Sahabat blogger Indonesia yang optimis, banyak mahasiswa dan pemuda kita yang menjadikan kuliah di luar negeri sebagai impian besarnya. Sebagian terlampau berandai-andai menganggap bahwa hal tersebut akan secara otomatis meningkatkan kualitas keilmuannya. Branding kesuksesan, kecerdasan, dan mumpuni dalam bahasa asing pun segera menghias di setiap benak pemuda kita. Tentu saja tidak semua salah dan tidak semua juga sebagaimana yang digambarkan. Posting kali ini ingin sedikit mencari gambaran yang seimbang, seputar apa untung rugi kuliah di luar negeri. Tentu saja berdasarkan pengamatan dan pengalaman penulis yang terbatas. Mari sedikit menginventaris keuntungan dan kelemahan belajar di negeri orang. Agar alasan saya, anda lebih mantap sebelum terjun bebas ke negara asing. Apakah yang akan kita dapatkan adalah keuntungan atau justru lebih banyak kerugian yang kita rasakan ? Beberapa point yang bisa saya kemukakan :
Pertama, Sisi Keuntungan, meliputi :
a) Dari sisi keilmuan, maka ia akan menggali langsung dari referensi induknya dengan bahasa asli penulisnya. Hal ini setidaknya akan membuka peluang untuk memperdalam orisinalitas ilmu dan ketajamannya.
b) Dari sisi referensi, maka biasanya dengan kuliah di luar negeri kita bisa mendapatkan banyak buku referensi yang belum tentu ada di negri kita. Begitu pula dengan jurnal-jurnal terbaru untuk mengembangkan ilmu kita. Sudah bukan rahasia lagi, bahwa di negara kita anggaran pendidikan masih minim. Jadi wajar saja jika perpustakaannya pun mungkin tidak standar yang seharusnya.
c) Dari sisi pengembangan ilmu, biasanya di luar negeri banyak sekali diadakan seminar keilmuan, kajian dan diskusi yang 'anehnya' gratis dengan fasilitas seabrek. Bayangkan saja, di negri kita seminar keilmuan atau apapun pasti ada tarifnya dan terkadang hasilnya begitu mengecewakan dan berhenti di seminar saja.
d) Dari sisi rujukan ilmu, maka di luar negeri kita mungkin peluang-peluang untuk berguru atau bertanya langsung pada ilmuwan dunia lebih terbuka. Di Indonesia cukup jarang ada tamu tingkat dunia. Contohnya dalam masalah ilmu keislaman, nama Dr.Yusuf Qaradhawi tidak bisa diragukan lagi menjadi simbol keilmuan Islam pada jaman ini. Nah, di Indonesia beliau terakhir datang pada tahun 2007 lalu, sebelumnya saya masih ingat betul ; beliau hadir di Masjid Al-Azhar tahun 1999. Bayangkan, dalam kurun waktu delapan tahun beliau baru sempat secara langsung mentransfer ilmunya pada kita, itupun selama dua kali dan tak lebih dari satu jam.
Bagaimana di Timur Tengah sana ? Ternyata aktifitas beliau cukup padat di negara-negara Timur Tengah. Mengisi perkuliahan umum, seminar atau muktamar berkeliling di seputar jazirah arab sudah menjadi agenda beliau. Tak cukup hanya itu, setiap Ahad malam stasiun televisi Al-Jazeera juga dengan setia menampilkan secara live dialog fikh dengan beliau. Acaranya berjudul : Asy-Syariah wal Hayah ! Membahas permasalahan kontemporer yang umat membutuhkan jawabannya segera.
e) Dari sisi kemampuan bahasa, maka di luar negeri kita mempunyai peluang yang sangat besar untuk mengasah bahasa asing kita. Di Barat dengan bahasa Inggris atau Perancisnya, maupun di Timur Tengah dengan bahasa Arabnya. Ini sangat membantu dalam perkembangan keilmuan kita selanjutnya. Begitu pula dengan peluang bursa kerja di tanah air yang lebih terbuka. Tidak perlu susah-susah kursus, di luar negeri kita dimana saja kita bisa mempraktekkan bahasa kita. Meski kalau tidak hati-hati, justru bahasa yang tidak pakem malah yang kita kuasai.
f) Dari sisi jaringan, maka ia akan mempunyai banyak aset berupa jaringan untuk masa depannya. Mungkin sesama mahasiswa Indonesia, atau juga dengan mahasiswa dari negara lainnya. Sesama mahasiswa Indonesia, karena di negeri orang biasanya menguatkan persaudaraan. Perasaan senasib sepenanggungan bisa berbuah jaringan yang kuat di masa depan. Bisa jadi senior yang telah sukses di Indonesia segara akan merekrut adik kelasnya begitu tiba di Bandara Soekarno Hatta ! Begitu pula dengan jaringan luar negeri, sehingga terkadang kita bisa plesir di tempat yang sebelumnya tidak pernah kita temukan dalam peta. Masih ingat kasus the Rising Star Prabowo Subianto yang terpuruk paska lengsernya sang mertua ? Begitu karir militernya dipangkas habis, seorang sahabat menelpon dari jauh, " Come on to my country.., youre my friend ! ". Sahabatnya itu adalah Pangeran Abdullah, yang saat ini tengah memimpin Jordania. Mereka berdua bertemu saat sama-sama sekolah militer di luar negri. Maka Prabowo pun melenggang nyaman ke luar negeri, karena jaringan yang telah dirintisnya sejak kuliah di negri orang.
g) Dari sisi konsentrasi belajar, semestinya lebih mendukung. Ia tidak perlu lagi disibukkan dengan masalah keluarga, masyarakat atau berita-berita mengkhawatirkan dari ibukota. Paling jauh ia hanya bisa mengamati dan berdoa. Apalagi dari sisi keluarga juga cukup tahu diri, biasanya yang diinformasikan keluar hanya sebatas berita-berita bahagia yang menyemangati sang putra.
h) Dari sisi finansial, jelas memang kalau biaya sendiri pasti tidak bisa disebut menguntungkan. Tetapi dengan kuliah di luar negeri, otomatis membuka peluang beasiswa dan sponsorship yang mungkin agak enggan memberikan beasiswa pada mereka yang di Indonesia. Jika seperti ini, maka hal ini bisa juga kita masukkan dalam sisi keuntungan.
i) Dari sisi finansial juga, meski agak susah peluangnya, jika kita sukses kuliah sambil kerja, maka gaji yang didapat sudah pasti mencukupi biaya hidup yang semestinya. Tingkat UMR di kota-kota besar di dunia kadang jauh di atas gaji karyawan perlente berdasi di gedung-gedung ibukota kita.
Itu dari sisi keuntungan, yang bisa saja setiap orang bisa menambahkannya sesuai dengan kondisinya, masing-masing. Adapun sisi kelemahan di antaranya sebagai berikut :
Kedua, sisi kelemahan meliputi :
a) Secara psikologi pribadi, untuk sementara memang ia akan meninggalkan orang-orang yang dicintainya. Entah sahabat, kawan, atau juga keluarga. Terkadang ini sangat menyedihkan dan bisa di bawa hingga ke negri seberang. Bahkan seorang teman bercerita, ada temannya yang gagal keluar negri padahal sudah siap semuanya, 'hanya' karena ia tidak tega mendengar tangis anaknya di depan pemeriksaan tiket bandara. Subhanallah !. Ada pula yang seminggu langsung kembali pulang karena tak tahan berpisah dengan anak istri tercinta. Adapula yang tetap ngotot kuliah tapi tak pernah sukses dalam studinya karena terlalu sering bernostalgia. Maka kuncinya memang sabar dan tawakkal. Imam Syafi;I memberi semangat tentang masalah ini : " Lakukanlah perjalanan .. niscaya engkau akan mendapatkan orang-orang yang telah berpisah darimu ". Artinya, di luar negeri pun mestinya bisa banyak teman dan sahabat.
b) Secara pribadi juga, di luar negeri membuat proyek birrul walidain kita begitu terbatas. Paling banter mungkin kita bisa menelpon dan sms, tetapi hanya sampai di situ saja peran kita. Saat orang tua sedih, sakit, atau tertimpa permasalahan tidak ada yang bisa dilakukan kecuali berdoa saja. Begitu pula ketika ada orang tua yang meninggal, maka hanya derai air mata dan shalat ghaib saja yang bisa membuktikan kecintaan kita pada orangtua kita. Saya sering menjadi saksi ketegaran para sahabat di Sudan yang melepas kepergian orang tua mereka 'hanya' dengan doa dan tangisan yang tertahan !
c) Dari sisi pengembangan diri, mahasiswa di luar negeri cukup kesulitan untuk mengoptimalkan pengembangan dirinya, khususnya pada ketrampilan menulis dan public speaking. Menulis, karena jarang membaca majalah, koran atau khususnya buku-buku terbaru yang berbahasa Indonesia, sehingga mempengaruhi kualitas tulisan mereka. Bukan pada isinya, tetapi gaya bahasa dan pemilihan kata yang tepat. Jujur saja, jika membaca tulisan teman-teman 'asli' Indonesia cukup menyenangkan untuk dinikmati. Bahasanya memukau dan mengalir begitu saja. Sementara produk lulusan luar negri, khususnya Timur Tengah, -mohon maaf termasuk saya sendiri- sebagian besar (bukan semuanya) gaya tulisannya masih 'orde baru' alias resmi-resmi kaku. Belum banyak improvisasi berarti apalagi bermanuver secara rapi tapi mengejutkan ! Ini bukan merendahkan satu dan yang lainnya, apalagi menggeneralisir semuanya. Tetapi hanyalah sedikit cerita tentang kesan membaca dua tulisan dari penulis yang berbeda. Yang satu berlatar belakang Indonesia, yang satu bertahun-tahun kuliah di luar negeri.
d) Sisi pengembangan diri yang lainnya, yaitu ketrampilan menjadi pembicara dalam bahasa Indonesia. Khususnya mereka yang belajar ilmu agama di Timur Tengah sana. Sebabnya sederhana, forum untuk berbicara di depan umum begitu terbatas. Dalam sebulan belum tentu ia diminta untuk ceramah atau pidato di depan yang lainnya. Akibatnya, sisi pembawaan, mental, begitu juga intonasi dan inovasi menjadi kurang dinamis. Di Indonesia mestinya jauh berbeda, karena undangan ceramah ada dimana-mana. Setiap hari bisa berlatih dan langsung praktek di muka umum. Jam terbang meninggi dan ketrampilan pun semakin terasah tak tertandingi.
e) Sisi lainnya dari sisi psikologis adalah ; kecenderungan menjadi kurang pergaulan. Atau setidaknya perlu adaptasi lebih lama ketika nanti kembali ke tanah airnya. Mereka yang diluar negeri telah beradaptasi dengan beragam budaya yang sangat berbeda dengan daerahnya. Salah satu yang menonjol adalah sikap individualis yang ada pada masyarakat barat. Mungkin agak terasa aneh kalau di tanah air harus berbaur dengan masyarakat yang seolah 'reseh' dengan banyak agendanya, seperti ; arisan, kerjabakti dan sebagainya. Tetapi sebaliknya, juga ada karakter terpuji dari luar negeri yang akan merepotkan saat di Indonesia. Misalnya kebiasaan disiplin dan tepat waktu pada masyarakat Jepang, jika diterapkan di Indonesia secara 100% justru malah merepotkan panitia acara atau pihak yang mengundang. Wow !
Nah dari penjelasan di atas, selanjutnya terserah Anda ! Wallahu a'lam bisshowab
UNTUK DOWNLOAD MATERI POWERPOINT PANDUAN KULIAH DI LUAR NEGERI
SILAHKAN KLIK
Download My PPT
Makasih atas infonya mas, bagus banget, sampai pikiran saya terbawa pada kenangan antum, malah saya jadi iri pengen mendengar langsung kajian Dr. Yusuf Qardhawi. :D
BalasHapus