Visi & Misi Menulis
Mari sedikit bicara tentang hati dan niat, sesuatu yang membuat karya kita akan menjadi besar dalam timbangan akhirat kita. Namun juga bisa berarti sebaliknya, yaitu kerja-kerja berat kita misalnya menulis siang dan malam tanpa henti, akan menjadi tanpa makna dengan niatan yang salah dan menyimpang. Kita semua sepakat, bahwa niat berawal dari kebersihan hati dan cara pandang yang benar. Niatan menulis sebagai sarana untuk mendekatkan derajat kita kepada Allah dengan mendapatkan ridhonya tentulah bukan hal yang bisa ditawar-tawar lagi. Mari merenungi ungkapan Rasulullah SAW : “Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan satu kalimat dari apa yang diridhai Allah yang dia tidak menganggapnya (bernilai) ternyata Allah mengangkat derajatnya karenanya.” (HR. Al-Bukhari)
Setelah manata niatan mendapatkan ridho Allah SWT, semestinya kita bisa menyusun visi kepenulisan yang memotivasi sekaligus sesuai dengan aturan syariah. Diantara visi kita dalam menulis, setidaknya terwakili dalam tiga hal berikut :
- Nasyrul Fikrah wa Dakwah, yaitu menyebarkan fikroh Islam dan berdakwah kepada masyarakat secara umum
- Tanmiyatul Kafaah wa tarbiyah dzatiyah : yaitu sebagai sarana mengasah dan mengembangkan potensi diri, selain itu dengan menulis juga menjadi kontrol bagi seseorang dalam sikap dan perilaku.
- Kasbul Maisyah wa Syabakah : yaitu mendapatkan penghasilan dan jaringan, keduanya sungguh saling berhubungan satu sama lain.
Setelah visi kepenulisan kita telah terasah dengan baik, saatnya mengkaji misi kita dalam penulis. Apa yang kita tulis dengan semangat dakwah, semestinya tidak lepas dari beberapa fungsi berikut ini.
1. Fungsi Bayan / Penjelas ( Hukum atau suatu masalah dalam Islam)Ini memang tergolong serius dan berat. Yaitu menulis seputar tema-tema kajian Islam dan pernik-perniknya. Tulisan jenis ini tentu saja melibatkan dalil, pendapat ulama, dan juga argumen yang perlu hati-hati dan teliti dalam menuliskannya. Tentu tidak semua penulis muslim harus menuliskan tema berat semacam ini. Semua mengambil bagian sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.
2. Fungsi Tausiyah dan Motivasi beramalSudah menjadi karakter orang yang sukses dalam surat Al-Ashr adalah membudayakan saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Ini berarti saling memotivasi untuk beramal shalih sekaligus menghilangkan kesedihan. Begitu pula dalam berkarya, bisa berfungsi khusus sebagai sarana tausiyah, bertukar dan berbagi nasehat-nasehat kebaikan. Tidak harus bingung mencari dalil, karena setiap kebaikan mempunyai dalil fitrahnya dalam hati masing-masing dari kita. Meskipun tentu saja, bukan berarti dalil tidak penting dalam fungsi ini.
3. Fungsi Pelurus Anggapan salah / wacana yang salah di masyarakatYaitu meluruskan hal-hal yang telah mewacana dan mendarah daging dalam masyarakat. Dari mulai mitos, hingga budaya yang tidak selaras dengan ajaran kemuliaan Islam. Ini adalah kategori tulisan yang benar-benar 'membumi'. Tidak bicara terlalu berlebihan tentang gagasan-gagasan idealis, yang bisa saja dilihat sebagai mimpi oleh sebagian lain yang membaca tulisan kita.
4. Fungsi Pengarah Alternatif Islami ( Ta'shiil)Yaitu memberikan alternatif Islami dalam banyak hal kehidupan masyarakat. Kita tidak sekedar menyalahkan atau meluruskan, tetapi juga memberikan solusi Islami yang benar dan teruji. Misalnya ketika membahas gaya hidup (life style), kita bisa menghadirkan bagaimana Islam mempunyai banyak variasi dalam 'menikmati' hidup, bukan sekedar agama 'akhirat' saja tetapi juga agama kebahagiaan dunia. Bagaimana kita memberikan 'rambu-rambu' penjaga dalam banyak aktifitas modern agar tidak bertentangan dengan Islam.
5. Fungsi Informasi, Inspirasi & IbrohYaitu memberikan informasi baik berita, peristiwa, kisah dan pengalaman hidup untuk memotivasi dan menginspirasi pembaca blog kita. Kita harus meyakini, bahwa setiap kejadian pastilah menyimpan beragam hikmah, dan setiap hikmah harus kita ambil sebagai charger optimisme dalam menyambut masa depan.
Mungkin sebagian kita mengernyitkan dahi dan mulai bertanya-tanya ; bagaimana dengan penulisan Fiksi ? apakah mampu mengusung misi dan fungsi dakwah di atas ? Sebelum bicara lebih lanjut tentang penulisan fiksi dan dakwah, lebih baik kita sedikit mengulang bahasan tentang pandangan syar’I dalam masalah penulisan fiksi.
Hukum Menulis Cerita Fiksi Cerita fiksi adalah cerita rekaan dan khayalan yang bisa diambil dari kejadian, pengalaman sehari-hari, maupun berdasarkan tokoh dan peristiwa sejarah yang ada.Para Ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukum penulisan cerita Fiksi. Dalam khasanah fikih tentu saja ini menjadi aroma yang biasa, namun dalam prakteknya tentu saja kita harus memilih salah satu.
Yang memfatwakan pengharaman penulisan cerita fiksi, diantaranya adalah Syeikh Sholih bin Fauzan, Lannah Daimah Saudi yang dipimpin oleh Syeikh Abdullah bin Baz.
1. Cerita fiksi adalah bentuk kedustaan (bohong), sementara Rasulullah bersabda : “Celaka bagi orang-orang yang berbicara(mengabarkan) sedangkan dia dusta (dalam pembicaraannya) supaya suatu kaum tertawa maka celakalah bagi dia, celakalah bagi dia.”(HR Hakim & Tirmidzi).
2. Cerita fiksi tidak dapat dijadikan wasilah dakwah karena sifatnya yang tidak ada contohnya pada masa Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa salam.
3. Cerita fiksi hanya membuang-buang waktu dan melalaikan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta kisah-kisah nyata lainnya, sementara kaum muslimin diminta untuk menjaga waktunya.
Sebagian ulama lain berfatwa tentang kebolehan penulisan kisah fiksi, tentunya dengan syarat dan ketentuan tertentu. Mereka yang membolehkan diantaranya Syeikh Ibnu Jibrin, Ibnu Utsaimin, Sholih Showy dan Syeikh Muhammad Mazrul. Beberapa hujjah yang diajukan mereka yang membolehkan antara lain :
1. Bahwa dalam cerita tersebut tidak ada yang disebut kedustaan, karena pembaca pun mengetahui jika hal tersebut tidak terjadi. Maka lebih tepat disebut dengan pengandaian atau perumpamaan, yang bahkan juga menjadi metode al-Quran dalam menjelaskan sesuatu. Diantaranya Allah SWT berfirman :
Dan Allah membuat (pula) perumpamaan: dua orang lelaki yang seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatu pun dan dia menjadi beban atas penanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikan pun. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia berada pula di atas jalan yang lurus? (QS An-Nahl : 76)
2. Sebuah riwayat dari Rasulullah SAW, beliau bersabda : “Sampaikanlah cerita-cerita yang berasal dari
Bani Israil dan itu tidaklah mengapa” (HR Ahmad, Abu Daud dll). Dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah terdapat tambahan, “Karena sesungguhnya dalam cerita-cerita Bani Israil terkandung cerita-cerita yang menarik”. Tambahan Ibnu Abi Syaibah ini dinilai sahih oleh Al Albani. Mereka mengatakan bahwa hadits ini menunjukkan bolehnya mendengarkan cerita-cerita Bani Israil yang menarik sekedar untuk hiburan, bukan untuk berdalil. Dengan kata lain, hanya untuk menghilangkan kegundahan hati, bukan untuk berdalil dan beramal dengan isi kandungannya.
Hadits di atas dijadikan dalil oleh sebagian ulama untuk menunjukkan bolehnya mendengarkan cerita-cerita yang unik dan menarik dengan tujuan hiburan dengan syarat cerita tersebut tidak diketahui secara pasti kebohongannya. Sedangkan jika cerita tersebut sudah diketahui secara pasti kebohongannya maka boleh diceritakan dengan syarat maksud dari membawakan cerita tersebut untuk membuat permisalan, sebagai nasihat dan menanamkan sifat berani baik tokoh dalam cerita tersebut manusia ataupun hewan asalkan semua orang yang membacanya pasti faham bahwa cerita tersebut hanya sekedar imajinasi atau karangan semata. Inilah pendapat Ibnu Hajar al Haitaimi, seorang ulama bermazhab syafii
3. Para ulama (terdahulu) membolehkan kisah-kisah fiktif yang ada dalam buku Maqamat karya Badiuz Zaman al Hamdzani dan al Maqamat karya al Hariri dan buku-buku sejenis, dan tidak ada dari mereka menentang dan mengkritisi karya tersebut.
Realita Penulisan Fiksi dan Dakwah : Uji Nyali ?Status mubah atau bolehnya penulisan fiksi nampaknya bisa menjadi celah yang baik sekaligus jebakan yang berbahaya. Terlampau berlebihan dalam hal mubah pun akan menjadikan sensitifitas waro’ seorang muslim berkurang. Karenanya, pembolehan tersebut harus ‘ditunggangi’ dengan misi dan kepentingan yang jelas, yang dalam hal ini adalah penyebaran dakwah dan motivasi kebaikan.
Jadi misi ini harus melekat kuat bagi mereka yang menekuni fiksi Islami, yaitu tidak lah membuat sebuah kisah atau perumpaan, kecuali mentargetkan ibroh dan pelajaran yang jelas di dalamnya. Inilah rahasia pengungkapan kisah-kisah dalam Al-Quran, sebagaimana disebutkan dalam surat Yusuf, Allah ta’ala berfirman :
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لأُوْلِي اْلأَلْبَابِ مَاكَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَى وَلَكِن تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. ( QS Yusuf : 111.)
Dari misi inilah setiap penulis Fiksi harus menguji nyalinya, karena bisa jadi ia menuliskan hal yang ‘terlampau’ fiktif dan imajinatif, mendalami hal-hal yang justru tidak bisa dijadikan perumpamaan yang mudah untuh diterima, atau menuliskan hal-hal tanpa target pembelajaran dan dakwah yang jelas, atau menuliskan hal-hal yang justru mengundang kontroversi dan kebingungan, maka pada saat itu niatan awal menulis Fiksi sebagai sebuah alternatif dakwah layak untuk kembali dipertanyakan. Wallahu a’lam bisshowab.
memang bagus sih pak, kalo bisa menulis yang seperti bapak. masalahnya saya punya kebiasaan misuh misuh yang susah hilang jadi kalo blog digunakan untuk menulis yang semacam ini kayaknya kurang pas. apalagi saya ga punya latar belakang akademis yang bisa digunakan untuk mempertanggungjawabkan isi tulisan. nulis tanpa pertanggungjawaban itu saya ga mau. makanya saya lebih suka nulis pengalaman pribadi. karena itu adalah data dan fakta yang tidak bisa dibantah orang...
BalasHapusindah sekali jika kita tahu ilmunya. Terima kasih, ustadz...
BalasHapus@rawins : pada dasarnya menulis itu terkadang malah menjadi kebutuhan kita, semacam terapi gitu yah .. jadi kalau tidak menulis malah kadang bisa misuh2 diluaran sana
BalasHapus@taqoo : sama2 dan terus berkarya
bAGAIAMAN DENGAN FIKSI AYAT AYAT CINTA? RAHAMN DI SOLO
BalasHapus