Awalnya saya ingin diam dan tidak reaktif. Polemik seputar film 2012 pastilah akan berakhir dengan sendirinya atau silent ending, ditelan pemberitaan baru lainnya dengan berlalunya hari dan bulan. Tapi saya tercenung dengan komentar-komentar yang ada di beberapa situs berita ternama saat memuat berita seputar 2012 dan sikap MUI. Dari mulai komentar yang moderat hingga abal-abal pun ada, saya berikan contohnya untuk anda :
“ Apa-apaan sih MUI ni...??? Kemaren FB mau di haramkan, sekarang film 2012 mau di haramkan lagi.. emang Indonesia ini di perintah ama MUI ya..?? berarti sia2 donk kita kemaren pemilihan presiden kalo ternyata MUI yang mengendalikan negara ini... “(Republika.co.id-19/11)
Saya merasa yang semacam ini selalu terulang, bahwa setiap polemik selalu dimainkan untuk menyasar dan mengarah pada ‘delegitimasi’ MUI. Entah sengaja atau tidak, selalu terasa ada upaya membenturkan MUI dengan keinginan masyarakat, sekaligus menempatkan MUI sebagai ‘pengganggu kenyamanan’ yang ujung-ujungnya pasti berdampak pada penghinaan atau kurang respek terhadap pada ulama. Pada titik inilah saya tergerak untuk menulis seputar polemik 2012. Bukan untuk membesar-besarkan yang tidak perlu, tapi sebuah upaya meredam gelisah fikir sekaligus berbagi pencerahan pada siapa saja yang mau belajar.
Pertama : Tentang imajinasi ilmiah yang dipaksakan dalam Film 2012
Bagi para pengamat film dan pecandu tontonan Holywood, film 2012 tentu bagi mereka adalah tak lebih dari rangkaian kisah fiksi ilmiah yang diangkat ke layar lebar. Film-film semacam itu biasanya menawarakan sound effect dam visualisasi gambar yang dasyhat dan memukau. Mengobral kecanggihan teknologi multi media modern untuk memanjakan mata dan telinga penontonnya. Yang sedikit berbeda adalah :
Pertama ; karena film ini menyebut sebuah tahun yang begitu dekat dengan zaman ini yaitu 2012, sehingga lebih membuat penasaran orang-orang saat ini. Istilah sederhanya adalah sangat “up date” .Padahal khayalan tentang gambaran dunia lebih parah bisa didapati dalam film-film lainnya, hanya saja mengambil setting yang terlampau jauh di masa depan, seperti 2050 dan seterusnya. Sebut saja film Startrek atau The Chronicles of Riddick dan yang semacamnya, di film-film tersebut dunia sudah benar-benar berubah 180 derajat.
Kedua ; Isu yang dipakai adalah sebuah bencana besar yang akan terjadi di bumi ini. Ini tentu lebih terlihat ‘nyata’ dari pada film-film sejenis seperti “Independence Day” dan “ War of World” yang menggambarkan ancaman kehancuran bumi dari kedatangan makhluk luar angkasa. Isu makhluk asing dalam film Holywood mungkin sudah terlampau sering hingga diperlukan sebuah inovasi tersendiri yang berbeda dari sebelumnya.
Atas dasar keinginan berinovasi inilah kemudian dicari sebuah pembenaran ilmiah. Setitik data dari ramalan suku Maya dan beberapa hasil penelitian NASA diolah sedemikian rupa untuk memperkuat khayalan mereka. Tentu saja sangat tidak berlebihan jika kita menyebutnya dengan sebuah imajinasi ilmiah dengan argumentasi yang dipaksakan. Betapa tidak ? sesepuh Suku Indian Maya pun sudah membantahnya, bahkan menyebut dengan jelas khayalan itu dari Barat bukan dari sukunya. Kambing hitam lainnya selain suku Maya, adalah NASA . Lembaga ini pun tak kurang ilmiahnya membantah yang diramalkan dalam 2012, bahkan meluncurkan satu situs resmi khusus untuk mengungkap kebenaran yang ada secara ilmiah.
Kesimpulan sederhananya, ini adalah film hasil dari imajinasi ilmiah yang dipaksakan. Mirip dengan film Jurrasic Park yang mengambil inspirasi ilmiah dari teori DNA dan cloning, lalu dikembangkan sedemikian rupa hingga cover ilmiahnya lebih terasa. Saya kira semua pasti sepakat, siapapun yang ingin berhasil dalam berbisnis maka ia harus kreatif dan inovatif. Dan produser 2012 telah membuktikannya. Mengkreasi setitik ramalan dan data, menjadi isu besar yang seolah dipenuhi argumentasi ilmiah yang membahana.
Kedua : Tentang “ Marketing by Issue” yang kental nuansanya dalam 2012.
Permasalahan selanjutnya yang lebih memprihatinkan adalah, dari sebuah imajinasi ilmiah yang dipaksakan, dikembangkan lagi menjadi sebuah isu bahwa film tersebut menggambarkan kiamat. Kiamat seperti apa yang dimaksudkan ? Jika kiamat –disepakati oleh semua agama samawi- berarti sebuah akhir kehidupan dunia, maka dalam film tersebut jelas-jelas ada yang tersisa. Penggambaran yang lebih tepat adalah film tersebut berkisah tentang fiksi terjadinya sebuah bencana besar yang merubah peta dunia, dimana satu-satunya daratan yang tersisa adalah benua afrika. Jadi pada titik ini, sesungguhnya tidak ada ‘kiamat’ dalam film 2012. Kiamat ada pada strategi pemasaran dan issu yang dimunculkan. Karena kiamat atau akhir dunia selalu menjadi perhatian tersendiri warga dunia, apalagi banyak yang mengatakan bumi sudah terlampau renta dengan banyaknya musibah yang melanda.
Fakta global warming dan pencairan es dikutub utara, belum lagi banyaknya angin topan di kawasan eropa dan amerika, gempa bumi dan tsunami di wilayah Asia, semua mengarah pada asumsi manusia bahwa bumi telah renta. Asumsi inilah yang dimainkan produser film tersebut dengan memberi label ‘kiamat’-secara tersirat- dalam pemasaran filmnya. Lihat saja tayangan singkat resminya (ekstra show), benar-benar menjual bahwa film tersebut akan menggambarkan kiamat. Marketing by Issue, sudah lama berjalan dalam dunia bisnis. Lihat saja saat kala ada isu pasokan bensin terhambat atau melangka, pastilah antrian di SPBU segera menggurita dengan sendirinya.
Dan anda bisa melihat sendiri, betapa pemasaran dengan isu kiamat telah menunjukkan taringnya. Film 2012 yang biaya produksinya menelan biaya US $260 juta ini, dalam waktu tiga hari, nyaris sudah mendekati break event point, yakni meraup pendapatan sebesar US $225 juta.
Ketiga : Upaya Media –yang mungkin tidak sengaja- untuk membenturkan MUI dengan masyarakatnya.
Dalam situasi berputarnya isu kiamat dalam 2012, media seolah melegitimasi kebenaran isu tersebut dengan meminta pendapat ulama seputarnya. Maka segera saja berbagai wawancara dilakukan, dengan pertanyaan yang sungguh mengherankan. Tiba-tiba saja seorang tokoh MUI di sebuah daerah di Jawa Timur dihujani pertanyaan : “ bagaimana pendapat anda tentang film 2012 yang menggambarkan terjadinya kiamat pd tahun tersebut ? “. Begitu kurang lebih pertanyaannya. Saya kira siapapun tokoh yang ditanya pasti akan menjelaskan ketidaksetujuannya dan pengharamannya atas film tersebut. Sudah menjadi harga mati bagi setiap muslim bahwa waktu kiamat tidak ada yang mengetahuinya selain Allah SWT.
Nah, ungkapan ketidaksetujuan tokoh MUI inilah yang segera dioleh media dengan sebuah judul pemberitaan : “ MUI Malang melarang film 2012”, dan ungkapan-ungkapan sejenis yang seolah berdasarkan sebuah fatwa resmi yang dihasilkan dari pertemuan resmi. Padahal kalla wa balla , sekali-kali tidak. Yang terjadi hanyalah sekedar wawancara sederhana dengan pertanyaan yang menjebak. Ini tidak mungkin terjadi jika pertanyaannya yang diajukan lebih umum, “ bagaimana pendapat bapak tentang film 2012 ?” . Maka jika tokoh tersebut benar-benar belum menonton dan belum tahu, pastilah akan menjawab : “saya belum tahu seputar itu, nanti akan kita bahas bersama yang lainnya … “. Selesai perkara dan tidak akan menjadi berita yang heboh.
Belum lagi judul-judul lainnya yang sangat provokatif di media, “ MUI pertimbangkan untuk mencabut peredaran film 2012”, dan semacamnya . Belum lagi pertanyaan konyol yang dilancarkan seorang reporter stasiun berita terkenal “ Mengapa 2012 dilarang pak, padahal kan tidak ada unsur pornonya ? “. Semua ini menjadikan semakin banyak yang berkomentar miring bahkan buruk pada MUI, sementara pada sisi lain antrian film 2012 seolah tak bergeming dengan polemik tersebut. Entah sadar atau tidak, pemberitaan polemik MUI dan 2012 secara tidak objektif hanyalah akan berakibat kekurangrespekan masyarakat terhadap institusi resmi ulama dan fatwa tersebut. Semoga media menyadari kesalahan ini sepenuhnya.
Lalu bagaimana sikap MUI sebenarnya ? setidaknya pada hari Kamis, 19 November 2009, melalui sekretaris komisi Fatwa, MUI menyampaikan bahwa Film 2012 hanyalah sebuah imajinasi bukan untuk dipegang apalagi dipercayai, diterangkan juga MUI tidak akan mengeluarkan fatwa berkaitan dengan film tersebut.Untuk itu, MUI tidak melarang umat Islam untuk menontonnya (Hidayatullah.com).
Keempat : Tentang reaksi sebagian besar aktifis muslim
Kemudian, sebagai sebuah otokritik bagi saya sendiri atau rekan-rekan lain yang bersemangat dalam membela aqidah yang begitu cepat menjustifikasi bahwa film itu tentang kiamat, ada baiknya kita mengingat kaidah “ Al-Hukm ala syai’ juz’un an tashowwurihi “ , bahwa Hukum atas sesuatu itu bagian dari cara pandangnya terhadap suatu hal tersebut. Arti sederhananya, tentu kita tidak bisa berkomentar apalagi menghukumi sesuatu, sebelum lebih jelas gambaran sebuah masalah tsb. Ada Sekjen organisasi islam ternama yang belum-belum membeli label Musyrik pada film 2012. Ada pula yang menyatakan di dalamnya ada gambaran bangunan masjid yang hancur, sementara gereja utuh. Padahal yang sesungguhnya tidaklah demikian.Bisa kita lihat sendiri dalam filmya atau melalui wikipedia, dijelaskan disana bahwa sutradara 2012 Rolland Emmerich enggan menaruh adegan menghancurkan tempat ibadah umat muslim. Yang jelas hancur dalam film tersebut justru gereja di vatikan roma hancur akibat gempa, kuil di tibet hancur di terjang tsunami, patung umat kristiani di brasil juga hancur. Jadi sejak awal produser film ini memang tidak ingin berkonfrontasi dengan umat Islam.
Seandainya benar bahwa masyarakat kita terlanjur percaya itu tentang kiamat, atau gambaran kedasyahatannya membuat masyarakat atau secara khusus anak-anak resah dan khawatir, maka sesungguhnya fatwa haram dalam masalah ini cukup bisa di pahami. Terkadang sesuatu dilarang bukan karena ‘zat’nya tetapi juga karena efeknya. Dalam kaidah ushul fiqh ini dikenal dengan istilah saddu adz-dzaro’i. Yaitu upaya mencegah hal-hal yang bisa mendorong pada kemungkaran. Khalifah Umar bin Khottob memberikan contoh nyata bagi kita, beliau pernah mengasingkan seorang pemuda bernama Nashr bin Hajaj ke Bashrah, karena ketampanannya membuat banyak wanita Madinah tergoda. Bukan karena pemuda itu berakhlak buruk, tetapi efek ketampanannya meresahkan hati wanita.
Terakhir, dalam hati kecil saya selalu merindukan usaha-usaha alternatif yang produktif untuk melibas film-film imajinasi khayalan tersebut. Sejarah dan referensi Islam mempunyai banyak kisah dan peristiwa yang dasyhat jika bisa diangkat dalam layar lebar. Tentu saja dengan kemampuan olah film yang harus menggunakan teknologi yang high-end di bidangnya. Semoga !
“ Apa-apaan sih MUI ni...??? Kemaren FB mau di haramkan, sekarang film 2012 mau di haramkan lagi.. emang Indonesia ini di perintah ama MUI ya..?? berarti sia2 donk kita kemaren pemilihan presiden kalo ternyata MUI yang mengendalikan negara ini... “(Republika.co.id-19/11)
Saya merasa yang semacam ini selalu terulang, bahwa setiap polemik selalu dimainkan untuk menyasar dan mengarah pada ‘delegitimasi’ MUI. Entah sengaja atau tidak, selalu terasa ada upaya membenturkan MUI dengan keinginan masyarakat, sekaligus menempatkan MUI sebagai ‘pengganggu kenyamanan’ yang ujung-ujungnya pasti berdampak pada penghinaan atau kurang respek terhadap pada ulama. Pada titik inilah saya tergerak untuk menulis seputar polemik 2012. Bukan untuk membesar-besarkan yang tidak perlu, tapi sebuah upaya meredam gelisah fikir sekaligus berbagi pencerahan pada siapa saja yang mau belajar.
Pertama : Tentang imajinasi ilmiah yang dipaksakan dalam Film 2012
Bagi para pengamat film dan pecandu tontonan Holywood, film 2012 tentu bagi mereka adalah tak lebih dari rangkaian kisah fiksi ilmiah yang diangkat ke layar lebar. Film-film semacam itu biasanya menawarakan sound effect dam visualisasi gambar yang dasyhat dan memukau. Mengobral kecanggihan teknologi multi media modern untuk memanjakan mata dan telinga penontonnya. Yang sedikit berbeda adalah :
Pertama ; karena film ini menyebut sebuah tahun yang begitu dekat dengan zaman ini yaitu 2012, sehingga lebih membuat penasaran orang-orang saat ini. Istilah sederhanya adalah sangat “up date” .Padahal khayalan tentang gambaran dunia lebih parah bisa didapati dalam film-film lainnya, hanya saja mengambil setting yang terlampau jauh di masa depan, seperti 2050 dan seterusnya. Sebut saja film Startrek atau The Chronicles of Riddick dan yang semacamnya, di film-film tersebut dunia sudah benar-benar berubah 180 derajat.
Kedua ; Isu yang dipakai adalah sebuah bencana besar yang akan terjadi di bumi ini. Ini tentu lebih terlihat ‘nyata’ dari pada film-film sejenis seperti “Independence Day” dan “ War of World” yang menggambarkan ancaman kehancuran bumi dari kedatangan makhluk luar angkasa. Isu makhluk asing dalam film Holywood mungkin sudah terlampau sering hingga diperlukan sebuah inovasi tersendiri yang berbeda dari sebelumnya.
Atas dasar keinginan berinovasi inilah kemudian dicari sebuah pembenaran ilmiah. Setitik data dari ramalan suku Maya dan beberapa hasil penelitian NASA diolah sedemikian rupa untuk memperkuat khayalan mereka. Tentu saja sangat tidak berlebihan jika kita menyebutnya dengan sebuah imajinasi ilmiah dengan argumentasi yang dipaksakan. Betapa tidak ? sesepuh Suku Indian Maya pun sudah membantahnya, bahkan menyebut dengan jelas khayalan itu dari Barat bukan dari sukunya. Kambing hitam lainnya selain suku Maya, adalah NASA . Lembaga ini pun tak kurang ilmiahnya membantah yang diramalkan dalam 2012, bahkan meluncurkan satu situs resmi khusus untuk mengungkap kebenaran yang ada secara ilmiah.
Kesimpulan sederhananya, ini adalah film hasil dari imajinasi ilmiah yang dipaksakan. Mirip dengan film Jurrasic Park yang mengambil inspirasi ilmiah dari teori DNA dan cloning, lalu dikembangkan sedemikian rupa hingga cover ilmiahnya lebih terasa. Saya kira semua pasti sepakat, siapapun yang ingin berhasil dalam berbisnis maka ia harus kreatif dan inovatif. Dan produser 2012 telah membuktikannya. Mengkreasi setitik ramalan dan data, menjadi isu besar yang seolah dipenuhi argumentasi ilmiah yang membahana.
Kedua : Tentang “ Marketing by Issue” yang kental nuansanya dalam 2012.
Permasalahan selanjutnya yang lebih memprihatinkan adalah, dari sebuah imajinasi ilmiah yang dipaksakan, dikembangkan lagi menjadi sebuah isu bahwa film tersebut menggambarkan kiamat. Kiamat seperti apa yang dimaksudkan ? Jika kiamat –disepakati oleh semua agama samawi- berarti sebuah akhir kehidupan dunia, maka dalam film tersebut jelas-jelas ada yang tersisa. Penggambaran yang lebih tepat adalah film tersebut berkisah tentang fiksi terjadinya sebuah bencana besar yang merubah peta dunia, dimana satu-satunya daratan yang tersisa adalah benua afrika. Jadi pada titik ini, sesungguhnya tidak ada ‘kiamat’ dalam film 2012. Kiamat ada pada strategi pemasaran dan issu yang dimunculkan. Karena kiamat atau akhir dunia selalu menjadi perhatian tersendiri warga dunia, apalagi banyak yang mengatakan bumi sudah terlampau renta dengan banyaknya musibah yang melanda.
Fakta global warming dan pencairan es dikutub utara, belum lagi banyaknya angin topan di kawasan eropa dan amerika, gempa bumi dan tsunami di wilayah Asia, semua mengarah pada asumsi manusia bahwa bumi telah renta. Asumsi inilah yang dimainkan produser film tersebut dengan memberi label ‘kiamat’-secara tersirat- dalam pemasaran filmnya. Lihat saja tayangan singkat resminya (ekstra show), benar-benar menjual bahwa film tersebut akan menggambarkan kiamat. Marketing by Issue, sudah lama berjalan dalam dunia bisnis. Lihat saja saat kala ada isu pasokan bensin terhambat atau melangka, pastilah antrian di SPBU segera menggurita dengan sendirinya.
Dan anda bisa melihat sendiri, betapa pemasaran dengan isu kiamat telah menunjukkan taringnya. Film 2012 yang biaya produksinya menelan biaya US $260 juta ini, dalam waktu tiga hari, nyaris sudah mendekati break event point, yakni meraup pendapatan sebesar US $225 juta.
Ketiga : Upaya Media –yang mungkin tidak sengaja- untuk membenturkan MUI dengan masyarakatnya.
Dalam situasi berputarnya isu kiamat dalam 2012, media seolah melegitimasi kebenaran isu tersebut dengan meminta pendapat ulama seputarnya. Maka segera saja berbagai wawancara dilakukan, dengan pertanyaan yang sungguh mengherankan. Tiba-tiba saja seorang tokoh MUI di sebuah daerah di Jawa Timur dihujani pertanyaan : “ bagaimana pendapat anda tentang film 2012 yang menggambarkan terjadinya kiamat pd tahun tersebut ? “. Begitu kurang lebih pertanyaannya. Saya kira siapapun tokoh yang ditanya pasti akan menjelaskan ketidaksetujuannya dan pengharamannya atas film tersebut. Sudah menjadi harga mati bagi setiap muslim bahwa waktu kiamat tidak ada yang mengetahuinya selain Allah SWT.
Nah, ungkapan ketidaksetujuan tokoh MUI inilah yang segera dioleh media dengan sebuah judul pemberitaan : “ MUI Malang melarang film 2012”, dan ungkapan-ungkapan sejenis yang seolah berdasarkan sebuah fatwa resmi yang dihasilkan dari pertemuan resmi. Padahal kalla wa balla , sekali-kali tidak. Yang terjadi hanyalah sekedar wawancara sederhana dengan pertanyaan yang menjebak. Ini tidak mungkin terjadi jika pertanyaannya yang diajukan lebih umum, “ bagaimana pendapat bapak tentang film 2012 ?” . Maka jika tokoh tersebut benar-benar belum menonton dan belum tahu, pastilah akan menjawab : “saya belum tahu seputar itu, nanti akan kita bahas bersama yang lainnya … “. Selesai perkara dan tidak akan menjadi berita yang heboh.
Belum lagi judul-judul lainnya yang sangat provokatif di media, “ MUI pertimbangkan untuk mencabut peredaran film 2012”, dan semacamnya . Belum lagi pertanyaan konyol yang dilancarkan seorang reporter stasiun berita terkenal “ Mengapa 2012 dilarang pak, padahal kan tidak ada unsur pornonya ? “. Semua ini menjadikan semakin banyak yang berkomentar miring bahkan buruk pada MUI, sementara pada sisi lain antrian film 2012 seolah tak bergeming dengan polemik tersebut. Entah sadar atau tidak, pemberitaan polemik MUI dan 2012 secara tidak objektif hanyalah akan berakibat kekurangrespekan masyarakat terhadap institusi resmi ulama dan fatwa tersebut. Semoga media menyadari kesalahan ini sepenuhnya.
Lalu bagaimana sikap MUI sebenarnya ? setidaknya pada hari Kamis, 19 November 2009, melalui sekretaris komisi Fatwa, MUI menyampaikan bahwa Film 2012 hanyalah sebuah imajinasi bukan untuk dipegang apalagi dipercayai, diterangkan juga MUI tidak akan mengeluarkan fatwa berkaitan dengan film tersebut.Untuk itu, MUI tidak melarang umat Islam untuk menontonnya (Hidayatullah.com).
Keempat : Tentang reaksi sebagian besar aktifis muslim
Kemudian, sebagai sebuah otokritik bagi saya sendiri atau rekan-rekan lain yang bersemangat dalam membela aqidah yang begitu cepat menjustifikasi bahwa film itu tentang kiamat, ada baiknya kita mengingat kaidah “ Al-Hukm ala syai’ juz’un an tashowwurihi “ , bahwa Hukum atas sesuatu itu bagian dari cara pandangnya terhadap suatu hal tersebut. Arti sederhananya, tentu kita tidak bisa berkomentar apalagi menghukumi sesuatu, sebelum lebih jelas gambaran sebuah masalah tsb. Ada Sekjen organisasi islam ternama yang belum-belum membeli label Musyrik pada film 2012. Ada pula yang menyatakan di dalamnya ada gambaran bangunan masjid yang hancur, sementara gereja utuh. Padahal yang sesungguhnya tidaklah demikian.Bisa kita lihat sendiri dalam filmya atau melalui wikipedia, dijelaskan disana bahwa sutradara 2012 Rolland Emmerich enggan menaruh adegan menghancurkan tempat ibadah umat muslim. Yang jelas hancur dalam film tersebut justru gereja di vatikan roma hancur akibat gempa, kuil di tibet hancur di terjang tsunami, patung umat kristiani di brasil juga hancur. Jadi sejak awal produser film ini memang tidak ingin berkonfrontasi dengan umat Islam.
Seandainya benar bahwa masyarakat kita terlanjur percaya itu tentang kiamat, atau gambaran kedasyahatannya membuat masyarakat atau secara khusus anak-anak resah dan khawatir, maka sesungguhnya fatwa haram dalam masalah ini cukup bisa di pahami. Terkadang sesuatu dilarang bukan karena ‘zat’nya tetapi juga karena efeknya. Dalam kaidah ushul fiqh ini dikenal dengan istilah saddu adz-dzaro’i. Yaitu upaya mencegah hal-hal yang bisa mendorong pada kemungkaran. Khalifah Umar bin Khottob memberikan contoh nyata bagi kita, beliau pernah mengasingkan seorang pemuda bernama Nashr bin Hajaj ke Bashrah, karena ketampanannya membuat banyak wanita Madinah tergoda. Bukan karena pemuda itu berakhlak buruk, tetapi efek ketampanannya meresahkan hati wanita.
Terakhir, dalam hati kecil saya selalu merindukan usaha-usaha alternatif yang produktif untuk melibas film-film imajinasi khayalan tersebut. Sejarah dan referensi Islam mempunyai banyak kisah dan peristiwa yang dasyhat jika bisa diangkat dalam layar lebar. Tentu saja dengan kemampuan olah film yang harus menggunakan teknologi yang high-end di bidangnya. Semoga !
Saia pun lebih senang jika sebelum ada komentar di media massa, MUI mencermati filmnya pak. Agak risih saja ketika membaca bahwa ada yang mengira Cardinal di Roma itu dianggap kubah masjid dsb.
BalasHapusDilihat dari tema, film ini biasa saja koq. Bukan ceritain kiamat. Jadi sebenarnya tidak ada unsur yang menyerempet agama kalau menurut saia.
Good article bro :-D
sepakat bro, memang perlu sedikit lebih cermat dalam hal tersebut ... seperti yang sudah saya jelaskan di posting, memang tidak ada KIAMAT dalam film tersebut. just like another fiction ...
BalasHapusyang jelas kiamat itu semakin deket. bukan semakin jauh.
BalasHapusApa apa pun, kita sebagai Umat Nabi Muhammad perlu berpandukan kepada Al-Quran & Hadith yang sahih. Di dalam sabdaNya mmg akan berlaku suatu Suara yang amat dahsyat ketika mlm pada Jumaat 15hb Ramadhan... Kanda pun kurang arif akan perihal ini, maka jika terdapat pengamal Ilmu Tasawuf mungkin Ramalan ini boleh diperjelaskan.
BalasHapusFilem 2012 mmg menghiburkan tetapi di sebalik hiburan terdapat runtunan jiwa akan untuk mengetahui selanjutnya hiburan itu. Jika Mayan lebih positif & aktif dlm terjemahan kalendernya, maka Kita Islam lebih terdahulu dari perihal (apa yg akan berlaku di masa hadapan)...maka mana dia Ulama kita yang boleh mentafsirkan kesahihan ini, Allah telah memberikan petunjuknya cuma kita perlu kupas akan sahih & tepatnya pendapat kita.
Zaman nabi Noh diwahyukan utk bahtera tp kini mustahil tiada sebarang maklumat, adapun Ulama sekarang kurang arif terjemahan pesan serta petunjukNya. kanda yakin pasti ada petunjuk jelas itu tp di mana...