Bagaimanapun, Ponari adalah fenomena. Lihat saja pemberitaan di media massa. Semua sepakat menjadikan Ponari sebagai objek pemberitaan dan perbincangan yang begitu menarik. Setiap pakar diminta untuk ikut tampil berbicara. Dari sudut pandang agama, kesehatan, birokrasi, perlindungan anak, hingga antropologi budaya. Mau tidak mau itu semua membuktikan bahwa keberadaan dukun kecil Ponari memang sebuah fenomena. Namun sayangnya, tidak setiap fenomena itu selalu positif. Bukti nyata dari kasus Ponari ini adalah empat nyawa sudah melayang entah kemana. Ribuan bahkan puluhan ribu yang lainnya juga saat ini masih mengundi nyawa dengan niatan tulus untuk meraih kesehatan yang bak mimpi di langit sana. Apa yang terjadi dengan Indonesia kita ? Apakah fenomena ini masih menyisakan optimisme dalam hati kita semua ? Rubrik Indonesiana kali ini akan berusaha mengupasnya. Selamat membaca ! Islam memotivasi setiap orang untuk peduli dengan kesehatannya.
Fenomena orang-orang berbondong-bondong untuk berobat mengobati penyakitnya -sebagaimana terlihat dalam kasus ponari- secara umum adalah hal postif dalam Islam. Saya belum membicarakan 'ponari'nya, saya hanya merekam bahwa mereka para pasien ponari tersebut, memiliki sebuah keseragaman ; yaitu peduli terhadap kesehatannya. Tidak ingin berdiam diri saat digerogoti sebuah penyakit. Tidak ingin menunggu nasib ataupun menjemput ajal dalam kondisi sakit yang berkepanjangan. Mereka ingin mempertahankan hidup dari gangguan penyakit. Semua ini secara umum adalah mental positif yang sama sekali tidak bertentangan dengan Islam.
Islam adalah agama yang memotivasi umatnya untuk meningkatkan kualitas kesehatannya. Disebutkan dalam hadits bahwa : " orang mukmin yang kuat lebih baik lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang dhoif " (HR Ahmad). Islam sangat memahami bahwa dengan kondisi yang sehat, setiap individu akan lebih optimal dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya, baik untuk dunia dan lebih-lebih untuk akhiratnya. Bukan itu saja, Islam juga memerintahkan mereka yang sakit untuk segera berobat, bahkan memberikan motivasi dan harapan besar dengan menjamin bahwa setiap penyakit pastilah ada obat bagi kesembuhannya.
Dari Usamah bin Syarik, Rasulullah SAW bersabda : Berobatlah kalian semua, karena sesungguhnya Allah SWT tidaklah menurunkan sebuah penyakit kecuali juga menurunkan obatnya, kecuali satu penyakit : yaitu penyakit tua." (HR Ahmad dan Ashabu Sunan)
Dengan demikian, sebenarnya 'semangat tulus' para pasien Ponari untuk memperbaiki kesehatan, mengobati penyakitnya, adalah sebuah potensi baik yang juga dihargai oleh Islam. Justru sebaliknya, Islam sangat mencela mereka yang ketika sakit justru duduk-duduk saja, menyerahkan diri pada nasib atau bahkan ajal menjemput. Sungguh semua itu bertentangan dengan kaidah umum perubahan di dunia ini, sebagaimana Allah SWT berfirman : " Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. ( QS Ar-Ro'd 11)
Islam mengajarkan secara tegas bahwa Allah SWT adalah satu-satunya yang bisa menyembuhkan penyakit.
Meskipun Islam menganjurkan seseorang untuk tetap berobat dengan menggunakan berbagai macam cara yang legal secara syariah dan medis, namun Islam secara tegas memisahkan antara obat dan kesembuhan. Bahwasanya pengobatan adalah wilayah usaha manusia dengan ilmu dan pengalamannya, yang semuanya dianjurkan dan dihargai oleh Islam, tetapi untuk kesembuhan itu adalah hak preogratif Allah SWT. Artinya tidak boleh seseorang itu meyakini bahwa obatlah yang menyembuhkan, atau seorang dokterlah yang menyembuhkan, melainkan mereka ini hanya menjalankan sebuah terapi atau usaha penyembuhan. Adapun 'eksekutor' sembuh tidaknya seorang yang sakit tetap dalam kuasa Allah SWT. Keyakinan seperti ini dalam bahasan ilmu Aqidah dikenal dengan Tauhidullah dalam Rububiyah dan Uluhiyahnya.
Disebutkan dalam Al-Quran ucapan Ibrahim as : Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku (QS Syuaro 80)
Karenanya, dalam kasus Ponari, mau tidak mau harus diakui adanya pergeseran keyakinan / aqidah diantara sebagian besar masyarakat yang ikut mengantri untuk mendapatkan air rendaman batu ponari. Sebagian mereka pastilah dengan mudah akan meyakini bahwa 'batu' itu merupakan obat penyembuh yang sesungguhnya. Keyakinan mereka telah bergeser –atau bahkan terjerembab- dengan meyakini hal yang semestinya masuk dalam delik kemusyrikan. Bahkan lebih jauh lagi, kini bukan saja batu, tapi hal-hal yang berbau 'ponari' diyakini mempunyai efek penyembuh yang juga tidak kalah dengan batu ponari. Walhasil, antrian dan perebutan kini bukan saja dalam menunggu rendaman batu ponari, tapi juga air comberan dekat rumah, lumpur, dan yang sejenisnya. Keyakinan semacam inilah, dalam Islam dianggap sebagai bencana yang sesungguhnya. Melebihi dari 'bencana' penyakit yang mereka derita selama ini. Dalam bahasa yang sederhana ; sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah sakit malah terjerumus ke arah syirik yang lebih berbahaya.
Islam melarang pengobatan yang tidak dapat dipahami secara medis maupun logika sederhana manusia.
Islam mempunyai dua standar pengobatan harus diikuti oleh umatnya. Pertama standar syariah, dan yang kedua adalah standar medis atau psikologis. Ketika berobat, seorang yang sakit harus menyadari terlebih dahulu bahwa terapi pengobatan yang dijalaninya tidak bertentangan dengan dua standar tersebut. Misalnya : ketika ia harus berobat dengan sesuatu yang haram, entah itu bahan dari babi, atau langsung sate ular, dan yang sejenisnya, maka otomatis pengobatan itu tidak memenuhi standar pengobatan dalam Islam, dan menjalaninya adalah bentuk pelanggaran syariah. Meskipun obat tersebut misalnya, telah diindikasikan mengandung zat yang bermanfaat untuk mengatasi sebuah penyakit.
Dari Ummu Salamah ra, Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya Allah SWT tidak menjadikan kesembuhanmu ada dalam apa-apa yang diharamkan kepadamu " (HR Baihaqi, Ibnu Hibban)
Islam tidak hanya sekedar melarang tanpa memberikan alternatif solusi. Khazanah kekayaan pemikiran Islam telah memberikan sumbangan besar dalam dunia kodekteran modern hari ini. Bahkan, banyak hadits Rasulullah SAW juga mengungkapkan dan memberikan inspirasi terhadap berbagai ragam pengobatan saat ini. Dalam khazanah pemikiran Islam telah lama dikenal dengan At-Tiib An-Nabawi, yaitu pengobatan cara Nabi. Pengobatan nabi memperkenalkan bagaimana habbatussauda, madu, susu, dan juga sistem bekam adalah obat efektif bagi berbagai macam penyakit. Dan semua itu telah terbukti begitu jelas setelah melewati banyak penelitian di pakarnya. Bukan itu saja, istri beliau Aisyah ra juga dikenal sebagai pakar kesehatan di jamannya. Beliau menjadi pakar di bidang kedokteran karena suatu momentum yang sederhana. Yaitu ketika Rasulullah SAW terbaring sakit, banyak pakar pengobatan suku-suku arab yang berlomba mempresentasikan metode pengobatan mereka dihadapan Aisyah ra. Mereka menawarkan banyak obat dan khasiatnya. Dari situlah Aisyah ra merekam semua metode pengobatan arab yang terkenal dan menguasainya. Subhanallah.
Islam juga mengenal pengobatan non medis, menganjurkan dan mempraktekannya selama tidak bertentangan dengan aqidah. Misalnya, praktek ruqyah syar'iyah dan yang semacamnya. Islam juga menganjurkan pengobatan dengan terapi psikologis, seperti memberikan suggesti terhadap mereka yang sakit. Islam menganjurkan kita untuk menjenguk dan menghibur mereka yang sakit. Islam bahkan menjanjinkan remisi dosa pada setiap mereka yang sakit.
Nah, setelah ini semua, jika kita hubungkan dengan fenomena Ponari yang meyakini bahwa sebuah batu bisa menjadi obat efektif (mujarab) pada semua penyakit tanpa didukung dengan logika kedokteran sederhana manapun, apalagi diikuti dengan keyakinan bahwa Ponari dengan batunya itu lah " the man behind the revocery ", maka sejatinya metode pengobatan semacam Ponari ini sungguh jauh diluar wilayah ajaran Islam.
Hikmah dan Optimisme yang Tersisa
Setiap kejadian pastilah membuahkan sebuah pelajaran. Setiap pelajaran atau hikmah, haruslah diolah untuk menambah optimisme kita semua. Saya yakin, fenomena Ponari adalah salah satu yang patut kita ambil hikmahnya, dalam konteks pribadi, maupun sebagai umat dan bangsa. Diantara hikmah fenomena ini antara lain :
1. Fenomena Ponari teryata menjadi bahan instropeksi oleh banyak pihak. Dari sisi ulama, da'I, dan muballigh , berarti harus kembali mengatur langkah dan strategi agar dakwah tauhid dan anti kemusyrikan harus benar-benar diterima oleh masyarakat. Dari sisi birokrat, khususnya Departemen Kesehatan juga menyadari sepenuhnya bahwasanya layanan kesehatan selama ini ternyata belum begitu populer di tengah masyarakat. Bisa jadi karena biaya pengobatan yang begitu mahal, atau juga efektifitas obat yang sangat lambat dan meragukan.
2. Fenomena Ponari juga memberikan kita tentang sebuah budaya masyarakat yang instan,pragmatis dan berbau mistis. Ingin cepat sehat, cepat kaya, cepat kerja, cepat jodoh, cepat keturunan, pergilah ke dukun, paranormal dan sebagainya. Gambaran ini sangat diperlukan bagai setiap pihak yang ingin merubah masyarakat menuju peradaban yang lebih baik. Baik itu ormas, keagamaan, parpol, LSM, atau juga pemerintahan secara umum.
3. Ponari tidak pernah sendiri. Banyak yang lebih senior dari Ponari tersebar dari sabang sampai merauke hingga hari ini. Cover yang dipakai pun beragam, dari pengobatan alternatif, metafisika, dan lain sebagainya. Semua itu berbahaya bagi kehidupan umat dan bangsa. Banyak masyarakat mendatangi dukun-dukun itu tanpa mengetahul legalitasnya dalam agama. Karenanya, ketika isu Ponari menguat, kemudian diikuti dengan kecaman para ahli agama, bahkan juga Fatwa MUI misalnya, sedikit banyak akan memberikan 'wacana baru' bagi masyarakat bahwa pengobatan yang semisal itu sungguh tiada guna untuk diikuti. Sehingga harapannya akan berlaku hukum pasar, jika permintaan berkurang atau habis maka pasar akan mati dengan sendirinya.
4. Fenomena Ponari menantang mereka para cendekiawan, ilmuwan, khususnya mereka dibidang kesehatan, untuk membuktikan bahwa 'batu ponari' adalah tidak lebih dari batu biasa lainnya, atau bahkan membuktikan bahwa batu itu adalah batu istimewa yang memang mengandung unsur bermanfaat bagi kesehatan. Semua pembuktian tersebut akan sama-sama menghasilkan sisi positif bagi masyarakat kita.
Wallahu a'lam bisshowab. Sekali lagi Ponari memang Fenomena , dan ia tidak pernah sendiri !
Fenomena orang-orang berbondong-bondong untuk berobat mengobati penyakitnya -sebagaimana terlihat dalam kasus ponari- secara umum adalah hal postif dalam Islam. Saya belum membicarakan 'ponari'nya, saya hanya merekam bahwa mereka para pasien ponari tersebut, memiliki sebuah keseragaman ; yaitu peduli terhadap kesehatannya. Tidak ingin berdiam diri saat digerogoti sebuah penyakit. Tidak ingin menunggu nasib ataupun menjemput ajal dalam kondisi sakit yang berkepanjangan. Mereka ingin mempertahankan hidup dari gangguan penyakit. Semua ini secara umum adalah mental positif yang sama sekali tidak bertentangan dengan Islam.
Islam adalah agama yang memotivasi umatnya untuk meningkatkan kualitas kesehatannya. Disebutkan dalam hadits bahwa : " orang mukmin yang kuat lebih baik lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang dhoif " (HR Ahmad). Islam sangat memahami bahwa dengan kondisi yang sehat, setiap individu akan lebih optimal dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya, baik untuk dunia dan lebih-lebih untuk akhiratnya. Bukan itu saja, Islam juga memerintahkan mereka yang sakit untuk segera berobat, bahkan memberikan motivasi dan harapan besar dengan menjamin bahwa setiap penyakit pastilah ada obat bagi kesembuhannya.
Dari Usamah bin Syarik, Rasulullah SAW bersabda : Berobatlah kalian semua, karena sesungguhnya Allah SWT tidaklah menurunkan sebuah penyakit kecuali juga menurunkan obatnya, kecuali satu penyakit : yaitu penyakit tua." (HR Ahmad dan Ashabu Sunan)
Dengan demikian, sebenarnya 'semangat tulus' para pasien Ponari untuk memperbaiki kesehatan, mengobati penyakitnya, adalah sebuah potensi baik yang juga dihargai oleh Islam. Justru sebaliknya, Islam sangat mencela mereka yang ketika sakit justru duduk-duduk saja, menyerahkan diri pada nasib atau bahkan ajal menjemput. Sungguh semua itu bertentangan dengan kaidah umum perubahan di dunia ini, sebagaimana Allah SWT berfirman : " Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. ( QS Ar-Ro'd 11)
Islam mengajarkan secara tegas bahwa Allah SWT adalah satu-satunya yang bisa menyembuhkan penyakit.
Meskipun Islam menganjurkan seseorang untuk tetap berobat dengan menggunakan berbagai macam cara yang legal secara syariah dan medis, namun Islam secara tegas memisahkan antara obat dan kesembuhan. Bahwasanya pengobatan adalah wilayah usaha manusia dengan ilmu dan pengalamannya, yang semuanya dianjurkan dan dihargai oleh Islam, tetapi untuk kesembuhan itu adalah hak preogratif Allah SWT. Artinya tidak boleh seseorang itu meyakini bahwa obatlah yang menyembuhkan, atau seorang dokterlah yang menyembuhkan, melainkan mereka ini hanya menjalankan sebuah terapi atau usaha penyembuhan. Adapun 'eksekutor' sembuh tidaknya seorang yang sakit tetap dalam kuasa Allah SWT. Keyakinan seperti ini dalam bahasan ilmu Aqidah dikenal dengan Tauhidullah dalam Rububiyah dan Uluhiyahnya.
Disebutkan dalam Al-Quran ucapan Ibrahim as : Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku (QS Syuaro 80)
Karenanya, dalam kasus Ponari, mau tidak mau harus diakui adanya pergeseran keyakinan / aqidah diantara sebagian besar masyarakat yang ikut mengantri untuk mendapatkan air rendaman batu ponari. Sebagian mereka pastilah dengan mudah akan meyakini bahwa 'batu' itu merupakan obat penyembuh yang sesungguhnya. Keyakinan mereka telah bergeser –atau bahkan terjerembab- dengan meyakini hal yang semestinya masuk dalam delik kemusyrikan. Bahkan lebih jauh lagi, kini bukan saja batu, tapi hal-hal yang berbau 'ponari' diyakini mempunyai efek penyembuh yang juga tidak kalah dengan batu ponari. Walhasil, antrian dan perebutan kini bukan saja dalam menunggu rendaman batu ponari, tapi juga air comberan dekat rumah, lumpur, dan yang sejenisnya. Keyakinan semacam inilah, dalam Islam dianggap sebagai bencana yang sesungguhnya. Melebihi dari 'bencana' penyakit yang mereka derita selama ini. Dalam bahasa yang sederhana ; sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah sakit malah terjerumus ke arah syirik yang lebih berbahaya.
Islam melarang pengobatan yang tidak dapat dipahami secara medis maupun logika sederhana manusia.
Islam mempunyai dua standar pengobatan harus diikuti oleh umatnya. Pertama standar syariah, dan yang kedua adalah standar medis atau psikologis. Ketika berobat, seorang yang sakit harus menyadari terlebih dahulu bahwa terapi pengobatan yang dijalaninya tidak bertentangan dengan dua standar tersebut. Misalnya : ketika ia harus berobat dengan sesuatu yang haram, entah itu bahan dari babi, atau langsung sate ular, dan yang sejenisnya, maka otomatis pengobatan itu tidak memenuhi standar pengobatan dalam Islam, dan menjalaninya adalah bentuk pelanggaran syariah. Meskipun obat tersebut misalnya, telah diindikasikan mengandung zat yang bermanfaat untuk mengatasi sebuah penyakit.
Dari Ummu Salamah ra, Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya Allah SWT tidak menjadikan kesembuhanmu ada dalam apa-apa yang diharamkan kepadamu " (HR Baihaqi, Ibnu Hibban)
Islam tidak hanya sekedar melarang tanpa memberikan alternatif solusi. Khazanah kekayaan pemikiran Islam telah memberikan sumbangan besar dalam dunia kodekteran modern hari ini. Bahkan, banyak hadits Rasulullah SAW juga mengungkapkan dan memberikan inspirasi terhadap berbagai ragam pengobatan saat ini. Dalam khazanah pemikiran Islam telah lama dikenal dengan At-Tiib An-Nabawi, yaitu pengobatan cara Nabi. Pengobatan nabi memperkenalkan bagaimana habbatussauda, madu, susu, dan juga sistem bekam adalah obat efektif bagi berbagai macam penyakit. Dan semua itu telah terbukti begitu jelas setelah melewati banyak penelitian di pakarnya. Bukan itu saja, istri beliau Aisyah ra juga dikenal sebagai pakar kesehatan di jamannya. Beliau menjadi pakar di bidang kedokteran karena suatu momentum yang sederhana. Yaitu ketika Rasulullah SAW terbaring sakit, banyak pakar pengobatan suku-suku arab yang berlomba mempresentasikan metode pengobatan mereka dihadapan Aisyah ra. Mereka menawarkan banyak obat dan khasiatnya. Dari situlah Aisyah ra merekam semua metode pengobatan arab yang terkenal dan menguasainya. Subhanallah.
Islam juga mengenal pengobatan non medis, menganjurkan dan mempraktekannya selama tidak bertentangan dengan aqidah. Misalnya, praktek ruqyah syar'iyah dan yang semacamnya. Islam juga menganjurkan pengobatan dengan terapi psikologis, seperti memberikan suggesti terhadap mereka yang sakit. Islam menganjurkan kita untuk menjenguk dan menghibur mereka yang sakit. Islam bahkan menjanjinkan remisi dosa pada setiap mereka yang sakit.
Nah, setelah ini semua, jika kita hubungkan dengan fenomena Ponari yang meyakini bahwa sebuah batu bisa menjadi obat efektif (mujarab) pada semua penyakit tanpa didukung dengan logika kedokteran sederhana manapun, apalagi diikuti dengan keyakinan bahwa Ponari dengan batunya itu lah " the man behind the revocery ", maka sejatinya metode pengobatan semacam Ponari ini sungguh jauh diluar wilayah ajaran Islam.
Hikmah dan Optimisme yang Tersisa
Setiap kejadian pastilah membuahkan sebuah pelajaran. Setiap pelajaran atau hikmah, haruslah diolah untuk menambah optimisme kita semua. Saya yakin, fenomena Ponari adalah salah satu yang patut kita ambil hikmahnya, dalam konteks pribadi, maupun sebagai umat dan bangsa. Diantara hikmah fenomena ini antara lain :
1. Fenomena Ponari teryata menjadi bahan instropeksi oleh banyak pihak. Dari sisi ulama, da'I, dan muballigh , berarti harus kembali mengatur langkah dan strategi agar dakwah tauhid dan anti kemusyrikan harus benar-benar diterima oleh masyarakat. Dari sisi birokrat, khususnya Departemen Kesehatan juga menyadari sepenuhnya bahwasanya layanan kesehatan selama ini ternyata belum begitu populer di tengah masyarakat. Bisa jadi karena biaya pengobatan yang begitu mahal, atau juga efektifitas obat yang sangat lambat dan meragukan.
2. Fenomena Ponari juga memberikan kita tentang sebuah budaya masyarakat yang instan,pragmatis dan berbau mistis. Ingin cepat sehat, cepat kaya, cepat kerja, cepat jodoh, cepat keturunan, pergilah ke dukun, paranormal dan sebagainya. Gambaran ini sangat diperlukan bagai setiap pihak yang ingin merubah masyarakat menuju peradaban yang lebih baik. Baik itu ormas, keagamaan, parpol, LSM, atau juga pemerintahan secara umum.
3. Ponari tidak pernah sendiri. Banyak yang lebih senior dari Ponari tersebar dari sabang sampai merauke hingga hari ini. Cover yang dipakai pun beragam, dari pengobatan alternatif, metafisika, dan lain sebagainya. Semua itu berbahaya bagi kehidupan umat dan bangsa. Banyak masyarakat mendatangi dukun-dukun itu tanpa mengetahul legalitasnya dalam agama. Karenanya, ketika isu Ponari menguat, kemudian diikuti dengan kecaman para ahli agama, bahkan juga Fatwa MUI misalnya, sedikit banyak akan memberikan 'wacana baru' bagi masyarakat bahwa pengobatan yang semisal itu sungguh tiada guna untuk diikuti. Sehingga harapannya akan berlaku hukum pasar, jika permintaan berkurang atau habis maka pasar akan mati dengan sendirinya.
4. Fenomena Ponari menantang mereka para cendekiawan, ilmuwan, khususnya mereka dibidang kesehatan, untuk membuktikan bahwa 'batu ponari' adalah tidak lebih dari batu biasa lainnya, atau bahkan membuktikan bahwa batu itu adalah batu istimewa yang memang mengandung unsur bermanfaat bagi kesehatan. Semua pembuktian tersebut akan sama-sama menghasilkan sisi positif bagi masyarakat kita.
Wallahu a'lam bisshowab. Sekali lagi Ponari memang Fenomena , dan ia tidak pernah sendiri !
alhamdulillah, tinjauan secara syari'ah-nya muncul juga akhirnya ... jazakallahu ustadz :)
BalasHapus