Ada sebuah gambaran nyata yang menarik. Saya pernah mendengar seseorang menceritakan tentang seorang Ibu di Surabaya yang melarang anak-anaknya untuk bersekolah, apalagi kuliah. Alasan sederhananya adalah, kalau intinya adalah mencari harta maka sekolah itu tidak efektif, lebih baik mereka langsung terjun di lapangan, berdagang dan lambat laun akan menjadi kaya. Alasan kedua yang diberikan ibu itu justru jauh lebih mengerikan. Ia mengatakan lebih baik jadi orang kaya dari pada jadi orang berilmu, karena orang kaya bisa 'membeli' orang berilmu ! Sementara orang berilmu tidak bisa membeli orang kaya ! wah…wah….ck.ck.ck Seperti itulah doktrin sang ibu. Jadi yang penting adalah kaya, urusan ilmu bisa dibeli dari 'orangnya'.
Logika sederhana yang memang ada dalam realita kita. Urusan membeli orang pinter setiap hari ada di berita-berita. Seperti kasus tersangka korupsi yang pura-pura sakit menjelang persidangan, atau kasus-kasus lainnya. Betapa banyak orang-orang kaya itu memesan surat keterangan, surat penangguhan penahanan dan seterusnya pada orang-orang yang semestinya berilmu. Betapa banyak dokter, jaksa, hakim, juga birokrat yang berilmu tinggi, tapi berhasil 'terbeli' oleh beberapa puluh atau ratus juta rupiah. Ini realita yang cukup dilematis, antara pilih kaya atau pilih ilmu.
Kisah nyata yang lain : Sekitar bulan Agustus 2007 lalu, saya membaca sebuah berita menarik dari sebuah harian ibu kota. Dua orang kakak beradik yang sama-sama berilmu, dengan gelar doktor di depan nama masing-masing mendapat penghargaan langsung dari Presiden SBY karena pengabdian mereka pada negara. Saya lupa nama mereka, tapi saya ingat persis jabatan apa yang mereka sandang di pemerintahan ini. Kakak beradik itu menjadi orang nomor satu di instituti pemerintahan ternama, yang pertama sebagai Ketua LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan yang kedua sebagai ketua Lembaga Otorita Batam (kalau tidak salah).
Saya yakin keduanya adalah orang yang berilmu, dan saya juga yakin bahwa mereka juga berkecukupan harta. Tapi yang membuat saya kagum adalah resep keberhasilan mereka dalam masalah ilmu dan juga harta. Mereka bercerita bahwa dahulu ibunda mereka (nah..lagi-lagi doktrin sang bunda) berpesan kepada keduanya yang intinya : Bersekolahlah kalian dengan sungguh-sungguh untuk mencari ilmu, niscaya urusan harta nanti akan mengikuti ilmu kalian !
Sebuah pesan sederhana dengan logika yang jauh berbeda dari kasus pertama. Yang pertama carilah harta, maka engkau akan mampu membeli orang berilmu. Sementara yang kedua, carilah ilmu, maka harta akan mengikutimu.
ANTARA KAYA DAN BERILMU DALAM ISLAM
Yah, inilah dunia di sekitar kita. Seandainya ada survei tentang alasan para mahasiswa kuliah atau mengambil jurusan tertentu, maka kemungkinan besar jawaban terbanyak adalah untuk mengejar potensi penghasilan di masa depan. Banyak orang tua yang bermimpi bahwa anaknya segera bisa lulus kuliah dan berpenghasilan untuk menegakkan ekonomi keluarga. Perkuliahan bagi banyak orang disekitar kita tidak lagi dianggap sebagai sarana mencari ilmu, tetapi sarana meraup gelar agak bisa segera bekerja
Kasus ketiga ini menarik karena seolah-seolah menjadi penengah antar kasus pertama dan kedua. Jika yang pertama, tidak perlu sekolah untuk cari harta. Sementara yang kedua adalah mencari ilmu dan akan mendapatkan harta dengan sendirinya. Maka yang ketiga ini adalah bersekolah, mencari ilmu tapi dengan niatan untuk mendapatkan harta !
Inilah realita dilematis yang harus dihadapi setiap orang saat ini ; antara cari harta ansich dengan merintis bisnis atau bekerja dari nol, atau kuliah untuk mencari ilmu dan memanfaatkannya, atau juga kuliah sebagai sarana mendapat gelar untuk bisa bekerja dan berpenghasilan di masa depannya. Bagaimana pandangan Islam menanggapi pandangan dilematis seperti ini ? Manakah yang lebih mulia dalam pandangan Islam ? orang kaya atau orang berilmu ?
Jika ditanyakan kepada seorang ustadz, manakah yang lebih penting dalam Islam menjadi orang kaya, atau menjadi orang berilmu ? Maka jawabannya juga tidak semudah yang Anda bayangkan. Meskipun sejatinya telah banyak kita paparkan dalil-dalil yang membuktikan kemuliaan orang berilmu, namun Islam juga menyimpan penghargaan tersendiri buat orang-orang kaya, tentu saja dengan syarat-syarat tertentu. Kapan orang kaya itu mendapat posisi yang terpuji dalam Islam ? Berikut beberapa hadits yang secara langsung membahas antara kaya dan berilmu.
Pertama : Ketika Kekayaan itu mempunyai support system berupa Ilmu
Dari Abi Kabsyah Al-Anshory, Rasulullah SAW bersabda : Perumpamaan umat ini seperti empat orang :
Seorang laki-laki yang diberikan harta dan ilmu oleh Allah , maka dengan ilmunya ua menjalankan harta itu, menginfakkan hartanya sesuai hak-haknya.
Seorang laki-laki yang diberikan ilmu tapi tidak diberi harta oleh Allah, maka ia mengatakan pada dirinya : Seandainya aku diberi harta sebagaimana orang pertama, niscaya aku akan melakukan sebagaimana apa yang ia lakukan (yaitu menginfakkan hartanya)
Maka Rasulullah SAW berkomentar tentang kedua orang tadi : " Mereka berdua sama dalam masalah pahalanya ". Kemudian beliau meneruskan …
Seorang laki-laki yang diberikan harta tapi tidak diberi ilmu oleh Allah SWT, maka ia menyianyiakannya bahkan membelanjakannya tidak sesuai haknya (bermaksiat)
Seorang laki-laki yang tidak diberikan harta dan tidak diberikan ilmu oleh Allah SWT, lalu ia mengatakan : seandainya aku memiliki apa yang dimiliki orang ketiga, niscaya aku akan melakukan sebagaimana yang ia lakukan.
Rasulullah SAW kemudian menambahkan : " Kedua orang tadi sama dalam masalah dosanya " . (HR Thobroni dan Baihaqi)
Sobat mahasiswa, hadits di atas secara umum sebenarnya menjelaskan tentang urgensi niat. Bahwasanya dengan niat yang baik akan mendapat pahala, dan sebaliknya niat yang buruk juga bisa berakibat dosa. Di sisi lain, hadits di atas mengisyaratkan beberapa hal tentang status si kaya dan si alim dalam Islam, antara lain :
a) Bahwa sangat ideal ketika kekayaan dan ilmu itu bertemu pada seseorang. Ia akan mempunyai nilai kemanfaatan yang begitu luas. Ia berinfak dengan hartanya, mengajarkan ilmunya, serta mengelola keuangannya dengan cara yang halal dan produktif.
b) Bahwasanya kekayaan itu tidak berarti apa-apa di sisi Allah SWT jika tidak didukung dengan ilmu pemiliknya. Karena ia akan menggunakannya dengan sia-sia, atau bahkan dalam kemaksiatan dan transaksi yang tidak halal. Kaya saja tidak dengan sendirinya bisa disebut mulia dan beruntung, tetapi harus didukung dengan ilmu. Hal ini bersesuaian dengan ajaran Islam yang tidak mengingkan kekayaan ada pada orang yang tidak berilmu.
Allah SWT berfirman : Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang bodoh, harta yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.(QS An-Nisa 5)
Dari Amru bin Ash, Rasulullah SAW bersabda : " Sebaik-baik harta adalah yang ada di tangan laki-laki shalih " ( HR Ahmad)
c) Bahwasanya ilmu tanpa kekayaan tetaplah mulia. Ia bisa terus mengajarkan kebaikan, dan juga meniatkan berbuat baik atau bersedekah ketika harta itu akhirnya datang juga.
Kedua : Sama-sama bolehnya iri dengan orang kaya dan orang berilmu
Dari Ibnu Mas'ud ra, Rasulullah SAW bersabda : " Tidak boleh iri (hasad) kecuali pada dua orang (yaitu) ; laki-laki yang diberikan harta oleh Allah, kemudian ia menggunakannya dengan baik dan benar, dan laki-laki yang diberikan hikmah (ilmu) oleh Allah, maka ia menghukumi dengannya dan mengajarkannya (HR Muttafaq 'alaih)
Hadits di atas sama-sama memotivasi kita untuk menjadi orang kaya di satu sisi, dan menjadi orang berilmu di sisi yang lain. Diawal hadits saja telah disebutkan dengan tegas, bolehnya iri atau ingin menjadi dua orang yang disebutkan di atas. Namun sekali lagi, kemuliaan ilmu dan kemuliaan harta ternyata juga harus diikuti dengan pemenuhan kewajiban-kewajibannya. Mempunyai ilmu harus berani mengajarkan, sementara mempunyai harta berarti harus berani menggunakannya di jalan yang benar serta menginfakkannya. Pada sisi ini, berarti antara kaya dan berilmu posisinya netral, sama-sama berpotensi untuk mulia, atau juga hina!
JANGAN GAK PD KALAU 'CUMA' GAK PUNYA HARTA !
Setelah pembahasan di atas, sebenarnya hampir bisa disimpulkan bahwa Islam memandang Kaya dan Ilmu adalah sarana untuk menjalankan kebaikan-kebaikan. Dengan ilmu ia bisa berdakwah, mengajarkan kebaikan, sedangkan dengan harta ia bisa berinfak dan menolong yang lainnya. Artinya, baik orang kaya maupun orang berilmu jika tidak mendatangkan manfaat, maka Islam tidak pernah memuji mereka.
Adapun jika tetap ada yang bertanya, mana yang lebih baik dari keduanya ? Ilmu atau harta ? Maka sebenarnya sudah banyak yang menjawab masalah ini, bahkan sahabat Ali bin Abi Thalib yang disebut 'pintunya ilmu' oleh Rasulullah SAW, pernah menyebutkan sebelas keunggulan ilmu atas harta. Sayang sekali saya tidak menemukan nash dari sumbernya yang paten. Jangan terburu khawatir, insya Allah kita masih bisa menganalisanya, seperti dibawah ini, yaitu keunggulan ilmu atas harta. Perlu dicatat, ini bukan berarti memprovokasi untuk menjadi orang miskin, tetapi menjadi orang berilmu. So, jadi salah paham.
Berikut beberapa keunggulan ilmu atas harta, dalam berbagai kalimat dan kesimpulan sederhana.
(1) Dalam ayat Al-Quran, ketika disebut ilmu atau orang berilmu, senantiasa diikuti dengan pujian bahkan penegasan tentang kemuliaan derajat mereka. Sebaliknya, ketika Al-Quran berbicara tentang harta dan orang kaya, biasanya diikuti dengan peringatan dan celaan.Bahkan secara tegas juga disebutkan bahwa harta itu adalah fitnah, ujian dan melalaikan.
(2) Dalam Hadits, warisan Nabi adalah ilmu, bukan harta. Dengan tegas disebutkan bahwa Nabi tidak mewariskan satu dinar bahkan satu dirham sekalipun, tetapi yang diwariskan pada umatnya adalah ilmu. Maka siapa yang tidak ingin menjadi pewaris Nabi ?
(3) Sebagaimana dalam hadits terdahulu disebutkan, bahwa kekayaan tanpa ilmu itu fitnah tiada guna, sedang ilmu tanpa kekayaan tetap mulia.
(4) Ilmu menjaga pemiliknya, sedangkan harta dijaga oleh pemiliknya.
(5) Ilmu ketika dikeluarkan akan bertambah, sedangkan harta ketika dikeluarkan maka secara dhohir pasti berkurang.
(6) Ilmu secara umum tidak bisa hilang kecuali karena pikun, gila atau kematian, sedangkan Harta bisa hilang dengan mudah jika tidak dijaga
(7) Ilmu mencarinya membutuhkan perjuangan yang berat. Karena perjuangan, kesungguhan dan waktu yang lama inilah maka menjadi orang berilmu adalah sebuah kemuliaan dan pahala yang besar. Sedangkan harta bisa di dapat dengan cepat, apakah dengan cara yang baik maupun buruk. Dalam satu malam orang bisa jadi milyader, tapi tidak ada dalam satu malam orang menjadi berilmu !
(8) Anjuran Islam untuk mencari ilmu dan bertanya kepada orang-orang berilmu, sedangkan kepada orang kaya, justru malah dianjurkan berhati-hati dan tidak berlebihan dalam bergaul dengan mereka. Di dalam hadits disebutkan bahwa : " mujalasah (duduk /berinteraksi) dengan ulama adalah ibadah ", sedangkan Rasulullah SAW pernah berpesan kepada istri beliau Aisyah ra , " Janganlah atau hati-hatilah engkau bergaul dengan orang-orang kaya ". (HR Tirmidzi). Begitupula Rasulullah SAW menyebutkan , " Jangan terlalu banyak mengunjungi orang-orang kaya, karena itu lebih mungkin akan membuatmu kurang mensyukuri nikmat Allah SWT"(HR Baihaqi dan Al-Hakim). Aun bin Abdullah mengatakan : "Aku bergaul dengan orang-orang kaya dan aku tidak melihat ada orang yang lebih obsesif kecuali diriku, aku melihat kuda yang lebih baik dari milikku, aku melihat baju yang lebih baik dari miliku. Kemudian aku bergaul dengan orang miskin, maka aku menjadi tenang ".
(9) Sejarah akan mencatat dan mengenang orang-orang berilmu dengan lengkap dan baik, tetapi sedikit sekali sejarah yang mencatat nama-nama orang-orang berharta dari masa ke masa. Hingga hari ini belum ada kitab sejarah Islam yang menulis tentang kisah orang-orang kaya.
(10) Secara umum, kemanfaatan ilmu lebih luas menembus ruang, jarak dan waktu, sedangkan harta pemanfaatannya lebih terbatas dan lebih singkat.
Begitu banyak keunggulan ilmu atas harta, rasa-rasanya adalah zalim kalau kemudian kita mendahulukan mencari harta dari mencari ilmu. Zalim adalah lawan dari Adil, sedangkan Adil adalah menempatkan sesuatu sesuai dengan haknya. Kalau kita sadar bahwa ilmu lebih mulia, maka tidak perlu minder kan kalau kita saat ini 'sekedar' belum punya harta ? Yang terpenting, cari ilmu tetap jalan terus. Biarlah bersepeda asal kuliah tak pernah telat, daripada naik mobil cuma niat ngejar absen plus ngeceng. Ibaratnya jargon orang Barat : " Ndeso mas gogon !" ! eh, maksud kami " the show must go on ! ".
Logika sederhana yang memang ada dalam realita kita. Urusan membeli orang pinter setiap hari ada di berita-berita. Seperti kasus tersangka korupsi yang pura-pura sakit menjelang persidangan, atau kasus-kasus lainnya. Betapa banyak orang-orang kaya itu memesan surat keterangan, surat penangguhan penahanan dan seterusnya pada orang-orang yang semestinya berilmu. Betapa banyak dokter, jaksa, hakim, juga birokrat yang berilmu tinggi, tapi berhasil 'terbeli' oleh beberapa puluh atau ratus juta rupiah. Ini realita yang cukup dilematis, antara pilih kaya atau pilih ilmu.
Kisah nyata yang lain : Sekitar bulan Agustus 2007 lalu, saya membaca sebuah berita menarik dari sebuah harian ibu kota. Dua orang kakak beradik yang sama-sama berilmu, dengan gelar doktor di depan nama masing-masing mendapat penghargaan langsung dari Presiden SBY karena pengabdian mereka pada negara. Saya lupa nama mereka, tapi saya ingat persis jabatan apa yang mereka sandang di pemerintahan ini. Kakak beradik itu menjadi orang nomor satu di instituti pemerintahan ternama, yang pertama sebagai Ketua LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan yang kedua sebagai ketua Lembaga Otorita Batam (kalau tidak salah).
Saya yakin keduanya adalah orang yang berilmu, dan saya juga yakin bahwa mereka juga berkecukupan harta. Tapi yang membuat saya kagum adalah resep keberhasilan mereka dalam masalah ilmu dan juga harta. Mereka bercerita bahwa dahulu ibunda mereka (nah..lagi-lagi doktrin sang bunda) berpesan kepada keduanya yang intinya : Bersekolahlah kalian dengan sungguh-sungguh untuk mencari ilmu, niscaya urusan harta nanti akan mengikuti ilmu kalian !
Sebuah pesan sederhana dengan logika yang jauh berbeda dari kasus pertama. Yang pertama carilah harta, maka engkau akan mampu membeli orang berilmu. Sementara yang kedua, carilah ilmu, maka harta akan mengikutimu.
ANTARA KAYA DAN BERILMU DALAM ISLAM
Yah, inilah dunia di sekitar kita. Seandainya ada survei tentang alasan para mahasiswa kuliah atau mengambil jurusan tertentu, maka kemungkinan besar jawaban terbanyak adalah untuk mengejar potensi penghasilan di masa depan. Banyak orang tua yang bermimpi bahwa anaknya segera bisa lulus kuliah dan berpenghasilan untuk menegakkan ekonomi keluarga. Perkuliahan bagi banyak orang disekitar kita tidak lagi dianggap sebagai sarana mencari ilmu, tetapi sarana meraup gelar agak bisa segera bekerja
Kasus ketiga ini menarik karena seolah-seolah menjadi penengah antar kasus pertama dan kedua. Jika yang pertama, tidak perlu sekolah untuk cari harta. Sementara yang kedua adalah mencari ilmu dan akan mendapatkan harta dengan sendirinya. Maka yang ketiga ini adalah bersekolah, mencari ilmu tapi dengan niatan untuk mendapatkan harta !
Inilah realita dilematis yang harus dihadapi setiap orang saat ini ; antara cari harta ansich dengan merintis bisnis atau bekerja dari nol, atau kuliah untuk mencari ilmu dan memanfaatkannya, atau juga kuliah sebagai sarana mendapat gelar untuk bisa bekerja dan berpenghasilan di masa depannya. Bagaimana pandangan Islam menanggapi pandangan dilematis seperti ini ? Manakah yang lebih mulia dalam pandangan Islam ? orang kaya atau orang berilmu ?
Jika ditanyakan kepada seorang ustadz, manakah yang lebih penting dalam Islam menjadi orang kaya, atau menjadi orang berilmu ? Maka jawabannya juga tidak semudah yang Anda bayangkan. Meskipun sejatinya telah banyak kita paparkan dalil-dalil yang membuktikan kemuliaan orang berilmu, namun Islam juga menyimpan penghargaan tersendiri buat orang-orang kaya, tentu saja dengan syarat-syarat tertentu. Kapan orang kaya itu mendapat posisi yang terpuji dalam Islam ? Berikut beberapa hadits yang secara langsung membahas antara kaya dan berilmu.
Pertama : Ketika Kekayaan itu mempunyai support system berupa Ilmu
Dari Abi Kabsyah Al-Anshory, Rasulullah SAW bersabda : Perumpamaan umat ini seperti empat orang :
Seorang laki-laki yang diberikan harta dan ilmu oleh Allah , maka dengan ilmunya ua menjalankan harta itu, menginfakkan hartanya sesuai hak-haknya.
Seorang laki-laki yang diberikan ilmu tapi tidak diberi harta oleh Allah, maka ia mengatakan pada dirinya : Seandainya aku diberi harta sebagaimana orang pertama, niscaya aku akan melakukan sebagaimana apa yang ia lakukan (yaitu menginfakkan hartanya)
Maka Rasulullah SAW berkomentar tentang kedua orang tadi : " Mereka berdua sama dalam masalah pahalanya ". Kemudian beliau meneruskan …
Seorang laki-laki yang diberikan harta tapi tidak diberi ilmu oleh Allah SWT, maka ia menyianyiakannya bahkan membelanjakannya tidak sesuai haknya (bermaksiat)
Seorang laki-laki yang tidak diberikan harta dan tidak diberikan ilmu oleh Allah SWT, lalu ia mengatakan : seandainya aku memiliki apa yang dimiliki orang ketiga, niscaya aku akan melakukan sebagaimana yang ia lakukan.
Rasulullah SAW kemudian menambahkan : " Kedua orang tadi sama dalam masalah dosanya " . (HR Thobroni dan Baihaqi)
Sobat mahasiswa, hadits di atas secara umum sebenarnya menjelaskan tentang urgensi niat. Bahwasanya dengan niat yang baik akan mendapat pahala, dan sebaliknya niat yang buruk juga bisa berakibat dosa. Di sisi lain, hadits di atas mengisyaratkan beberapa hal tentang status si kaya dan si alim dalam Islam, antara lain :
a) Bahwa sangat ideal ketika kekayaan dan ilmu itu bertemu pada seseorang. Ia akan mempunyai nilai kemanfaatan yang begitu luas. Ia berinfak dengan hartanya, mengajarkan ilmunya, serta mengelola keuangannya dengan cara yang halal dan produktif.
b) Bahwasanya kekayaan itu tidak berarti apa-apa di sisi Allah SWT jika tidak didukung dengan ilmu pemiliknya. Karena ia akan menggunakannya dengan sia-sia, atau bahkan dalam kemaksiatan dan transaksi yang tidak halal. Kaya saja tidak dengan sendirinya bisa disebut mulia dan beruntung, tetapi harus didukung dengan ilmu. Hal ini bersesuaian dengan ajaran Islam yang tidak mengingkan kekayaan ada pada orang yang tidak berilmu.
Allah SWT berfirman : Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang bodoh, harta yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.(QS An-Nisa 5)
Dari Amru bin Ash, Rasulullah SAW bersabda : " Sebaik-baik harta adalah yang ada di tangan laki-laki shalih " ( HR Ahmad)
c) Bahwasanya ilmu tanpa kekayaan tetaplah mulia. Ia bisa terus mengajarkan kebaikan, dan juga meniatkan berbuat baik atau bersedekah ketika harta itu akhirnya datang juga.
Kedua : Sama-sama bolehnya iri dengan orang kaya dan orang berilmu
Dari Ibnu Mas'ud ra, Rasulullah SAW bersabda : " Tidak boleh iri (hasad) kecuali pada dua orang (yaitu) ; laki-laki yang diberikan harta oleh Allah, kemudian ia menggunakannya dengan baik dan benar, dan laki-laki yang diberikan hikmah (ilmu) oleh Allah, maka ia menghukumi dengannya dan mengajarkannya (HR Muttafaq 'alaih)
Hadits di atas sama-sama memotivasi kita untuk menjadi orang kaya di satu sisi, dan menjadi orang berilmu di sisi yang lain. Diawal hadits saja telah disebutkan dengan tegas, bolehnya iri atau ingin menjadi dua orang yang disebutkan di atas. Namun sekali lagi, kemuliaan ilmu dan kemuliaan harta ternyata juga harus diikuti dengan pemenuhan kewajiban-kewajibannya. Mempunyai ilmu harus berani mengajarkan, sementara mempunyai harta berarti harus berani menggunakannya di jalan yang benar serta menginfakkannya. Pada sisi ini, berarti antara kaya dan berilmu posisinya netral, sama-sama berpotensi untuk mulia, atau juga hina!
JANGAN GAK PD KALAU 'CUMA' GAK PUNYA HARTA !
Setelah pembahasan di atas, sebenarnya hampir bisa disimpulkan bahwa Islam memandang Kaya dan Ilmu adalah sarana untuk menjalankan kebaikan-kebaikan. Dengan ilmu ia bisa berdakwah, mengajarkan kebaikan, sedangkan dengan harta ia bisa berinfak dan menolong yang lainnya. Artinya, baik orang kaya maupun orang berilmu jika tidak mendatangkan manfaat, maka Islam tidak pernah memuji mereka.
Adapun jika tetap ada yang bertanya, mana yang lebih baik dari keduanya ? Ilmu atau harta ? Maka sebenarnya sudah banyak yang menjawab masalah ini, bahkan sahabat Ali bin Abi Thalib yang disebut 'pintunya ilmu' oleh Rasulullah SAW, pernah menyebutkan sebelas keunggulan ilmu atas harta. Sayang sekali saya tidak menemukan nash dari sumbernya yang paten. Jangan terburu khawatir, insya Allah kita masih bisa menganalisanya, seperti dibawah ini, yaitu keunggulan ilmu atas harta. Perlu dicatat, ini bukan berarti memprovokasi untuk menjadi orang miskin, tetapi menjadi orang berilmu. So, jadi salah paham.
Berikut beberapa keunggulan ilmu atas harta, dalam berbagai kalimat dan kesimpulan sederhana.
(1) Dalam ayat Al-Quran, ketika disebut ilmu atau orang berilmu, senantiasa diikuti dengan pujian bahkan penegasan tentang kemuliaan derajat mereka. Sebaliknya, ketika Al-Quran berbicara tentang harta dan orang kaya, biasanya diikuti dengan peringatan dan celaan.Bahkan secara tegas juga disebutkan bahwa harta itu adalah fitnah, ujian dan melalaikan.
(2) Dalam Hadits, warisan Nabi adalah ilmu, bukan harta. Dengan tegas disebutkan bahwa Nabi tidak mewariskan satu dinar bahkan satu dirham sekalipun, tetapi yang diwariskan pada umatnya adalah ilmu. Maka siapa yang tidak ingin menjadi pewaris Nabi ?
(3) Sebagaimana dalam hadits terdahulu disebutkan, bahwa kekayaan tanpa ilmu itu fitnah tiada guna, sedang ilmu tanpa kekayaan tetap mulia.
(4) Ilmu menjaga pemiliknya, sedangkan harta dijaga oleh pemiliknya.
(5) Ilmu ketika dikeluarkan akan bertambah, sedangkan harta ketika dikeluarkan maka secara dhohir pasti berkurang.
(6) Ilmu secara umum tidak bisa hilang kecuali karena pikun, gila atau kematian, sedangkan Harta bisa hilang dengan mudah jika tidak dijaga
(7) Ilmu mencarinya membutuhkan perjuangan yang berat. Karena perjuangan, kesungguhan dan waktu yang lama inilah maka menjadi orang berilmu adalah sebuah kemuliaan dan pahala yang besar. Sedangkan harta bisa di dapat dengan cepat, apakah dengan cara yang baik maupun buruk. Dalam satu malam orang bisa jadi milyader, tapi tidak ada dalam satu malam orang menjadi berilmu !
(8) Anjuran Islam untuk mencari ilmu dan bertanya kepada orang-orang berilmu, sedangkan kepada orang kaya, justru malah dianjurkan berhati-hati dan tidak berlebihan dalam bergaul dengan mereka. Di dalam hadits disebutkan bahwa : " mujalasah (duduk /berinteraksi) dengan ulama adalah ibadah ", sedangkan Rasulullah SAW pernah berpesan kepada istri beliau Aisyah ra , " Janganlah atau hati-hatilah engkau bergaul dengan orang-orang kaya ". (HR Tirmidzi). Begitupula Rasulullah SAW menyebutkan , " Jangan terlalu banyak mengunjungi orang-orang kaya, karena itu lebih mungkin akan membuatmu kurang mensyukuri nikmat Allah SWT"(HR Baihaqi dan Al-Hakim). Aun bin Abdullah mengatakan : "Aku bergaul dengan orang-orang kaya dan aku tidak melihat ada orang yang lebih obsesif kecuali diriku, aku melihat kuda yang lebih baik dari milikku, aku melihat baju yang lebih baik dari miliku. Kemudian aku bergaul dengan orang miskin, maka aku menjadi tenang ".
(9) Sejarah akan mencatat dan mengenang orang-orang berilmu dengan lengkap dan baik, tetapi sedikit sekali sejarah yang mencatat nama-nama orang-orang berharta dari masa ke masa. Hingga hari ini belum ada kitab sejarah Islam yang menulis tentang kisah orang-orang kaya.
(10) Secara umum, kemanfaatan ilmu lebih luas menembus ruang, jarak dan waktu, sedangkan harta pemanfaatannya lebih terbatas dan lebih singkat.
Begitu banyak keunggulan ilmu atas harta, rasa-rasanya adalah zalim kalau kemudian kita mendahulukan mencari harta dari mencari ilmu. Zalim adalah lawan dari Adil, sedangkan Adil adalah menempatkan sesuatu sesuai dengan haknya. Kalau kita sadar bahwa ilmu lebih mulia, maka tidak perlu minder kan kalau kita saat ini 'sekedar' belum punya harta ? Yang terpenting, cari ilmu tetap jalan terus. Biarlah bersepeda asal kuliah tak pernah telat, daripada naik mobil cuma niat ngejar absen plus ngeceng. Ibaratnya jargon orang Barat : " Ndeso mas gogon !" ! eh, maksud kami " the show must go on ! ".
Subhanallah... sebuah pencerahan tuk kembali bergerak. Jadi rindu perjuangan ta'lim masa lalu. Saya tunggu tulisan ustad tentang cara mengukur kebarokahan 'ilmu yang kita tuntut.
BalasHapus