Dalam kurun dua pekan ini ada pertanyaan yang sama diajukan kepada saya, baik dengan pertanyaan langsung maupun via pesan singkat. Pertanyaannya adalah : Apakah perlu aqiqoh bayi yang sudah meninggal ? . Meskipun hal semacam ini mungkin tidak terlampau sering berulang, tapi saya sangat simpati dan kagum dengan para orangtua bayi yang meninggal tersebut. Karena dalam kondisi yang sedih setelah sembilan bulan merawat sang janin dalam rahim, ternyata mereka masih mempunyai semangat dan kepedulian dalam menghidupkan sunnah aqiqoh.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, tentu saja perlu kita mengetahui hukum asal aqiqoh secara umum. Maka meskipun dalam hal ini ada perbedaan pendapat dari para ulama, tapi yang lebih kuat adalah ungkapan jumhur yang menyatakan aqiqoh adalah sunnah, dengan berlandaskan dalil hadist Nabi : Dari 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah bersabda: "Barangsiapa diantara kalian yang ingin menyembelih (kambing) karena kelahiran bayi maka hendaklah ia lakukan untuk laki-laki dua kambing yang sama dan untuk perempuan satu kambing." (HR Ahmad, Abu Daud, An-Nasai). Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Ibnu Hazm dari madzhab Dzhowahiri, yang mengatakan wajibnya aqiqoh karena ada lafadhz perintah dalam hadits-hadits tentang aqiqoh. Pendapat yang lain adalah dari Imam Hanafi, beliau menyatakan aqiqoh cenderung makruh karena merupakan alternatif pengganti tradisi jahiliyah, yang sudah dihapus setelah turunnya perintah untuk berqurban.
Pendapat yang di dukung dalil yang kuat dalam masalah ini adalah sunnah sebagaimana dikatakan oleh jumhur ulama. Kaitannya dengan pertanyaan di atas, maka tentunya bukanlah sebuah dosa meninggalkan hal sunnah secara umum, apalagi jika dilatar belakangi kondisi khusus dan tertentu. Sebagaimana kasus meninggalnya bayi sebelum diaqiqohi tadi, maka meninggalkan sunnah aqiqoh dalam hal ini adalah sesuatu yang boleh dan biasa. Apalagi pelaksanaan aqiqoh sendiri terikat dengan waktu tertentu. Berdasarkan dari Samurah bin Jundab, dia berkata: "Rasulullah bersabda: "Semua anak bayi tergadaikan dengan aqiqahnya yang pada hari ketujuhnya disembelih hewan (kambing), diberi nama dan dicukur rambutnya." (HR Abu Daud, Tirmidzi). Sehingga secara sederhana, sunnah ini berlaku setidaknya setelah ia mencapai usia tujuh hari.Jika belum mencapai usia tujuh hari, maka secara otomatis gugur pulalah sunnah aqiqohnya. Dan ini merupakan pendapat Imam Malik. Beliau berkata : "Kalau bayi itu meninggal sebelum hari ketujuh maka gugurlah sunnah aqiqah bagi kedua orang tuanya.".
Memang ada pendapat dari Syafiiyah yang menyebutkan tetap berlakunya sunnah aqiqoh meskipun bayi meninggal sebelum tujuh hari, atau bahkan saat lahir prematur dan meninggal. Tentu saja untuk menjawab pendapat ini, perlu bagi kita menyelami hikmah pensyariatan aqiqoh, yaitu ungkapan syukur kepada Allah dengan bertaqorrub melalui menyembelih kambing. Jika bayi meninggal, maka makna dan hikmah aqiqoh sendiri menjadi belum terasa optimal. Bahkan mungkin dalam pandangan masyarakat kita, cukup aneh. Karenanya, sejatinya hal semacam ini tidak perlu di paksakan. Ibaratnya kita puasa menjalankan puasa sunnah, tapi dalam kondisi menempuh perjalanan yang berat, maka bisa jadi yang sunnah tersebut menjadi tanpa makna, karena berlawanan dengan fitrah syariat Islam yang indah dan elegan. Demikian pula saat kita memaksakan aqiqoh pada saat hati dan raga terasa lelah dan bercampur kesedihan yang luar biasa. Wallahu a’lam.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, tentu saja perlu kita mengetahui hukum asal aqiqoh secara umum. Maka meskipun dalam hal ini ada perbedaan pendapat dari para ulama, tapi yang lebih kuat adalah ungkapan jumhur yang menyatakan aqiqoh adalah sunnah, dengan berlandaskan dalil hadist Nabi : Dari 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah bersabda: "Barangsiapa diantara kalian yang ingin menyembelih (kambing) karena kelahiran bayi maka hendaklah ia lakukan untuk laki-laki dua kambing yang sama dan untuk perempuan satu kambing." (HR Ahmad, Abu Daud, An-Nasai). Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Ibnu Hazm dari madzhab Dzhowahiri, yang mengatakan wajibnya aqiqoh karena ada lafadhz perintah dalam hadits-hadits tentang aqiqoh. Pendapat yang lain adalah dari Imam Hanafi, beliau menyatakan aqiqoh cenderung makruh karena merupakan alternatif pengganti tradisi jahiliyah, yang sudah dihapus setelah turunnya perintah untuk berqurban.
Pendapat yang di dukung dalil yang kuat dalam masalah ini adalah sunnah sebagaimana dikatakan oleh jumhur ulama. Kaitannya dengan pertanyaan di atas, maka tentunya bukanlah sebuah dosa meninggalkan hal sunnah secara umum, apalagi jika dilatar belakangi kondisi khusus dan tertentu. Sebagaimana kasus meninggalnya bayi sebelum diaqiqohi tadi, maka meninggalkan sunnah aqiqoh dalam hal ini adalah sesuatu yang boleh dan biasa. Apalagi pelaksanaan aqiqoh sendiri terikat dengan waktu tertentu. Berdasarkan dari Samurah bin Jundab, dia berkata: "Rasulullah bersabda: "Semua anak bayi tergadaikan dengan aqiqahnya yang pada hari ketujuhnya disembelih hewan (kambing), diberi nama dan dicukur rambutnya." (HR Abu Daud, Tirmidzi). Sehingga secara sederhana, sunnah ini berlaku setidaknya setelah ia mencapai usia tujuh hari.Jika belum mencapai usia tujuh hari, maka secara otomatis gugur pulalah sunnah aqiqohnya. Dan ini merupakan pendapat Imam Malik. Beliau berkata : "Kalau bayi itu meninggal sebelum hari ketujuh maka gugurlah sunnah aqiqah bagi kedua orang tuanya.".
Memang ada pendapat dari Syafiiyah yang menyebutkan tetap berlakunya sunnah aqiqoh meskipun bayi meninggal sebelum tujuh hari, atau bahkan saat lahir prematur dan meninggal. Tentu saja untuk menjawab pendapat ini, perlu bagi kita menyelami hikmah pensyariatan aqiqoh, yaitu ungkapan syukur kepada Allah dengan bertaqorrub melalui menyembelih kambing. Jika bayi meninggal, maka makna dan hikmah aqiqoh sendiri menjadi belum terasa optimal. Bahkan mungkin dalam pandangan masyarakat kita, cukup aneh. Karenanya, sejatinya hal semacam ini tidak perlu di paksakan. Ibaratnya kita puasa menjalankan puasa sunnah, tapi dalam kondisi menempuh perjalanan yang berat, maka bisa jadi yang sunnah tersebut menjadi tanpa makna, karena berlawanan dengan fitrah syariat Islam yang indah dan elegan. Demikian pula saat kita memaksakan aqiqoh pada saat hati dan raga terasa lelah dan bercampur kesedihan yang luar biasa. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar