah SAW juga menangis, khususnya ketika mendengarkan ayat-ayat tertentu, atau ketika membacanya dalam munajat sholat-sholat malamnya yang panjang. Rasulullah SAW sebagai laki-laki tak pernah ragu ketika memang harus menangis. Tangisan beliau senantiasa diiringi dengan alasan-alasan yang mulia ; kasih sayang pada anaknya, juga kepedulian akan nasib umatnya, serta kekhusyukan yang luar biasa saat mendengarkan ayat-ayat Al-Quran.
Air Mata Orang-orang Sholihin
Saya percaya bahwa semua tangisan Rasulullah SAW adalah menakjubkan, menambah kekaguman dan kesan mendalam pada orang-orang terdekatnya. Karenanya, tidak heran jika kemudian para sahabat –rodhiyallahu anhum- juga mempunyai kecenderungan yang sama. Sekalipun mereka terlihat gagah berani di medan perang, tetapi sesungguhnya hati mereka teramat lembut. Air mata mereka pun begitu mudah berjatuhan, khususnya saat mengingat pribadi Rasulullah SAW ataupun negeri akhirat. Sosok Abu Bakar as-shiddiq misalnya, beliau memang telah dikenal sebagai sahabat yang lembut hatinya. Aisyah, putrinya sendiri kurang mendukung saat Rasulullah SAW akan menunjuk ayahnya menjadi imam sholat. Alasannya, Abu Bakar kalau menjadi imam, maka para makmum tidak akan mendengarkan bacaannya karena tertutupi tangisannya.
Abu Bakar adalah lelaki yang lembut hatinya. Suatu ketika pada masa kekhalifahannya, beliau berkumpul dengan beberapa sahabat. Kemudian tak lama kemudian dihidangkan kepada beliau minuman berupa air yang dicampur dengan madu. Tiba-tiba beliau menangis tersedu-sedu hingga mengagetkan para sahabat di sekitarnya. Mereka pun ikut menangis bersama Abu Bakar Ash-Shiddiq. Setelah mereka berhenti menangis, ternyata khalifah yang mulia itu masih terus menangis. Hingga akhirnya mereka memberanikan diri untuk bertanya : " Wahai khalifah, apa yang membuatmu menangis ? ". Maka sang khalifah pun menyeka air matanya dan berujar lirih, " Aku mengingat kejadian saat bersama Rasulullah SAW, aku melihat beliau seperti mendorong, menolak-nolak sesuatu padahal kala itu beliau sendirian. Maka aku bertanya : Apa yang engkau tolak wahai Rasulullah ?. Beliau menjawab : Ini adalah dunia yang mewujudkan dirinya untuk menggodaku, maka aku katakan kepadanya : Menjauhlah dariku ! Maka dunia itu pergi menjauh lalu ia kembali dan mengatakan padaku," Sesungguhnya meski engkau lolos dariku, tetapi orang-orang setelahmu belum tentu akan selamat dariku! ".
Setelah tangisan Abu Bakar, maka pantaslah kiranya kita juga menengok bagaimana tangisan Umar bin Khatab. Jika disebutkan nama Umar, maka segera terlintas dalam benak kita sosok berwajah tegas dan keras bak panglima perang dihadapan pasukan musuh. Lintasan pikiran yang tidak sepenuhnya salah, tapi sebenarnya ada sisi lain dari gambaran sosok Umar bin Khatab yang jarang terungkap. Bahwasanya, pada wajah beliau yang mulia, ada dua guratan hitam di sebelah kedua matanya. Guratan hitam itu tidak lain dan tidak bukan adalah karena beliau sering menangis. Guratan itu adalah bukti nyata betapa lembut hati sang Amirul Mukminin. Beliau mudah menangis, tentu saja tangisan yang mulia dengan alasan yang juga mulia. Umar bin Khattab sering menangis ketika berdiri di atas kuburan. Air mata beliau mengalir deras hingga membasahi jenggotnya, lalu berujar lirih : " aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya kuburan adalah tempat tinggal yang paling awal di akhirat, barang siapa yang selamat darinya maka seterusnya akan lebih mudah baginya, dan barang siapa yang tidak selamat, maka setelahnya akan lebih berat ". Maka beliaupun tenggelam dalam tangisan pengingat akhiratnya.
Sebagaimana Abu Bakar ra, beliau juga pernah menangis karena kerinduan terhadap Rasulullah SAW. Suatu ketika Umar bin Khotob berdiri di hadapan Hajar Aswad, beliau mengatakan : " Seandainya bukan karena aku melihat Rasulullah SAW menciummu, sungguh aku tidak akan menciummu ", kemudian beliau menangis dengan suara bergemuruh di dalam dadanya. Kali ini adalah tangisan kerinduan pada Rasulullah yang mulia.
Di waktu yang lain, beliau mendengar seorang yang membaca ayat :
" Sesungguhnya azab Tuhanmu pasti terjadi, Tidak seorangpun dapat menolaknya " .(QS at-Thur 7-8)
maka tiba-tiba beliau berteriak dengan suara yang tinggi seolah berada dalam ketakutan yang luar biasa. Bukan hanya itu, sesaat setelahnya tubuhnya yang mulia jatuh tersungkur lalu tidak sadarkan diri. Para sahabat membawanya pulang ke rumah, kemudian Umar pun jatuh sakit selama sebulan di dalam rumahnya. Inilah gambaran kelembutan hati sang Amirul Mukminin, yang pada masa kekhalifahannya, daulah islamiyah telah menguasai lebih dari sepertiga belahan bumi ini !
Selalu Ada Alasan untuk Menangis
Sekarang saatnya bercerita, kapan saja saya menangis dan mengapa ? Sengaja sebelumnya saya memaparkan air mata orang-orang sholih, agar banyak alasan yang terkumpul mengapa seorang lelaki itu tetaplah pantas menangis. Alasan saya menangis memang belum sehebat orang-orang shalih itu, banyak diantaranya tangisan 'ecek-ecek' yang terkadang muncul tiba-tiba lalu terlupakan begitu saja. Tapi ijinkanlah saya tetap bercerita ;
Saya menangis di usia SD karena alasan yang cukup unik : takut perang. Mungkin ini muncul karena saya sering nonton Dunia dalam Berita. Bayangan saya peperangan pasti akan melelahkan, masuk keluar kampung, naik turun gunung, belum lagi berpisah dengan keluarga dan saudara tercinta. Tangisan ini sering merepotkan keluarga, hingga saya masih ingat ucapan bapak yang menenangkan, " Nak, Indonesia ini termasuk golongan negara-negara Non Blok, jadi nggak akan ikut perang ! ". Waktu itu saya belum paham apa itu Gerakan Non Blok, tapi nada suara bapak yang bijak sudah cukup untuk membuat saya berhenti menangis.
Masih di usia SD, tepatnya kelas enam saya kembali menangis. Kali ini sepulang sekolah selepas penerimaan raport cawu pertama. Sudah bisa ditebak saya menangis karena nilai saya turun. Mungkin sederhana, tapi bagi saya ini adalah kejadian luar biasa yang menyedihkan. Saya menyebutnya kegagalan mempertahankan prestasi, kegagalan menyenangkan orang tua, dan seterusnya. Nilai saya sebenarnya masih tinggi, hanya saja saya menduduki peringkat kedua di kelas. Ini terjadi setelah bertahun-tahun sejak kelas 1 hingga kelas 5 saya selalu sukses menggondol juara kelas. Menyedihkan memang, lalu saya pun menangis sepanjang perjalanan pulang. Tak peduli tatapan keheranan orang-orang yang berlalu lalang.
Setelah dua tangisan di atas, saya melewati masa remaja nyaris tanpa tangisan. Mungkin ada satu dua tapi saya benar-benar lupa kapan terjadinya dan mengapa. Yang saya ingat justru tangisan-tangisan setelahnya, ketika usia menginjak kepala dua hingga hari ini melewati seperempat abad. Saat saya lebih mengenal dunia –juga semoga- lebih mengenal akhirat. Saya juga menangis karena kematian seseorang. Kematian kakek saya yang pejuang membuat saya menangis dalam kesunyian. Bahkan saya melantunkan lagu " gugur bunga" sesaat setelah mendengar berita kematiannya. Lucu memang, tapi saya tetap terharu dan baru benar-benar bisa menghayati lagu patriotis itu.
Masih tentang kematian, saya juga menangis saat mendengar kabar syahidnya kakak ipar saya. Beliau meninggal dunia beberapa waktu setelah berjuang untuk melahirkan anak ketiganya. Berita kematian itu tepat saya dengar sedetik sebelum azan shubuh berkumandang di negeri Sudan sana. Jadilah saya menangis dengan soundtrack adzan panggilan sholat. Ditambah dengan hembusan angin musim dingin yang menembus tulang, benar-benar memilukan. Tentu saya bersedih, karena selain kehilangan juga karena tidak banyak hal yang bisa saya lakukan. Hanya doa saja yang terlantun jauh dari negeri seberang.
Selain tangisan kesedihan, adapula tangisan empati dan kekaguman. Misalnya ditengah jalan, saya melihat seorang bapak tua yang begitu tegar menyusuri jalanan, berjualan krupuk di tengah dinginnya hujan dan kegelapan malam, ditambah sepinya pembeli. Saya sama sekali tidak iba, yang justru bergemuruh dalam dada adalah perasan segan dan kagum yang luar bisa. Terkadang tiba-tiba dalam kagum saya menangis dan mengangkat tangan pertanda hormat kepadanya. Bapak tua itu tidak pantas dikasihani, dia adalah seorang pejuang yang bertanggung jawab untuk keluarganya. Mungkin saja ia terlihat bersedih dan pandangan matanya sayu, tapi saya selalu yakin dalam hatinya ada banyak asa yang menggumpal, sederet keyakinan serta tanggung jawab dan pengorbanan. Terkadang saya mencoba berbagi dengan rizki yang masih tersisa. Jika tidak, maka saya coba menyempatkan diri untuk berdoa lirih , " Ya Allah mudahkanlah urusan beliau ". Dan air mata itu pun tetap mengalir, kali ini diiringi dengan rasa lapang di dada.
Air mata yang tertahan
Sudah banyak cerita tentang air mata saya yang pernah tercurah.Namun, rasanya kurang lengkap jika saya belum bertutur tentang kisah terakhir ini. Sebuah kisah yang juga mengalirkan air mata saya. Bahkan hingga kini, air mata itu masih ada dan terus tertahan. Ia dengan mudah akan mengalir lagi jika saya teringat pada kisah mengharukan itu. Entah alasan apa yang paling tepat untuk menyebut tangisan saya ini. Mungkin tangis kerinduan, tetapi bercampur penyesalan. Hingga hari ini, tidak banyak orang disekelilingku yang mengetahui hal ini. Bahkan mungkin saja istri dan kedua orangtuaku. Biarlah catatan ini membuka apa yang selama ini tersembunyi, agar lebih banyak yang mendoakan. Agar air mata ini tak terus menggenang dan tertahan, menanti saatnya untuk tercurahkan dalam kelapangan dan kelegaan.
Kisahnya terjadi jauh di negeri seberang, sebuah tempat dimana semua muslim merindukan untuk menghadirkan jiwa dan raganya ke tempat itu. Yah.. akhirnya aku berhasil menginjakkan kakiku di tanah suci Mekkah. Tepatnya bulan Desember 2002. Rasanya seperti mimpi, sebelumnya tak pernah menyangka akan naik haji dalam usia semuda ini. Waktu itu usiaku belum mencapai 23 tahun. Mahasiswa semester kedua, belum menikah. Perjalanan darat dan laut yang melelahkan dari Sudan, membuat aku serasa tidak menginjak tanah lagi saat memasuki Arab Saudi. Dan tentu saja, puncak dari kebahagiaan itu adalah ketika mata ini beradu pandang dengan kilauan ka'bah yang suci. Aku tak kuasa menahan tangis di sela-sela doa yang kulantunkan. Hati ini menjadi kerdil dan tiba-tiba saja negri akhirat serasa terpampang di hadapan. Kesan pertama yang takkan pernah terlupakan.
Hari-hari yang khusyuk sekaligus menyenangkan aku lalui di Mekkah sembari menunggu hari-H pelaksanaan puncak ibadah haji. Kebahagiaan itu menjadi lebih genap karena di sana aku juga bertemu dengan ayahanda tercinta. Beliau juga melaksanakan haji yang pertama kali sekaligus menjalankan tugas resmi dari departemen tempat beliau bekerja. Lengkap sudah kebahagiaan ini. Kebahagiaan yang bercampur keharuan karena hampir setahun lebih kami tak bersua. Beberapa kali kemudian kami menghabiskan waktu bersama. Sayangnya, selesai pelaksanaan haji, aku seperti berlomba mengejar waktu yang terus berjalan. Apa pasal ? entah apa persisnya aku belum berhasil mengingatnya. Mungkin urusan registrasi perkuliahan yang telah melewati deadline atau bisa juga karena jadwal ujian yang sudah menganga di depan mata. Yang aku ingat hanyalah ; beberapa teman-teman tergesa untuk segera pulang ke Sudan. Belum lagi jadwal pelayaran feri penyebrangan laut merah yang tidak setiap hari ada. Maka aku segera berkemas untuk kembali pulang ke Sudan meneruskan jihad tholabul 'ilmi sebagaimana diamanahkan orangtuaku. Tanpa ba-bi-bu, beberapa hari setelah selesainya ibadah haji aku langsung melaksanakan thowaf wada', kemudian meninggalkan tanah suci Mekkah menuju pelabuhan Jeddah. Angin dingin laut merah menemaniku meninggalkan tanah suci. Kenangan akan Mekkah itu menghujam begitu dalam di hati ini.
Ayahku pulang lebih dulu bersama teman satu kloternya. Sebelum pulang aku melepasnya dengan tangisan yang mengharukan. Nafasku tersengal-sengal dan suara tangisan itu terdengar bergemuruh. Ayahku mencoba menenangkan, " sabar..sabar.. tahun depan pulang ke Indonesia yaa". Mungkin beliau mengira aku menangis karena sebuah kerinduan. Padahal waktu itu air mata itu keluar bukan karena kerinduan pada tanah air atau keluarga di kampung halaman, melainkan perasaan bahagia, lega, dan bangga melihat ayahku selesai menunaikan ibadah haji. Sebuah ibadah yang mungkin beberapa tahun sebelumnya tak pernah dibayangkan akan beliau jalani saat itu. Mengingat penghasilan beliau sebagai PNS, perlu puluhan tahun menabung atau bahkan menunggu dana pensiun untuk bisa berangkat haji. Maka dalam kebahagiaan itu aku menangis. Memang saat itu ada air mata yang tumpah, tapi itu bukanlah air mata yang masih tersisa bertahan hingga saat aku menulis ini.
Segala puji hanyalah bagi Allah, setelah meninggalkan Mekkah pada bulan Januari 2003, aku kembali berkesempatan untuk menginjakkan kaki di tanah suci pada awal 2005. Kali ini statusku telah berubah, aku telah menikah dan saat itu hampir setahun lebih istriku kutinggalkan di Indonesia bersama keluarganya. Seperti sebelumnya, hari-hari di Mekkah kulalui dengan perasaan bahagia bercampur keharuan. Sesekali aku menelpon istriku mengabarkan suasana hati dan suasana tanah suci. Tak lupa diselingi janji-janji sekaligus harapan untuk bisa naik haji bersama. Akupun menyempatkan diri sesekali mengkhususkan waktu berdoa di multazam sebagaimana pada ibadah haji sebelumnya. Menghempaskan tubuh di sisi yang mustajab itu sembari melantunkan doa-doa duniawi dan ukhrowi. Selepas thowaf biasanya mencari tempat yang nyaman di pojok-pojok masjidil Harom untuk menghabiskan malam dengan dzikir dan tilawah. Jika kantuk menyerang maka tinggal merebahkan diri, terlelap hingga datang petugas kebersihan yang meminta berpindah tempat.
Tiba waktu pelaksanaan ibadah haji, aku dan teman-teman segera menyiapkan diri. Longmarch selepas shubuh dari Minna ke Arofah kami jalani dengan bergembira. Begitu pula usai Wukuf menuju muzdalifah lalu Mina, semua berjalan lancar atas pertolongan Allah SWT Maha Pemberi Kemudahan.
Usai seluruh pelaksanaan ibadah haji, muncul kebimbangan dalam hati. Hasrat hati ingin lebih lama di Arab Saudi agar bisa meneruskan perjalanan ke tempat lainnya. Namun apa daya, waktu itu dana dan perbekalan sudah sangat terbatas. Apalagi rencana awal dari Sudan, selepas haji aku akan langsung pulang ke tanah air. Menemui istri dan keluarga setelah lebih setahun tak bersua. Maka kembali aku serasa berlomba, memesan tiket dan mengejar jadwal penerbangan pesawat Emirates Airlines yang di musim haji berubah menjadi sangat padat. Selepas thowaf wadha aku bersegera meluncur menuju bandara haji di Jeddah. Perjuangan itu belum selesai karena ternyata di Bandara banyak pesawat yang mundur jadwal take offnya. Maka jadilah 'pak haji' ini berkeliling bandara semalaman untuk memastikan kapan dan dimana pesawat itu akan meluncur. Aku mengalami kelelahan yang luar biasa. Tapi sedikit demi sedikit kelelahan itu terhapus dan berubah menjadi senyum yang mengembang. Apalagi saat pesawat benar-benar telah terbang menuju tanah air. Aku berseru dalam hati yang diliputi keharuan : Selamat tinggal tanah suci !. Lembar-lembar kenangan di tanah suci Mekkah masih tersimpan rapi dalam hati hingga hari ini.
Kisah di atas telah usai, lalu dimanakan air mata yang tertahan itu ? Manakah kejadian yang mengharukan itu ? Manakah tangisan kerinduan dan penyesalan itu ? Saya akan menjawabnya dengan sederhana dan singkat, mengapa hingga hari ini ada air mata yang masih tertahan. Silahkan cermati kembali kisah di atas ; dua kali sudah saya naik haji tetapi belum sekalipun saya menginjakkan kaki di Madinah. Belum ada sholat yang aku kerjakan di masjid Nabawi. Belum pernah aku berziarah di makam Rasulullah SAW dan dua sahabatnya yang mulia.
Mungkin tidak akan ada orang yang percaya, tapi inilah cerita sesungguhnya. Hati ini dipenuhi penyesalan yang selalu berulang ketika mendengar tentang Madinah. Aku menyimpan banyak hal tentang madinah ; dari foto-foto masjid nabawi hingga file suara adzan masjid nabawi. Sesekali aku melihat dan mendengarkannya untuk mengobati kerinduan akan Madinah. Hingga hari ini, aku masih menyimpan banyak tangisan yang tertahan untuk Madinah ; kota hijrah, kota perjuangan, kota yang aku selalu meminta kepada Allah SWT agar memberikanku kesempatan untuk mengunjungi Madinah, sebelum malaikat maut menjemput, sebelum jasad ini meregang nyawa, sebelum mata ini menutup untuk selamanya.
Ya Allah, ijinkan aku menginjakkan kakiku di negri Madinah,
Ijinkan aku mengecap 1000 derajat kemuliaan shalat di masjid Nabi-Mu
Ijinkan aku mengunjungi makam Rasul-Mu yang mulia
Ijinkan aku berdoa untuk arwah syuhada di pekuburan Baqi'
Ijinkan aku tersungkur bersujud dalam syukur pada-Mu di tanah Madinah
Agar tak ada lagi air mata yang tertahan
Agar tak ada lagi hati yang diliputi penyesalan
Agar kerinduan ini menemukan muaranya…
Pasar Kliwon, 17 Jumadil Ula 1429 H
(tiga tahun dalam kerinduan untuk Madinah)
Jika ada teman lelaki yang mengatakan bahwa lelaki tidak pantas menangis, maka akan saya katakan kepadanya bahwa ia sedang mengubur sejarahnya sendiri. Karena, bukankah ia terlahir sebagai bayi dengan tangisan yang meraung tanpa henti? Kemudian tiga atau bahkan empat tahun setelahnya tangisan itu masih selalu ada. Membuat sang orang tua bersedih hati atau bahkan mengelus dada menahan murka. Lalu siapa yang bisa memaksa atau menjamin bahwa bayi kecil itu– yang sekarang telah menjadi lelaki dewasa- tak akan menangis lagi ? Sejatinya air mata tidak pernah mengenal perbedaan gender, laki-laki dan perempuan sama-sama memilikinya. Hanya saja, kaum lelaki lebih membutuhkan alasan yang tepat untuk mengalirkan airmata. Bukankah demikian, wahai segenap kaum laki-laki?
Lalu, jika teman tadi masih ngotot dengan pendapatnya bahwa lelaki tetap tidak pantas menangis, maka akan saya katakan kepadanya bahwa ia telah melupakan sejarah. Terlalu banyak sejarah yang mencatat tangisan para nabi, sahabat, raja-raja, ulama, bahkan juga tangisan para panglima perang. Kisah kehidupan dan kepahlawanan mereka selain bersimbah darah juga disisipi linangan air mata. Kebanyakan mereka para lelaki yang gagah berani, tegas dan berwibawa, tetapi itu semua tidak membuat air mata mereka mengering.
Mereka tetap bisa menangis, bahkan mereka selalu punya alasan untuk menangis. Atau justru sebaliknya, tangisan-tangisan itulah lah yang merawat energi kepahlawanan mereka dan menghasilkan sebuah prestasi yang dikenang sejarah. Semoga kita tidak lupa dengan tangisan Abdullah bin Rowahah sang Panglima, jelang keberangkatannya menuju medan jihad Mu'tah. Bukan tangisan ketakutan atau kecintaan akan dunia, tetapi tangisan karena takut akan terhambat menuju surga. Maka tangisan itulah yang mengantarkannya berperang dengan berani, dan menjadi panglima yang syahid di medan laga. Sekali lagi, sejarah kita terlalu banyak merekam tangisan para pahlawan itu. Tidak ada sama sekali yang mencela tangisan itu, padahal mereka adalah kaum lelaki.
Terakhir, kepada mereka yang masih mengatakan bahwa lelaki tidak layak menangis, maka akan saya katakan bahwa : jangankan manusia yang mempunyai jiwa dan rasa, bahkan jagad semesta dan apa yang ada di dalamnya juga terkadang menangis. Jangankan 'hanya' seorang lelaki, bahkan langit 'arsy yang agung pun pernah menangis, berguncang dalam kesedihan dengan kematian seorang sahabat yang bernama Said bin Hushoin ra, sebagaimana di sebutkan dalam hadits Rasulullah SAW. Dalam keseharian juga sering kita dengar, langit tiba-tiba mendung atau bahkan hujan lebat mengguyur mengirimi pemakaman jenazah para ulama dan orang-orang sholih. Jika kembali menengok dalam sejarah kenabian, maka akan kita temukan bagaimana tongkat dari dahan pohon kurma yang dimiliki Nabi Muhammad SAW menangis bersedih. Tongkat itu bersedih setelah Rasulullah SAW mempunyai mimbar dan tak lagi menggunakannya ketika berkhutbah. Tangisannya begitu nyaring bahkan semua yang di masjid pun mendengarnya. Tongkat kayu itu tidak berhenti menangis kecuali setelah Rasulullah SAW memegangnya. Nah, jika sang 'tongkat kayu' pun bisa menangis, siapa lagi yang menyatakan bahwa kaum lelaki tidak pantas menangis ? Maka menangislah kaum lelaki, selama air mata itu masih ada, dan selama engkau mempunyai alasan yang benar untuk mengeluarkannya.
Air Mata Kenabian
Saya sering menangis tetapi saya belum pernah menceritakan apalagi menuliskan mengapa saya menangis. Karenanya, tawaran hangat dari seorang sahabat untuk menulis 'proses menangis' yang saya alami, sungguh tak layak untuk ditampik begitu saja. Maka mulailah saya mengingat-ingat kapan saja air mata ini pernah menggenang atau bahkan mengalir. Menelusuri masa lalu yang begitu indah tetapi tak akan bisa terulang lagi, Ternyata tidak mudah, saya harus berkonsentrasi. Ada beberapa peristiwa yang menyedihkan tapi tidak semuanya mengalirkan air mata. Yang terjadi malah sebaliknya, terkadang air mata saya keluar justru tidak pada tempat dan waktu yang terduga. Walhasil, begitu banyak episode menangis yang saya alami, hingga saya merasa bingung untuk memilih yang mana yang layak untuk ditulis. Apakah semua tangisan itu layak diceritakan ?
Dalam kebingungan saya membutuhkan inspirasi. Biasanya saya langsung merujuk pada kehidupan Nabi Muhammad SAW, sang inspirator yang kisahnya tak pernah usang untuk dikaji dan dihayati. Beliau juga menangis, bukan satu atau dua kali tetapi lebih dari yang kita duga. Tangisan kenabian tentu bukan tangis biasa. Berbeda dari sisi alasan, dan juga berbeda dari cara menangisnya. Tangisan Rasulullah SAW begitu elegan, sama seperti senyum dan tawa beliau. Saat tertawa maka beliau hanya mengulas senyum simpulnya, sesekali terlihat barisan giginya yang mulia. Tidak pernah ada suara terbahak-bahak, terpingkal-pingkal, apalagi tersedak-sedak nafasnya. Namun meski demikian, aura kehangatan dan ukhuwah tetap terpancar begitu dalamnya. Begitu pula ketika beliau menangis, yang ada adalah air mata yang keluar perlahan, terkadang diiringi gemuruh dalam dada beliau, yang diibaratkan bagai suara air yang mendidih.Ini terjadi khususnya ketika beliau sedang menghidupkan malam dengan sholat-sholat panjangnya. Tidak ada sahabat yang mendengarnya kecuali merasakan ketakutan, kesedihan, atau kekhusyukan yang mengharukan jiwa. Tangisan kenabian adalah qudwah bagi segenap perindu surga.
Rasulullah SAW senantiasa punya alasan untuk menangis. Bahkan terkadang sahabat pun harus bertanya mengapa beliau menangis. Sebagaimana tangisan beliau ketika si bungsu yang lucu Ibrahim meninggal. Maka para sahabat pun bertanya hingga beliau SAW menjelaskan : " Air mata mengalir dan hati bersedih, tapi kami tidak mengatakan selain yang diridhoi Tuhan kami, dan wahai Ibrahim, sungguh kami bersedih ". Ini adalah tangisan rahmat dan kasih sayang seorang ayah pada anaknya. Tidak ada yang menyangkal karena itu adalah fitrah manusia yang mulia. Bahkan beliau juga pernah menangis saat mendapati putrinya yang tercinta sedang bekerja keras menumbuk gandum dengan batu besar untuk makan keluarganya. Fatimah bunga surga itu juga mengenakan pakaian dari kulit unta yang begitu sederhana. Rasulullah SAW pun bersedih dan menangis. Sang ayah yang penuh cinta itu berucap singkat dalam tangisnya : " Wahai Fatimah, engkau mendapati pahitnya dunia untuk sebuah kenikmatan yang abadi ". Air mata kenabian pun mengalir, untuk sebuah fitrah mulia : kasih sayang seorang ayah pada anaknya.
Selain tangisan kasih sayang, beliau juga menangis karena peduli dan khawatir atas nasib umatnya sepeninggalnya. Betapa besar rasa tanggung jawab di dadanya. Beliau tidak bisa tenang, gelisah dan bahkan menangis memikirkan nasib umatnya. Suatu ketika beliau membaca ayat Al-Quran yang menukil ucapan Nabi Isa tentang kondisi umat yang sesat sepeninggalnya :
Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS Al-Maidah : 117)
Sesaat setelah membaca ayat tersebut, tiba-tiba beliau mengangkat kedua tangannya dan berdoa : " Ya Allah ..umatku.. umatku ! " lalu beliau pun menangis. Tangisan Rasul mulia itu terdengar hingga ke atas langit. Allah SWT – dan Dia Maha Mengetahui- menyuruh malaikat Jibril untuk mendatangi Rasulullah SAW dan menanyakan mengapa ia menangis. Rasul yang mulia pun menceritakan tentang kekhawatirannya akan nasib kaum muslimin sepeninggalnya. Setelah Jibril mengabarkan hal ini kepada Allah SWT, maka Allah SWT berpesan untuk menyampaikan kepada Rasulullah SAW : " Sungguh Kami akan membuatmu ridho atas nasib umatmu dan tidak akan berbuat buruk padamu ". Inilah kepedulian seorang Rasul atas umatnya. Ia menangis karena takut umatnya akan terjatuh dalam kesesatan sepeninggalnya.
Dalam beberapa kesempatan lain Rasulullah SAW juga menangis, khususnya ketika mendengarkan ayat-ayat tertentu, atau ketika membacanya dalam munajat sholat-sholat malamnya yang panjang. Rasulullah SAW sebagai laki-laki tak pernah ragu ketika memang harus menangis. Tangisan beliau senantiasa diiringi dengan alasan-alasan yang mulia ; kasih sayang pada anaknya, juga kepedulian akan nasib umatnya, serta kekhusyukan yang luar biasa saat mendengarkan ayat-ayat Al-Quran.
Air Mata Orang-orang Sholihin
Saya percaya bahwa semua tangisan Rasulullah SAW adalah menakjubkan, menambah kekaguman dan kesan mendalam pada orang-orang terdekatnya. Karenanya, tidak heran jika kemudian para sahabat –rodhiyallahu anhum- juga mempunyai kecenderungan yang sama. Sekalipun mereka terlihat gagah berani di medan perang, tetapi sesungguhnya hati mereka teramat lembut. Air mata mereka pun begitu mudah berjatuhan, khususnya saat mengingat pribadi Rasulullah SAW ataupun negeri akhirat. Sosok Abu Bakar as-shiddiq misalnya, beliau memang telah dikenal sebagai sahabat yang lembut hatinya. Aisyah, putrinya sendiri kurang mendukung saat Rasulullah SAW akan menunjuk ayahnya menjadi imam sholat. Alasannya, Abu Bakar kalau menjadi imam, maka para makmum tidak akan mendengarkan bacaannya karena tertutupi tangisannya.
Abu Bakar adalah lelaki yang lembut hatinya. Suatu ketika pada masa kekhalifahannya, beliau berkumpul dengan beberapa sahabat. Kemudian tak lama kemudian dihidangkan kepada beliau minuman berupa air yang dicampur dengan madu. Tiba-tiba beliau menangis tersedu-sedu hingga mengagetkan para sahabat di sekitarnya. Mereka pun ikut menangis bersama Abu Bakar Ash-Shiddiq. Setelah mereka berhenti menangis, ternyata khalifah yang mulia itu masih terus menangis. Hingga akhirnya mereka memberanikan diri untuk bertanya : " Wahai khalifah, apa yang membuatmu menangis ? ". Maka sang khalifah pun menyeka air matanya dan berujar lirih, " Aku mengingat kejadian saat bersama Rasulullah SAW, aku melihat beliau seperti mendorong, menolak-nolak sesuatu padahal kala itu beliau sendirian. Maka aku bertanya : Apa yang engkau tolak wahai Rasulullah ?. Beliau menjawab : Ini adalah dunia yang mewujudkan dirinya untuk menggodaku, maka aku katakan kepadanya : Menjauhlah dariku ! Maka dunia itu pergi menjauh lalu ia kembali dan mengatakan padaku," Sesungguhnya meski engkau lolos dariku, tetapi orang-orang setelahmu belum tentu akan selamat dariku! ".
Setelah tangisan Abu Bakar, maka pantaslah kiranya kita juga menengok bagaimana tangisan Umar bin Khatab. Jika disebutkan nama Umar, maka segera terlintas dalam benak kita sosok berwajah tegas dan keras bak panglima perang dihadapan pasukan musuh. Lintasan pikiran yang tidak sepenuhnya salah, tapi sebenarnya ada sisi lain dari gambaran sosok Umar bin Khatab yang jarang terungkap. Bahwasanya, pada wajah beliau yang mulia, ada dua guratan hitam di sebelah kedua matanya. Guratan hitam itu tidak lain dan tidak bukan adalah karena beliau sering menangis. Guratan itu adalah bukti nyata betapa lembut hati sang Amirul Mukminin. Beliau mudah menangis, tentu saja tangisan yang mulia dengan alasan yang juga mulia. Umar bin Khattab sering menangis ketika berdiri di atas kuburan. Air mata beliau mengalir deras hingga membasahi jenggotnya, lalu berujar lirih : " aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya kuburan adalah tempat tinggal yang paling awal di akhirat, barang siapa yang selamat darinya maka seterusnya akan lebih mudah baginya, dan barang siapa yang tidak selamat, maka setelahnya akan lebih berat ". Maka beliaupun tenggelam dalam tangisan pengingat akhiratnya.
Sebagaimana Abu Bakar ra, beliau juga pernah menangis karena kerinduan terhadap Rasulullah SAW. Suatu ketika Umar bin Khotob berdiri di hadapan Hajar Aswad, beliau mengatakan : " Seandainya bukan karena aku melihat Rasulullah SAW menciummu, sungguh aku tidak akan menciummu ", kemudian beliau menangis dengan suara bergemuruh di dalam dadanya. Kali ini adalah tangisan kerinduan pada Rasulullah yang mulia.
Di waktu yang lain, beliau mendengar seorang yang membaca ayat :
" Sesungguhnya azab Tuhanmu pasti terjadi, Tidak seorangpun dapat menolaknya " .(QS at-Thur 7-8)
maka tiba-tiba beliau berteriak dengan suara yang tinggi seolah berada dalam ketakutan yang luar biasa. Bukan hanya itu, sesaat setelahnya tubuhnya yang mulia jatuh tersungkur lalu tidak sadarkan diri. Para sahabat membawanya pulang ke rumah, kemudian Umar pun jatuh sakit selama sebulan di dalam rumahnya. Inilah gambaran kelembutan hati sang Amirul Mukminin, yang pada masa kekhalifahannya, daulah islamiyah telah menguasai lebih dari sepertiga belahan bumi ini !
Selalu Ada Alasan untuk Menangis
Sekarang saatnya bercerita, kapan saja saya menangis dan mengapa ? Sengaja sebelumnya saya memaparkan air mata orang-orang sholih, agar banyak alasan yang terkumpul mengapa seorang lelaki itu tetaplah pantas menangis. Alasan saya menangis memang belum sehebat orang-orang shalih itu, banyak diantaranya tangisan 'ecek-ecek' yang terkadang muncul tiba-tiba lalu terlupakan begitu saja. Tapi ijinkanlah saya tetap bercerita ;
Saya menangis di usia SD karena alasan yang cukup unik : takut perang. Mungkin ini muncul karena saya sering nonton Dunia dalam Berita. Bayangan saya peperangan pasti akan melelahkan, masuk keluar kampung, naik turun gunung, belum lagi berpisah dengan keluarga dan saudara tercinta. Tangisan ini sering merepotkan keluarga, hingga saya masih ingat ucapan bapak yang menenangkan, " Nak, Indonesia ini termasuk golongan negara-negara Non Blok, jadi nggak akan ikut perang ! ". Waktu itu saya belum paham apa itu Gerakan Non Blok, tapi nada suara bapak yang bijak sudah cukup untuk membuat saya berhenti menangis.
Masih di usia SD, tepatnya kelas enam saya kembali menangis. Kali ini sepulang sekolah selepas penerimaan raport cawu pertama. Sudah bisa ditebak saya menangis karena nilai saya turun. Mungkin sederhana, tapi bagi saya ini adalah kejadian luar biasa yang menyedihkan. Saya menyebutnya kegagalan mempertahankan prestasi, kegagalan menyenangkan orang tua, dan seterusnya. Nilai saya sebenarnya masih tinggi, hanya saja saya menduduki peringkat kedua di kelas. Ini terjadi setelah bertahun-tahun sejak kelas 1 hingga kelas 5 saya selalu sukses menggondol juara kelas. Menyedihkan memang, lalu saya pun menangis sepanjang perjalanan pulang. Tak peduli tatapan keheranan orang-orang yang berlalu lalang.
Setelah dua tangisan di atas, saya melewati masa remaja nyaris tanpa tangisan. Mungkin ada satu dua tapi saya benar-benar lupa kapan terjadinya dan mengapa. Yang saya ingat justru tangisan-tangisan setelahnya, ketika usia menginjak kepala dua hingga hari ini melewati seperempat abad. Saat saya lebih mengenal dunia –juga semoga- lebih mengenal akhirat. Saya juga menangis karena kematian seseorang. Kematian kakek saya yang pejuang membuat saya menangis dalam kesunyian. Bahkan saya melantunkan lagu " gugur bunga" sesaat setelah mendengar berita kematiannya. Lucu memang, tapi saya tetap terharu dan baru benar-benar bisa menghayati lagu patriotis itu.
Masih tentang kematian, saya juga menangis saat mendengar kabar syahidnya kakak ipar saya. Beliau meninggal dunia beberapa waktu setelah berjuang untuk melahirkan anak ketiganya. Berita kematian itu tepat saya dengar sedetik sebelum azan shubuh berkumandang di negeri Sudan sana. Jadilah saya menangis dengan soundtrack adzan panggilan sholat. Ditambah dengan hembusan angin musim dingin yang menembus tulang, benar-benar memilukan. Tentu saya bersedih, karena selain kehilangan juga karena tidak banyak hal yang bisa saya lakukan. Hanya doa saja yang terlantun jauh dari negeri seberang.
Selain tangisan kesedihan, adapula tangisan empati dan kekaguman. Misalnya ditengah jalan, saya melihat seorang bapak tua yang begitu tegar menyusuri jalanan, berjualan krupuk di tengah dinginnya hujan dan kegelapan malam, ditambah sepinya pembeli. Saya sama sekali tidak iba, yang justru bergemuruh dalam dada adalah perasan segan dan kagum yang luar bisa. Terkadang tiba-tiba dalam kagum saya menangis dan mengangkat tangan pertanda hormat kepadanya. Bapak tua itu tidak pantas dikasihani, dia adalah seorang pejuang yang bertanggung jawab untuk keluarganya. Mungkin saja ia terlihat bersedih dan pandangan matanya sayu, tapi saya selalu yakin dalam hatinya ada banyak asa yang menggumpal, sederet keyakinan serta tanggung jawab dan pengorbanan. Terkadang saya mencoba berbagi dengan rizki yang masih tersisa. Jika tidak, maka saya coba menyempatkan diri untuk berdoa lirih , " Ya Allah mudahkanlah urusan beliau ". Dan air mata itu pun tetap mengalir, kali ini diiringi dengan rasa lapang di dada.
Air mata yang tertahan
Sudah banyak cerita tentang air mata saya yang pernah tercurah.Namun, rasanya kurang lengkap jika saya belum bertutur tentang kisah terakhir ini. Sebuah kisah yang juga mengalirkan air mata saya. Bahkan hingga kini, air mata itu masih ada dan terus tertahan. Ia dengan mudah akan mengalir lagi jika saya teringat pada kisah mengharukan itu. Entah alasan apa yang paling tepat untuk menyebut tangisan saya ini. Mungkin tangis kerinduan, tetapi bercampur penyesalan. Hingga hari ini, tidak banyak orang disekelilingku yang mengetahui hal ini. Bahkan mungkin saja istri dan kedua orangtuaku. Biarlah catatan ini membuka apa yang selama ini tersembunyi, agar lebih banyak yang mendoakan. Agar air mata ini tak terus menggenang dan tertahan, menanti saatnya untuk tercurahkan dalam kelapangan dan kelegaan.
Kisahnya terjadi jauh di negeri seberang, sebuah tempat dimana semua muslim merindukan untuk menghadirkan jiwa dan raganya ke tempat itu. Yah.. akhirnya aku berhasil menginjakkan kakiku di tanah suci Mekkah. Tepatnya bulan Desember 2002. Rasanya seperti mimpi, sebelumnya tak pernah menyangka akan naik haji dalam usia semuda ini. Waktu itu usiaku belum mencapai 23 tahun. Mahasiswa semester kedua, belum menikah. Perjalanan darat dan laut yang melelahkan dari Sudan, membuat aku serasa tidak menginjak tanah lagi saat memasuki Arab Saudi. Dan tentu saja, puncak dari kebahagiaan itu adalah ketika mata ini beradu pandang dengan kilauan ka'bah yang suci. Aku tak kuasa menahan tangis di sela-sela doa yang kulantunkan. Hati ini menjadi kerdil dan tiba-tiba saja negri akhirat serasa terpampang di hadapan. Kesan pertama yang takkan pernah terlupakan.
Hari-hari yang khusyuk sekaligus menyenangkan aku lalui di Mekkah sembari menunggu hari-H pelaksanaan puncak ibadah haji. Kebahagiaan itu menjadi lebih genap karena di sana aku juga bertemu dengan ayahanda tercinta. Beliau juga melaksanakan haji yang pertama kali sekaligus menjalankan tugas resmi dari departemen tempat beliau bekerja. Lengkap sudah kebahagiaan ini. Kebahagiaan yang bercampur keharuan karena hampir setahun lebih kami tak bersua. Beberapa kali kemudian kami menghabiskan waktu bersama. Sayangnya, selesai pelaksanaan haji, aku seperti berlomba mengejar waktu yang terus berjalan. Apa pasal ? entah apa persisnya aku belum berhasil mengingatnya. Mungkin urusan registrasi perkuliahan yang telah melewati deadline atau bisa juga karena jadwal ujian yang sudah menganga di depan mata. Yang aku ingat hanyalah ; beberapa teman-teman tergesa untuk segera pulang ke Sudan. Belum lagi jadwal pelayaran feri penyebrangan laut merah yang tidak setiap hari ada. Maka aku segera berkemas untuk kembali pulang ke Sudan meneruskan jihad tholabul 'ilmi sebagaimana diamanahkan orangtuaku. Tanpa ba-bi-bu, beberapa hari setelah selesainya ibadah haji aku langsung melaksanakan thowaf wada', kemudian meninggalkan tanah suci Mekkah menuju pelabuhan Jeddah. Angin dingin laut merah menemaniku meninggalkan tanah suci. Kenangan akan Mekkah itu menghujam begitu dalam di hati ini.
Ayahku pulang lebih dulu bersama teman satu kloternya. Sebelum pulang aku melepasnya dengan tangisan yang mengharukan. Nafasku tersengal-sengal dan suara tangisan itu terdengar bergemuruh. Ayahku mencoba menenangkan, " sabar..sabar.. tahun depan pulang ke Indonesia yaa". Mungkin beliau mengira aku menangis karena sebuah kerinduan. Padahal waktu itu air mata itu keluar bukan karena kerinduan pada tanah air atau keluarga di kampung halaman, melainkan perasaan bahagia, lega, dan bangga melihat ayahku selesai menunaikan ibadah haji. Sebuah ibadah yang mungkin beberapa tahun sebelumnya tak pernah dibayangkan akan beliau jalani saat itu. Mengingat penghasilan beliau sebagai PNS, perlu puluhan tahun menabung atau bahkan menunggu dana pensiun untuk bisa berangkat haji. Maka dalam kebahagiaan itu aku menangis. Memang saat itu ada air mata yang tumpah, tapi itu bukanlah air mata yang masih tersisa bertahan hingga saat aku menulis ini.
Segala puji hanyalah bagi Allah, setelah meninggalkan Mekkah pada bulan Januari 2003, aku kembali berkesempatan untuk menginjakkan kaki di tanah suci pada awal 2005. Kali ini statusku telah berubah, aku telah menikah dan saat itu hampir setahun lebih istriku kutinggalkan di Indonesia bersama keluarganya. Seperti sebelumnya, hari-hari di Mekkah kulalui dengan perasaan bahagia bercampur keharuan. Sesekali aku menelpon istriku mengabarkan suasana hati dan suasana tanah suci. Tak lupa diselingi janji-janji sekaligus harapan untuk bisa naik haji bersama. Akupun menyempatkan diri sesekali mengkhususkan waktu berdoa di multazam sebagaimana pada ibadah haji sebelumnya. Menghempaskan tubuh di sisi yang mustajab itu sembari melantunkan doa-doa duniawi dan ukhrowi. Selepas thowaf biasanya mencari tempat yang nyaman di pojok-pojok masjidil Harom untuk menghabiskan malam dengan dzikir dan tilawah. Jika kantuk menyerang maka tinggal merebahkan diri, terlelap hingga datang petugas kebersihan yang meminta berpindah tempat.
Tiba waktu pelaksanaan ibadah haji, aku dan teman-teman segera menyiapkan diri. Longmarch selepas shubuh dari Minna ke Arofah kami jalani dengan bergembira. Begitu pula usai Wukuf menuju muzdalifah lalu Mina, semua berjalan lancar atas pertolongan Allah SWT Maha Pemberi Kemudahan.
Usai seluruh pelaksanaan ibadah haji, muncul kebimbangan dalam hati. Hasrat hati ingin lebih lama di Arab Saudi agar bisa meneruskan perjalanan ke tempat lainnya. Namun apa daya, waktu itu dana dan perbekalan sudah sangat terbatas. Apalagi rencana awal dari Sudan, selepas haji aku akan langsung pulang ke tanah air. Menemui istri dan keluarga setelah lebih setahun tak bersua. Maka kembali aku serasa berlomba, memesan tiket dan mengejar jadwal penerbangan pesawat Emirates Airlines yang di musim haji berubah menjadi sangat padat. Selepas thowaf wadha aku bersegera meluncur menuju bandara haji di Jeddah. Perjuangan itu belum selesai karena ternyata di Bandara banyak pesawat yang mundur jadwal take offnya. Maka jadilah 'pak haji' ini berkeliling bandara semalaman untuk memastikan kapan dan dimana pesawat itu akan meluncur. Aku mengalami kelelahan yang luar biasa. Tapi sedikit demi sedikit kelelahan itu terhapus dan berubah menjadi senyum yang mengembang. Apalagi saat pesawat benar-benar telah terbang menuju tanah air. Aku berseru dalam hati yang diliputi keharuan : Selamat tinggal tanah suci !. Lembar-lembar kenangan di tanah suci Mekkah masih tersimpan rapi dalam hati hingga hari ini.
Kisah di atas telah usai, lalu dimanakan air mata yang tertahan itu ? Manakah kejadian yang mengharukan itu ? Manakah tangisan kerinduan dan penyesalan itu ? Saya akan menjawabnya dengan sederhana dan singkat, mengapa hingga hari ini ada air mata yang masih tertahan. Silahkan cermati kembali kisah di atas ; dua kali sudah saya naik haji tetapi belum sekalipun saya menginjakkan kaki di Madinah. Belum ada sholat yang aku kerjakan di masjid Nabawi. Belum pernah aku berziarah di makam Rasulullah SAW dan dua sahabatnya yang mulia.
Mungkin tidak akan ada orang yang percaya, tapi inilah cerita sesungguhnya. Hati ini dipenuhi penyesalan yang selalu berulang ketika mendengar tentang Madinah. Aku menyimpan banyak hal tentang madinah ; dari foto-foto masjid nabawi hingga file suara adzan masjid nabawi. Sesekali aku melihat dan mendengarkannya untuk mengobati kerinduan akan Madinah. Hingga hari ini, aku masih menyimpan banyak tangisan yang tertahan untuk Madinah ; kota hijrah, kota perjuangan, kota yang aku selalu meminta kepada Allah SWT agar memberikanku kesempatan untuk mengunjungi Madinah, sebelum malaikat maut menjemput, sebelum jasad ini meregang nyawa, sebelum mata ini menutup untuk selamanya.
Ya Allah, ijinkan aku menginjakkan kakiku di negri Madinah,
Ijinkan aku mengecap 1000 derajat kemuliaan shalat di masjid Nabi-Mu
Ijinkan aku mengunjungi makam Rasul-Mu yang mulia
Ijinkan aku berdoa untuk arwah syuhada di pekuburan Baqi'
Ijinkan aku tersungkur bersujud dalam syukur pada-Mu di tanah Madinah
Agar tak ada lagi air mata yang tertahan
Agar tak ada lagi hati yang diliputi penyesalan
Agar kerinduan ini menemukan muaranya…
Pasar Kliwon, 17 Jumadil Ula 1429 H
(tiga tahun dalam kerinduan untuk Madinah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar