Dakwah adalah aktifitas mengajak semua orang untuk lebih baik dari sebelumnya. Ketika aktifitas itu terus berlanjut secara bertahap, maka kebaikan demi kebaikan itu akan mengarahkan seseorang berubah menjadi sosok yang berkepribadian islami. Bukan hanya akidah dan keyakinan yang teguh akan keesaan Allah SWT, tetapi juga disertai dengan konsistensi ibadah, kemapanan dalam beretika (baca : akhlak), plus semangat dalam menebarkan kebaikan pada yang lainnya. Inilah yang sering disebut dengan syakhsiyah muslimah mutakamilah atau kepribadian muslim yang integral / komprehensif.
Tetapi tujuan akhir di atas bukanlah dakwah itu sendiri. Dakwah adalah proses untuk mencapai tujuan itu sendiri. Ia tetaplah sekedar seni untuk mengajak orang setingkat lebih baik dari sebelumnya. Dan jika proses itu kita lakukan dengan berkelanjutan dan istiqomah, maka tercapai tujuan dakwah adalah ‘bonus’ yang disisipkan Allah SWT di dunia ini. Sekali lagi mari kita lihat dakwah sebagai proses, atau lebih tepatnya seni mengajak dan mempengaruhi orang pada kebaikan. Karenanya keberkahan dan kesuksesannya dilihat dari proses yang kita jalani, bukan hasilnya. Jika kita menganggap kesuksesan dakwah ada pada munculnya pengikut yang banyak dan shalih semua, barangkali secara tidak langsung kita menilai dakwah nabi Nuh as dan nabi yang lainnya gagal semata. Dan anggapan ini tentu saja tidak benar, karena justru nabi Nuh as diabadikan sebagai ulul azmi yang senantiasa menjadi panutan kesabaran bagi kita semua dalam berdakwah.
Mengapa saya mengulang-ngulang bahwa dakwah adalah sebuah seni dan proses yang bertahap ? Karena sebuah keyakinan bahwa semua orang punya hak untuk di dakwahi, sebagaimana setiap mereka juga punya kemampuan penerimaan yang berbeda-beda. Dan apapun kejadiannya, saat anda berhasil mengubah orang sedikit lebih baik dari sebelumnya, maka itulah bagian dari kesuksesan dakwah. Tidak berlebihan ketika saya mengumpakan dengan logika sederhana ; jika anda mempunyai teman laki-laki anda yang memakai dua anting-anting, lalu anda berhasil membuatnya melepas satu saja anting-anting itu, maka itu adalah sebuah capaian dakwah yang berkah.
Inilah dakwah, seni untuk mengubah seseorang menuju kebaikan sekecil apapun. Dan Inilah Indonesia dengan segenap ragam perbedaan masyarakatnya ! Negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia ini mempunyai ragam jenis pemahaman dan kecintaan pada Islam yang berbeda-beda !. Bahkan sejak jaman kerajaan sudah di kenal islam abangan dan santri, sebagaimana lalu diwariskan pada abad modern dengan istilah ‘Islam KTP’. Kepada merekalah dakwah ini seharusnya diperluas dan dioptimalkan, bukan sekedar pada mereka yang memenuhi masjid di hari tuanya. Karena begitu majemuknya kaum muslimin di Indonesia, ditambah lagi warisan sekulerisme ala ‘ Snouck Hurgronje plus bayang-bayang islamphobia hasil brilian kampanye anti teroris yang digalang Amerika, maka ini semua mengharuskan para Da’I pengusung dakwah untuk benar-benar bisa mengemas dakwah dengan baik, cerdas, agar masuk ke dalam relung hati mereka. Meski kemudian hanya sedikit meningkatkan kebaikan yang tak seberapa.
Ada beberapa contoh tentang mengemas dakwah yang barangkali sudah sama-sama kita ketahui. Khusus saya ambil dari tayangan film atau sinetron yang ditayangkan di negeri ini. Ijinkan sedikit sekali lagi kami membahasnya agar bisa menjadi contoh bagaimana seharusnya kita bisa mengemas dakwah dengan cara yang terbaik di negeri kita ini.
Pertama : Kemasan Dakwah ‘Oportunis’
Mohon maaf jika menggunakan kata ‘oportunis’, untuk sementara biarlah demikian adanya karena saya belum menemukan kata-kata lain yang lebih tepat. Kemasan dakwah yang palsu saya dapati di banyak tayangan sinetron di televisi yang sering disebut sebagai ‘sinetron islami’. Mengapa palsu ? Karena dakwah yang ada – atau lebih tepatnya kesan islami- yang ada hanyalah berputar di judul-judul yang ada. Bahkan untuk terlihat sangat Islami, dipilihlah judul yang langsung menyentuh hati kaum muslimin. Sebuat saja sinetron “ Shofa dan Marwah” , atau “ Aqsho dan Madina”. Nama-nama dari tempat-tempat bersejarah yang dimuliakan dan mendapat tempat bagi kaum muslimin. Kita pasti bergetar dan merindukan tempat-tempat itu, yang sebagian dari kita hanya bisa mendengar dan melihatnya dari berita dan kajian siroh saja. Lihat saja, betapapun islaminya judul sinetron tersebut, sungguh kita tidak akan mendapatkan kesan dakwah apapun di dalamnya, kecuali hanya sekedar gambarang wanita khusyuk berdoa setelah shalat sambil berlinang air mata !. Selain itu jangan berharap banyak, yang ada hanyalah deretan episode yang tidak jauh berbeda dengan sinetron lainnya. Pada titik inilah, dengan sangat terpaksa saya menyebutnya dengan istilah ‘oportunis’. Luarnya menampilkan cover Islam, tapi tidak diikuti dengan kesungguhan dalam memperkenalkan nilai-nilainya.
Kedua : Kemasan Dakwah Idealis
Kali ini saya menyoroti beberapa film yang tegas mengusung judul islami dan juga dengan konten yang islami. Sebut saja film semacam “Kun Fayakun”, dan “Emak Ingin Naik Haji”, yang memuat nilai-nilai dakwah secara jelas melalui dialog-dialog dan tayangannya. Ini adalah langkah baik dan berkah. Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa memang tidak banyak yang menonton film ini. Capaian jumlah penonton sangat tidak seimbang dengan catatan film-film lainnya. Saya membayangkan yang menonton hanyalah aktifis Islam dan yang sudah menyukai Islam. Bahkan mereka yang ‘kental’ dengan kajian dan gerakan islam belum tentu juga mau ikut menonton tayangan seperti itu. Sementara itu, di luar sana banyak kaum muslimin yang disebut dengan “islam KTP’ atau mereka yang tidak pernah bersinggungan dengan kajian, juga yang masih melekat trauma islam phobia, rasa-rasanya saat melihat judulnya saja akan merasa berat untuk hadir dan menyaksikannya. Ini bukan contoh kemasan dakwah yang buruk, hanya saja untuk memperluas cakupan dakwah dalam ceruk masyarakat muslim yang majemuk, masih terlampau berat untuk mendapatkan penerimaan yang signifikan.
Ketiga : Kemasan Dakwah Kreatif dan Prospektif
Mungkin saja seseorang menampilkan gaya standar yang disukai banyak orang, atau minimal tidak mendapatkan resistensi di tengah masyarakat, tapi ternyata di dalamnya menjelaskan tentang semangat islam dengan gamblang, jelas dan masuk dalam hati. Gambaran ini segera saya baca dalam film “ Laskar Pelangi”. Dilihat dari judulnya sangat humanis dan netral. Ia langsung menyentuh siapa saja tanpa melihat kapasitas keagamaannya. Barangkali saya sempat tertipu dengan judul dan tampilan nyentrik penulis film ini. Sama sekali tidak menggambarkan adanya pesan agung setelahnya. Tapi kemudian saya menyadari, bahwa di dalam film itu justru ada pesan-pesan keislaman yang tegas menghujam dalam hati. Melalui dialog, jalan cerita dan kesan umum yang akan kita dapati dengan mudah. Betapa tidak ? Latar belakang cerita saja tentang sebuah SD muhammadiyah di pesisir Belitong. Dialog-dialog guru dengan muridnya banyak mengungkap kisah-kisah Islam dengan gamblang. Kisah perang Badar dan kisah Nabi juga dimuat dengan tegas tanpa edeng aling-aling, meski melalui dialog singkat saja. Inilah kemasan dakwah yang kreatif dan prospektif, khususnya yang merindukan memberikan hak dakwah lebih luas kepada masyarakat muslim Indonesia yang majemuk pemahamannya. Meski dari luar terlihat lebih Indonesia atau kesan nasionalis sekalipun, tetapi tetap membawa pesan-pesan keislaman yang tegas dan menyentuh. Anda boleh catat hasilnya, jumlah penonton film ini mencapai 4,2 juta orang, dan itu adalah jumlah terbesar yang pernah tercatat selama ini. Kesan yang hampir sama juga mungkin kita dapati di sinetron “ Kiamat sudah Dekat”, dan “ Para Pencari Tuhan”.
Terakhir, mengapa kemasan dakwah harus menjadi pertimbangan kita dalam melangkah ? Sekali lagi, merupakan kewajiban bagi kita untuk menyebarkan dakwah seluas mungkin, kepada siapapun dan dimanapun. Disinilah arti kemasan menjadi penting, agar dakwah diterima dengan mudah dalam hati masyarakat, dan selanjutnya saat hati mulai tersentuh dan tertarik dengan Islam, maka bukan tidak mungkin kita lanjutkan dengan ajakan-ajakan lanjutan untuk mengubah setingkat lebih baik dari sebelumnya.
Inilah seni berdakwah, mengajak orang untuk lebih baik dari sebelumnya, meski hanya sedikit atau bahkan belum terasa. Mari kita ambil inspirasi dari misi dakwah nabi syuaib yang diabadikan dalam Al-Quran :“ Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali “ (QS Hud 88)
Semoga Allah SWT memudahkan aktifitas dakwah kita. Salam optimis !
* Artikel kami tulis pada Juni 2010
Tetapi tujuan akhir di atas bukanlah dakwah itu sendiri. Dakwah adalah proses untuk mencapai tujuan itu sendiri. Ia tetaplah sekedar seni untuk mengajak orang setingkat lebih baik dari sebelumnya. Dan jika proses itu kita lakukan dengan berkelanjutan dan istiqomah, maka tercapai tujuan dakwah adalah ‘bonus’ yang disisipkan Allah SWT di dunia ini. Sekali lagi mari kita lihat dakwah sebagai proses, atau lebih tepatnya seni mengajak dan mempengaruhi orang pada kebaikan. Karenanya keberkahan dan kesuksesannya dilihat dari proses yang kita jalani, bukan hasilnya. Jika kita menganggap kesuksesan dakwah ada pada munculnya pengikut yang banyak dan shalih semua, barangkali secara tidak langsung kita menilai dakwah nabi Nuh as dan nabi yang lainnya gagal semata. Dan anggapan ini tentu saja tidak benar, karena justru nabi Nuh as diabadikan sebagai ulul azmi yang senantiasa menjadi panutan kesabaran bagi kita semua dalam berdakwah.
Mengapa saya mengulang-ngulang bahwa dakwah adalah sebuah seni dan proses yang bertahap ? Karena sebuah keyakinan bahwa semua orang punya hak untuk di dakwahi, sebagaimana setiap mereka juga punya kemampuan penerimaan yang berbeda-beda. Dan apapun kejadiannya, saat anda berhasil mengubah orang sedikit lebih baik dari sebelumnya, maka itulah bagian dari kesuksesan dakwah. Tidak berlebihan ketika saya mengumpakan dengan logika sederhana ; jika anda mempunyai teman laki-laki anda yang memakai dua anting-anting, lalu anda berhasil membuatnya melepas satu saja anting-anting itu, maka itu adalah sebuah capaian dakwah yang berkah.
Inilah dakwah, seni untuk mengubah seseorang menuju kebaikan sekecil apapun. Dan Inilah Indonesia dengan segenap ragam perbedaan masyarakatnya ! Negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia ini mempunyai ragam jenis pemahaman dan kecintaan pada Islam yang berbeda-beda !. Bahkan sejak jaman kerajaan sudah di kenal islam abangan dan santri, sebagaimana lalu diwariskan pada abad modern dengan istilah ‘Islam KTP’. Kepada merekalah dakwah ini seharusnya diperluas dan dioptimalkan, bukan sekedar pada mereka yang memenuhi masjid di hari tuanya. Karena begitu majemuknya kaum muslimin di Indonesia, ditambah lagi warisan sekulerisme ala ‘ Snouck Hurgronje plus bayang-bayang islamphobia hasil brilian kampanye anti teroris yang digalang Amerika, maka ini semua mengharuskan para Da’I pengusung dakwah untuk benar-benar bisa mengemas dakwah dengan baik, cerdas, agar masuk ke dalam relung hati mereka. Meski kemudian hanya sedikit meningkatkan kebaikan yang tak seberapa.
Ada beberapa contoh tentang mengemas dakwah yang barangkali sudah sama-sama kita ketahui. Khusus saya ambil dari tayangan film atau sinetron yang ditayangkan di negeri ini. Ijinkan sedikit sekali lagi kami membahasnya agar bisa menjadi contoh bagaimana seharusnya kita bisa mengemas dakwah dengan cara yang terbaik di negeri kita ini.
Pertama : Kemasan Dakwah ‘Oportunis’
Mohon maaf jika menggunakan kata ‘oportunis’, untuk sementara biarlah demikian adanya karena saya belum menemukan kata-kata lain yang lebih tepat. Kemasan dakwah yang palsu saya dapati di banyak tayangan sinetron di televisi yang sering disebut sebagai ‘sinetron islami’. Mengapa palsu ? Karena dakwah yang ada – atau lebih tepatnya kesan islami- yang ada hanyalah berputar di judul-judul yang ada. Bahkan untuk terlihat sangat Islami, dipilihlah judul yang langsung menyentuh hati kaum muslimin. Sebuat saja sinetron “ Shofa dan Marwah” , atau “ Aqsho dan Madina”. Nama-nama dari tempat-tempat bersejarah yang dimuliakan dan mendapat tempat bagi kaum muslimin. Kita pasti bergetar dan merindukan tempat-tempat itu, yang sebagian dari kita hanya bisa mendengar dan melihatnya dari berita dan kajian siroh saja. Lihat saja, betapapun islaminya judul sinetron tersebut, sungguh kita tidak akan mendapatkan kesan dakwah apapun di dalamnya, kecuali hanya sekedar gambarang wanita khusyuk berdoa setelah shalat sambil berlinang air mata !. Selain itu jangan berharap banyak, yang ada hanyalah deretan episode yang tidak jauh berbeda dengan sinetron lainnya. Pada titik inilah, dengan sangat terpaksa saya menyebutnya dengan istilah ‘oportunis’. Luarnya menampilkan cover Islam, tapi tidak diikuti dengan kesungguhan dalam memperkenalkan nilai-nilainya.
Kedua : Kemasan Dakwah Idealis
Kali ini saya menyoroti beberapa film yang tegas mengusung judul islami dan juga dengan konten yang islami. Sebut saja film semacam “Kun Fayakun”, dan “Emak Ingin Naik Haji”, yang memuat nilai-nilai dakwah secara jelas melalui dialog-dialog dan tayangannya. Ini adalah langkah baik dan berkah. Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa memang tidak banyak yang menonton film ini. Capaian jumlah penonton sangat tidak seimbang dengan catatan film-film lainnya. Saya membayangkan yang menonton hanyalah aktifis Islam dan yang sudah menyukai Islam. Bahkan mereka yang ‘kental’ dengan kajian dan gerakan islam belum tentu juga mau ikut menonton tayangan seperti itu. Sementara itu, di luar sana banyak kaum muslimin yang disebut dengan “islam KTP’ atau mereka yang tidak pernah bersinggungan dengan kajian, juga yang masih melekat trauma islam phobia, rasa-rasanya saat melihat judulnya saja akan merasa berat untuk hadir dan menyaksikannya. Ini bukan contoh kemasan dakwah yang buruk, hanya saja untuk memperluas cakupan dakwah dalam ceruk masyarakat muslim yang majemuk, masih terlampau berat untuk mendapatkan penerimaan yang signifikan.
Ketiga : Kemasan Dakwah Kreatif dan Prospektif
Mungkin saja seseorang menampilkan gaya standar yang disukai banyak orang, atau minimal tidak mendapatkan resistensi di tengah masyarakat, tapi ternyata di dalamnya menjelaskan tentang semangat islam dengan gamblang, jelas dan masuk dalam hati. Gambaran ini segera saya baca dalam film “ Laskar Pelangi”. Dilihat dari judulnya sangat humanis dan netral. Ia langsung menyentuh siapa saja tanpa melihat kapasitas keagamaannya. Barangkali saya sempat tertipu dengan judul dan tampilan nyentrik penulis film ini. Sama sekali tidak menggambarkan adanya pesan agung setelahnya. Tapi kemudian saya menyadari, bahwa di dalam film itu justru ada pesan-pesan keislaman yang tegas menghujam dalam hati. Melalui dialog, jalan cerita dan kesan umum yang akan kita dapati dengan mudah. Betapa tidak ? Latar belakang cerita saja tentang sebuah SD muhammadiyah di pesisir Belitong. Dialog-dialog guru dengan muridnya banyak mengungkap kisah-kisah Islam dengan gamblang. Kisah perang Badar dan kisah Nabi juga dimuat dengan tegas tanpa edeng aling-aling, meski melalui dialog singkat saja. Inilah kemasan dakwah yang kreatif dan prospektif, khususnya yang merindukan memberikan hak dakwah lebih luas kepada masyarakat muslim Indonesia yang majemuk pemahamannya. Meski dari luar terlihat lebih Indonesia atau kesan nasionalis sekalipun, tetapi tetap membawa pesan-pesan keislaman yang tegas dan menyentuh. Anda boleh catat hasilnya, jumlah penonton film ini mencapai 4,2 juta orang, dan itu adalah jumlah terbesar yang pernah tercatat selama ini. Kesan yang hampir sama juga mungkin kita dapati di sinetron “ Kiamat sudah Dekat”, dan “ Para Pencari Tuhan”.
Terakhir, mengapa kemasan dakwah harus menjadi pertimbangan kita dalam melangkah ? Sekali lagi, merupakan kewajiban bagi kita untuk menyebarkan dakwah seluas mungkin, kepada siapapun dan dimanapun. Disinilah arti kemasan menjadi penting, agar dakwah diterima dengan mudah dalam hati masyarakat, dan selanjutnya saat hati mulai tersentuh dan tertarik dengan Islam, maka bukan tidak mungkin kita lanjutkan dengan ajakan-ajakan lanjutan untuk mengubah setingkat lebih baik dari sebelumnya.
Inilah seni berdakwah, mengajak orang untuk lebih baik dari sebelumnya, meski hanya sedikit atau bahkan belum terasa. Mari kita ambil inspirasi dari misi dakwah nabi syuaib yang diabadikan dalam Al-Quran :“ Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali “ (QS Hud 88)
Semoga Allah SWT memudahkan aktifitas dakwah kita. Salam optimis !
* Artikel kami tulis pada Juni 2010
aminn
BalasHapusustadz... like this pake banget ^^
BalasHapusSelain film, kemasan dakwah yang menarik menurut ustdz apa lagi ya?
BalasHapus@etika : oke ... selamat terinspirasi :-)
BalasHapus@anonim : wah kok gak pake nama nih ? yang di atas itu sekedar contoh saja, dalam keseharian kita begitulah dakwah seharusnya . tidak harus judul pengajian, tapi bisa juga 'arisan, rapat RT atau yg semacamnya
Wahhh sangatt menarikk sekali...
BalasHapusLike this Ustadz.
BalasHapusItulah tantangan kita bagaimana membuat dakwah jadi menarik tanpa kehilangan pesan yang akan disampaikan.
Kereeeeeeeeeeeen :)
BalasHapusmaksudnya apa akh ardhi ?
BalasHapusDakwah bil seni, tadz b^^d
BalasHapus