Sunan Kudus berdakwah di sebuah daerah pesisir sekaligus kaki pegunungan Muria yang masih kental nuansa Jawa dan ke-Hinduannya. Karenanya, beliau pun memutar otak untuk menjalankan strategi dakwah yang memikat dan menarik banyak masyarakat. Agar mereka yang notabene masih banyak penganut Hindu, tidak merasa canggung untuk belajar keislaman pada beliau. Setidaknya ada tiga cara yang dilakukan oleh Sunan Kudus dalam menjalankan misi mulia tersebut :
Pertama : Membuat Bangunan Menara Kudus yang Berbentuk mirip Candi / Pura
Bagi yang telah melihat bangunan menara kudus pasti sepakat untuk menyebutnya lebih dekat sebagai pura atau candi dari pada menara masjid secara kebanyakan. Ornamen hindu sangat terasa dengan ditumpuknya batu-bata merah dengan perekat seadanya pada jaman tersebut. Namun sungguh efek yang ditimbulkan menjadi luar biasa, karena bangunan Masjid menjadi sangat populer di hati masyarakat yang sebagian masih menganut agama Hindu. Mereka tidak langi canggung dan ewuh saat harus berdekatan dengan Sunan Kudus, karena merasa beliau adalah bagian dari mereka.
Kedua : Melarang Penyembelihan Sapi
Salah satu ajaran sekaligus budaya Hindu yang masih mengakar adalah penghormatan terhadap binatang tertentu, atau sapi pada khususnya. Karena itulah Sunan Kudus melarang santri-santrinya secara khusus dan masyarakat secara umum untuk menyembelih Sapi. Sebagai gantinya mereka menyembelih kerbau. Hal ini menjadiikan pengikut Hindu atau mereka yang baru masuk Islam tambah bersimpati dengan pendekatan seperti itu. Larangan tersebut hingga hari ini masih dijalankan oleh sebagian besar masyarakat Kudus, dimana pada saat hari Raya Idul Adha, sangat sedikit yang menyembelih sapi. Sebagian besar menyembelih kerbau.
Dikisahkan juga, untuk memancing ketertarikan masyarakat agar mau pergi ke masjid untuk mendengarkan pengajiannya, Sunan Kudus menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sultan Kudus tentang Surat Al-Baqarah yang berarti ‘sapi betina’. Banyak dari mereka yang kemudian masuk Islam.
Ketiga : Menggunakan Tembang dan Cerita
Orang Jawa dikenal menyukai tembang sebagaimana yang sering kita dengarkan saat mendengarkan pertunjukan wayang. Sunan Kudus pun berinisiatif untuk menggubah tembang-tembang dengan nuansa yang lebih islami. Salah satu yang telah dihasilkan adalah maskumambang yang fenomenal dikalangan orang jawa saat ini. Pada kesempatan lain, Sunan Kudus mengumpulkan orang-orang saat jelang ramadhan untuk berbagi cerita dan menyenandungkan tembang tertentu. Demikian berulang setiap tahunnya hingga hari ini menjadi sebuah kebiasaan menjelang ramadhan, adanya pasar rakyat yang disebut dengan Dandangan. Nampaknya Sunan Kudus terinspirasi dengan kisah 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah.
Ragam Kiprah Sunan Kudus sebagai Ulama yang Negarawan
Sunan Kudus sebagai Ulama :
Beliau termasuk dari sekumpulan walisongo yang memang menyebar dan aktif berdakwah di seluruh penjuru pulau jawa. Sisi keilmuannya pun tidak diragukan, karena beliau menjadi rujukan bagi wali songo lainnya meskipun usia beliau masih muda. Pengajian dan ceramah keagamaan sejak awal telah beliau lakukan, dan beliau juga membina santri-santri untuk secara khusus menimba ilmu agama. Banyak putra mahkota bupati yang diutus untuk belajar ilmu agama dari beliau. Hingga saat ini, daerah sekitar menara Kudus pun menjadi kawasan islami yang ditandai dengan banyaknya pesantren yang berusia puluhan tahun, seperti : Tasywiquth Thullab Salafiyyah (TBS), Qudsiyah dan Ma’ahid.
Sunan Kudus sebagai Pendiri dan Pemimpin Daerah Kudus :
Daerah Kudus sebelumnya dipimpin oleh Ki Ageng Telingsing, yang dikisahkan adalah berasal dari Tionghoa dan termasuk dari anak buah Laksamana Cheng Ho yang berlabuh di Semarang. Sunan Kudus berguru dan menjadi murid utama dari Ki Ageng Telingsing. Setelah wafat, Sunan Kudus pun didaulat menjadi pengganti Ki Ageng Telingsing sekaligus pemimpin daerah Tajug, sebelum diubah menjadi Kudus.
Sunan Kudus sebagai Penasehat Kerajaan Demak :
Sunan Kudus menjadi penasehat kerajaan Demak, atau dalam istilah lain menjadi Majlis Syuro (Dewan Pertimbangan) pemerintahan Islami yang dijalankan oleh Kerajaan Demak. Seluruh keputusan strategis berupa kebijakan perang dan pengangkatan pejabat, semuanya dilakukan melalui mekanisme musyawarah tersebut.
Sunan Kudus sebagai Hakim Agung Kerajaan Demak :
Sunan Kudus juga menjadi hakim aqung ( qodhi) kerajaan Demak untuk menghakimi urusan-urusan pidana dan pemikiran secara umum. Beliau juga yang tampil mengadili Syeikh Siti Jenar dan muridnya Ki Ageng Pengging setelah berdebat dan mengelak saat ditawari untuk kembali ke jalan yang benar. Pemikiran keduanya diputuskan sesat oleh majlis walisanga dengan qodhi nya adalah Sunan Kudus.
Sunan Kudus sebagai Panembahan Senopati ( Panglima Perang Demak) :
Sunan Kudus juga terlibat dalam struktruk kemiliteran kerajaan Demak, bahkan menjadi panglima Perangnya, menggantikan ayahnya yang telah wafat. Beliau tampil memimpin beberapa ekspedisi bersenjata melawan sisa pengaruh Majapahit di bagian timur pulau Jawa.
Sunan Kudus sebagai Seniman :
Hal ini telah dijelaskan sebelumnya, salah satunya dengan karya monumentalnya yaitu tembang Mijil dan Maskumambang, dan beberapa prototipe dunia pewayangan yang sampai saat ini masih bisa kita saksikan.
semoga bermanfaat dan salam optimis.
Pertama : Membuat Bangunan Menara Kudus yang Berbentuk mirip Candi / Pura
Bagi yang telah melihat bangunan menara kudus pasti sepakat untuk menyebutnya lebih dekat sebagai pura atau candi dari pada menara masjid secara kebanyakan. Ornamen hindu sangat terasa dengan ditumpuknya batu-bata merah dengan perekat seadanya pada jaman tersebut. Namun sungguh efek yang ditimbulkan menjadi luar biasa, karena bangunan Masjid menjadi sangat populer di hati masyarakat yang sebagian masih menganut agama Hindu. Mereka tidak langi canggung dan ewuh saat harus berdekatan dengan Sunan Kudus, karena merasa beliau adalah bagian dari mereka.
Kedua : Melarang Penyembelihan Sapi
Salah satu ajaran sekaligus budaya Hindu yang masih mengakar adalah penghormatan terhadap binatang tertentu, atau sapi pada khususnya. Karena itulah Sunan Kudus melarang santri-santrinya secara khusus dan masyarakat secara umum untuk menyembelih Sapi. Sebagai gantinya mereka menyembelih kerbau. Hal ini menjadiikan pengikut Hindu atau mereka yang baru masuk Islam tambah bersimpati dengan pendekatan seperti itu. Larangan tersebut hingga hari ini masih dijalankan oleh sebagian besar masyarakat Kudus, dimana pada saat hari Raya Idul Adha, sangat sedikit yang menyembelih sapi. Sebagian besar menyembelih kerbau.
Dikisahkan juga, untuk memancing ketertarikan masyarakat agar mau pergi ke masjid untuk mendengarkan pengajiannya, Sunan Kudus menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sultan Kudus tentang Surat Al-Baqarah yang berarti ‘sapi betina’. Banyak dari mereka yang kemudian masuk Islam.
Ketiga : Menggunakan Tembang dan Cerita
Orang Jawa dikenal menyukai tembang sebagaimana yang sering kita dengarkan saat mendengarkan pertunjukan wayang. Sunan Kudus pun berinisiatif untuk menggubah tembang-tembang dengan nuansa yang lebih islami. Salah satu yang telah dihasilkan adalah maskumambang yang fenomenal dikalangan orang jawa saat ini. Pada kesempatan lain, Sunan Kudus mengumpulkan orang-orang saat jelang ramadhan untuk berbagi cerita dan menyenandungkan tembang tertentu. Demikian berulang setiap tahunnya hingga hari ini menjadi sebuah kebiasaan menjelang ramadhan, adanya pasar rakyat yang disebut dengan Dandangan. Nampaknya Sunan Kudus terinspirasi dengan kisah 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah.
Ragam Kiprah Sunan Kudus sebagai Ulama yang Negarawan
Sunan Kudus sebagai Ulama :
Beliau termasuk dari sekumpulan walisongo yang memang menyebar dan aktif berdakwah di seluruh penjuru pulau jawa. Sisi keilmuannya pun tidak diragukan, karena beliau menjadi rujukan bagi wali songo lainnya meskipun usia beliau masih muda. Pengajian dan ceramah keagamaan sejak awal telah beliau lakukan, dan beliau juga membina santri-santri untuk secara khusus menimba ilmu agama. Banyak putra mahkota bupati yang diutus untuk belajar ilmu agama dari beliau. Hingga saat ini, daerah sekitar menara Kudus pun menjadi kawasan islami yang ditandai dengan banyaknya pesantren yang berusia puluhan tahun, seperti : Tasywiquth Thullab Salafiyyah (TBS), Qudsiyah dan Ma’ahid.
Sunan Kudus sebagai Pendiri dan Pemimpin Daerah Kudus :
Daerah Kudus sebelumnya dipimpin oleh Ki Ageng Telingsing, yang dikisahkan adalah berasal dari Tionghoa dan termasuk dari anak buah Laksamana Cheng Ho yang berlabuh di Semarang. Sunan Kudus berguru dan menjadi murid utama dari Ki Ageng Telingsing. Setelah wafat, Sunan Kudus pun didaulat menjadi pengganti Ki Ageng Telingsing sekaligus pemimpin daerah Tajug, sebelum diubah menjadi Kudus.
Sunan Kudus sebagai Penasehat Kerajaan Demak :
Sunan Kudus menjadi penasehat kerajaan Demak, atau dalam istilah lain menjadi Majlis Syuro (Dewan Pertimbangan) pemerintahan Islami yang dijalankan oleh Kerajaan Demak. Seluruh keputusan strategis berupa kebijakan perang dan pengangkatan pejabat, semuanya dilakukan melalui mekanisme musyawarah tersebut.
Sunan Kudus sebagai Hakim Agung Kerajaan Demak :
Sunan Kudus juga menjadi hakim aqung ( qodhi) kerajaan Demak untuk menghakimi urusan-urusan pidana dan pemikiran secara umum. Beliau juga yang tampil mengadili Syeikh Siti Jenar dan muridnya Ki Ageng Pengging setelah berdebat dan mengelak saat ditawari untuk kembali ke jalan yang benar. Pemikiran keduanya diputuskan sesat oleh majlis walisanga dengan qodhi nya adalah Sunan Kudus.
Sunan Kudus sebagai Panembahan Senopati ( Panglima Perang Demak) :
Sunan Kudus juga terlibat dalam struktruk kemiliteran kerajaan Demak, bahkan menjadi panglima Perangnya, menggantikan ayahnya yang telah wafat. Beliau tampil memimpin beberapa ekspedisi bersenjata melawan sisa pengaruh Majapahit di bagian timur pulau Jawa.
Sunan Kudus sebagai Seniman :
Hal ini telah dijelaskan sebelumnya, salah satunya dengan karya monumentalnya yaitu tembang Mijil dan Maskumambang, dan beberapa prototipe dunia pewayangan yang sampai saat ini masih bisa kita saksikan.
semoga bermanfaat dan salam optimis.
Baru satu kali kesana, dan semakin lengkap pengetahuan dengan membaca ulasan ini... makasi sudah berbagi ^^
BalasHapussetuju sekali pak dan kita memang seharusnya bisa begitu. pemahaman atas keyakinan hendaknya tidak mengorbankan kearifan lokal. agama dan budaya walau sering bersinggungan, keduanya tetap berjalan di rel berbeda. sejauh tidak dicampuradukan dalam artian kita tahu mana yang budaya dan mana yang agama, saya kira istilah bidah perlu didefinisikan ulang. heran saja dengan orang indonesia yang sering menghujat budaya sendiri dengan alasan agama namun tanpa dia sadari dia juga telah mencapuradukan agamanya dengan budaya orang. kata kuncinya mungkin, islamisasi bukan arabisasi. keduanya harus dipisahkan...
BalasHapuskayaknya begitu...
Bener2 contoh praktis fiqh da'wah... Semoga kita semua mampu menjaga amanah utk melanjutkan perjuangan beliau.
BalasHapus