Jauh sebelum gelombang demonstrasi menuntut Husni Mubarok turun dari tahta kepresidenan negeri Kinanah bergolak, sebenarnya agenda pergantian kepemimpinan Mesir paska Mubarok telah lama bergaung. Dan puncaknya diperkirakan pada rencana pemilihan umum pada September 2011. Namun situasi tidak lantas berpihak kepada rakyat Mesir, karena Husni Mubarok dengan Partai Nasional Demokrat yang menjadi mayoritas tentu tak akan membiarkan kepemimpinan beralih atau keluar dari manhajnya selama ini.
Setidaknya ada dua nama – jauh sebelum reformasi Mesir ini bergulir – yang mencuat baik di internal Partai Nasional Demokrat maupun bagi kalangan stakeholder Mesir seperti Amerika Serikat dan Israel. Kedua nama tersebut adalah Jamal Mubarok pewaris tahta Husni Mubarok, dan Omar Sulaiman Kepala Badan Intelijen Mesir. Nama Al-Baredai sendiri baru muncul sekitar setahun belakangan ini menjelang pemilu September 2011.
Persaingan telah dimulai sejak delapan tahun yang lalu, saat Husni Mubarok bersikukuh untuk menolak jabatan Wakil Presiden baginya, sementara Omar Sulaiman pada waktu itu menjadi sosok yang paling layak menduduki jabatan tersebut. Husni Mubarok tidak ingin melejitkan nama Omar Sulaiman, karena ia memang menghendaki menjadi Firauan baru bagi Mesir dengan menjagokan anaknya Jamal Mubarok. Maka praktis fase setelah itu adalah persaingan keduanya untuk “cari muka” pada dunia luar, khususnya Amerika. Sudah bukan rahasia lagi, sebagaimana dikatakan oleh Mustafa Al-Fik , Ketua Komisi Hubungan Luar Negeri Parlemen Mesir bahwa Presiden Mesir membutuhkan dua syarat , yaitu “ persetujuan Amerika dan Tidak melawan kepentingan Israel “.
Husni Mubarok memang mencoba menutup celah Omar Sulaiman dengan menolak penentuan posisi wakil presiden baginya, sehingga pada saat yang sama kesempatan bagi Jamal Mubarok menuju kursi presiden akan lebih terbuka. Namun Amerika kali ini ternyata punya pendapat lain, naluri demokrasi Paman Sam tidak menginginkan adanya pewarisan tahta dari Husni Mubarok kepada anaknya. Karenanya Amerika lebih menjagokan Omar Sulaiman, dan dengan jabatannya selama ini sebagai Kepala Badan Intelijen Mesir, nampaknya kerja sama selama ini diantara keduanya cukup membuat Amerika yakin untuk menancapkan Umar Sulaiman sebagai pemimpin masa depan Mesir.
Ini dilema yang harus dialami Husni Mubarok pada tahun-tahun terakhir ini. Pada satu sisi ia bersikeras untuk mewariskan tahta kepresidenan kepada anaknya, dimana Partai Nasional Demokrat dalam pemilu sebelumnya menang mutlak 90 % lebih, maka membuka jalan untuk ia terus mengusung putra mahkotanya tersebut. Namun pada sisi lain ia mendapati dua ‘hambatan’ besar, yaitu keengganan Amerika dan kritikan tajam dari internal Mesir, khususnya partai oposisi terbesar dan tersolid Ikhwanul Muslimin.
Lalu siapa sebenarnya Omar Sulaiman dan mengapa ia bisa bergandengan mesra dengan Amerika, dan bahkan mendapat restu dari Amerika dan Israel ? Omar Sulaiman dengan kapasitasnya sebagai Kepala Badan Intelijen Mesir selama satu dasawarsa terakhir ini, jelas-jelas telah menunjukkan prestasi yang membuka Amerika dan Israel jatuh hati. Bukan saja ia mengamankan kepentingan Amerika dan Mesir di Mesir, namun lebih dari itu tangan dingin Umar Sulaiman telah mengambil banyak peran dalam kejadian-kejadian penting menyangkut penjajahan Israel atas Palestina selama sepuluh tahun ini. Kejadian meninggalnya Arafat di rumah sakit militer Percy di Paris, Prancis pada 11 November 2004, yang enam tahun kemudian –baru setahun lalu- diketahui sebabnya adalah diracun dengan zat Thalium, adalah hasil kerja agen Mossad yang diberikan jalan diam-diam oleh Umar Sulaiman. Bukan itu saja, semua kejadian penting menyangkut Palestina, dari mulai embargo, pemilu, bahkan perang Januari 2009 di Gaza adalah buah dari keterlibatan penuh Umar Sulaiman selaku Kepala Badan Intelijen, meski sama-sama kita ketahui usaha tersebut tak sepenuhnya berhasil dengan hengkangnya Israel dari gaza dengan wajah penuh kekalahan. Pada hakikatnya, selama sepuluh tahun ini Umar Sulaiman telah menjadi sahabat yang baik bagi Israel dalam setiap perbincangan dan pembahasan mengenai Palestina. Setiap pemimpin Israel –siapapun dia – bisa dipastikan menjadikan Umar Sulaiman sebagai orang terdekatnya.
Jika kita melihat latar belakang ini, maka sungguh bukan hal yang mengagetkan jika kemudian setelah bergolaknya revolusi Tunisia yang dengan cepat menular ke Mesir, Husni Mubarok pun kehilangan akal untuk melanjutkan tahtanya dengan mulus, apalagi mewariskannya ke Jamal Mubarok. Maka exit strategy telah dibahas tuntas di Amerika, dengan segera memerintahkan Mubarok untuk mengangkat Omar Sulaiman sebagai wakil Presiden tepat pada saat demonstrasi telah bergejolak hebat. Pengangkatan Omar Sulaiman sebagai Wakil Presiden, adalah mengulang pesanan Amerika delapan tahun lalu saat Husni Mubarok masih kokoh di kursi keprisedannya. Namun kali ini ia tidak bisa menolak lagi.
Sehingga dengan mudah skenario Amerika terbaca, yaitu pada saat yang genting Husni Mubarok harus hengkang misalnya, maka yang naik adalah Umar Sulaiman, yang dalam hal ini adalah ‘putra mahkota’ Amerika dan Israel yang sudah diproyeksikan sejak delapan tahun lalu untuk mendampingi Husni Mubarok.
Rakyat Mesir khususnya partai Oposisi tahu persis akan scenario busuk ini. Alih-alih Omar Sulaiman akan bisa mengawal mesir sampai Pemilu September nanti, kemungkinan ia akan melanjutkan kembali rejim yang represif yang tidak akan pernah tahu sampai kapan berakhirnya. Karena itulah, kelompok Gerakan 6 April, partai oposisi el-Ghad, Ikhwanul Muslimin, dan partai el-Wafd serempak menggiring opini demonstran untuk menolak Omar Sulaiman, dan mengusung calon Muhammad El-Baradai sebagai calon pemimpin Mesir berikutnya. El-Bareadi dengan latar belakang keilmuannya, sebagai Kepala Badan Atom PBB dan pernah mendapatkan Nobel Perdamaian, meskipun lebih dekat kepada Sekuler, namun nampaknya menjadi pilihan alternative bagi oposisi yang ada, termasuk bagi ikhwanul Muslimin. El-Baredai bukan tipe sekuler yang berkiblat kepada Amerika soal terorisme, ia mengenal dan mengetahui persis tentang Ikhwanul Muslimin, dan menolak jika ada yang menyamakannya dengan Al-Qaida dan sebagainya.
Nama lain yang baru muncul akhir-akhir ini adalah Amru Musa, Sekjend Liga Negara Arab yang juga mantan menteri Luar Negri selama sepuluh tahun di bawah Husni Mubarok. Amru Musa menegaskan tidak akan ikut pemilihan Sekjend kembali, dan juga tidak menolak saat disindir tentang kemungkinannya maju sebagai pemimpin Mesir mendatang. Amru Musa –sekalipun dikenal piawai sebagai diplomat- nampaknya tidak punya kendaaraan yang tangguh untuk menggapai posisi puncak itu, partai oposisi telah serempak mengusung el baradai. Belum lagi ‘trauma’ sebagian rakyat mesir karena ia adalah ‘pemuda’ didikan Husni Mubarok sejak awalnya.
Dengan demikian, lautan demonstrasi di pusat kota Kairo ini barangkali akan mengubah banyak hal dan analisa selama ini, namun jika yang terjadi adalah ‘sekedar’ hengkangnya Husni Mubarok tanpa tergusurnya omar Sulaiman, maka hari-hari berikutnya justru akan lebih menegangkan ! . Wallahu a’lam.
Setidaknya ada dua nama – jauh sebelum reformasi Mesir ini bergulir – yang mencuat baik di internal Partai Nasional Demokrat maupun bagi kalangan stakeholder Mesir seperti Amerika Serikat dan Israel. Kedua nama tersebut adalah Jamal Mubarok pewaris tahta Husni Mubarok, dan Omar Sulaiman Kepala Badan Intelijen Mesir. Nama Al-Baredai sendiri baru muncul sekitar setahun belakangan ini menjelang pemilu September 2011.
Persaingan telah dimulai sejak delapan tahun yang lalu, saat Husni Mubarok bersikukuh untuk menolak jabatan Wakil Presiden baginya, sementara Omar Sulaiman pada waktu itu menjadi sosok yang paling layak menduduki jabatan tersebut. Husni Mubarok tidak ingin melejitkan nama Omar Sulaiman, karena ia memang menghendaki menjadi Firauan baru bagi Mesir dengan menjagokan anaknya Jamal Mubarok. Maka praktis fase setelah itu adalah persaingan keduanya untuk “cari muka” pada dunia luar, khususnya Amerika. Sudah bukan rahasia lagi, sebagaimana dikatakan oleh Mustafa Al-Fik , Ketua Komisi Hubungan Luar Negeri Parlemen Mesir bahwa Presiden Mesir membutuhkan dua syarat , yaitu “ persetujuan Amerika dan Tidak melawan kepentingan Israel “.
Husni Mubarok memang mencoba menutup celah Omar Sulaiman dengan menolak penentuan posisi wakil presiden baginya, sehingga pada saat yang sama kesempatan bagi Jamal Mubarok menuju kursi presiden akan lebih terbuka. Namun Amerika kali ini ternyata punya pendapat lain, naluri demokrasi Paman Sam tidak menginginkan adanya pewarisan tahta dari Husni Mubarok kepada anaknya. Karenanya Amerika lebih menjagokan Omar Sulaiman, dan dengan jabatannya selama ini sebagai Kepala Badan Intelijen Mesir, nampaknya kerja sama selama ini diantara keduanya cukup membuat Amerika yakin untuk menancapkan Umar Sulaiman sebagai pemimpin masa depan Mesir.
Ini dilema yang harus dialami Husni Mubarok pada tahun-tahun terakhir ini. Pada satu sisi ia bersikeras untuk mewariskan tahta kepresidenan kepada anaknya, dimana Partai Nasional Demokrat dalam pemilu sebelumnya menang mutlak 90 % lebih, maka membuka jalan untuk ia terus mengusung putra mahkotanya tersebut. Namun pada sisi lain ia mendapati dua ‘hambatan’ besar, yaitu keengganan Amerika dan kritikan tajam dari internal Mesir, khususnya partai oposisi terbesar dan tersolid Ikhwanul Muslimin.
Lalu siapa sebenarnya Omar Sulaiman dan mengapa ia bisa bergandengan mesra dengan Amerika, dan bahkan mendapat restu dari Amerika dan Israel ? Omar Sulaiman dengan kapasitasnya sebagai Kepala Badan Intelijen Mesir selama satu dasawarsa terakhir ini, jelas-jelas telah menunjukkan prestasi yang membuka Amerika dan Israel jatuh hati. Bukan saja ia mengamankan kepentingan Amerika dan Mesir di Mesir, namun lebih dari itu tangan dingin Umar Sulaiman telah mengambil banyak peran dalam kejadian-kejadian penting menyangkut penjajahan Israel atas Palestina selama sepuluh tahun ini. Kejadian meninggalnya Arafat di rumah sakit militer Percy di Paris, Prancis pada 11 November 2004, yang enam tahun kemudian –baru setahun lalu- diketahui sebabnya adalah diracun dengan zat Thalium, adalah hasil kerja agen Mossad yang diberikan jalan diam-diam oleh Umar Sulaiman. Bukan itu saja, semua kejadian penting menyangkut Palestina, dari mulai embargo, pemilu, bahkan perang Januari 2009 di Gaza adalah buah dari keterlibatan penuh Umar Sulaiman selaku Kepala Badan Intelijen, meski sama-sama kita ketahui usaha tersebut tak sepenuhnya berhasil dengan hengkangnya Israel dari gaza dengan wajah penuh kekalahan. Pada hakikatnya, selama sepuluh tahun ini Umar Sulaiman telah menjadi sahabat yang baik bagi Israel dalam setiap perbincangan dan pembahasan mengenai Palestina. Setiap pemimpin Israel –siapapun dia – bisa dipastikan menjadikan Umar Sulaiman sebagai orang terdekatnya.
Jika kita melihat latar belakang ini, maka sungguh bukan hal yang mengagetkan jika kemudian setelah bergolaknya revolusi Tunisia yang dengan cepat menular ke Mesir, Husni Mubarok pun kehilangan akal untuk melanjutkan tahtanya dengan mulus, apalagi mewariskannya ke Jamal Mubarok. Maka exit strategy telah dibahas tuntas di Amerika, dengan segera memerintahkan Mubarok untuk mengangkat Omar Sulaiman sebagai wakil Presiden tepat pada saat demonstrasi telah bergejolak hebat. Pengangkatan Omar Sulaiman sebagai Wakil Presiden, adalah mengulang pesanan Amerika delapan tahun lalu saat Husni Mubarok masih kokoh di kursi keprisedannya. Namun kali ini ia tidak bisa menolak lagi.
Sehingga dengan mudah skenario Amerika terbaca, yaitu pada saat yang genting Husni Mubarok harus hengkang misalnya, maka yang naik adalah Umar Sulaiman, yang dalam hal ini adalah ‘putra mahkota’ Amerika dan Israel yang sudah diproyeksikan sejak delapan tahun lalu untuk mendampingi Husni Mubarok.
Rakyat Mesir khususnya partai Oposisi tahu persis akan scenario busuk ini. Alih-alih Omar Sulaiman akan bisa mengawal mesir sampai Pemilu September nanti, kemungkinan ia akan melanjutkan kembali rejim yang represif yang tidak akan pernah tahu sampai kapan berakhirnya. Karena itulah, kelompok Gerakan 6 April, partai oposisi el-Ghad, Ikhwanul Muslimin, dan partai el-Wafd serempak menggiring opini demonstran untuk menolak Omar Sulaiman, dan mengusung calon Muhammad El-Baradai sebagai calon pemimpin Mesir berikutnya. El-Bareadi dengan latar belakang keilmuannya, sebagai Kepala Badan Atom PBB dan pernah mendapatkan Nobel Perdamaian, meskipun lebih dekat kepada Sekuler, namun nampaknya menjadi pilihan alternative bagi oposisi yang ada, termasuk bagi ikhwanul Muslimin. El-Baredai bukan tipe sekuler yang berkiblat kepada Amerika soal terorisme, ia mengenal dan mengetahui persis tentang Ikhwanul Muslimin, dan menolak jika ada yang menyamakannya dengan Al-Qaida dan sebagainya.
Nama lain yang baru muncul akhir-akhir ini adalah Amru Musa, Sekjend Liga Negara Arab yang juga mantan menteri Luar Negri selama sepuluh tahun di bawah Husni Mubarok. Amru Musa menegaskan tidak akan ikut pemilihan Sekjend kembali, dan juga tidak menolak saat disindir tentang kemungkinannya maju sebagai pemimpin Mesir mendatang. Amru Musa –sekalipun dikenal piawai sebagai diplomat- nampaknya tidak punya kendaaraan yang tangguh untuk menggapai posisi puncak itu, partai oposisi telah serempak mengusung el baradai. Belum lagi ‘trauma’ sebagian rakyat mesir karena ia adalah ‘pemuda’ didikan Husni Mubarok sejak awalnya.
Dengan demikian, lautan demonstrasi di pusat kota Kairo ini barangkali akan mengubah banyak hal dan analisa selama ini, namun jika yang terjadi adalah ‘sekedar’ hengkangnya Husni Mubarok tanpa tergusurnya omar Sulaiman, maka hari-hari berikutnya justru akan lebih menegangkan ! . Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar