Kultum Ramadhan senantiasa semarak dari tahun ke tahun. Para Takmir dan Pengurus masjid menjadikan agenda kultum ramadhan sebagai agenda unggulan di bulan Ramadhan. Setidaknya hampir sebagian besar masjid menjadwalkan kultum ramadhan baik selepas sholat Isya atau setelah sholat shubuh. Yang disebut sebagai kultum ramadhan ini pun beragam, dalam arti tidak sepenuhnya tujuh menit. Ada yang bahkan hingga seperempat bahkan setengah jam lebih dan ini pun sama-sama sudah dimaklumi oleh jamaah tarawih dan shubuh.
Karena jadwal tiga puluh hari yang begitu padat, maka bisa dipastikan kesempatan untuk memberikan kultum ramadhan begitu besar. Bahkan terkadang beberapa pengurus masjid memang menjadikan agenda ini sebagai ajang latihan bagi remaja untuk berbicara di depan umum, begitu pula bagi para orang tuanya. Alasannya memang simple, sederhana dan begitu mulia : yaitu agar terlatih berdakwah, memotivasi untuk membaca, dan lain sebagainya. Alasan teknis lainnya, adalah untuk memudahkan penjadwalan. Bisa dibayangkan karena dai dan muballigh ramadhan jumlahnya terbatas di suatu daerah, maka tidak mungkin harus berputar dari masjid ke masjid setiap isya dan shubuh saja. Maka mau tidak mau, suka tidak suka dalam bulan Ramadhan pun bermunculan muballigh dan da’i-da’I baru.
Sungguh upaya ini adalah sebuah fenomena positif yang layak kita apresiasi dan sambut dengan bahagia. Siapa yang tidak gembira melihat kebaikan mendapat kesempatan begitu mudah untuk disampaikan dan diperdengarkan ? Namun permasalahannya memang terkadang beranjak lebih jauh dari yang kita bayangkan. Para dai dan muballigh insidental ini seringkali terjebak dalam dua hal : pertama menyampaikan sesuatu yang berulang terus menerus. Apalagi jika takmir masjid tidak menetapkan tema secara khusus, bisa dipastikan setiap hari kita akan mendengat tausiyah tentang keutamaan puasa ramadhan, plus hadits andalan yang fenomenal : “ man shooma romadhoon …. dan seterusnya. Yang kedua, menyampaikan sesuatu tanpa berdasarkan referensi yang valid. Entah karena kurang persiapan, atau malas mendalami apa yang akan disampaikan, maka yang disampaikan adalah hal-hal yang juga mungkin ia dengar dan dapatkan dari lainnya. Inilah yang kemudian memunculkan fenomena banyak hadits dhoif menjadi begitu terkenal dan termasyhur dalam bulan Ramadhan.
Mungkin sudah banyak artikel di internet yang mengungkap ragam macam hadits-hadits ramadhan yang dhaif. Saya tidak akan menyebutkan secara detil, hanya sekedar contoh lalu kita kembali fokus ke bagaimana seharusnya dan solusi yang tepat dalam masalah ini.
Contoh hadits dhaif seputar Ramadhan
1. Tentang Bermaafan sebelum Ramadhan :
Doa Malaikat Jibril menjelang Ramadhan "Ya Alloh tolong abaikan puasa ummat Muhammad apabila sebelum memasuki bulan Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal sbb: 1. Tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada ke-2 ortunya (jk masih ada) 2. Tidak bermaafan terlebih dahulu antara suami isteri. 3. Tidak bermaafan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya". Maka Rosulluloh pun mengatakan Amin sebanyak 3 x.
2. Tentang bergembira dengan kedatangan Ramadhan :
”Barang siapa yang bergembira dengan datangnya Ramadhan, maka Allah haramkan jasadnya dari api neraka”
3. Tentang Puasa menyehatkan
“Berpuasalah, niscaya kalian akan sehat”. [HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Ausath (8312), Ibnu Adi dalam Al-Kamil (2/357/488 & 7/57/1986)]
4.Tentang Tidurnya orang berpuasa adalah Ibadah
Orang yang berpuasa (senantiasa) dalam ibadah, sekalipun ia tidur di atas tempat tidurnya”. [HR. Tamam Ar-Roziy dalam Al-Fawa’id (18/172-173)]
5.Tentang Pembagian Keutamaan Ramadhan menjadi tiga Bagian
“Wahai manusia, sungguh kalian telah dinaungi oleh bulan yang agung; bulan yang di dalamnya terdapat sebuah malam yang lebih baik dibandingkan seribu bulan. Allah menjadikan puasa di bulan itu sebagai kewajiban, dan sholat malamnya sebagai tathowwu’ (sunnah). Barang siapa yang mendekatkan diri di dalamnya dengan satu bentuk kebaikan, maka ia ibaratnya orang yang menunaikan kewajiban pada selain Romadhon…Awalnya adalah rahmat, tengahnya adalah pengampunan, dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka”. [HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shohih-nya(1887), Al-Mahamiliy dalam Al-Amaliy (293)]
6.Tentang Keinginan menjadikan seluruh Bulan adalah Ramadhan :
Andaikan para hamba mengetahui apa yang terdapat dalam Romadhon, niscaya ummatku akan mengharapkan Romadhon adalah setahun penuh. Sesungguhnya surga dihiasi untuk Romadhon dari awal tahun ke tahun berikutnya”. [HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shohih-nya(1886), Abu Ya’laa dalam Al-Musnad (5273), Ibnul Jauziy dalam Al-Maudhu’at (2/188-189)]
Bagaimana Hukum Meriwayatkan Hadits Dhoif ?
Sebelum kita berbicara lebih mendalam tentang bahasan bagaimana hukum meriwayatkan hadits dhoif, ada baiknya kita kembali merenungi panduan umum dalam berbicara ‘atas nama’ Rasulullah SAW yang mulia. Beliau telah mengingatkan sejak awal :
Maka hendaknya hadits di atas menjadi renungan awal bagi kita dalam menyampaikan hadits, untuk lebih berhati-hati dalam memilah dan milih hadits yang akan kita jadikan referensi dalam kultum ramadhan ataupun ceramah secara umum.
Adapun dalam bahasan ulama, memang ada perbedaan pendapat seputar periwayatan hadits dhoif, setidaknya terangkum dalam tiga pendapat berikut.
Pertama: Haram secara mutlak penggunaan hadits dhoif sebagai hujjah dalam tema dan masalah apapun. Para ulama yang mengambil pendapat ini adalah sebagian besar ulama hadits, diantaranya: Imam Ibnu Hazm, Imam al-Bukhori, Imam Muslim , al-Hafizh Yahya bin Ma’in, al-Hafizh Abu Bakar Ibnu al-’Arabi al-Maliki, dan juga Ibnu Taimiyah.
Kedua: Boleh mengamalkan hadits dho’if tetapi khusus yang berkaitan dalam bab Fadhoil al-A’mal, dan targhib wa tarhib ( motivasi dan ancaman). Kebolehan ini tidak berlaku dalam masalah lainnya, apalagi soal halal dan haram, serta aqidah. Mereka yang menyebutkan kebolehan ini adalah sebagian ahli Fiqih dan ahli Hadits, diantaranya : al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, Ibnu Sholah, dan al-Imam Nawawi rahimahumullah.
Ketiga : Boleh mengamalkan secara mutlak, artinya baik dalam masalah fiqh, aqidah dan selainnya, namun dengan syarat jika dalam masalah itu tidak didapatkan hadits yang lebih kuat dari apa yang ada.
Syarat Ulama tentang periwayatan hadits Dhoif
Mereka yang membolehkan periwayatan hadits dhoif dalam masalah fadho’ilul amal , juga menetapkan sejumlah syarat yang ketat bagi kita saat benar-benar akan menjalankannya.
1.Harus dipastikan bahwa meskipun dhoif, tetapi masih dalam kategori yang wajar, artinya tidak lemah sekali , apalagi maudhu’ atau palsu.
2. Tidak dijadikan asal dan sandaran dalam menentukan sebuah hukum, tapi hendaknya ada hadits lain yang shohih dan kuat untuk menjadi referensi utamanya.
3. Tidak meyakini bahwa Rasulullah SAW benar-benar melakukan atau menyebutkannya. Hadits itu diamalkan hanya karena kehati-hatian ketimbang mengamalkan sesuatu yang tidak ada dasarnya sama sekali.
4. Memastikan bahwa hadits tersebut khusus untuk Fadhoil al-A’mal atau Targhib wa Tarhib. Bukan dalam masalah aqidah, halal haram, ataupun tafsir Al-Quran.
Solusi yang bisa kita lakukan
Solusi yang mungkin kita lakukan dalam hal ini, kaitannya dalam masalah di atas, setidaknya ada tiga hal :
Pertama : melakukan persiapan dengan optimal. Meliputi pembacaan referensi yang shohih dan valid. Karena saat ini sudah banyak buku dan kitab seputar puasa yang baik dan beredar di masyarakat. Hal ini untuk memberikan kita referensi yang lebih banyak dalam memberikan ceramah, ketimbang berkutat dengan dalil yang ada namun tidak kuat.
Kedua : Melihat kembali dan bertanya kepada pakarnya, jika menemukan sebuah hadits yang menarik tapi agak asing dalam sebuah masalah, agar menjadi tenang dan yakin ketika menyampaikan.
Ketiga : Memberikan penyadaran dalam masyarakat dalam masalah ini. Artinya bisa saja kita sebutkan dengan menjelaskan kelemahan dan kedhaifannya, tetapi kita berikan ganti lain hadits yang shohih dan kuat dalam masalah yang sama pula. Tetapi jangan sampai hal ini justru malah mengundang permasalahan dan perpecahan antara jamaah masjid.
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memudah ikhtiar dan usaha kita dalam mengisi dan mengoptimalkan ramadhan sebagai bulan dakwah dan kebaikan.
Karena jadwal tiga puluh hari yang begitu padat, maka bisa dipastikan kesempatan untuk memberikan kultum ramadhan begitu besar. Bahkan terkadang beberapa pengurus masjid memang menjadikan agenda ini sebagai ajang latihan bagi remaja untuk berbicara di depan umum, begitu pula bagi para orang tuanya. Alasannya memang simple, sederhana dan begitu mulia : yaitu agar terlatih berdakwah, memotivasi untuk membaca, dan lain sebagainya. Alasan teknis lainnya, adalah untuk memudahkan penjadwalan. Bisa dibayangkan karena dai dan muballigh ramadhan jumlahnya terbatas di suatu daerah, maka tidak mungkin harus berputar dari masjid ke masjid setiap isya dan shubuh saja. Maka mau tidak mau, suka tidak suka dalam bulan Ramadhan pun bermunculan muballigh dan da’i-da’I baru.
Sungguh upaya ini adalah sebuah fenomena positif yang layak kita apresiasi dan sambut dengan bahagia. Siapa yang tidak gembira melihat kebaikan mendapat kesempatan begitu mudah untuk disampaikan dan diperdengarkan ? Namun permasalahannya memang terkadang beranjak lebih jauh dari yang kita bayangkan. Para dai dan muballigh insidental ini seringkali terjebak dalam dua hal : pertama menyampaikan sesuatu yang berulang terus menerus. Apalagi jika takmir masjid tidak menetapkan tema secara khusus, bisa dipastikan setiap hari kita akan mendengat tausiyah tentang keutamaan puasa ramadhan, plus hadits andalan yang fenomenal : “ man shooma romadhoon …. dan seterusnya. Yang kedua, menyampaikan sesuatu tanpa berdasarkan referensi yang valid. Entah karena kurang persiapan, atau malas mendalami apa yang akan disampaikan, maka yang disampaikan adalah hal-hal yang juga mungkin ia dengar dan dapatkan dari lainnya. Inilah yang kemudian memunculkan fenomena banyak hadits dhoif menjadi begitu terkenal dan termasyhur dalam bulan Ramadhan.
Mungkin sudah banyak artikel di internet yang mengungkap ragam macam hadits-hadits ramadhan yang dhaif. Saya tidak akan menyebutkan secara detil, hanya sekedar contoh lalu kita kembali fokus ke bagaimana seharusnya dan solusi yang tepat dalam masalah ini.
Contoh hadits dhaif seputar Ramadhan
1. Tentang Bermaafan sebelum Ramadhan :
Doa Malaikat Jibril menjelang Ramadhan "Ya Alloh tolong abaikan puasa ummat Muhammad apabila sebelum memasuki bulan Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal sbb: 1. Tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada ke-2 ortunya (jk masih ada) 2. Tidak bermaafan terlebih dahulu antara suami isteri. 3. Tidak bermaafan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya". Maka Rosulluloh pun mengatakan Amin sebanyak 3 x.
2. Tentang bergembira dengan kedatangan Ramadhan :
”Barang siapa yang bergembira dengan datangnya Ramadhan, maka Allah haramkan jasadnya dari api neraka”
3. Tentang Puasa menyehatkan
“Berpuasalah, niscaya kalian akan sehat”. [HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Ausath (8312), Ibnu Adi dalam Al-Kamil (2/357/488 & 7/57/1986)]
4.Tentang Tidurnya orang berpuasa adalah Ibadah
Orang yang berpuasa (senantiasa) dalam ibadah, sekalipun ia tidur di atas tempat tidurnya”. [HR. Tamam Ar-Roziy dalam Al-Fawa’id (18/172-173)]
5.Tentang Pembagian Keutamaan Ramadhan menjadi tiga Bagian
“Wahai manusia, sungguh kalian telah dinaungi oleh bulan yang agung; bulan yang di dalamnya terdapat sebuah malam yang lebih baik dibandingkan seribu bulan. Allah menjadikan puasa di bulan itu sebagai kewajiban, dan sholat malamnya sebagai tathowwu’ (sunnah). Barang siapa yang mendekatkan diri di dalamnya dengan satu bentuk kebaikan, maka ia ibaratnya orang yang menunaikan kewajiban pada selain Romadhon…Awalnya adalah rahmat, tengahnya adalah pengampunan, dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka”. [HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shohih-nya(1887), Al-Mahamiliy dalam Al-Amaliy (293)]
6.Tentang Keinginan menjadikan seluruh Bulan adalah Ramadhan :
Andaikan para hamba mengetahui apa yang terdapat dalam Romadhon, niscaya ummatku akan mengharapkan Romadhon adalah setahun penuh. Sesungguhnya surga dihiasi untuk Romadhon dari awal tahun ke tahun berikutnya”. [HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shohih-nya(1886), Abu Ya’laa dalam Al-Musnad (5273), Ibnul Jauziy dalam Al-Maudhu’at (2/188-189)]
Bagaimana Hukum Meriwayatkan Hadits Dhoif ?
Sebelum kita berbicara lebih mendalam tentang bahasan bagaimana hukum meriwayatkan hadits dhoif, ada baiknya kita kembali merenungi panduan umum dalam berbicara ‘atas nama’ Rasulullah SAW yang mulia. Beliau telah mengingatkan sejak awal :
وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأَ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya(110), dan Muslim dalam Shohih-nya (3)]Maka hendaknya hadits di atas menjadi renungan awal bagi kita dalam menyampaikan hadits, untuk lebih berhati-hati dalam memilah dan milih hadits yang akan kita jadikan referensi dalam kultum ramadhan ataupun ceramah secara umum.
Adapun dalam bahasan ulama, memang ada perbedaan pendapat seputar periwayatan hadits dhoif, setidaknya terangkum dalam tiga pendapat berikut.
Pertama: Haram secara mutlak penggunaan hadits dhoif sebagai hujjah dalam tema dan masalah apapun. Para ulama yang mengambil pendapat ini adalah sebagian besar ulama hadits, diantaranya: Imam Ibnu Hazm, Imam al-Bukhori, Imam Muslim , al-Hafizh Yahya bin Ma’in, al-Hafizh Abu Bakar Ibnu al-’Arabi al-Maliki, dan juga Ibnu Taimiyah.
Kedua: Boleh mengamalkan hadits dho’if tetapi khusus yang berkaitan dalam bab Fadhoil al-A’mal, dan targhib wa tarhib ( motivasi dan ancaman). Kebolehan ini tidak berlaku dalam masalah lainnya, apalagi soal halal dan haram, serta aqidah. Mereka yang menyebutkan kebolehan ini adalah sebagian ahli Fiqih dan ahli Hadits, diantaranya : al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, Ibnu Sholah, dan al-Imam Nawawi rahimahumullah.
Ketiga : Boleh mengamalkan secara mutlak, artinya baik dalam masalah fiqh, aqidah dan selainnya, namun dengan syarat jika dalam masalah itu tidak didapatkan hadits yang lebih kuat dari apa yang ada.
Syarat Ulama tentang periwayatan hadits Dhoif
Mereka yang membolehkan periwayatan hadits dhoif dalam masalah fadho’ilul amal , juga menetapkan sejumlah syarat yang ketat bagi kita saat benar-benar akan menjalankannya.
1.Harus dipastikan bahwa meskipun dhoif, tetapi masih dalam kategori yang wajar, artinya tidak lemah sekali , apalagi maudhu’ atau palsu.
2. Tidak dijadikan asal dan sandaran dalam menentukan sebuah hukum, tapi hendaknya ada hadits lain yang shohih dan kuat untuk menjadi referensi utamanya.
3. Tidak meyakini bahwa Rasulullah SAW benar-benar melakukan atau menyebutkannya. Hadits itu diamalkan hanya karena kehati-hatian ketimbang mengamalkan sesuatu yang tidak ada dasarnya sama sekali.
4. Memastikan bahwa hadits tersebut khusus untuk Fadhoil al-A’mal atau Targhib wa Tarhib. Bukan dalam masalah aqidah, halal haram, ataupun tafsir Al-Quran.
Solusi yang bisa kita lakukan
Solusi yang mungkin kita lakukan dalam hal ini, kaitannya dalam masalah di atas, setidaknya ada tiga hal :
Pertama : melakukan persiapan dengan optimal. Meliputi pembacaan referensi yang shohih dan valid. Karena saat ini sudah banyak buku dan kitab seputar puasa yang baik dan beredar di masyarakat. Hal ini untuk memberikan kita referensi yang lebih banyak dalam memberikan ceramah, ketimbang berkutat dengan dalil yang ada namun tidak kuat.
Kedua : Melihat kembali dan bertanya kepada pakarnya, jika menemukan sebuah hadits yang menarik tapi agak asing dalam sebuah masalah, agar menjadi tenang dan yakin ketika menyampaikan.
Ketiga : Memberikan penyadaran dalam masyarakat dalam masalah ini. Artinya bisa saja kita sebutkan dengan menjelaskan kelemahan dan kedhaifannya, tetapi kita berikan ganti lain hadits yang shohih dan kuat dalam masalah yang sama pula. Tetapi jangan sampai hal ini justru malah mengundang permasalahan dan perpecahan antara jamaah masjid.
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memudah ikhtiar dan usaha kita dalam mengisi dan mengoptimalkan ramadhan sebagai bulan dakwah dan kebaikan.
Jazakallah tadz... hadis diatas memamng yang paling populer tadz...
BalasHapusAss. Ustad, sebaiknya hadist2 yg dikatakan lemah itu juga ditunjukkan kelemahannya ada dimana, jadi kami biar paham musababnya ... syukran Wassalam
BalasHapussalam kenal ya bozz...
BalasHapuskunjungan pertama saya...
@anonim : sudah saya tuliskan di atas, bahwa saya memang tidak menyebutkan secara detil tentang sebab lemahnya hadits2 tersebut. Karena memang fokus artikel ini tidak disitu, melainkan solusi permasalahannya.
BalasHapus*adapun sebab lemahnya hadits tsb, sudah banyak ditulis di internet, google saja tahu lho .. :-)
jazakallah.... baru tahu ternyata hadits dhaif toh..? kasih penjelasan dong letak dhaifnya dimana? syukran.....
BalasHapuswah komentarnya sama dengan sebelumnya, sama-sama anonim juga ... untuk sebab mengapa didhoifkan, silahkan tanya google dengan kata kunci " hadits dhoif ramadhan " jawabannya banyak sekali dan saya tidak fokus untuk mengulang hal tersebut
BalasHapussalam kenal sob
BalasHapusJazakallah ustadz, insyaAllah bermanfaat...
BalasHapus@mas kholiq : terima kasih komentar ringannya
BalasHapus@abiyasa : oke smoga manfaat dan lancar agendanya
Alhamdulilah, ini adalah masukan yang sangat berarti, jzklh khair
BalasHapus