Tahun berganti dan kita harus tetap optimis. Di Indonesia masih teramat banyak orang baik. Meskipun setiap hari pemberitaan di media massa yang ada adalah korupsi, kolusi, pembunuhan, pemerkosaan, dan pesta narkoba, percayalah bahwa masih banyak orang baik dan bersahaja di negri kita. Mari kita lihat sejenak, dalam sebuah bus kota yang melenggang di teriknya panas ibukota. Memang ada satu, dua atau tiga yang berprofesi copet. Sementara yang lainnya adalah orang-orang biasa yang sibuk dengan urusannya masing-masing.Tapi tunggu dan perhatikanlah barang sejenak. Bukankah ada satu dua orang baik yang memberikan tempat duduknya pada kaum wanita dan mereka yang berusia renta. Sementara peluh mereka keluar bercucuran tapi hati terasa begitu lapang. Ternyata Indonesia kita memang masih menyimpan banyak orang baik.
Saat segerombolan wakil rakyat ingin meningkatkan prestasinya dengan studi banding ke luar negri (Belanda -silaturahmi ke mantan penjajah, dan Mesir-ziaroh ke makam firaun), ada saja satu aleg yang menolak ikut berangkat karena ada harga psikologis yang tak terbayarkan saat melihat kondisi rakyat yang kelaparan penuh derita. Cerita lain, saat para pejabat negara ingin menunaikan sunnah Nabi ‘kendaraan yang nyaman’ dengan berlomba-lomba membeli Jaguar dan sejenisnya seharga milyaran, ada saja satu dua wakil rakyat dan hakim agung yang dengan ‘angkuh’nya mengendarai ‘kuda beroda dua’ menuju tempat kerjanya sehari-hari. Hingga menuai salah paham antara mereka dengan petugas keamanan di Senayan.
Bahkan saat bencana tiba, dari Aceh, Nias, hingga yang terbaru di Jember dan Banjarnegara. Saat semua masih hanyut dalam kedukaan dan tangis yang mendayu-dayu. Saat semua mata masih asyik mengikuti perkembangan berita dari televisi detik demi detik. Ada saja tangan-tangan kokoh dan kaki-kaki yang melangkah tegap berjibaku dengan tanah, lumpur, darah, dan mayat sekalipun. Menyelamatkan seuntai jiwa yang tersisa. Tak kenal menyerah dan putus asa, meski banyak komentar dan cemoohan yang meragukan niat dan ketulusan mereka. Saat seorang tokoh nasional menyatakan dengan sinis di televisi, “ Ada partai politik yang berkampanye di tengah bencana ! “. Maka mereka menjawab dengan raut muka yang tak berubah, “ Mohon jangan ganggu, kami sedang bekerja ! “. Tegas, jujur dan peduli. Demikian slogan nurani yang terdengar jelas dari sikap orang-orang baik itu.
Masih teramat banyak orang baik di Indonesia. Orang baik itu akan terus menjadi baik selama mereka optimis bahwa kebaikan mereka akan berbuah suatu ketika nanti. Mereka senantiasa mencari alasan untuk optimis, ditengah semua kerusakan yang melanda bangsa ini. Bahwa suatu saat nanti, akan ada perubahan yang baik bagi bangsa Indonesia tercinta ini. Demikian pula kita bangsa Indonesia, harus belajar memupuk rasa optimis dalam memperbaiki nasib bangsa ini. Kita harus selalu optimis dan mencari-cari momentum untuk memperluas wilayah optimis dalam ruang pikiran kita.
Peringatan Hijrah Nabi Muhammad Saw adalah salah satu momentum yang tepat untuk belajar lebih benar tentang sikap optimis. Optimis bahwa bangsa ini bisa berubah dari kegelapan menuju cahaya kemajuan. Sebagaimana umat muslim di Mekkah yang tertindas, ketidakstabilan, dan mengalami embargo ekonomi sepanajang tiga tahun dari masyarakat sekelilingnya, kemudian berubah menjadi negara potensial Madinah , yang akhirnya menguasai lebih dari dua pertiga belahan bumi, hanya dalam hitungan dasawarsa.
Bangsa kita sedang mengalami keadaan yang menjadikan banyak rakyatnya ‘terpaksa’ menjadi pesimis. Bayangkan saja, korupsi yang begitu akut tak terobati ditambah keadilan hukum yang begitu taat pada kepentingan politik.. Siapapun akan kecewa dan pesimis saat mendapati terdakwa korupsi lepas bebas bertebaran ke ujung dunia, sementara ada maling kelas teri yang jasadnya teronggok membusuk di selokan. Mati kedinginan dan tenggelam karena menghindari kejaran massa yang tak mengenal ampun lagi.
Optimis adalah pesan singkat yang terus berulang saat kita ingin memaknai hijrah Nabi saw. Keadaan yang begitu berat penuh penyiksaan di Mekkah tidak mematikan semangat beliau saw dalam membangun kejayaan masyarakat muslim. Maka muncullah sebuah perintah hijrah untuk seluruh kaum muslimin tanpa kecuali. Sungguh salah jika ada anggapan ini adalah tindakan putus asa atau melarikan diri dari medan perjuangan. Namun justru sebaliknya, hijrah adalah puncak optimisme dari kaum muslimin waktu itu. Berbondong-bondong meninggalkan tanah kelahiran, harta, bahkan sanak keluarga demi sebuah episode perjuangan baru. Melakukan perjalanan jauh yang untuk ukuran masa kini dengan mobil ber-AC pun cukup melelahkan. Apakah proyek hijrah yang penuh pengorbanan seperti ini bisa dilakukan oleh orang-orang yang pesimis ? Jawabnya mustahil.
Optimis yang ditunjukkan dalam peristiwa hijrah bukan milik pribadi Rasulullah semata, melainkan adalah rasa yang melekat dalam sanubari semua penduduk muslim pada waktu itu. Baik yang muda, tua, wanita, anak-anak, bahkan mereka yang telah seattle baik secara ekonomi, politik dan sosial juga ikut berangkat. Sejarah mencatat gelombang hijrah yang berturut-turut dari Mekkah menuju Madinah, hingga terakhir kaum mustadh’afin (golongan lemah yang terhalangi fisik dan keadaannya untuk hijrah) pun dijemput melalui operasi khusus hingga tiba berkumpul semua di Madinah. Optimisme dalam melangkah menuju kebaikan memang harus berlaku bagi semua, bukan segolongan orang saja. Begitupun yang terjadi pada bangsa kita. Keinginan untuk mengupayakan kebaikan, berhijrah, juga harus muncul dan bergerak dari setiap nurani. Rakyat, juga pemerintah. PNS, polisi, hakim, politisi, juga mereka yang di jalan dan pasar-pasar. Para koruptor, baik tingkatan tender proyek nasional hingga calo paspor atau KTP harus sama-sama jera dan menghijrahkan diri bersama-sama memperbaiki bangsa.
Akhirnya, momentum hijrah ini bagaikan bunyi alarm yang begitu nyaring terdengar. Terserah pada kita, apakah kita akan bangkit tersadar dari tidur panjang ini dan memupuk rasa optimis untuk membangun bangsa ini? Atau hanya sekedar bangkit dan mematikan alarm, lalu kembali terbuai mimpi ? Kita semua tidak ingin bangsa Indonesia hanya menjadi bangsa pemimpi. Memang haruslah ada yang berubah. Harus ada yang berhijrah. Minimal hijrah dari rasa pesimis menuju optimis. Dari mental pecundang menjadi mental pemenang. Maka, esok hari bangunlah pagi-pagi. Lalu bertanyalah pada diri kita masing-masing ; sudahkah rasa optimis membangun Indonesia itu tumbuh melekat di benak kita masing-masiang ?. Jika tidak, maka silahkan undur diri dan tidur kembali. Jangan berharap kekuasaan dan jabatan apapun. Apalagi merebutnya dengan cara yang curang. Mundur saja, lalu dengan lapang dada kita akan titipkan Indonesia kita ini, hanya pada mereka yang optimis.
*tulisan yang saya tulis sekitar lima tahun yang lampau (2004) di negeri dua nil : Sudan.
Saat segerombolan wakil rakyat ingin meningkatkan prestasinya dengan studi banding ke luar negri (Belanda -silaturahmi ke mantan penjajah, dan Mesir-ziaroh ke makam firaun), ada saja satu aleg yang menolak ikut berangkat karena ada harga psikologis yang tak terbayarkan saat melihat kondisi rakyat yang kelaparan penuh derita. Cerita lain, saat para pejabat negara ingin menunaikan sunnah Nabi ‘kendaraan yang nyaman’ dengan berlomba-lomba membeli Jaguar dan sejenisnya seharga milyaran, ada saja satu dua wakil rakyat dan hakim agung yang dengan ‘angkuh’nya mengendarai ‘kuda beroda dua’ menuju tempat kerjanya sehari-hari. Hingga menuai salah paham antara mereka dengan petugas keamanan di Senayan.
Bahkan saat bencana tiba, dari Aceh, Nias, hingga yang terbaru di Jember dan Banjarnegara. Saat semua masih hanyut dalam kedukaan dan tangis yang mendayu-dayu. Saat semua mata masih asyik mengikuti perkembangan berita dari televisi detik demi detik. Ada saja tangan-tangan kokoh dan kaki-kaki yang melangkah tegap berjibaku dengan tanah, lumpur, darah, dan mayat sekalipun. Menyelamatkan seuntai jiwa yang tersisa. Tak kenal menyerah dan putus asa, meski banyak komentar dan cemoohan yang meragukan niat dan ketulusan mereka. Saat seorang tokoh nasional menyatakan dengan sinis di televisi, “ Ada partai politik yang berkampanye di tengah bencana ! “. Maka mereka menjawab dengan raut muka yang tak berubah, “ Mohon jangan ganggu, kami sedang bekerja ! “. Tegas, jujur dan peduli. Demikian slogan nurani yang terdengar jelas dari sikap orang-orang baik itu.
Masih teramat banyak orang baik di Indonesia. Orang baik itu akan terus menjadi baik selama mereka optimis bahwa kebaikan mereka akan berbuah suatu ketika nanti. Mereka senantiasa mencari alasan untuk optimis, ditengah semua kerusakan yang melanda bangsa ini. Bahwa suatu saat nanti, akan ada perubahan yang baik bagi bangsa Indonesia tercinta ini. Demikian pula kita bangsa Indonesia, harus belajar memupuk rasa optimis dalam memperbaiki nasib bangsa ini. Kita harus selalu optimis dan mencari-cari momentum untuk memperluas wilayah optimis dalam ruang pikiran kita.
Peringatan Hijrah Nabi Muhammad Saw adalah salah satu momentum yang tepat untuk belajar lebih benar tentang sikap optimis. Optimis bahwa bangsa ini bisa berubah dari kegelapan menuju cahaya kemajuan. Sebagaimana umat muslim di Mekkah yang tertindas, ketidakstabilan, dan mengalami embargo ekonomi sepanajang tiga tahun dari masyarakat sekelilingnya, kemudian berubah menjadi negara potensial Madinah , yang akhirnya menguasai lebih dari dua pertiga belahan bumi, hanya dalam hitungan dasawarsa.
Bangsa kita sedang mengalami keadaan yang menjadikan banyak rakyatnya ‘terpaksa’ menjadi pesimis. Bayangkan saja, korupsi yang begitu akut tak terobati ditambah keadilan hukum yang begitu taat pada kepentingan politik.. Siapapun akan kecewa dan pesimis saat mendapati terdakwa korupsi lepas bebas bertebaran ke ujung dunia, sementara ada maling kelas teri yang jasadnya teronggok membusuk di selokan. Mati kedinginan dan tenggelam karena menghindari kejaran massa yang tak mengenal ampun lagi.
Optimis adalah pesan singkat yang terus berulang saat kita ingin memaknai hijrah Nabi saw. Keadaan yang begitu berat penuh penyiksaan di Mekkah tidak mematikan semangat beliau saw dalam membangun kejayaan masyarakat muslim. Maka muncullah sebuah perintah hijrah untuk seluruh kaum muslimin tanpa kecuali. Sungguh salah jika ada anggapan ini adalah tindakan putus asa atau melarikan diri dari medan perjuangan. Namun justru sebaliknya, hijrah adalah puncak optimisme dari kaum muslimin waktu itu. Berbondong-bondong meninggalkan tanah kelahiran, harta, bahkan sanak keluarga demi sebuah episode perjuangan baru. Melakukan perjalanan jauh yang untuk ukuran masa kini dengan mobil ber-AC pun cukup melelahkan. Apakah proyek hijrah yang penuh pengorbanan seperti ini bisa dilakukan oleh orang-orang yang pesimis ? Jawabnya mustahil.
Optimis yang ditunjukkan dalam peristiwa hijrah bukan milik pribadi Rasulullah semata, melainkan adalah rasa yang melekat dalam sanubari semua penduduk muslim pada waktu itu. Baik yang muda, tua, wanita, anak-anak, bahkan mereka yang telah seattle baik secara ekonomi, politik dan sosial juga ikut berangkat. Sejarah mencatat gelombang hijrah yang berturut-turut dari Mekkah menuju Madinah, hingga terakhir kaum mustadh’afin (golongan lemah yang terhalangi fisik dan keadaannya untuk hijrah) pun dijemput melalui operasi khusus hingga tiba berkumpul semua di Madinah. Optimisme dalam melangkah menuju kebaikan memang harus berlaku bagi semua, bukan segolongan orang saja. Begitupun yang terjadi pada bangsa kita. Keinginan untuk mengupayakan kebaikan, berhijrah, juga harus muncul dan bergerak dari setiap nurani. Rakyat, juga pemerintah. PNS, polisi, hakim, politisi, juga mereka yang di jalan dan pasar-pasar. Para koruptor, baik tingkatan tender proyek nasional hingga calo paspor atau KTP harus sama-sama jera dan menghijrahkan diri bersama-sama memperbaiki bangsa.
Akhirnya, momentum hijrah ini bagaikan bunyi alarm yang begitu nyaring terdengar. Terserah pada kita, apakah kita akan bangkit tersadar dari tidur panjang ini dan memupuk rasa optimis untuk membangun bangsa ini? Atau hanya sekedar bangkit dan mematikan alarm, lalu kembali terbuai mimpi ? Kita semua tidak ingin bangsa Indonesia hanya menjadi bangsa pemimpi. Memang haruslah ada yang berubah. Harus ada yang berhijrah. Minimal hijrah dari rasa pesimis menuju optimis. Dari mental pecundang menjadi mental pemenang. Maka, esok hari bangunlah pagi-pagi. Lalu bertanyalah pada diri kita masing-masing ; sudahkah rasa optimis membangun Indonesia itu tumbuh melekat di benak kita masing-masiang ?. Jika tidak, maka silahkan undur diri dan tidur kembali. Jangan berharap kekuasaan dan jabatan apapun. Apalagi merebutnya dengan cara yang curang. Mundur saja, lalu dengan lapang dada kita akan titipkan Indonesia kita ini, hanya pada mereka yang optimis.
*tulisan yang saya tulis sekitar lima tahun yang lampau (2004) di negeri dua nil : Sudan.
Terima kasih sudah berkunjung ke blogku http://batupengajar.blogspot.com/
BalasHapusselamat datang, semoga bermanfaat dan salam optimis ...
BalasHapusini blog nya PKS ya?
BalasHapus