Islam meminta kita bersikap tawadhuk bukan berarti memposisikan diri untuk siap ditindas, ditekan dan dilecehkan. Islam bahkan menjelaskan hakikat kemuliaan itu terpatri begitu jelas dalam diri setiap orang beriman. Lupakan saja aura kekalahan dan kesedihan yang menghambat masa depan kita dan kejayaan Islam. Janji kemenangan dalam Al-Quran seharusnya kita sambut dengan memproduksi adrenalin optimisme yang luar biasa dalam darah kita.
Allah SWT berfirman :
“ Mereka berkata: "Sesungguhnya jika kita Telah kembali ke Madinah , benar-benar orang yang Kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari padanya." padahal kekuatan/kemuliaan itu hanyalah bagi Allah, bagi rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada Mengetahui “ ( QS Munafiqun 8)
“ Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling Tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman “ (QS ali Imron 179)
“Dialah yang Telah mengutus RasulNya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkanNya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai “ ( QS Taubah 33)
Islam telah memberikan begitu banyak suggesti bagi kita untuk selalu optimis dan bersikap menjadi pemenang dalam setiap kesempatan. Karenanya, selayaknya bagi aktifis untuk menunjukkan kekuatan itu, agar dia dan misi kemenangannya benar-benar menggetarkan dan diperhitungkan baik lawan maupun kawan.
Tidak layak bagi aktifis untuk mencitrakan diri menjadi seorang yang sholeh dengan modal pakaian taqwa saja ! Kurang sempurna rasanya dianggap menjadi solusi perubahan umat jika hanya terlihat mondar-mandir di masjid saja. Bahkan seorang Umar Al-Faaruq pernah memarahi sahabatnya yang merekomendasikan seseorang untuk mengisi sebuah jabatan hanya karena pernah melihatnya begitu khusyuk beribadah di masjid ! Sungguh belum teruji kualitas seorang aktifis jika hanya diukur dengan sisi ibadahnya saja. Bahkan, seorang ahlu ibadah pun tidak selalu identik dengan kelemahan.
Profil Umar bin Khottob barangkali bisa membuka mata kita lebih jelas. Dalam banyak kitab sejarah disebutkan, di antaranya Al-Kamil fit TarikhI. Seorang wanita bernama Syifaa binti Abdullah bercerita, suatu ketika ia melihat sekelompok pemuda berjalan dengan lambat, saling berbicara dengan ucapan yang lirih dan perlahan, mereka pun makan dengan porsi yang sangat sedikit. Melihat hal tersebut, Syifa bertanya : “ Siapa sih mereka itu ? “. Maka ada yang menjawab : “ mereka adalah para ahlu ibadah … “. Lalu Syifa -dengan menyimpan geram- mengatakan : “ Demi Allah , adalah Umar bin Khottob .. seorang yang saat berbicara begitu lantang, ketika berjalan pun dengan cepat, ketika memukul begitu keras, bahkan saat makan pun ia makan dengan kenyang, dan ia benar-benar seorang ahli ibadah ! “
Nah ! Lihatlah bagaimana sosok Umar memberikan gambaran bagi kita hakikat performance dai yang sesungguhnya. Ia bukanlah sosok lamban, pelan dengan alasan kekhusuyukan dan kesabaran. Ia bukanlah sosok halus dengan alasan sebagai ahlu ibadah. Tetapi performance dai adalah yang mampu menggetarkan baik kawan maupun lawan. Lantang dalam berbicara, cepat dalam bertindak, keras dalam memukul, bahkan -jika perlu – saat makan pun ia selalu menjadi unggulan.
Lihat pula contoh nyata lainnya dari sosok Abu Dujana. Menjelang perang Uhud Rasulullah mengadakan briefing untuk menyemangati pasukannya. Beliau mengambil sebilah pedang sambil bersabda, "Siapa yang akan memegang pedang ini untuk disesuaikan dengan tugasnya?"
Beberapa orang tampil, namun pedang itu tidak pula diberikan kepada mereka.
Kemudian, Abu Dujana tampil begitu percaya diri seraya berkata, "Apa tugasnya, ya Rasulullah?" "Tugasnya ialah menghantamkan pedang kepada musuh sampai ia bengkok," jawab Rasulullah SAW. Abu Dujanapun terpilih membawa pedang simbol kemenangan itu, ia segeramengenakan pita (kain) merah di kepalanya. Semua sahabat paham sepenuhnya, apabila Abu Dujana sudah mengikatkan pita merahnya itu, maka itu adalah pertanda bahwa ia siap bertempur hingga ajal menjelang.
Abu Dujana mengambil pedang dari Rasulullah, mengikatkan kain merah di kepala, lalu berjalan dengan lagak yang begitu sombong, bak petinju tak terkalahkan yang memasuki ring tinju. Bahkan Rasulullah SAW pun ikut mengomentari cara abu Dujana berjalan dengan mengatakan : “ Sungguh cara berjalan seperti ini sangat dibenci Allah, kecuali dalam kondisi perang seperti saat ini" .
Akhirnya, jika Anda masih berkutat bahwa bayangan seorang aktifis dakwah adalah mereka yang harus senantiasa berwajah teduh, berdahi hitam, berjalan dengan pandangan menunduk-nunduk, lalu mengayunkan langkah kaki dengan tenang ( baca :gontai) sebagai bukti kekhusyukan …., maka untuk sementara lupakan saja bayangan semu itu. Hari ini kita harus menunjukkan kekuatan dan kesiapan kita untuk memberikan solusi dalam setiap permasalahan bangsa. Hari-hari ini kita harus mampu menggetarkan hati orang-orang yang sebelumnya selalu angkuh memandang rendah pada diri setiap kita. Semoga kita mampu mewujudkannya !
Allah SWT berfirman :
“ Mereka berkata: "Sesungguhnya jika kita Telah kembali ke Madinah , benar-benar orang yang Kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari padanya." padahal kekuatan/kemuliaan itu hanyalah bagi Allah, bagi rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada Mengetahui “ ( QS Munafiqun 8)
“ Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling Tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman “ (QS ali Imron 179)
“Dialah yang Telah mengutus RasulNya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkanNya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai “ ( QS Taubah 33)
Islam telah memberikan begitu banyak suggesti bagi kita untuk selalu optimis dan bersikap menjadi pemenang dalam setiap kesempatan. Karenanya, selayaknya bagi aktifis untuk menunjukkan kekuatan itu, agar dia dan misi kemenangannya benar-benar menggetarkan dan diperhitungkan baik lawan maupun kawan.
Tidak layak bagi aktifis untuk mencitrakan diri menjadi seorang yang sholeh dengan modal pakaian taqwa saja ! Kurang sempurna rasanya dianggap menjadi solusi perubahan umat jika hanya terlihat mondar-mandir di masjid saja. Bahkan seorang Umar Al-Faaruq pernah memarahi sahabatnya yang merekomendasikan seseorang untuk mengisi sebuah jabatan hanya karena pernah melihatnya begitu khusyuk beribadah di masjid ! Sungguh belum teruji kualitas seorang aktifis jika hanya diukur dengan sisi ibadahnya saja. Bahkan, seorang ahlu ibadah pun tidak selalu identik dengan kelemahan.
Profil Umar bin Khottob barangkali bisa membuka mata kita lebih jelas. Dalam banyak kitab sejarah disebutkan, di antaranya Al-Kamil fit TarikhI. Seorang wanita bernama Syifaa binti Abdullah bercerita, suatu ketika ia melihat sekelompok pemuda berjalan dengan lambat, saling berbicara dengan ucapan yang lirih dan perlahan, mereka pun makan dengan porsi yang sangat sedikit. Melihat hal tersebut, Syifa bertanya : “ Siapa sih mereka itu ? “. Maka ada yang menjawab : “ mereka adalah para ahlu ibadah … “. Lalu Syifa -dengan menyimpan geram- mengatakan : “ Demi Allah , adalah Umar bin Khottob .. seorang yang saat berbicara begitu lantang, ketika berjalan pun dengan cepat, ketika memukul begitu keras, bahkan saat makan pun ia makan dengan kenyang, dan ia benar-benar seorang ahli ibadah ! “
Nah ! Lihatlah bagaimana sosok Umar memberikan gambaran bagi kita hakikat performance dai yang sesungguhnya. Ia bukanlah sosok lamban, pelan dengan alasan kekhusuyukan dan kesabaran. Ia bukanlah sosok halus dengan alasan sebagai ahlu ibadah. Tetapi performance dai adalah yang mampu menggetarkan baik kawan maupun lawan. Lantang dalam berbicara, cepat dalam bertindak, keras dalam memukul, bahkan -jika perlu – saat makan pun ia selalu menjadi unggulan.
Lihat pula contoh nyata lainnya dari sosok Abu Dujana. Menjelang perang Uhud Rasulullah mengadakan briefing untuk menyemangati pasukannya. Beliau mengambil sebilah pedang sambil bersabda, "Siapa yang akan memegang pedang ini untuk disesuaikan dengan tugasnya?"
Beberapa orang tampil, namun pedang itu tidak pula diberikan kepada mereka.
Kemudian, Abu Dujana tampil begitu percaya diri seraya berkata, "Apa tugasnya, ya Rasulullah?" "Tugasnya ialah menghantamkan pedang kepada musuh sampai ia bengkok," jawab Rasulullah SAW. Abu Dujanapun terpilih membawa pedang simbol kemenangan itu, ia segeramengenakan pita (kain) merah di kepalanya. Semua sahabat paham sepenuhnya, apabila Abu Dujana sudah mengikatkan pita merahnya itu, maka itu adalah pertanda bahwa ia siap bertempur hingga ajal menjelang.
Abu Dujana mengambil pedang dari Rasulullah, mengikatkan kain merah di kepala, lalu berjalan dengan lagak yang begitu sombong, bak petinju tak terkalahkan yang memasuki ring tinju. Bahkan Rasulullah SAW pun ikut mengomentari cara abu Dujana berjalan dengan mengatakan : “ Sungguh cara berjalan seperti ini sangat dibenci Allah, kecuali dalam kondisi perang seperti saat ini" .
Akhirnya, jika Anda masih berkutat bahwa bayangan seorang aktifis dakwah adalah mereka yang harus senantiasa berwajah teduh, berdahi hitam, berjalan dengan pandangan menunduk-nunduk, lalu mengayunkan langkah kaki dengan tenang ( baca :gontai) sebagai bukti kekhusyukan …., maka untuk sementara lupakan saja bayangan semu itu. Hari ini kita harus menunjukkan kekuatan dan kesiapan kita untuk memberikan solusi dalam setiap permasalahan bangsa. Hari-hari ini kita harus mampu menggetarkan hati orang-orang yang sebelumnya selalu angkuh memandang rendah pada diri setiap kita. Semoga kita mampu mewujudkannya !
salam sobat
BalasHapusmantap postingannya.
iya saya akan hilangkan bayangan semu mengenai seorang aktifis dakwah yg seperti itu.
kita harus mampu mewujudkan orang2 yang selalu memandang rendah pada diri kita,,dengan memberikan solusi untuk menunjukkan kekuatan dan kesiapan kita.
ok mas Hatta,,,
memang sudah saatnya para aktivis dakwah menunjukkan jati diri yang sesungguhnya, mas hatta, ketimbang bersikap dengan kepala yang selalu tertunduk, tapi pada kenyataannya sering berperilaku sebaliknya.
BalasHapus