Imperialisme modern pada hakikatnya adalah perang salib gaya baru yang dicanangkan oleh raja-raja Eropa. Tetapi dalih yang senantiasa dimunculkan hingga hari ini memang beragam tidak hanya kepentingan agama, tetapi juga politik dan ekonomi. Dalih ekonomi yaitu mencari jajahan untuk dijadikan sumber bahan mentah dan pasar bagi hasil-hasil industri. Seperti kita ketahui, revolusi industri mencapai puncaknya di eropa pada abad 17. Para pemimpin eropa menyadari betul, jika imperialisme ini digelari simbol dan kepentingan agama, maka akan mendapatkan perlawanan luar biasa dari kaum muslimin sebagaimana terjadi pada perang salib. Karenanya, mereka menyembunyikan dalam-dalam sisi ini, dan memunculkan semangat perbaikan dan kemajuan untuk melunakkan hati penduduk daerah jajahan.
Ilustrasi yang nyata dalam masalah ini bisa kita lihat dengan masuk Islamnya Napoloen Bonaparte setelah menguasai kota Iskandariyah Mesir pada tahun 1798 . Ia menyatakan dengan resmi keislamannya seraya mengatakan, “ Wahai rakyat Mesir, konon pernah dikatakan bahwa aku masuk ke negeri kalian dengan maksud memusnahkan agama kalian. Isu itu tersebut sama sekali tidak benar dan jangan kalian percayai. Katakan pada pendusta tersebut bahwa aku datang kepada kalian dengan tujuan mulia, yaitu mengembalikan hak-hak kalian yang sekarang berada di tangan penguasa yang kejam “. Hal semacam ini ditempuh Napoleon dengan maksud menghindari perlawanan sengit seperti yang dialami perang Salib karena membawa nama agama.
Maka yang terjadi kemudian negara Islam bak hidangan roti yang dibagi-bagi dengan mudahnya diantara negara-negara eropa. Inggris menjajah India, Mesir, Irak dan Yordania. Perancis menjajah Suriah dan Libanon. Di Asia Tenggara, Inggris menjajah Malaysia dan Singapura. Belanda menjajah Indonesia. Di Afrika, Perancis mendapat wilayah jajahan yang sangat luas dan berbagi dengan Inggris.
Kendati negara-negara imperialis berupaya menyembunyikan aspek agama dalam penjajahannya, namun kaum muslimin di negara-negara jajahan tidak sepenuhnya bisa dibohongi. Karenanya bermunculan gerakan perlawanan dimana-mana yang dipimpin oleh tokoh-tokoh agama dengan semangat jihadnya. Di Mesir, gerakan melawan penjajah dipimpin oleh ulama Al-Azhar yang mulia. Gerakan perlawanan lainnya juga terjadi di negara lainnya, seperti : Umar Mukhtar di Libya, Amir Muhammad bin Abdul Karim Al-Khottobi di Maroko, Syaikh Izzudin Al-Qossam di Palestina, dan Muhammad Ahmad al-Mahdi di Sudan. Begitu pula di Indonesia, tidak bisa kita pungkiri gerakan perlawanan yang dipimpin oleh Imam Bonjol, Teuku Umar, Kyai Mojo, sangat terkait erat dengan semangat jihad menentang penjajah.
Bagaimana Imperialisme menjadi penyebab Kelemahan Umat Islam ?
Para pelaku imperialisme sangat menyadari bahwa selama kekuatan umat Islam dalam kondisi stabil dan bersatu, maka seluruh agenda imperialisme mereka akan susah untuk dicapai dan dijalankan. Karenanya, beriringan dengan penjajahan fisik yang mereka lakukan, serangkaian langkah strategis untuk melemahkan umat Islam juga segera dijalankan. Dua hal yang paling berpengaruh antara lain :
Pertama : Memecahbelah dan mengkotak-kotakan umat Islam
Upaya imperialisme sejak awal ditujukan untuk membagi-bagi dan mengkotak-kotakkan wilayah Islam yang sejatinya tak mengenal batas geografis. Setelah terjadi pembagian geografis, maka orang-orang Eropa mulai membangkitkan semangat nasionalisme di tiap daerah. Sehingga kaum muslimin disibukkan dengan urusan daerahnya sendiri dan tidak lagi memikirkan daerah muslimin lainnya. Bahkan lebih jauh lagi, dipertentangkan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Diberikan anggapan bahwa Mesir hanya bagi orang Mesir, Suriah hanya bagi orang Suriah, dan Irak bagi orang Irak. Hal ini ditambah lagi dengan slogan-slogan baru seperti : nasionalisme arab, nasionalisme Kurdi Irak, Nasionalisme Iran, dan Nasionalisme Kurdi Turki. Semua ini tanpa disadari menjadikan pemikiran dan kepedulian kaum muslimin menjadi menyempit, hanya sebatas daerah dan negaranya masing-masing. Cara lain yang digunakan oleh negara imperialis adalah dengan menganjurkan pendirian partai dan organisasi kecil atas nama demokrasi, untuk kemudian digunakan sebagai alat pecah belah rakyat yang mudah digunakan setiap saat.
Kedua : Memalingkan rakyat jajahannya dari agamanya
Para politikus, pemimpin militer dan para pemikir imperialisme mencurahkan seluruh pikirannya untuk menjauhkan umat Islam dari agamanya. Mereka sangat mengetahui bahwa rahasia kekuatan umat Islam ada pada pemahaman mereka terhadap agamanya. Karenanya berbagai konferensi dan pertemuan intensif digelar untuk menyusun formula penjauhan umat Islam dari ajaran agamanya. Statemen Zwemmer sangat dikenal dalam hal ini, saat berbicara dalam konferensi negara-negara imperialis di Al-Quds setelah ditaklukannya kota tersebut, ia berpidato : ” Bahwa tugas besar dipundak para missionaris yang dikirim ke negara-negara Islam ialah mengeluarkan orang muslim dari keislamannya, agar ia menjadi manusia yang tidak memiliki hubungan dengan Allah. Dengan sendirinya ia kemudian tidak berpegang teguh dengan akhlak yang merupakan lambang suatu bangsa dalam kehidupannya.”. Gladston juga menegaskan hal ini dengan mengatakan, ”Sesungguhnya kepentingan Eropa di Asia tetap terancam selama disana masih ada Al-Quran yang dibaca dan Ka’bah yang kerap dikunjungi.
Untuk mencapai target tersebut, serangkaian langkah telah dijalankan dengan halus dan nyaris tidak mendapat penentangan dari kaum muslimin, antara lain :
1) Tasykik : membuat keragu-raguan tentang Islam sebagai solusi dalam kehidupan. Menuduhnya seolah sebagai agama yang kuno jauh dari ilmu pengetahuan.
2) Sekulerisasi : menjauhkan penguasa dari hukum syariat dengan dalih agama adalah perintang kemajuan bangsa.
3) Dikotomi pendidikan : menempatkan alumni pendidikan umum pada jabatan strategis dan meremehkan alumni pendidikan agama agar menjadi preseden buruk di masyarakat.
4) Menyebarkan kerusakan moral dalam masyarakat agar tenggelam dalam syahwat. Tak kurang seorang orientalis bernama Syatulyn mengatakan, ” Gelas dan artis mampu menghancurkan umat Muhammad dari seribu meriam, maka tenggelamkan umat muhammad ke dalam cinta materi dan syahwat.”
5) Mendirikan sekolah-sekolah untuk mendidik generasi ala barat dan menanamkan kebencian akan Islam sejak dini.
6) Membuka rumah sakit dan tempat penampungan untuk memudahkan penyebaran fikrohnya. Missionaris Irharz mengatakan : ” para dokter missionaris tidak boleh lupa meski dalam sekejap mata bahwa profesi utamanya adalah sebagai missionaris dan profesi dokter hanyalah sebagai sampingan saja”.
7) Memberikan beasiswa kepada anak-anak dan pemuda Islam untuk belajar di negaranya. Hal ini membuka jalan lebar bagi mereka menanamkan pemahaman yang salah tentang Islam sekaligus merusak kepribadian orang Islam.
Semua langkah di atas dilakukan dengan bertahap dan dalam jangka yang sangat panjang. Jika kita perhatikan, maka sungguh hari ini pun langkah-langkah di atas masih mengelilingi kehidupan masyarakat negara muslim secara keseluruhan. Wallahua'lam.
Ilustrasi yang nyata dalam masalah ini bisa kita lihat dengan masuk Islamnya Napoloen Bonaparte setelah menguasai kota Iskandariyah Mesir pada tahun 1798 . Ia menyatakan dengan resmi keislamannya seraya mengatakan, “ Wahai rakyat Mesir, konon pernah dikatakan bahwa aku masuk ke negeri kalian dengan maksud memusnahkan agama kalian. Isu itu tersebut sama sekali tidak benar dan jangan kalian percayai. Katakan pada pendusta tersebut bahwa aku datang kepada kalian dengan tujuan mulia, yaitu mengembalikan hak-hak kalian yang sekarang berada di tangan penguasa yang kejam “. Hal semacam ini ditempuh Napoleon dengan maksud menghindari perlawanan sengit seperti yang dialami perang Salib karena membawa nama agama.
Maka yang terjadi kemudian negara Islam bak hidangan roti yang dibagi-bagi dengan mudahnya diantara negara-negara eropa. Inggris menjajah India, Mesir, Irak dan Yordania. Perancis menjajah Suriah dan Libanon. Di Asia Tenggara, Inggris menjajah Malaysia dan Singapura. Belanda menjajah Indonesia. Di Afrika, Perancis mendapat wilayah jajahan yang sangat luas dan berbagi dengan Inggris.
Kendati negara-negara imperialis berupaya menyembunyikan aspek agama dalam penjajahannya, namun kaum muslimin di negara-negara jajahan tidak sepenuhnya bisa dibohongi. Karenanya bermunculan gerakan perlawanan dimana-mana yang dipimpin oleh tokoh-tokoh agama dengan semangat jihadnya. Di Mesir, gerakan melawan penjajah dipimpin oleh ulama Al-Azhar yang mulia. Gerakan perlawanan lainnya juga terjadi di negara lainnya, seperti : Umar Mukhtar di Libya, Amir Muhammad bin Abdul Karim Al-Khottobi di Maroko, Syaikh Izzudin Al-Qossam di Palestina, dan Muhammad Ahmad al-Mahdi di Sudan. Begitu pula di Indonesia, tidak bisa kita pungkiri gerakan perlawanan yang dipimpin oleh Imam Bonjol, Teuku Umar, Kyai Mojo, sangat terkait erat dengan semangat jihad menentang penjajah.
Bagaimana Imperialisme menjadi penyebab Kelemahan Umat Islam ?
Para pelaku imperialisme sangat menyadari bahwa selama kekuatan umat Islam dalam kondisi stabil dan bersatu, maka seluruh agenda imperialisme mereka akan susah untuk dicapai dan dijalankan. Karenanya, beriringan dengan penjajahan fisik yang mereka lakukan, serangkaian langkah strategis untuk melemahkan umat Islam juga segera dijalankan. Dua hal yang paling berpengaruh antara lain :
Pertama : Memecahbelah dan mengkotak-kotakan umat Islam
Upaya imperialisme sejak awal ditujukan untuk membagi-bagi dan mengkotak-kotakkan wilayah Islam yang sejatinya tak mengenal batas geografis. Setelah terjadi pembagian geografis, maka orang-orang Eropa mulai membangkitkan semangat nasionalisme di tiap daerah. Sehingga kaum muslimin disibukkan dengan urusan daerahnya sendiri dan tidak lagi memikirkan daerah muslimin lainnya. Bahkan lebih jauh lagi, dipertentangkan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Diberikan anggapan bahwa Mesir hanya bagi orang Mesir, Suriah hanya bagi orang Suriah, dan Irak bagi orang Irak. Hal ini ditambah lagi dengan slogan-slogan baru seperti : nasionalisme arab, nasionalisme Kurdi Irak, Nasionalisme Iran, dan Nasionalisme Kurdi Turki. Semua ini tanpa disadari menjadikan pemikiran dan kepedulian kaum muslimin menjadi menyempit, hanya sebatas daerah dan negaranya masing-masing. Cara lain yang digunakan oleh negara imperialis adalah dengan menganjurkan pendirian partai dan organisasi kecil atas nama demokrasi, untuk kemudian digunakan sebagai alat pecah belah rakyat yang mudah digunakan setiap saat.
Kedua : Memalingkan rakyat jajahannya dari agamanya
Para politikus, pemimpin militer dan para pemikir imperialisme mencurahkan seluruh pikirannya untuk menjauhkan umat Islam dari agamanya. Mereka sangat mengetahui bahwa rahasia kekuatan umat Islam ada pada pemahaman mereka terhadap agamanya. Karenanya berbagai konferensi dan pertemuan intensif digelar untuk menyusun formula penjauhan umat Islam dari ajaran agamanya. Statemen Zwemmer sangat dikenal dalam hal ini, saat berbicara dalam konferensi negara-negara imperialis di Al-Quds setelah ditaklukannya kota tersebut, ia berpidato : ” Bahwa tugas besar dipundak para missionaris yang dikirim ke negara-negara Islam ialah mengeluarkan orang muslim dari keislamannya, agar ia menjadi manusia yang tidak memiliki hubungan dengan Allah. Dengan sendirinya ia kemudian tidak berpegang teguh dengan akhlak yang merupakan lambang suatu bangsa dalam kehidupannya.”. Gladston juga menegaskan hal ini dengan mengatakan, ”Sesungguhnya kepentingan Eropa di Asia tetap terancam selama disana masih ada Al-Quran yang dibaca dan Ka’bah yang kerap dikunjungi.
Untuk mencapai target tersebut, serangkaian langkah telah dijalankan dengan halus dan nyaris tidak mendapat penentangan dari kaum muslimin, antara lain :
1) Tasykik : membuat keragu-raguan tentang Islam sebagai solusi dalam kehidupan. Menuduhnya seolah sebagai agama yang kuno jauh dari ilmu pengetahuan.
2) Sekulerisasi : menjauhkan penguasa dari hukum syariat dengan dalih agama adalah perintang kemajuan bangsa.
3) Dikotomi pendidikan : menempatkan alumni pendidikan umum pada jabatan strategis dan meremehkan alumni pendidikan agama agar menjadi preseden buruk di masyarakat.
4) Menyebarkan kerusakan moral dalam masyarakat agar tenggelam dalam syahwat. Tak kurang seorang orientalis bernama Syatulyn mengatakan, ” Gelas dan artis mampu menghancurkan umat Muhammad dari seribu meriam, maka tenggelamkan umat muhammad ke dalam cinta materi dan syahwat.”
5) Mendirikan sekolah-sekolah untuk mendidik generasi ala barat dan menanamkan kebencian akan Islam sejak dini.
6) Membuka rumah sakit dan tempat penampungan untuk memudahkan penyebaran fikrohnya. Missionaris Irharz mengatakan : ” para dokter missionaris tidak boleh lupa meski dalam sekejap mata bahwa profesi utamanya adalah sebagai missionaris dan profesi dokter hanyalah sebagai sampingan saja”.
7) Memberikan beasiswa kepada anak-anak dan pemuda Islam untuk belajar di negaranya. Hal ini membuka jalan lebar bagi mereka menanamkan pemahaman yang salah tentang Islam sekaligus merusak kepribadian orang Islam.
Semua langkah di atas dilakukan dengan bertahap dan dalam jangka yang sangat panjang. Jika kita perhatikan, maka sungguh hari ini pun langkah-langkah di atas masih mengelilingi kehidupan masyarakat negara muslim secara keseluruhan. Wallahua'lam.
Thanks infonya
BalasHapuskeren ustadz tulisannya........
BalasHapusmanusia memang mudah banget dipecah belah. mereka menganggap perang hanya soal angkat senjata. ketika diserang secara ideologi atau ekonomi, seringkali malah kita berterima kasih kepada penyerang.
BalasHapusmencerahkan ingatan yg sering lupa...
BalasHapus