Pendahuluan : Harta : Antara Fitnah dan Anugerah
Islam sejatinya menempatkan harta pada posisi yang netral. Ia bukanlah sesuatu yang tercela atau terpuji dengan sendirinya, melainkan pemilik harta itulah yang menjadikan harta itu berubah menjadi fitnah atau anugerah. Islam mengakui dengan gamblang fungsi harta sebagai penopang dalam kelancaran menjalani kehidupan, karenanya Islam berpesan untuk tidak menyerahkan harta pada mereka yang tidak kredibel dalam mengelolanya. Allah SWT berfirman :
" Dan janganlah kamu serahkan (harta-hartamu) kepada orang-orang yang bodoh , harta yang dijadikan Allah bagimu sebagai pokok kehidupan". (QS An-Nisa 5)
Bahkan dalam beberapa ayat (QS Al-Adiyat 8, Al-Baqoroh 180), Allah SWT juga menyebutkan 'harta' dengan lafadz "al-khoir" yang berarti : kebaikan. Ini mengisyaratkan sebuah hikmah dan rahasia kebaikan dalam sebuah harta.
Karenanya secara umum, harta atau kekayaan tidak perlu ditakuti secara berlebihan, apalagi mengatasnamakan anjuran Islam. Sikap phobi dan menjauhi harta, sebagaimana jalan yang dipilih sebagian kaum sufi, tidak seharusnya kita adopsi mentah-mentah begitu saja. Bukan harta atau kekayaan, sejatinya yang kita takuti adalah efek lanjutan dari harta /kekayaan yang bisa melalaikan. Dalil Al-Quran dan Sunnah selalu mengingatkan akan hal ini, yaitu jangan sampai harta membuat kita lalai. Ketika kita tidak lalai dari mengingat Allah SWT, maka harta kekayaan kita akan dijanjikan keberuntungan oleh Allah SWT.
" Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. barangsiapa yang berbuat demikian Maka mereka Itulah orang-orang yang merugi. " ( QS Al-Munafiqun 9 )
" Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung" (QS Jumat 10)
Paparan dua ayat di atas menjadi demikian jelas bagi kita, bahwa dalam masalah berinteraksi dengan harta dan bisnis, kata kuncinya ada dua :
1) Lalai dari mengingat Allah menjadikan kita rugi dan harta statusnya menjadi fitnah,
2) dan sebaliknya ; selalu mengingat Allah SWT dalam perniagaan , kita akan beruntung dan harta menjadi anugerah.
Berbagai alasan untuk menjadi kaya
Ketika kita sudah lebih netral dalam memposisikan harta, tidak phobi dan juga tidak menganggapanya segala-galanya bagi kehidupan kita, maka mari kita pertajam bahasa kita untuk menyadari bahwasanya ajaran Islam secara langsung maupun tidak menuntut kita untuk menjadi kaya, atau lebih kaya dari sebelumnya. Berikut beberapa alasan Islam menuntut kita untuk kaya :
Pertama : Lebih Kaya berarti lebih bisa bermanfaat bagi yang lainnya
Dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah SAW bersabda : " Manusia yang paling baik adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya " (HR Baihaqi dan Ibn Asakir) , dalam riwayat : " yang paling dicintai oleh Allah SWT ".
Dengan kekayaan, seseorang bisa memberi manfaat untuk orang lain. Ia bisa berkontribusi dengan hartanya untuk membantu seseorang yang membutuhkan. Ibadah sosial seperti ini tidak bisa diremehkan, dalam riwayat dari Ibnu Abbas ra disebutkan ; pahalanya melebihi itikaf di masjid nabawi sebulan penuh ! Inilah peluang kemuliaan tersendiri yang harus disadari dan disambut oleh orang-orang kaya.
Kedua : Menjauhkan dari efek negatif kemiskinan
Rasulullah SAW sejak dini mengajarkan pada kita untuk menjauhi kemiskinan. Dalam doa-doa beliau senantiasa diisyaratkan untuk mengarah pada kekayaan dan berlepas dari kemiskinan. Dari Abdullah bin Mas'ud, bahwasanya Rasulullah SAW berdoa pada dua hari raya : Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu ketakwaan, harga diri, kekayaan dan petunjuk " (HR Thobroni )
Dari Abi Bakroh ra, saya mendengar Rasulullah SAW berdoa : " Ya Allah , sesungguhnya Aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran dan kefakiran " (HR Al-Hakim)
Dengan menjadi kaya, otomatis kita bisa menjauhi dari efek negatif kemiskinan. Dalam hal ini kita bisa lihat contoh dari Lukman al-Hakim yang mengingatkan anaknya tentang bahaya kemiskinan. Ia berpesan kepada anaknya : " wahai anakku ..hendaklah engkau berusaha untuk mencari penghasilan yang halal, karena tidaklah seseorang itu menjadi fakir melainkan ia akan terkena tiga akibat, yaitu : tipis dalam agamanya, lemah akalnya, dan hilang kewibawaannya, dan ketahuilan yang paling buruk dari itu semua adalah : orang-orang akan meremehkannya !" (Mukhtasor Minhajul Qosidin)
Ketiga : Banyak amal ibadah dan anjuran Islam memerlukan dana besar
Sebagai sebuah konsekuensi dari ajaran Islam yang syamil, maka muncul banyak ragam amalan syar'I yang mau tidak mau membutuhkan pendanaan yang cukup. Contoh sederhana adalah jihad dan haji. Kedua amalan agung tersebut setidaknya membutuhkan kesiapan finansial yang lebih besar dari ibadah yang lain. Dari mulai transportasi, senjata hingga persiapan logistik. Bahkan dalam perang Tabuk, beberapa sahabat yang tulus ingin ikut berperang gagal berangkat karena tidak kebagian jatah logistik yang cukup.( Lihat : QS At-Taubah 91-92).
Itu dari contoh yang wajib, yaitu jihad dan haji. Sebenarnya ada beberapa amalan sunnah yang dianjurkan Islam jelas-jelas membutuhkan modak banyak dalam menjalankannya. Misalnya perintah Umar bin Khatab pada warga Syam untuk melatih anak-anak mereka tiga hal, yaitu ; berenang, menunggang kuda dan memanah ! Bayangkan saja di jaman ini berapa banyak biaya yang harus kita siapkan untuk berlatih menunggang kuda, berenang dan memanah ? Jawabnya sederhana ; hanya mereka yang berduit yang bisa melakukannya.
Keempat : Karena hukum asal kenikmatan dunia ini memang boleh
Ini alasan paling sederhana tapi memang logis, yaitu bahwasanya segala kenikmatan di dunia ini memang diciptakan Allah untuk manusia. Jika tidak ada dalil yang jelas dan tegas mengharamkannya, maka hukum asalnya adalah mubah. Allah SWT pun mengingatkan kita supaya tidak 'melulu' mencari akhirat, tetapi juga harus mengambil bagian dari kenikmatan dunia.
"Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi.( QS Al-Qoshos 77)
"Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal (ketenangan) } dan Dia menjadikan bagi kamu rumah-rumah (kemah-kemah) dari kulit binatang ternak yang kamu merasa ringan membawanya di waktu kamu berjalan dan di waktu kamu bermukim dan (dijadikannya pula) dari bulu domba, bulu onta, bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu) " ( QS An-Nahl : 80)
Islam bukan cuma mengingatkan tentang kenikmatan dunia, tetapi bahkan Rasulullah SAW juga memberikan semacam batasan standar yang wajar untuk dicari dan diusahakan.
Dari Sa’d bin Abi Waqof, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda : Empat hal termasuk unsur kebahagiaan : istri yang sholeh, tempat tinggal yang luas, tetangga yang baik dan kendaraan yang nyaman “ ( HR Hakim dalam Al-Mustadrok )
Hadits di atas memberikan standar kebahagiaan dunia yang wajar dan layak untuk 'sedikit' kita perhatikan, yaitu berupa ; tempat tinggal yang luas dan kendaraan yang nyaman.
Kelima : Karena Fitrah manusia memang diarahkan untuk menjadi orang kaya !
Bukanlah suatu hal yang berlebihan jika kita mengatakan bahwa fitrah manusia memang dianugerahkan oleh Allah SWT untuk menjadi kaya raya. Karenanya manusia diberikan kecintaan yang fitrah pada banyak hal di dunia ini yang –secara umum- harus didapatkan dengan sebuah kekayaan. Allah SWT berfirman : " Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)." (QS Ali Imron 14)
Keenam : Islam melarang kita meninggalkan generasi yang miskin !
Allah SWT berfirman : "Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. " (QS An-Nisa 9)
Ayat di atas memang tidak langsung berhubungan dengan motivasi untuk kaya, karena sejatinya ayat tersebut lebih membahas tentang wasiat dan adab-adabnya. Tetapi secara keumuman makna, ayat tersebut juga mengisyaratkan bagi para orang tua untuk meninggalkan harta yang cukup bagi anak-anaknya, agar tidak ditinggalkan –ketika meninggal- dalam kondisi yang lemah, apalagi meminta-minta kepada orang lain.
Ini berarti untuk meninggalkan harta warisan yang cukup bagi keturunan kita yang akan datang, kita butuh bukan sekedar kaya, tetapi kaya raya. Agar tidak hanya kita dan keluarga saja yang menikmati dan mengelolanya, tetapi juga generasi selanjutnya.
Penutup : Mengelola Kekayaan dengan Ilmu dan Keshalihan
Islam selalu menambahkan 'ilmu' dan 'keshalihan' saat bercerita tentang harta yang baik. Ini menandakan bahwa semua harta kita menjadi tiada guna jika tidak diikuti dengan kemampuan maintenance yang diharapkan Islam. Karenanya, syarat kredibilitas dan kapabilitas dalam mengelola harta selalu dituntut agar menjaga harta itu tetap sebagai anugerah dan tidak berubah menjadi fitnah.
Tentang syarat kredibilitas, Rasulullah SAW bersabda : " Sebaik-baik harta yang baik adalah yang ada pada lelaki yang sholih (bertakwa) " (Shahih dg syarat Muslim). Adapun tentang kapabilitas, Rasulullah SAW menyebutkan dalam haditsnya : " Seorang hamba yang diberikan rizki oleh Allah berupa harta dan ilmu, maka ia takut pada Allah, menyambung silaturahmi dengan hartanya, dan mengetahui bahwa dalam harta itu ada hak Allah, maka orang ini mempunyai posisi yang paling utama " (HR Tirmidzi)
Akhirnya , dengan ilmu dan keshalihan, harta akan benar-benar menjadi anugerah bagi pemiliknya. Rumah yang nyaman dan luas akan menjadi lahan persemaian benih-benih genarasi cendekia yang beriman. Kita bisa membuka sebuah taman baca untuk anak dan remaja, mengundang pengajian ibu-ibu, atau mengajak bapak-bapak arisan RT sambil berdiskusi ringan tentang kehidupan. Dengan ilmu, kendaraan kita yang nyaman bisa mengantarkan kita menghadiri majelis-majelis ilmu : pengajian, kajian, seminar atau bahkan bangku perkuliahan, dengan cepat dan bersahabat.
Jadi, selalu ada alasan untuk kaya raya .Wallahu a'lam.
Islam sejatinya menempatkan harta pada posisi yang netral. Ia bukanlah sesuatu yang tercela atau terpuji dengan sendirinya, melainkan pemilik harta itulah yang menjadikan harta itu berubah menjadi fitnah atau anugerah. Islam mengakui dengan gamblang fungsi harta sebagai penopang dalam kelancaran menjalani kehidupan, karenanya Islam berpesan untuk tidak menyerahkan harta pada mereka yang tidak kredibel dalam mengelolanya. Allah SWT berfirman :
" Dan janganlah kamu serahkan (harta-hartamu) kepada orang-orang yang bodoh , harta yang dijadikan Allah bagimu sebagai pokok kehidupan". (QS An-Nisa 5)
Bahkan dalam beberapa ayat (QS Al-Adiyat 8, Al-Baqoroh 180), Allah SWT juga menyebutkan 'harta' dengan lafadz "al-khoir" yang berarti : kebaikan. Ini mengisyaratkan sebuah hikmah dan rahasia kebaikan dalam sebuah harta.
Karenanya secara umum, harta atau kekayaan tidak perlu ditakuti secara berlebihan, apalagi mengatasnamakan anjuran Islam. Sikap phobi dan menjauhi harta, sebagaimana jalan yang dipilih sebagian kaum sufi, tidak seharusnya kita adopsi mentah-mentah begitu saja. Bukan harta atau kekayaan, sejatinya yang kita takuti adalah efek lanjutan dari harta /kekayaan yang bisa melalaikan. Dalil Al-Quran dan Sunnah selalu mengingatkan akan hal ini, yaitu jangan sampai harta membuat kita lalai. Ketika kita tidak lalai dari mengingat Allah SWT, maka harta kekayaan kita akan dijanjikan keberuntungan oleh Allah SWT.
" Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. barangsiapa yang berbuat demikian Maka mereka Itulah orang-orang yang merugi. " ( QS Al-Munafiqun 9 )
" Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung" (QS Jumat 10)
Paparan dua ayat di atas menjadi demikian jelas bagi kita, bahwa dalam masalah berinteraksi dengan harta dan bisnis, kata kuncinya ada dua :
1) Lalai dari mengingat Allah menjadikan kita rugi dan harta statusnya menjadi fitnah,
2) dan sebaliknya ; selalu mengingat Allah SWT dalam perniagaan , kita akan beruntung dan harta menjadi anugerah.
Berbagai alasan untuk menjadi kaya
Ketika kita sudah lebih netral dalam memposisikan harta, tidak phobi dan juga tidak menganggapanya segala-galanya bagi kehidupan kita, maka mari kita pertajam bahasa kita untuk menyadari bahwasanya ajaran Islam secara langsung maupun tidak menuntut kita untuk menjadi kaya, atau lebih kaya dari sebelumnya. Berikut beberapa alasan Islam menuntut kita untuk kaya :
Pertama : Lebih Kaya berarti lebih bisa bermanfaat bagi yang lainnya
Dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah SAW bersabda : " Manusia yang paling baik adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya " (HR Baihaqi dan Ibn Asakir) , dalam riwayat : " yang paling dicintai oleh Allah SWT ".
Dengan kekayaan, seseorang bisa memberi manfaat untuk orang lain. Ia bisa berkontribusi dengan hartanya untuk membantu seseorang yang membutuhkan. Ibadah sosial seperti ini tidak bisa diremehkan, dalam riwayat dari Ibnu Abbas ra disebutkan ; pahalanya melebihi itikaf di masjid nabawi sebulan penuh ! Inilah peluang kemuliaan tersendiri yang harus disadari dan disambut oleh orang-orang kaya.
Kedua : Menjauhkan dari efek negatif kemiskinan
Rasulullah SAW sejak dini mengajarkan pada kita untuk menjauhi kemiskinan. Dalam doa-doa beliau senantiasa diisyaratkan untuk mengarah pada kekayaan dan berlepas dari kemiskinan. Dari Abdullah bin Mas'ud, bahwasanya Rasulullah SAW berdoa pada dua hari raya : Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu ketakwaan, harga diri, kekayaan dan petunjuk " (HR Thobroni )
Dari Abi Bakroh ra, saya mendengar Rasulullah SAW berdoa : " Ya Allah , sesungguhnya Aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran dan kefakiran " (HR Al-Hakim)
Dengan menjadi kaya, otomatis kita bisa menjauhi dari efek negatif kemiskinan. Dalam hal ini kita bisa lihat contoh dari Lukman al-Hakim yang mengingatkan anaknya tentang bahaya kemiskinan. Ia berpesan kepada anaknya : " wahai anakku ..hendaklah engkau berusaha untuk mencari penghasilan yang halal, karena tidaklah seseorang itu menjadi fakir melainkan ia akan terkena tiga akibat, yaitu : tipis dalam agamanya, lemah akalnya, dan hilang kewibawaannya, dan ketahuilan yang paling buruk dari itu semua adalah : orang-orang akan meremehkannya !" (Mukhtasor Minhajul Qosidin)
Ketiga : Banyak amal ibadah dan anjuran Islam memerlukan dana besar
Sebagai sebuah konsekuensi dari ajaran Islam yang syamil, maka muncul banyak ragam amalan syar'I yang mau tidak mau membutuhkan pendanaan yang cukup. Contoh sederhana adalah jihad dan haji. Kedua amalan agung tersebut setidaknya membutuhkan kesiapan finansial yang lebih besar dari ibadah yang lain. Dari mulai transportasi, senjata hingga persiapan logistik. Bahkan dalam perang Tabuk, beberapa sahabat yang tulus ingin ikut berperang gagal berangkat karena tidak kebagian jatah logistik yang cukup.( Lihat : QS At-Taubah 91-92).
Itu dari contoh yang wajib, yaitu jihad dan haji. Sebenarnya ada beberapa amalan sunnah yang dianjurkan Islam jelas-jelas membutuhkan modak banyak dalam menjalankannya. Misalnya perintah Umar bin Khatab pada warga Syam untuk melatih anak-anak mereka tiga hal, yaitu ; berenang, menunggang kuda dan memanah ! Bayangkan saja di jaman ini berapa banyak biaya yang harus kita siapkan untuk berlatih menunggang kuda, berenang dan memanah ? Jawabnya sederhana ; hanya mereka yang berduit yang bisa melakukannya.
Keempat : Karena hukum asal kenikmatan dunia ini memang boleh
Ini alasan paling sederhana tapi memang logis, yaitu bahwasanya segala kenikmatan di dunia ini memang diciptakan Allah untuk manusia. Jika tidak ada dalil yang jelas dan tegas mengharamkannya, maka hukum asalnya adalah mubah. Allah SWT pun mengingatkan kita supaya tidak 'melulu' mencari akhirat, tetapi juga harus mengambil bagian dari kenikmatan dunia.
"Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi.( QS Al-Qoshos 77)
"Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal (ketenangan) } dan Dia menjadikan bagi kamu rumah-rumah (kemah-kemah) dari kulit binatang ternak yang kamu merasa ringan membawanya di waktu kamu berjalan dan di waktu kamu bermukim dan (dijadikannya pula) dari bulu domba, bulu onta, bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu) " ( QS An-Nahl : 80)
Islam bukan cuma mengingatkan tentang kenikmatan dunia, tetapi bahkan Rasulullah SAW juga memberikan semacam batasan standar yang wajar untuk dicari dan diusahakan.
Dari Sa’d bin Abi Waqof, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda : Empat hal termasuk unsur kebahagiaan : istri yang sholeh, tempat tinggal yang luas, tetangga yang baik dan kendaraan yang nyaman “ ( HR Hakim dalam Al-Mustadrok )
Hadits di atas memberikan standar kebahagiaan dunia yang wajar dan layak untuk 'sedikit' kita perhatikan, yaitu berupa ; tempat tinggal yang luas dan kendaraan yang nyaman.
Kelima : Karena Fitrah manusia memang diarahkan untuk menjadi orang kaya !
Bukanlah suatu hal yang berlebihan jika kita mengatakan bahwa fitrah manusia memang dianugerahkan oleh Allah SWT untuk menjadi kaya raya. Karenanya manusia diberikan kecintaan yang fitrah pada banyak hal di dunia ini yang –secara umum- harus didapatkan dengan sebuah kekayaan. Allah SWT berfirman : " Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)." (QS Ali Imron 14)
Keenam : Islam melarang kita meninggalkan generasi yang miskin !
Allah SWT berfirman : "Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. " (QS An-Nisa 9)
Ayat di atas memang tidak langsung berhubungan dengan motivasi untuk kaya, karena sejatinya ayat tersebut lebih membahas tentang wasiat dan adab-adabnya. Tetapi secara keumuman makna, ayat tersebut juga mengisyaratkan bagi para orang tua untuk meninggalkan harta yang cukup bagi anak-anaknya, agar tidak ditinggalkan –ketika meninggal- dalam kondisi yang lemah, apalagi meminta-minta kepada orang lain.
Ini berarti untuk meninggalkan harta warisan yang cukup bagi keturunan kita yang akan datang, kita butuh bukan sekedar kaya, tetapi kaya raya. Agar tidak hanya kita dan keluarga saja yang menikmati dan mengelolanya, tetapi juga generasi selanjutnya.
Penutup : Mengelola Kekayaan dengan Ilmu dan Keshalihan
Islam selalu menambahkan 'ilmu' dan 'keshalihan' saat bercerita tentang harta yang baik. Ini menandakan bahwa semua harta kita menjadi tiada guna jika tidak diikuti dengan kemampuan maintenance yang diharapkan Islam. Karenanya, syarat kredibilitas dan kapabilitas dalam mengelola harta selalu dituntut agar menjaga harta itu tetap sebagai anugerah dan tidak berubah menjadi fitnah.
Tentang syarat kredibilitas, Rasulullah SAW bersabda : " Sebaik-baik harta yang baik adalah yang ada pada lelaki yang sholih (bertakwa) " (Shahih dg syarat Muslim). Adapun tentang kapabilitas, Rasulullah SAW menyebutkan dalam haditsnya : " Seorang hamba yang diberikan rizki oleh Allah berupa harta dan ilmu, maka ia takut pada Allah, menyambung silaturahmi dengan hartanya, dan mengetahui bahwa dalam harta itu ada hak Allah, maka orang ini mempunyai posisi yang paling utama " (HR Tirmidzi)
Akhirnya , dengan ilmu dan keshalihan, harta akan benar-benar menjadi anugerah bagi pemiliknya. Rumah yang nyaman dan luas akan menjadi lahan persemaian benih-benih genarasi cendekia yang beriman. Kita bisa membuka sebuah taman baca untuk anak dan remaja, mengundang pengajian ibu-ibu, atau mengajak bapak-bapak arisan RT sambil berdiskusi ringan tentang kehidupan. Dengan ilmu, kendaraan kita yang nyaman bisa mengantarkan kita menghadiri majelis-majelis ilmu : pengajian, kajian, seminar atau bahkan bangku perkuliahan, dengan cepat dan bersahabat.
Jadi, selalu ada alasan untuk kaya raya .Wallahu a'lam.
Assalamualaikum, afwan ni Mas, menurut saya harta itu sebenarnya fitnah bagi manusia sebagaimana Allah sebutkan dalam Alquran: Innama amwalukum wa awladukum fitnah.artinya dengan hartanya itu menjadi cobaan bagi manusia, apakah harta yang diberikan Allah kepdanya itu akan digunakan sebaik-baiknya sebagai sarana beribadah dan bertaqarrab kepadaNya ataukah sebaliknya akan menjauhkannya dari Allah.
BalasHapuswa'alaikum salam, jazakumullah atas commentnya .. saya setuju kok 100 % dengan mas/mbak, harta itu memang fitnah, dan fitnah dalam bahasa arab itu artinya ujian ... namanya ujian pasti ada yang gagal dan ada yang lulus. nah artikel di atas ingin memotivasi orang agar mencari penghasilan sesuai anjuran islam, dan pada saat yang sama mengarahkan agar menggunakan harta untuk kebaikan dan taqarrub ila Allah.
BalasHapuswah berarti tak ada alsan juga kita miskin ya hehe
BalasHapussaya tidak ingin kaya tetapi harus kaya (Aa Gym) apa sama dengan itu Ustadz
BalasHapusAsslm...ustdz, saya setuju. Apalagi qt tahu bahwa tauladan qt Rasulullah saw adalah orang yg kaya raya. Itulah jg yg menginspirasi kami setahun yg lalu utk memberi nama anak pertama kami Aisyah Ghina Nafi'ah (Semoga menjd wanita sholihah yg cerdas, kaya, lagi bermanfaat bg dakwah ini amiin..seperti ibunda aisyah ra dan khadijah ra..^_^)
BalasHapusTp ustdz, fonomena saat ini tidak sedikit pasangan aktifs dakwah yg akhirnya menurun kontribusi dakwahnya demi "mengejar harta" atau dgn alasan mencari maisyah lebih(apalagi skrang memang jd keharusan misalnya klo ingin anak mndapat pendidikan yg kondusif maka hrs mnyekolahkannya disklh yang baik yg tentunya biaya jg mahal (SDIT dan sejenisnya), belum lagi kebutuhan2 lainnya)).
kalau sudah bgni gimana ustdz? sebenarnya apa yang salah? kenapa koq tdk dari dulu misalnya dipahamkan mengenai pentingnya berpenghasilan sebelum menikah? artinya qt "TETAP BERPENGHASILAN (dan CUKUP MEMENUHI KEBUTUHAN)hehe.." TIDAK HARUS "BERPENGHASILAN TETAP" Kenapa "generasi terdahulu" kesannya yg penting menikah dulu, urusan pekerjaan sambil jalan bisalah.. Mohon diluruskan pemahaman saya jika salah ustdz.. Jazakallah khairan..
artikel yang menarik
BalasHapus