Bagi yang gemar menelaah sejarah dan kisah Arab sejak jaman Jahiliyah pasti akan akrab dengan nama Hatim At-Tho’iy. Dua dikenal dengan kedermawannya yang begitu luar biasa. Banyak sekali episode kedermawanan Hatim yang direkam dalam kitab-kitab adab dan karangan ulama. Karenanya tidak berlebihan jika beliau menjadi ikon dan simbol kedermawanan orang arab secara umum. Salah satu episode yang menunjukkan kedermawanannya adalah, kebiasaannya tidak bisa makan malam kecuali ada yang menemani, kecuali bersama orang lain untuk menikmati makanan yang telah ia masak pada hari itu. Hal ini yang menjadikan kerap sekali ia membuat jamuan makanan dan mengundang orang-orang untuk turut serta.
Mereka pun bergembira karena dapat menikmati hidangan beraneka ragam rupa, dan Hatim pun gembira dan bahagia hatinya karena dapat berbagi dengan tetangga dan sahabatnya.
Pada suatu malam Hatim hendak menikmati hidangan malam sepertinya biasanya. Namun kali ini sungguh berbeda, ia tidak melihat seorang tetangga dan kerabatpun yang ada dirumahnya untuk menemani makan malamnya. Ia pun seperti seorang yang kebingungan menoleh kesana kemari, berharap ada tamu yang hadir untuk ia ajak menikmati makan malam bersama yang telah dihidangkan sejak lama oleh para pembantunya.
Dilihatnya jalanan di depan rumah pun sepi luar biasa, dan hal ini benar-benar tidak seperti yang diharapkannya. Tiba-tiba Hatim bersedih hati karena malam ini ia tidak bisa berbagi, ada apa gerangan dengan para tetangga, kerabat dan anak-anak muda yang biasanya membersamainya makan malam ? Sungguh ia tidak mampu untuk makan hidangan sendirian. Ada suasana yang hilang dalam hatinya saat ia menyantap nasi seorang diri tanpa ada yang menemani.
Maka ia pun segera memanggil salah seorang pembantunya (budak) yang sedari tadi melihatnya dengan penuh tanda tanya. Ada apa dengan tuannya yang tidak menyentuh sedikitpun hidangan lezat yang sebagian mulai terasa dingin ? Setelah ia mendekat, Tuannya yang bijak pun membisikkan sebuah kalimat yang membuatnya terkejut.
“ wahai fulan, sungguh aku tidak bisa makan malam kecuali ada yang menemani sebagaimana biasanya. Kemana mereka semua saat ini ? Aku minta tolong kepadamu, carikan aku teman untuk makan malam kali ini. Keluarlah sejenak dan lihatlah di luar sana, apakah ada satu dua orang yang bisa engkau ajak untuk makan malam bersama ? Sungguh, jika engkau berhasil mencarikan aku satu saja yang akan menemaniku makan malam bersama, aku akan memerdekakanmu ! engkau akan menjadi manusia merdeka dan bebas bepergian kemana saja ! “
Sang pembantu tadi terperangah dan terperanjat luar biasa. Mendapatkan kemerdekaan adalah impian semua yang menyandang status budak pada zaman itu. Dan itu bukan sesuatu yang mudah dan murah ! Betapa banyak yang berusaha untuk menebus dirinya sendiri dengan perjanjian mukatabah namun banyak halangan yang melanda. Dan ini tuannya yang Mulia Hatim At-Thoiy , akan memerdekakannya langsung hanya dengan menghadirkan satu dua orang untuk membersamainya makan malam, melapangkan hatinya yang sejak tadi gundah karena tidak ada yang datang ? . Sungguh impian yang lama kini tiba-tiba menjadi begitu dekat bagi sang pembantu tadi. Bergegas ia keluar dengan penuh keyakinan dan kepastian, ia akan mendapatkan satu dua orang yang akan menjadi pintu kemerdekaan dirinya. Malam ini , atau tidak sama sekali !
Demikianlah satu episode sederhana dari rangkaian kedermawanan sang Hatim Ath-Tho’iy. Bukan saja karena ia mau memerdekakan budaknya, dalam arti berarti mengurangi jumlah aset dan harta kekayaan yang berharga sebagaimana sistem yang berlaku pada waktu itu, namun justru karena alasan yang sederhana dan mulia : yaitu agar ada yang hadir untuk menemani dan membuatnya bisa berbagi hidangan pada hari itu. Inilah kedermawanan di atas kedermawanan lainnya. Kemurahan yang membawa sekian kemurahan lainnya. Semoga kita terinspirasi !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar