Peran lain yang dapat dimainkan seorang wanita dalam keuangan keluarga, adalah menjadi auditor penghasilan suami. Ia harus mampu memastikan sejak awal tentang kehalalan dana take home pay yang dibawa suami. Ini bukan soal percaya dan tidak percaya, ini adalah realita kerasnya dunia di luar sana. Hari ini yang haram saja sulit, kata sebagian orang. Hari ini yang haram bisa menjadi sebuah kebutuhan, samar, atau bahkan dicari banyak orang. Inilah yang menjadikan peluang para suami untuk terjebak, -tanpa kesengajaan- sehingga mendapatkan penghasilan dari yang haram atau syubhat misalnya.
Seorang wanita memastikan bahwa semua bahan makanan yang ia masak dari penghasilan sang suami adalah layak untuk dimakan tanpa berakibat buruk di kemudian hari. Ia senantiasa mengingat early warning dari Rasulullah SAW : “ setiap daging yang tumbuh dari harta haram, maka neraka lebih tepat baginya “. Maka ia tak pernah rela menyuapi anak-anaknya dari makanan panas yang tak jelas juntrung kehalalannya.
Soal haram dan halal dalam penghasilan kini bukan lagi hal yang sederhana. Perkembangan zaman yang pesat menghasilkan ragam model transaksi yang dulu tak pernah ada. Jika tak sempat untuk menelisik lagi ungkapan dan fatwa ulama tentang model transaksi keuangan modern, bisa jadi kita jatuh pada riba dan yang semacamnya. Jangan di zaman yang serba instan dan rumit ini, bahkan pada zaman Umar pun hal ini telah mendapatkan perhatian penuh darinya. Diriwayatkan bahwa Umar bin Khottob kerapkali berkeliling di pasar Madinah, dan memberikan hukuman kepada mereka yang berdagang tanpa pemahaman. Ia mengatakan : “ tidak boleh berdagang di pasar ini, kecuali mereka yang faham (fiqh muamalat). Jika tidak, maka akan terjerumus ke riba, baik secara sadar ataupun tanpa sengaja “.
Kisah Umar di atas, ditambah lagi dengan riwayat yang menegaskan tentang banyaknya pintu-pintu riba, cukuplah menjadi peringatan bagi kita betapa di luar sana banyak jebakan-jebakan riba yang berselubung aneka ragam transaksi modern.
Kembali ke peran seorang istri, menjadi auditor keluarga yang cerdas dan simpati. Tidak berarti menginterogasi di setiap keping yang di dapat sang suami, tapi lebih terlihat sebagai upaya pencegahan di awal pagi, mengingatkan dan memastikan niatan suami agar tetap teguh dalam mencari nafkah. Tidak mengambil proyek kecuali yang halal. Tidak bertransaksi kecuali yang hasilnya adem ayem bagi keluarga.
Syeikh Ibnu Qudamah menyebutkan dalam kitabnya Mukhtasor Minhajul Qashidin, betapa para wanita salafussholeh senantiasa mengingatkan sang suami saat melepasnya bekerja : “ kami anak istrimu, insya Allah sanggup menahan lapar, tapi kami tak pernah sanggup menahan api neraka, karenanya carilah rezeki yang halal suamiku …. “
bersambung
Seorang wanita memastikan bahwa semua bahan makanan yang ia masak dari penghasilan sang suami adalah layak untuk dimakan tanpa berakibat buruk di kemudian hari. Ia senantiasa mengingat early warning dari Rasulullah SAW : “ setiap daging yang tumbuh dari harta haram, maka neraka lebih tepat baginya “. Maka ia tak pernah rela menyuapi anak-anaknya dari makanan panas yang tak jelas juntrung kehalalannya.
Soal haram dan halal dalam penghasilan kini bukan lagi hal yang sederhana. Perkembangan zaman yang pesat menghasilkan ragam model transaksi yang dulu tak pernah ada. Jika tak sempat untuk menelisik lagi ungkapan dan fatwa ulama tentang model transaksi keuangan modern, bisa jadi kita jatuh pada riba dan yang semacamnya. Jangan di zaman yang serba instan dan rumit ini, bahkan pada zaman Umar pun hal ini telah mendapatkan perhatian penuh darinya. Diriwayatkan bahwa Umar bin Khottob kerapkali berkeliling di pasar Madinah, dan memberikan hukuman kepada mereka yang berdagang tanpa pemahaman. Ia mengatakan : “ tidak boleh berdagang di pasar ini, kecuali mereka yang faham (fiqh muamalat). Jika tidak, maka akan terjerumus ke riba, baik secara sadar ataupun tanpa sengaja “.
Kisah Umar di atas, ditambah lagi dengan riwayat yang menegaskan tentang banyaknya pintu-pintu riba, cukuplah menjadi peringatan bagi kita betapa di luar sana banyak jebakan-jebakan riba yang berselubung aneka ragam transaksi modern.
Kembali ke peran seorang istri, menjadi auditor keluarga yang cerdas dan simpati. Tidak berarti menginterogasi di setiap keping yang di dapat sang suami, tapi lebih terlihat sebagai upaya pencegahan di awal pagi, mengingatkan dan memastikan niatan suami agar tetap teguh dalam mencari nafkah. Tidak mengambil proyek kecuali yang halal. Tidak bertransaksi kecuali yang hasilnya adem ayem bagi keluarga.
Syeikh Ibnu Qudamah menyebutkan dalam kitabnya Mukhtasor Minhajul Qashidin, betapa para wanita salafussholeh senantiasa mengingatkan sang suami saat melepasnya bekerja : “ kami anak istrimu, insya Allah sanggup menahan lapar, tapi kami tak pernah sanggup menahan api neraka, karenanya carilah rezeki yang halal suamiku …. “
bersambung
kenyataan di sekitar kita, istri suka mengatakan dia orang yang paling tidak tahu dengan kejahatan suaminya. padahal seharusnya dia paling bisa mengukur berapa slip gaji suaminya dan berapa kenyataan uang yang dia terima.
BalasHapustapi kenapa saat suaminya kena kasus, dia akan meangis nangis mengatakan tak tahu menahu. dari kemaren kemana aja bu..?
bung rawins yang kritis dan fair dalam komentar2nya , begitulah dunia nyata. jika yang di dapat suami banyak, fungsi auditor ndak jalan .. diterima dg berbunga-bunga. jika yng didapat sedikit, barulah marah2 .. sampai ada jargonnya bukan : ada uang abang disayang .. tidak ada uang abang dikemplang..
BalasHapus