Sosok abdi dalem penjaga gunung merapi itu ditemukan meninggal dalam kondisi bersujud. Selepas menjalankan sholat ashar beliau memang memperbanyak dzikir dan munajat di masjid dekat rumahnya. Berita meninggalnya Mbah Maridjan pun merebak, dan segera menarik simpati sekaligus kedukaan di sebagian besar masyarakat Indonesia, yang sejak lama memang mengagumi keteguhannya dalam menjalankan tugas. Hanya satu yang sedikit saya sayangkan, bahwa ada stasiun teve yang selalu mengulang-ulang tayangan almarhum saat melakukan ritual menyembah batu, seolah makin menegaskan tentang lekatnya sosok mbah Maridjan dengan dunia mistis dan perklenikan. Lalu apakah benar demikian ?
Setahu saya, beliau tidak lebih dari seorang abdi dalem yang ditugaskan menjadi juru kunci Merapi oleh Sultan HamengkuBuwono IX sejak 1982 atau sekitar tiga puluhtahunan yang lampau. Sebelum itu ia menjadi wakil jurukunci Merapi. Jikapun ada satu dua ritual aneh yang beliau jalankan, saya berharap itu lebih karena tugas dan penghayatannya sebagai abdi dalem yang harus lekat dengan budaya jawa. Karena secara aliran keagamaan, justru Nadhatul Ulama-lah yang mendarah daging dalam sosok Mbah Maridjan. Beliau pernah menjabat sebagai rais NU Desa Kinahrejo. Setelah itu Mbah Maridjan kemudian diangkat menjadi salah satu wakil rais di MWC NU Kecamatan Cangkringan. KH Nur Jamil, ketua PCNU Sleman mengatakan Mbah Maridjan figur yang sangat dihormati masyarakat dan total dalam ber-NU.
Beliau bukan hanya tokoh spritual tapi juga dai dan guru ngaji, tapi juga mempunyai taman pengajaran Al-quran di kampungnya. Dengan latar belakang ajaran Nadhatul Ulama yang kental, maka hampir bisa dipastikan bahwa Mbah Maridjan bukanlah pelaku ritual sembah menyembah sejati sebagai mana ditampilkan di salah satu stasiun televisi. Sekalipun terkadang dilakukan, mungkin saja hanya beliau anggap sebagai budaya nenek moyang yang ingin dilestarikan, tidak lebih. Ini mirip banyak dari kita yang hormat saat sang Merah putih dikibarkan, nyaris tanpa penghayatan karena meyakini itu hanya simbol saja. Dalam beberapa kesempatan pun jelas terlihat, bahwa ritual yang beliau lakukan hanya saat ada tamu yang berkunjung dan menemui beliau atas nama juru kuncen Merapi. Dan biasanya, para tamu itulah yang ‘memaksa’ penyelenggaraan ritual khusus tertentu. Beliau pun menjalankannya sebagai bagian dari pelaksanaan tugas sebagai juru kunci merapi, tidak lebih.
Saya kira itulah sosok asli dari Mbah Maridjan, yaitu kyai kampung yang mendapat amanah dari raja Jogja untuk memantau gunung Merapi. Sebuah pekerjaan warisan jaman keraton yang sebenarnya saat ini hampir mirip dengan petugas Vulkanologi dari BMG yang juga berada di pos terdepan memantau sang Merapi. Tugas beliau adalah menerawang dengan pengalaman (baca:ilmu titen), dan menggabungkannya dengan firasatnya yang telah terlatih sebagai warga Merapi sejak kecil. Hasilnya ? Berdasarkan pengalamannya itulah, beliau pun sempat ‘berijtihad’ dengan menolak evakuasi pada musibah Merapi tahun 2006. Ijtihad yang wajar dari seorang juru kunci merapi, dan bisa benar dan bisa salah.
Itu saja dan sederhana tentang sosok beliau. Hanya masyarakat dan media saja yang terlihat bersemangat ingin menemukan sisi mistis dan misterius dari diri beliau. Menghubung-hubungkan semangat dan keyakinannya dengan wangsit-wangsit atau kekuatan supranatural tertentu. Hal ini sungguh nampak terlalu dipaksakan. Dalam sebuah diskusi yang beredar di dunia maya, saya mendapatkan sebuah cerita dari mereka yang dekat dengan Mbah Maridjan yang menegaskan perkiraan saya tadi. Dikisahkan suatu ketika di rumah beliau datang rombongan penggemar klenik yang bertandang ke rumahnya, maka banyak orang-orangpun ikut datang untuk menyaksikan ‘seminar lokal’ dan berharap mendapatkan bocoran seputar dunia mistis di Merapi. Namun apa yang terjadi ? Yang justru bersemangat menyampaikan hal tersebut malah rombongan tamu tersebut, sementa sang ‘keynote speaker’ (mbah Maridjan) malah terlihat tidak tertarik membicarakan hal tersebut dan mengalihkan ke pembicaraan ringan sehari-hari.
Maaf, gambaran di atas mungkin sekedar analisa ‘husnudzon’ saya tentang sosok Mbah Maridjan. Tapi bagaimanapun, saat ini Mbah Maridjan telah meninggalkan kita dengan segenap kagum menghujam dalam dada kita. Ada selaksa hikmah yang harus kita timba dari sosok bersahaja ini. Ijinkan saya meringkasnya menjadi tiga hal yang sederhana :
Pertama : Juru Dakwah yang senantiasa mengajarkan Tawakkal dan optimisme.
Mungkin ada beberapa orang yang mengira bahwa Mbah Maridjan sebagai penjaga Merapi mempunyai daya linuwih untuk mengontrol aktifitas gunung berapi teraktif di dunia tersebut. Atau minimal ada anggapan bahwa beliau tahu persis kapan jadwal perhelatan akbar lima tahunan Merapi tersebut. Namun kenyataan sesungguhnya, beliau adalah sosok yang sejak awal tidak pernah menyatakan hal tersebut. Bahkan sebaliknya, yang sering beliau kemukakan justru ajakan dan ajaran untuk senantiasa bertawakkal dan berdoa kepada Allah yang Maha Kuasa.
Dalam sebuah wawancara dengan tempointeraktif baru-baru ini, beliau mengungkapkan : “Saya ini orang bodoh. Kalau ada yang menanyakan Merapi seperti apa, saya tidak tahu. Itu kewenangan pemerintah yang punya seismograf. Lha saya kan tidak punya seismograf... (sambil tertawa dengan menutupkan kedua telapak tangannya ke mulut) “. Beliau juga menyampaikan anjuran yang jelas untuk memperbanyak doa saat Merapi mulai masuk status awas. Beliau menyatakan : “ Saya ini hanya orang kecil di bawah RT (rukun tetangga). Seperti tulisan “Ngayogyakarta” yang ada di Masjid Agung Kasultanan Ngayogyakarta (Masjid Besar Kauman). Itu kan terdiri dari tiga huruf: huruf arab yang artinya agama, huruf gedrik (latin) yang menandakan pemerintah, dan huruf jawa yang artinya rakyat kecil. Sebagai rakyat kecil, saya hanya bisa mengajak, mari kita berdoa bersama-sama kepada Tuhan agar Yogyakarta diberi perlindungan. Bagas waras.”. Beliau melanjutkan : “Saya minta tolong untuk menyampaikan pesan saya ya, kepada masyarakat juga pemerintah. Mari kita berdoa kepada Allah agar Merapi baik-baik saja...” Subhanallah. Tidak ada kesombongan dan keangkuhan, bahkan beliau senantiasa mengulang-ngulang statusnya sebagai rakyat kecil, dan kembali mengarahkan doa dan harapan hanya kepada Allah SWT. Dengan doa dan tawakkal inilah, Mbah Maridjan mampu membangkitkan optimisme warga desanya dalam menjalani kehidupan di lereng Merapi.
Kedua : Sosok Prajurit yang Teguh Menjalankan Tugas dan Senantiasa On mission
Mbah Maridjan sejak awal memang bertekad tidak akan turun saat Merapi beraktifitas tinggi, ia menyadari sepenuhnya tugas yang diembankan kepadanya sejak tiga puluh tahunan yang lalu. Dengan nada bercanda ia pun pernah mengungkapkan: “ jika saya turun dan mati di bawah, maka akan diketawain anak ayam ! “.
Semua juga sama mengetahui bahwa hanya perintah mundur dari sang Raja yang akan membuat Mbah Maridjan mau tunduk meninggalkan pos penjagaan terdepannya. Bahkan lebih spesifik, beliau hanya akan tunduk pada Sultan Jogja saat benar-benar memberikan titah sebagai raja, bukan sebagai Gubernur.
Meninggal dalam tugas adalah bukti keteguhan yang senantiasa mengundang seribu simpati dan kekaguman.
Contoh lain keteguhan beliau dalam menjalankan tugasnya, adalah serombongan tamu datang khusus menemuinya di lereng Merapi, bermaksud meminta bantuan Mbah Maridjan untuk menutup bocoran Lumpur lapindo. Apa yang beliau katakan : " tugas saya adalah menjaga gunung Merapi, bukan menutup Lumpur Lapindo . Saya tidak bisa ! ". Bahkan saat kedatangan rombongan tersebut kedua kalinya, beliau tetap kukuh dalam pendiriannya.
Ia menghayati tugas ini sebagai tanggung jawab dan amanah, bukan sebagai profesi apalagi mata pencaharian. Karenanya, tidak berlebihan jika sosok Mbah Maridjan sebagai juru kunci Merapi memang sudah diperkirakan akan menjadi The Last Man Standing, saat terjadi letusan besar sekalipun. Bukan tidak mungkin bahwa beliau memang merindukan kematian di sisi Merapi, ibarat seorang mujahid yang selalu ingin menjemput kematian di medan laga, bukan di kamar tidurnya !
Dengan ringan Mbah Maridjan menjawab saat ditanya tentang 'kengeyelannya' untuk bertahan di atas : "Wartawan, tentara, polisi punya tugas. Saya juga punya tugas untuk tetap di sini,"
Ketiga : Akhir yang Indah dan Khusnul Khotimah (insya Allah)
Dari Mu’az bin Jabal radiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang akhir pembicaraanya Laa ilaaha illallah, ia akan masuk Surga.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Hakim, hadits hasan). Setiap kita menginginkan akhir yang indah saat menutup mata. Mbah Maridjan telah memberikan contoh kepada kita, beliau meninggal dalam sujud kepasrahan setelah lama berdoa dan munajat di masjidnya. Sejak Merapi berstatus awas beliau memang terlihat memperbanyak dzikir dan munajat di masjid dekat rumahnya.
Sungguh kematian yang Indah, sekaligus sebagai pesan mendalam bagi kita untuk meniti langkah berusaha mencontohnya. Tak kurang KH Hasyim Muzadi mengingatkan kepada kita saat mengomentari wafatnya Mbah Maridjan : "Hari ini Mbah Maridjan menyerahkan diri kepada Allah dalam keadaan sujud. Seakan memberitahukan kita bahwa hanya sujud kepada Allah yang bisa dan harus kita siapkan menghadapi segalanya, karena tak mungkin melalui rekayasa kita".
Akhirnya, tidak banyak motivasi saya untuk menuangkan tulisan ini kecuali dua hal : Pertama : yaitu menyebutkan kebaikan-kebaikan seorang yang telah meninggal sesuai ajaran Islam, terlepas dari dosa apapun yang pernah dilakukannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila kamu menghadiri orang yang sakit atau orang yang meninggal, maka katakanlah yang baik, maka sesungguhnya malaikat mengaminkan (membaca amin) atas apa yang kamu katakan.” (HR. Muslim). Dan Kedua, adalah upaya untuk sedikit membantah anggapan orang yang memitoskan Mbah Maridjan sebagai sosok sakti dan menghubungkan dengan dunia klenik. Sekali lagi, Mbah Maridjan hanyalah seorang abdi dalem pemantau gunung Merapi, yang mempunyai pengalaman dan firasat dalam menilai aktifitas gunung tersebut. Ia hanya berijtihad sebagaimana petugas prakiraan cuaca, bisa salah dan bisa benar. Wallahu a’lam
Setahu saya, beliau tidak lebih dari seorang abdi dalem yang ditugaskan menjadi juru kunci Merapi oleh Sultan HamengkuBuwono IX sejak 1982 atau sekitar tiga puluhtahunan yang lampau. Sebelum itu ia menjadi wakil jurukunci Merapi. Jikapun ada satu dua ritual aneh yang beliau jalankan, saya berharap itu lebih karena tugas dan penghayatannya sebagai abdi dalem yang harus lekat dengan budaya jawa. Karena secara aliran keagamaan, justru Nadhatul Ulama-lah yang mendarah daging dalam sosok Mbah Maridjan. Beliau pernah menjabat sebagai rais NU Desa Kinahrejo. Setelah itu Mbah Maridjan kemudian diangkat menjadi salah satu wakil rais di MWC NU Kecamatan Cangkringan. KH Nur Jamil, ketua PCNU Sleman mengatakan Mbah Maridjan figur yang sangat dihormati masyarakat dan total dalam ber-NU.
Beliau bukan hanya tokoh spritual tapi juga dai dan guru ngaji, tapi juga mempunyai taman pengajaran Al-quran di kampungnya. Dengan latar belakang ajaran Nadhatul Ulama yang kental, maka hampir bisa dipastikan bahwa Mbah Maridjan bukanlah pelaku ritual sembah menyembah sejati sebagai mana ditampilkan di salah satu stasiun televisi. Sekalipun terkadang dilakukan, mungkin saja hanya beliau anggap sebagai budaya nenek moyang yang ingin dilestarikan, tidak lebih. Ini mirip banyak dari kita yang hormat saat sang Merah putih dikibarkan, nyaris tanpa penghayatan karena meyakini itu hanya simbol saja. Dalam beberapa kesempatan pun jelas terlihat, bahwa ritual yang beliau lakukan hanya saat ada tamu yang berkunjung dan menemui beliau atas nama juru kuncen Merapi. Dan biasanya, para tamu itulah yang ‘memaksa’ penyelenggaraan ritual khusus tertentu. Beliau pun menjalankannya sebagai bagian dari pelaksanaan tugas sebagai juru kunci merapi, tidak lebih.
Saya kira itulah sosok asli dari Mbah Maridjan, yaitu kyai kampung yang mendapat amanah dari raja Jogja untuk memantau gunung Merapi. Sebuah pekerjaan warisan jaman keraton yang sebenarnya saat ini hampir mirip dengan petugas Vulkanologi dari BMG yang juga berada di pos terdepan memantau sang Merapi. Tugas beliau adalah menerawang dengan pengalaman (baca:ilmu titen), dan menggabungkannya dengan firasatnya yang telah terlatih sebagai warga Merapi sejak kecil. Hasilnya ? Berdasarkan pengalamannya itulah, beliau pun sempat ‘berijtihad’ dengan menolak evakuasi pada musibah Merapi tahun 2006. Ijtihad yang wajar dari seorang juru kunci merapi, dan bisa benar dan bisa salah.
Itu saja dan sederhana tentang sosok beliau. Hanya masyarakat dan media saja yang terlihat bersemangat ingin menemukan sisi mistis dan misterius dari diri beliau. Menghubung-hubungkan semangat dan keyakinannya dengan wangsit-wangsit atau kekuatan supranatural tertentu. Hal ini sungguh nampak terlalu dipaksakan. Dalam sebuah diskusi yang beredar di dunia maya, saya mendapatkan sebuah cerita dari mereka yang dekat dengan Mbah Maridjan yang menegaskan perkiraan saya tadi. Dikisahkan suatu ketika di rumah beliau datang rombongan penggemar klenik yang bertandang ke rumahnya, maka banyak orang-orangpun ikut datang untuk menyaksikan ‘seminar lokal’ dan berharap mendapatkan bocoran seputar dunia mistis di Merapi. Namun apa yang terjadi ? Yang justru bersemangat menyampaikan hal tersebut malah rombongan tamu tersebut, sementa sang ‘keynote speaker’ (mbah Maridjan) malah terlihat tidak tertarik membicarakan hal tersebut dan mengalihkan ke pembicaraan ringan sehari-hari.
Maaf, gambaran di atas mungkin sekedar analisa ‘husnudzon’ saya tentang sosok Mbah Maridjan. Tapi bagaimanapun, saat ini Mbah Maridjan telah meninggalkan kita dengan segenap kagum menghujam dalam dada kita. Ada selaksa hikmah yang harus kita timba dari sosok bersahaja ini. Ijinkan saya meringkasnya menjadi tiga hal yang sederhana :
Pertama : Juru Dakwah yang senantiasa mengajarkan Tawakkal dan optimisme.
Mungkin ada beberapa orang yang mengira bahwa Mbah Maridjan sebagai penjaga Merapi mempunyai daya linuwih untuk mengontrol aktifitas gunung berapi teraktif di dunia tersebut. Atau minimal ada anggapan bahwa beliau tahu persis kapan jadwal perhelatan akbar lima tahunan Merapi tersebut. Namun kenyataan sesungguhnya, beliau adalah sosok yang sejak awal tidak pernah menyatakan hal tersebut. Bahkan sebaliknya, yang sering beliau kemukakan justru ajakan dan ajaran untuk senantiasa bertawakkal dan berdoa kepada Allah yang Maha Kuasa.
Dalam sebuah wawancara dengan tempointeraktif baru-baru ini, beliau mengungkapkan : “Saya ini orang bodoh. Kalau ada yang menanyakan Merapi seperti apa, saya tidak tahu. Itu kewenangan pemerintah yang punya seismograf. Lha saya kan tidak punya seismograf... (sambil tertawa dengan menutupkan kedua telapak tangannya ke mulut) “. Beliau juga menyampaikan anjuran yang jelas untuk memperbanyak doa saat Merapi mulai masuk status awas. Beliau menyatakan : “ Saya ini hanya orang kecil di bawah RT (rukun tetangga). Seperti tulisan “Ngayogyakarta” yang ada di Masjid Agung Kasultanan Ngayogyakarta (Masjid Besar Kauman). Itu kan terdiri dari tiga huruf: huruf arab yang artinya agama, huruf gedrik (latin) yang menandakan pemerintah, dan huruf jawa yang artinya rakyat kecil. Sebagai rakyat kecil, saya hanya bisa mengajak, mari kita berdoa bersama-sama kepada Tuhan agar Yogyakarta diberi perlindungan. Bagas waras.”. Beliau melanjutkan : “Saya minta tolong untuk menyampaikan pesan saya ya, kepada masyarakat juga pemerintah. Mari kita berdoa kepada Allah agar Merapi baik-baik saja...” Subhanallah. Tidak ada kesombongan dan keangkuhan, bahkan beliau senantiasa mengulang-ngulang statusnya sebagai rakyat kecil, dan kembali mengarahkan doa dan harapan hanya kepada Allah SWT. Dengan doa dan tawakkal inilah, Mbah Maridjan mampu membangkitkan optimisme warga desanya dalam menjalani kehidupan di lereng Merapi.
Kedua : Sosok Prajurit yang Teguh Menjalankan Tugas dan Senantiasa On mission
Mbah Maridjan sejak awal memang bertekad tidak akan turun saat Merapi beraktifitas tinggi, ia menyadari sepenuhnya tugas yang diembankan kepadanya sejak tiga puluh tahunan yang lalu. Dengan nada bercanda ia pun pernah mengungkapkan: “ jika saya turun dan mati di bawah, maka akan diketawain anak ayam ! “.
Semua juga sama mengetahui bahwa hanya perintah mundur dari sang Raja yang akan membuat Mbah Maridjan mau tunduk meninggalkan pos penjagaan terdepannya. Bahkan lebih spesifik, beliau hanya akan tunduk pada Sultan Jogja saat benar-benar memberikan titah sebagai raja, bukan sebagai Gubernur.
Meninggal dalam tugas adalah bukti keteguhan yang senantiasa mengundang seribu simpati dan kekaguman.
Contoh lain keteguhan beliau dalam menjalankan tugasnya, adalah serombongan tamu datang khusus menemuinya di lereng Merapi, bermaksud meminta bantuan Mbah Maridjan untuk menutup bocoran Lumpur lapindo. Apa yang beliau katakan : " tugas saya adalah menjaga gunung Merapi, bukan menutup Lumpur Lapindo . Saya tidak bisa ! ". Bahkan saat kedatangan rombongan tersebut kedua kalinya, beliau tetap kukuh dalam pendiriannya.
Ia menghayati tugas ini sebagai tanggung jawab dan amanah, bukan sebagai profesi apalagi mata pencaharian. Karenanya, tidak berlebihan jika sosok Mbah Maridjan sebagai juru kunci Merapi memang sudah diperkirakan akan menjadi The Last Man Standing, saat terjadi letusan besar sekalipun. Bukan tidak mungkin bahwa beliau memang merindukan kematian di sisi Merapi, ibarat seorang mujahid yang selalu ingin menjemput kematian di medan laga, bukan di kamar tidurnya !
Dengan ringan Mbah Maridjan menjawab saat ditanya tentang 'kengeyelannya' untuk bertahan di atas : "Wartawan, tentara, polisi punya tugas. Saya juga punya tugas untuk tetap di sini,"
Ketiga : Akhir yang Indah dan Khusnul Khotimah (insya Allah)
Dari Mu’az bin Jabal radiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang akhir pembicaraanya Laa ilaaha illallah, ia akan masuk Surga.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Hakim, hadits hasan). Setiap kita menginginkan akhir yang indah saat menutup mata. Mbah Maridjan telah memberikan contoh kepada kita, beliau meninggal dalam sujud kepasrahan setelah lama berdoa dan munajat di masjidnya. Sejak Merapi berstatus awas beliau memang terlihat memperbanyak dzikir dan munajat di masjid dekat rumahnya.
Sungguh kematian yang Indah, sekaligus sebagai pesan mendalam bagi kita untuk meniti langkah berusaha mencontohnya. Tak kurang KH Hasyim Muzadi mengingatkan kepada kita saat mengomentari wafatnya Mbah Maridjan : "Hari ini Mbah Maridjan menyerahkan diri kepada Allah dalam keadaan sujud. Seakan memberitahukan kita bahwa hanya sujud kepada Allah yang bisa dan harus kita siapkan menghadapi segalanya, karena tak mungkin melalui rekayasa kita".
Akhirnya, tidak banyak motivasi saya untuk menuangkan tulisan ini kecuali dua hal : Pertama : yaitu menyebutkan kebaikan-kebaikan seorang yang telah meninggal sesuai ajaran Islam, terlepas dari dosa apapun yang pernah dilakukannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila kamu menghadiri orang yang sakit atau orang yang meninggal, maka katakanlah yang baik, maka sesungguhnya malaikat mengaminkan (membaca amin) atas apa yang kamu katakan.” (HR. Muslim). Dan Kedua, adalah upaya untuk sedikit membantah anggapan orang yang memitoskan Mbah Maridjan sebagai sosok sakti dan menghubungkan dengan dunia klenik. Sekali lagi, Mbah Maridjan hanyalah seorang abdi dalem pemantau gunung Merapi, yang mempunyai pengalaman dan firasat dalam menilai aktifitas gunung tersebut. Ia hanya berijtihad sebagaimana petugas prakiraan cuaca, bisa salah dan bisa benar. Wallahu a’lam
ketika seseorang sudah tiada tidak baik mengumbar hal yang tak baik dan sebaliknya katakan kebaikannya sehingga menjadi motivasi dan pembelajaran tersendiri bagi kita yang masih diberi kesempatan untuk belajar dibumi ini...
BalasHapusthanks for share ^^
Alhamdulillah, kebersedian Saudara Hatta utk menulis sekilas tentang mbah maridjan telah menyingkap tabir yg selama ini simpang-siur mengenai mbah maridjan...semoga mbah maridjan adalah seorang "prajurit" yang telah menjemput cita-citanya... semoga Gusti Alloh.
BalasHapussimbah adalah guru saya om.. banyak yang bisa diambil dari obrolan dengan beliau setiap kali main ke merapi. sayang lebaran kemarin rencana sungkem batal. dan ketika bisa kesana, ternyata statusnya bukan pendaki gunung lagi, tapi relawan..
BalasHapuskita serahkan saja pada allah...
BalasHapussemoga almarhum diterima di sisi-nya
kita tidak boleh menghukumi, karena itu semua urusan allah...
setidaknya ini yang bisa saya tulis untuk menghadirkan husnudzhon kepada sesama muslim,khususnya yang sudah meninggal
BalasHapusbaru tahu, kalau ternyata mbah maridjan itu wong NU tulen..
BalasHapus