Mukaddimah : Antara Lisan dan Tulisan
Islam sebagai syariat yang komprehensif tidak pernah memisahkan antara ‘produk’ lisan dan tulisan. Ketika kita terbiasa dengan bahasan ‘menjaga lisan’ dalam kajian hadits maupun akhlak, maka pada saat yang sama kita juga dituntut untuk ‘menjaga tulisan’ kita. Adapun mengapa banyak riwayat yang ada masih berkutat tentang penjagaan lisan saja, itu semata karena tulis menulis belum menjadi ketrampilan umum setiap orang dan belum menjadi budaya yang mengakar pada waktu itu. Hal lain yang menyebabkan komunikasi lisan begitu mendominasi pada saat itu adalah : minimnya sarana untuk tulis menulis, serta masih banyaknya kaum yang buta huruf.
Namun dunia kini berubah, sarana komunikasi bukan lagi lisan semata tapi juga tulisan, gambar, video dan lain sebagainya. Seiring dengan perkembangan zaman maka komunikasi dengan tulisan pun mulai menunjukkan taringnya. Jika dahulu hanya sebatas artikel di Koran dan majalah, maka saat ini kita dapati tulisan menjadi media komunikasin andalan, baik bersifat umum seperti situs,blog, maupun yang bersifat khusus seperti sms, chat, BBM, dan yang semacamnya. Maka hari ini kita menjadi saksi, setiap detik berapa kalimat yang telah tertuliskan baik melalui papan ketik laptop, maupun keyboard Qwerty dalam perangkat genggam.
Pada kondisi saat ini, jika ada yang bertanya bagaimana seharusnya adab dan etika kita dalam menulis, maka menganalogikannya dengan adab-adab lisan adalah hal yang sudah semestinya. Hal-hal yang jika kita ucapkan adalah salah, maka dengan qiyas aula jika dituliskan tentu akan lebih salah lagi. Mengapa qiyas aula dan mengapa lebih salah ? Mudah saja menjawabnya, jika kesalahan lisan maka hanya mereka yang mendengar saja yang terganggu atau terpengaruhi. Namun jika kesalahan itu dituliskan dan tersebar, maka sangat mungkin mempengaruhi banyak orang yang lainnya. Pada sisi ini, sungguh kita tidak mengharapkan royalty sama sekali bukan ?
Maka mari kita renungi sejenak bahwa perintah syariat dalam penjagaan atas lisan –dan pada saat yang sama tulisan- bukan sesuatu yang main-main. Jangankan satu buku, satu lembar, satu halaman atau rangkaian beberapa kalimat, bahkan satu kata pun akan diminta dipertanggung jawabkan. Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan satu kalimat yang dibenci oleh Allah yang dia tidak merenungi (akibatnya), maka dia terjatuh dalam neraka Jahannam.” (HR Bukhori)
Hadits di atas begitu meyakinkan kita untuk menjaga setiap kata yang terucap, dan juga setiap kalimat yang tertuang dalam karya-karya kita. Karenanya, upaya memunculkan kembali ‘fiqh penulisan’ bukan lagi sebuah pengingatan kepada kita, tetapi pada hakikatnya adalah ‘penyelamatan’ bagi kita semua sebagai komunitas yang setiap saat siap merangkai kata dan berkarya.
Apa & Bagaimana Semangat Fiqh Kepenulisan ?
Sungguh teramat jarang literatur klasik yang menulis secara khusus tentang adab menulis atau bahasa tegasnya “ fiqh kepenulisan”. Yang tercatat cukup awal adalah kitab “ adabul katib” yang ditulis oleh Abu Muhammad Abdullah bin Muslim Ibnu Qutaibah ad-dainuri (213-276 H). Sayangnya, kitab tersebut pun tidak membahas etika penulisan, namun lebih banyak mengungkap kaidah-kaidah bahasa dalam penulisan yang baik. Pada saat ini pun, ketika disebut tentang ‘adab menulis’ dihadapan mesin pencari Google misalnya, maka yang segera muncul biasanya adalah metode-metode dan tips kepenulisan, baik menulis ilmiah, cerpen, dan yang semacamnya. Ada satu dua yang menuliskan tentang adab penulis kaitannya dengan fiqh atau aturan syariat, namun biasanya hanya berupa point-point sederhana yang laa yuth’imu walaa yughni min juu’.
Karenanya, untuk menggambarkan sebuah fiqh penulisan saya memilih untuk mengikuti kaidah umum dalam dakwah, - mengingat motivasi dan semangat menulis kita adalah karena dakwah – yaitu Firman Allah SWT :
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik “ (QS An-Nahl : 125)
Dari ayat di atas, setidaknya dalam sebuah aktifitas dakwah kepenulisan kita membutuhkan dua hal yang harus saling menunjang, yaitu kejelasan konten ( al-hikmah) dan ketepatan sarana dan metodenya (al-mauidhoh hasanah). Dari sisi inilah kita akan mengembangkan fiqh kepenulisan, yaitu menjaga kualitas syar’I sebuah tulisan sisi konten dan penyampaian atau penggunaan bahasanya.
Adapun sisi kejelasan konten perlu kita lihat dari beberapa sisi :
a) Apakah yang kita tulis sudah selaras dengan ajaran syariat Islam yang wasatiyah, tawazun dan komprehensif ? sehingga tidak membuat masalah resah dan memecah belat umat.
b) Apakah yang kita tulis cukup mempunyai dalil argumentasi yang syar’I atau tidak ? Atau setidaknya mempunyai periwayatan yang baik ? Sebaimana kita sudah diperingatkan oleh Rasulullah saw, beliau menjelaskannya dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra beliau bersabda :
Adapun dari sisi menjaga kualitas sarana atau penyampaian, maka sebuah tulisan hendaknya menjaga beberapa kriteria syar’I sebagai berikut :
a) Menggunakan bahasa yang Indah dan membekas. Firman Allah SWT : “dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.” (QS An-Nisa :63)
b) Menggunakan bahasa yang mudah dan praktis , Firman Allah SWT : “maka katakanlah kepada mereka ucapan yang mudah .” (QS Al-Isra 28)
c) Menggunakan bahasa yang Lembut. Firman Allah SWT : “maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut".(QS Thoha 44)
d) Menggunakan bahasa dengan tepat waktu dan sasaran. Imam Ali mengatakan : “ bicaralah kepada orang-orang dengan apa yang mereka pahami, apakah engkau ingin mereka mendustakan Allah dan rasul-Nya ? (HR Bukhori)
Disamping karena dua hal di atas, tingkat kualitas syar’I sebuah tulisan juga dilihat dari cara pandang penulisnya. Ini masalah niat, visi dan misi dalam menggores pena.
Bersambung bagian dua
Islam sebagai syariat yang komprehensif tidak pernah memisahkan antara ‘produk’ lisan dan tulisan. Ketika kita terbiasa dengan bahasan ‘menjaga lisan’ dalam kajian hadits maupun akhlak, maka pada saat yang sama kita juga dituntut untuk ‘menjaga tulisan’ kita. Adapun mengapa banyak riwayat yang ada masih berkutat tentang penjagaan lisan saja, itu semata karena tulis menulis belum menjadi ketrampilan umum setiap orang dan belum menjadi budaya yang mengakar pada waktu itu. Hal lain yang menyebabkan komunikasi lisan begitu mendominasi pada saat itu adalah : minimnya sarana untuk tulis menulis, serta masih banyaknya kaum yang buta huruf.
Namun dunia kini berubah, sarana komunikasi bukan lagi lisan semata tapi juga tulisan, gambar, video dan lain sebagainya. Seiring dengan perkembangan zaman maka komunikasi dengan tulisan pun mulai menunjukkan taringnya. Jika dahulu hanya sebatas artikel di Koran dan majalah, maka saat ini kita dapati tulisan menjadi media komunikasin andalan, baik bersifat umum seperti situs,blog, maupun yang bersifat khusus seperti sms, chat, BBM, dan yang semacamnya. Maka hari ini kita menjadi saksi, setiap detik berapa kalimat yang telah tertuliskan baik melalui papan ketik laptop, maupun keyboard Qwerty dalam perangkat genggam.
Pada kondisi saat ini, jika ada yang bertanya bagaimana seharusnya adab dan etika kita dalam menulis, maka menganalogikannya dengan adab-adab lisan adalah hal yang sudah semestinya. Hal-hal yang jika kita ucapkan adalah salah, maka dengan qiyas aula jika dituliskan tentu akan lebih salah lagi. Mengapa qiyas aula dan mengapa lebih salah ? Mudah saja menjawabnya, jika kesalahan lisan maka hanya mereka yang mendengar saja yang terganggu atau terpengaruhi. Namun jika kesalahan itu dituliskan dan tersebar, maka sangat mungkin mempengaruhi banyak orang yang lainnya. Pada sisi ini, sungguh kita tidak mengharapkan royalty sama sekali bukan ?
Maka mari kita renungi sejenak bahwa perintah syariat dalam penjagaan atas lisan –dan pada saat yang sama tulisan- bukan sesuatu yang main-main. Jangankan satu buku, satu lembar, satu halaman atau rangkaian beberapa kalimat, bahkan satu kata pun akan diminta dipertanggung jawabkan. Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan satu kalimat yang dibenci oleh Allah yang dia tidak merenungi (akibatnya), maka dia terjatuh dalam neraka Jahannam.” (HR Bukhori)
Hadits di atas begitu meyakinkan kita untuk menjaga setiap kata yang terucap, dan juga setiap kalimat yang tertuang dalam karya-karya kita. Karenanya, upaya memunculkan kembali ‘fiqh penulisan’ bukan lagi sebuah pengingatan kepada kita, tetapi pada hakikatnya adalah ‘penyelamatan’ bagi kita semua sebagai komunitas yang setiap saat siap merangkai kata dan berkarya.
Apa & Bagaimana Semangat Fiqh Kepenulisan ?
Sungguh teramat jarang literatur klasik yang menulis secara khusus tentang adab menulis atau bahasa tegasnya “ fiqh kepenulisan”. Yang tercatat cukup awal adalah kitab “ adabul katib” yang ditulis oleh Abu Muhammad Abdullah bin Muslim Ibnu Qutaibah ad-dainuri (213-276 H). Sayangnya, kitab tersebut pun tidak membahas etika penulisan, namun lebih banyak mengungkap kaidah-kaidah bahasa dalam penulisan yang baik. Pada saat ini pun, ketika disebut tentang ‘adab menulis’ dihadapan mesin pencari Google misalnya, maka yang segera muncul biasanya adalah metode-metode dan tips kepenulisan, baik menulis ilmiah, cerpen, dan yang semacamnya. Ada satu dua yang menuliskan tentang adab penulis kaitannya dengan fiqh atau aturan syariat, namun biasanya hanya berupa point-point sederhana yang laa yuth’imu walaa yughni min juu’.
Karenanya, untuk menggambarkan sebuah fiqh penulisan saya memilih untuk mengikuti kaidah umum dalam dakwah, - mengingat motivasi dan semangat menulis kita adalah karena dakwah – yaitu Firman Allah SWT :
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik “ (QS An-Nahl : 125)
Dari ayat di atas, setidaknya dalam sebuah aktifitas dakwah kepenulisan kita membutuhkan dua hal yang harus saling menunjang, yaitu kejelasan konten ( al-hikmah) dan ketepatan sarana dan metodenya (al-mauidhoh hasanah). Dari sisi inilah kita akan mengembangkan fiqh kepenulisan, yaitu menjaga kualitas syar’I sebuah tulisan sisi konten dan penyampaian atau penggunaan bahasanya.
Adapun sisi kejelasan konten perlu kita lihat dari beberapa sisi :
a) Apakah yang kita tulis sudah selaras dengan ajaran syariat Islam yang wasatiyah, tawazun dan komprehensif ? sehingga tidak membuat masalah resah dan memecah belat umat.
b) Apakah yang kita tulis cukup mempunyai dalil argumentasi yang syar’I atau tidak ? Atau setidaknya mempunyai periwayatan yang baik ? Sebaimana kita sudah diperingatkan oleh Rasulullah saw, beliau menjelaskannya dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra beliau bersabda :
إنّ الرّجل ليتكلّم بلكلمة مايتبيّن فيها يزلّ بها في الناّرأبعدمابين المشرق والمغرب
Seseorang berbicara dengan suatu kalimat tanpa disertai kejelasan (bukti) oleh karena ucapannya itu, maka ia akan dijatuhkan ke dalam neraka yang jaraknya lebih jauh dari jarak timur dan barat. " (HR Muslim)Adapun dari sisi menjaga kualitas sarana atau penyampaian, maka sebuah tulisan hendaknya menjaga beberapa kriteria syar’I sebagai berikut :
a) Menggunakan bahasa yang Indah dan membekas. Firman Allah SWT : “dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.” (QS An-Nisa :63)
b) Menggunakan bahasa yang mudah dan praktis , Firman Allah SWT : “maka katakanlah kepada mereka ucapan yang mudah .” (QS Al-Isra 28)
c) Menggunakan bahasa yang Lembut. Firman Allah SWT : “maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut".(QS Thoha 44)
d) Menggunakan bahasa dengan tepat waktu dan sasaran. Imam Ali mengatakan : “ bicaralah kepada orang-orang dengan apa yang mereka pahami, apakah engkau ingin mereka mendustakan Allah dan rasul-Nya ? (HR Bukhori)
Disamping karena dua hal di atas, tingkat kualitas syar’I sebuah tulisan juga dilihat dari cara pandang penulisnya. Ini masalah niat, visi dan misi dalam menggores pena.
Bersambung bagian dua
seep seep pak. jadi kangen puang ke jawa baca tulisan semacam ini. dah sebulan ga pernah dengar adzan blash disini...
BalasHapussubhanlallah..smoga semakin banyak pejuang-pejuang dakwah dalam dunia tulis menulis
BalasHapus