Sahabat blogger Indonesia Optimis, setiap keluarga tentu mempunyai permasalahan yang beragam, baik suami istri maupun tentang anak-anak dan keluarga besar lainnya. Mari mencoba sedikit membahas salah satunya, seputar suami istri khususnya saat sang istri tengah berbadan dua. Simak pertanyaan dan jawaban yang ada. Semoga bermanfaat.
Pertanyaan
Berikut pertanyaan rubrik konsultasi keluarga majalah LAZIS Jateng.
Wassalamu`alaikum wr wb
Jawaban :
Wa’alaikum salam warohmatullahi wa barokatuh.
Kami ucapkan terima kasih atas pertanyaannya yang begitu mendetil, menunjukkan semangat dalam mencari ilmu dan mengamalkannya. Lika-liku kehidupan keluarga memang senantiasa menyisakan permasalahan dan pertanyaan. Mari mencoba menelisiknya dengan sederhana sesuai kemampuan saya yang terbatas.
Pertama tentang kewajiban suami saat istri sedang hamil.
Secara umum suami istri dalam kondisi apapun haruslah berfungsi sebagai pakaian satu sama lainnya. Sebagaimana Allah SWT berfirman : “ mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka” (QS Al-Baqoroh 187). Pakaian mempunyai fungsi perlindungan fisik maupun psikis. Tanpa pakaian seseorang akan kedinginan, dan lebih dari itu tentu malu bukan kepalang. Begitu pula seorang suami, memberikan perlindungan fisik dan psikis kepada suaminya. Terlebih dimasa hamil yang bagi seorang perempuan bukan hanya menderita secara fisik, tetapi juga psikis. Selain kepayahan, terkadang para ibu hamil merasa ‘jelek’ secara penampilan.
Maka inilah tugas para suami, memastikan agar kondisi istri tetap fit dan sehat dalam menghadapi persalinan. Upaya sederhananya dari mulai mengontrol kesehatan secara teratur di dokter dan bidan, ataupun menemani sang istri jalan-jalan di pagi hari. Secara psikis, sang suami berkewajiban membesarkan hati sang istri agak lebih siap menghadapi persalinan, selain tentu saja dengan mengingatkan untuk tetap mendekatkan diri dan tawakkal kepada Allah SWT.
Kedua, anggapan istri dianggap dzolim saat suami membantu pekerjaan rumah
Anggapan diatas salah dan memalukan. Islam tidak pernah sama sekali mengajarkan bahwa para suami adalah raja yang senantiasa ongkang-ongkang dalam rumah tangga. Bahkan Rasulullah SAW sendiri saat dirumah melakukan banyak hal sebagaimana orang lainnya.
Suatu hari Aisyah pernah ditanya, apa yg dikerjakan Rasulullah di rumah? Dijawabnya " seperti layaknya manusia biasa. Beliau menambal bajunya sendiri, memerah susu kambingnya sendiri,dan mengerjakan sendiri pekerjaan rumahnya" (HR Ahmad dan Tirmidzi).
Rasulullah SAW manusia yang paling mulia dengan kesibukan dakwah yang luar biasa, ternyata juga melakukan banyak hal-hal teknis dan sederhananya di rumahnya. Jadi tidak ada alasan sibuk bagi para suami sehingga enggan membantu istrinya di rumah. Lebih baik lagi, jika pekerjaan itu dilakukan bersama –pada waktu liburan misalnya- maka insya Allah akan bertambah kecintaan antara mereka berdua.
Ketiga, hukum uang gaji seorang istri yang diberikan kepada suaminya untuk membantu keuangan keluarganya?
Hukumnya boleh dan itu menunjukkan kemuliaan dan kemurahan hati sang istri. Suami bukan termasuk tanggungan nafkah bagi sang istri, karenanya boleh sedekah – bahkan zakat sekalipun- kepada suami. Diriwayatkan bahwa seorang shohabiyah Zaenab bertanya : “Wahai Rosululloh, engkau tadi memerintahkan untuk bershodaqoh, sedangkan saya memiliki perhiasan , dan saya kepingin menshodaqohkannya, namun Ibnu Mas’ud (suamiku) mengatakan bahwa dia dan anaknya lebih berhak untuk diberi harta shodaqoh tersebut.”Maka Rasululloh bersabda : “ Ibnu Mas’ud benar, suami dan anakmu lebih berhak engkau beri shodaqoh.” (HR. Bukhori).
Namun yang menjadi catatan penting, bahwa istri juga harus terus memotivasi sang suami untuk bekerja lebih keras dan sungguh agar mampu menopang kebutuhan keluarga, tanpa bergantung dari sedekah sang istri.
Keempat : Apakah semua kewajiban suami yang sedang sakit berbulan-bulan otomatis beralih ke istri?
Hubungan keluarga semestinya tidak dilihat secara hitam dan putih, yaitu membedakan secara garis tegas antara kewajiban dan hak baik suami dan istri. Ini adalah sebuah hubungan mistaqon gholidzo yang tidak terbatasi dengan aturan-aturan yang saklek, tapi mempertimbangkan sisi psikologis, perasaan, ketenangan dan juga saling ketergantungan. Jadi, jika ada suami yang sakit berbulan-bulan sekalipun, rasa cinta dan kasih sayang seorang istri pasti akan menuntunnya untuk mencari solusi yang tepat bagi suami dan anak-anaknya. Ia bisa jadi bekerja, berhutang, berdagang atau apapun dan itu dilakukan dengan sepenuh cinta dan pengharapan atas kesembuhan suaminya, bukan sekedar embel-embel ‘kewajiban’ dan tanggung jawab semata. Jadi mari kita lihat dari kacamata yang lebih manusiawi. Ini dalam konteks suami istri, sementara secara umum antara kaum muslimin dan mukminat juga senantiasa diminta untuk bahu membahu bukan ?
Firman Allah SWT : “ dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain (QS At-Taubah : 71)
Kelima, Bagaimana cara agar rasa saling memahami bisa tumbuh subur dalam keluarga?
Pertanyaan yang singkat tapi membutuhkan jawaban yang bisa sangat panjang. Untuk memahami karakter seseorang, dalam logika Umar bin Khotob bisa melalui tiga hal : yaitu bepergian bersama, mabit atau menginap bersama, dan ketiga melakukan transaksi bersama. Dari tiga hal ini seseorang akan muncul watak aslinya, sehingga bisa menjadi bahan untuk saling memahami dan mengenal lebih mendalam.
Dalam kaitan suami istri, sebenarnya saling memahami semestinya akan muncul begitu saja sesuai dengan berjalannya waktu. Hari demi hari akan muncul hal-hal dan watak asli sang suami maupun istri, baik yang baik maupun yang buruk. Disinilah perlu permakluman dan kesadaran akan kekurangan dan kelebihan setiap orang. Tidak sombong mengakui jika bersalah, dan juga tidak pelit untuk memuji kelebihan pasangannya.
Satu langkah efektif untuk saling memahami adalah dengan memperlebar jalur komunikasi antar suami istri, baik secara kualitas maupun kuantitas. Dengan berterus terang mengemukakan apa ganjalan di hati, maka ancaman ‘gagal komunikasi’ akan semakin bisa kita jauhi. Cari peluang dan kesempatan untuk terus membina komunikasi yang super antara suami istri. Semoga sukses. Wallahu a’lam bisshowab
berikut tambahan artikel seputar Suami Siaga di kala istri hamil klik disini
Pertanyaan
Berikut pertanyaan rubrik konsultasi keluarga majalah LAZIS Jateng.
- Ustadz apa saja kewajiban suami saat istri sedang hamil?
- Apakah istri dianggap dzolim ketika suami membantu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga yang menjadi tanggung jawab istri tanpa dasar paksaan?
- Bagaimana hukum uang gaji seorang istri yang diberikan kepada suaminya untuk membantu keuangan keluarganya?
- Apakah semua kewajiban suami yang sedang sakit berbulan-bulan otomatis beralih ke istri?
- Bagaimana cara agar rasa saling memahami bisa tumbuh subur dalam keluarga?
Wassalamu`alaikum wr wb
Jawaban :
Wa’alaikum salam warohmatullahi wa barokatuh.
Kami ucapkan terima kasih atas pertanyaannya yang begitu mendetil, menunjukkan semangat dalam mencari ilmu dan mengamalkannya. Lika-liku kehidupan keluarga memang senantiasa menyisakan permasalahan dan pertanyaan. Mari mencoba menelisiknya dengan sederhana sesuai kemampuan saya yang terbatas.
Pertama tentang kewajiban suami saat istri sedang hamil.
Secara umum suami istri dalam kondisi apapun haruslah berfungsi sebagai pakaian satu sama lainnya. Sebagaimana Allah SWT berfirman : “ mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka” (QS Al-Baqoroh 187). Pakaian mempunyai fungsi perlindungan fisik maupun psikis. Tanpa pakaian seseorang akan kedinginan, dan lebih dari itu tentu malu bukan kepalang. Begitu pula seorang suami, memberikan perlindungan fisik dan psikis kepada suaminya. Terlebih dimasa hamil yang bagi seorang perempuan bukan hanya menderita secara fisik, tetapi juga psikis. Selain kepayahan, terkadang para ibu hamil merasa ‘jelek’ secara penampilan.
Maka inilah tugas para suami, memastikan agar kondisi istri tetap fit dan sehat dalam menghadapi persalinan. Upaya sederhananya dari mulai mengontrol kesehatan secara teratur di dokter dan bidan, ataupun menemani sang istri jalan-jalan di pagi hari. Secara psikis, sang suami berkewajiban membesarkan hati sang istri agak lebih siap menghadapi persalinan, selain tentu saja dengan mengingatkan untuk tetap mendekatkan diri dan tawakkal kepada Allah SWT.
Kedua, anggapan istri dianggap dzolim saat suami membantu pekerjaan rumah
Anggapan diatas salah dan memalukan. Islam tidak pernah sama sekali mengajarkan bahwa para suami adalah raja yang senantiasa ongkang-ongkang dalam rumah tangga. Bahkan Rasulullah SAW sendiri saat dirumah melakukan banyak hal sebagaimana orang lainnya.
Suatu hari Aisyah pernah ditanya, apa yg dikerjakan Rasulullah di rumah? Dijawabnya " seperti layaknya manusia biasa. Beliau menambal bajunya sendiri, memerah susu kambingnya sendiri,dan mengerjakan sendiri pekerjaan rumahnya" (HR Ahmad dan Tirmidzi).
Rasulullah SAW manusia yang paling mulia dengan kesibukan dakwah yang luar biasa, ternyata juga melakukan banyak hal-hal teknis dan sederhananya di rumahnya. Jadi tidak ada alasan sibuk bagi para suami sehingga enggan membantu istrinya di rumah. Lebih baik lagi, jika pekerjaan itu dilakukan bersama –pada waktu liburan misalnya- maka insya Allah akan bertambah kecintaan antara mereka berdua.
Ketiga, hukum uang gaji seorang istri yang diberikan kepada suaminya untuk membantu keuangan keluarganya?
Hukumnya boleh dan itu menunjukkan kemuliaan dan kemurahan hati sang istri. Suami bukan termasuk tanggungan nafkah bagi sang istri, karenanya boleh sedekah – bahkan zakat sekalipun- kepada suami. Diriwayatkan bahwa seorang shohabiyah Zaenab bertanya : “Wahai Rosululloh, engkau tadi memerintahkan untuk bershodaqoh, sedangkan saya memiliki perhiasan , dan saya kepingin menshodaqohkannya, namun Ibnu Mas’ud (suamiku) mengatakan bahwa dia dan anaknya lebih berhak untuk diberi harta shodaqoh tersebut.”Maka Rasululloh bersabda : “ Ibnu Mas’ud benar, suami dan anakmu lebih berhak engkau beri shodaqoh.” (HR. Bukhori).
Namun yang menjadi catatan penting, bahwa istri juga harus terus memotivasi sang suami untuk bekerja lebih keras dan sungguh agar mampu menopang kebutuhan keluarga, tanpa bergantung dari sedekah sang istri.
Keempat : Apakah semua kewajiban suami yang sedang sakit berbulan-bulan otomatis beralih ke istri?
Hubungan keluarga semestinya tidak dilihat secara hitam dan putih, yaitu membedakan secara garis tegas antara kewajiban dan hak baik suami dan istri. Ini adalah sebuah hubungan mistaqon gholidzo yang tidak terbatasi dengan aturan-aturan yang saklek, tapi mempertimbangkan sisi psikologis, perasaan, ketenangan dan juga saling ketergantungan. Jadi, jika ada suami yang sakit berbulan-bulan sekalipun, rasa cinta dan kasih sayang seorang istri pasti akan menuntunnya untuk mencari solusi yang tepat bagi suami dan anak-anaknya. Ia bisa jadi bekerja, berhutang, berdagang atau apapun dan itu dilakukan dengan sepenuh cinta dan pengharapan atas kesembuhan suaminya, bukan sekedar embel-embel ‘kewajiban’ dan tanggung jawab semata. Jadi mari kita lihat dari kacamata yang lebih manusiawi. Ini dalam konteks suami istri, sementara secara umum antara kaum muslimin dan mukminat juga senantiasa diminta untuk bahu membahu bukan ?
Firman Allah SWT : “ dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain (QS At-Taubah : 71)
Kelima, Bagaimana cara agar rasa saling memahami bisa tumbuh subur dalam keluarga?
Pertanyaan yang singkat tapi membutuhkan jawaban yang bisa sangat panjang. Untuk memahami karakter seseorang, dalam logika Umar bin Khotob bisa melalui tiga hal : yaitu bepergian bersama, mabit atau menginap bersama, dan ketiga melakukan transaksi bersama. Dari tiga hal ini seseorang akan muncul watak aslinya, sehingga bisa menjadi bahan untuk saling memahami dan mengenal lebih mendalam.
Dalam kaitan suami istri, sebenarnya saling memahami semestinya akan muncul begitu saja sesuai dengan berjalannya waktu. Hari demi hari akan muncul hal-hal dan watak asli sang suami maupun istri, baik yang baik maupun yang buruk. Disinilah perlu permakluman dan kesadaran akan kekurangan dan kelebihan setiap orang. Tidak sombong mengakui jika bersalah, dan juga tidak pelit untuk memuji kelebihan pasangannya.
Satu langkah efektif untuk saling memahami adalah dengan memperlebar jalur komunikasi antar suami istri, baik secara kualitas maupun kuantitas. Dengan berterus terang mengemukakan apa ganjalan di hati, maka ancaman ‘gagal komunikasi’ akan semakin bisa kita jauhi. Cari peluang dan kesempatan untuk terus membina komunikasi yang super antara suami istri. Semoga sukses. Wallahu a’lam bisshowab
berikut tambahan artikel seputar Suami Siaga di kala istri hamil klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar