Pertanyaan : Ustadz, mau nanya secara fiqh : kalau ada dokter yang menawarkan begini ke orang : Mau tidak saya obati ? Kalau jauh, diobati teman saya juga bisa . Datang saja ke dokter teman saya, nanti saya yang urus-urus pembayaran dengan dia. Kalau perawatannya Rp 450.000 kan lumayan, ada lebih 300 ribu dan kita bagi dua. (Yang ditawari ditanggung oleh ASKES biaya pengobatan Rp 700.000 per bulan). Andai ke temannya berbiaya 450 ribu, dia membayar temannya 450ribu dan nanti mengeluarkan kwitansi untuk klaim asuransi sebesar 750 ribu. Selisih 300 ribu dibagi dua antara dia dan pasien. Bagaimana hukumnya ustad ?
Jawaban :Terima kasih atas pertanyaannya, semoga setiap upaya kita meyakinkan kebenaran hal-hal yang akan kita lakukan akan mendapatkan balasan yang baik di akhirat nanti. Dalam menjawab pertanyaan di atas , ada beberapa hal yang perlu kita bahas terlebih dahulu.
Pertama, Mari bertanya pada Hati Kita
Ini jawaban yang mudah sebenarnya, namun menjalankan apa yang diyakini oleh hati itulah yang susah. Sisi kebutuhan sekaligus peluang akan terus menggoda setiap manusia untuk mengingkari apa yang diperintahkan hatinya. Karenanya, diawal saya mengajak penanya untuk menilai kegiatan dan aktifitas di atas dengan ukuran hati yang masih diliputi fitrohnya. Apakah pengklaiman dan mark up pengobatan itu membuatnya resah dan gundah, apakah ia malu atau takut ketika orang lain mengetahui hal tersebut ? Hati yang bersih akan dengan mudah menentukan jawaban untuk pertanyaan di atas. Inilah saran Rasulullah SAW kepada kita dalam menjalankan banyak hal ; yaitu minta fatwa pada hati, pastikan bahwa yang kita jalankan tidak melahirkan kegundahan dan rasa malu saat tersingkap orang lain
Maka, kepada mereka yang ragu dengan kegiatan pengobatan yang mirip di atas. Mari sejenak tengok hati kita, pastikan fitrah suci yang bicara. Bukan bisikan setan atau gambaran kebutuhan keuangan yang menumpuk dihadapan. Apakah artinya Rp 150ribu sebulan ( 300 ribu dibagi dua) jika dibandingkan dengan ketenangan dan kenyamanan dalam hati kita ?
Kedua, Sejauh mana Kebohongan dalam Klaim tersebut dibutuhkan
Dalam kasus diatas, adanya pemalsuan atau kebohongan dalam pengklaiman telah terjadi dengan jelas. Biaya pengobatan normal yang mencapai 450ribu dinaikkan dalam laporan atau kwitansi menjadi 700ribu. Tentu dengan mudah kita bisa menyatakan bahwa yang tertulis adalah sebuah kebohongan. Kebohongan inilah yang seharusnya dijauhkan dari seorang mukmin, dimana saja ia berada. Isyarat fitrah seorang mukmin yang anti kebohongan hendaknya melekat dalam diri kita. Mari merenungi sebuah riwayat yang sepertinya telah kita dengar dan hafal dengan baik.
Memang kebohongan dalam beberapa kondisi dimaklumi dalam Islam. Rasulullah SAW secara jelas menyebutkan beberapa kondisi tersebut, antara lain : menjaga hubungan suami istri, dalam peperangan yang merupakan strategi, maupun upaya mendamaikan kedua belah pihak yang berseteru. Selain tiga kasus di atas memang masih dimungkinkan legalnya kebohongan, asalkan disyaratkan dengan ketat sesuai kondisi realistisnya. Dalam kaidah kita juga mengenal : ad-dhoruroot tubiihu al-makhduroot, yaitu situasi yang mendesak (darurat) menjadikan sesuatu yang awalnya haram menjadi boleh dalam batas-batas tertentu. Ini sesuatu yang sama-sama kita pahami bukan ? Nah, dalam kasus diatas saya tidak melihat adanya sebuah kondisi yang mendesak dan bisa dipahami jika dilakukan sebuah manipulasi. Artinya, tanpa sebuah kebohongan pun situasi tetap akan berjalan normal. Nilai Rp 150 ribu tidak bisa menjadi alasan sebuah kebutuhan untuk jaman saat ini.
Ketiga, Apakah secara peraturan hal di atas adalah Korupsi ?
Korupsi di negeri kita terlalu banyak definisinya, bisa jadi hanya sebatas kesalahan wewenang, administrasi, dan lain sebagainya. Nah apakah kategori deal-deal antara dokter dan pasien dalam mark up biaya pengobatan untuk pengklaiman askes termasuk korupsi ? Jika iya maka setidaknya itu perlu dibuktikan dengan aturan perundangan yang ada, dan opini masyarakat secara umum. Saya nukil dua artikel yang mengungkapkan hal tersebut disini :
Artikel Pertama :
Artikel berikutnya, yang kedua :
Setelah mencermati dua tulisan di atas, maka sungguh kengerian terbayang di hadapan kita. Inilah sesungguhnya satu dari sekian pekerjaan rumah di negeri ini, yaitu menghapus mental korupsi. Mental korupsi atau dalam istilah lain budaya korupsi ini –saya yakin – bukan domain aparat negara elit saja, bahkan di pelosok dalam pedesaan pun akan mudah kita temukan pengurus RT, RW atau bapak guru yang tergoda untuk bermain di wilayah ini. Maka kasus yang ditanyakan di atas seputar mark up biaya pengobatan, ternyata bukan lagi sekedar domain hati, antara tenang dan tidak tenang, atau domain syariah : antara halal dan harom, tetapi sungguh telah memasuki wilayah hukum, yaitu tindak pidana korupsi.
Keempat, secara dimensi akidah , jangan menggadaikan rasa syukur kita
Ini hal terakhir yang ingin saya tekankan, bahwa dibalik pengklaiman biaya pengobatan, mark up kwitansi dari angka 450ribu menjadi 750 ribu sesungguhnya ada perilaku ‘tidak bersyukur’ dengan nikmat kesehatan yang diberikan Allah kepada kita. Ini wilayah akidah dan keyakinan, yang seharusnya seorang mukmin tidak membuka ruang sedikitpun untuk terkotori dan ternodai. Secara sederhana, ia telah diberikan nikmat kesehatan oleh Allah SWT, maka sakit yang dideritanya pun bisa diobati dengan biaya 450 ribu rupiah. Maka dengan menuliskan 750 ribu, ia tidak mengakui nikmat kesehatan dengan biaya tadi , dan yang terjadi setelahnya adalah ‘berburuk sangka’ bahwa kesehatannya harus diobati sejumlah 750 ribu rupiah. Bagaimana jika buruk sangka tadi dikabulkan oleh Allah SWT ? Naudzubillah .
Saya ingin sebutkan sebuah kisah yang menarik dan sangat relevan dengan kasus di atas. Kisah nyata ini terjadi di zaman pemerintahan Hajjaj bin Yusuf, gubernur Irak yang terkenal kejam dan keras. Suatu ketika ia berpidato di depan banyak orang di ruangan terbuka yang menyengat. Kemudian saat tiba waktu sholat ada seorang pemuda yang berdiri, menginterupsi memintanya segera mengakhiri pidatonya. Hajjaj pun murka dan segera menyuruh prajuritnya untuk menggelandangnya ke penjara. Beberapa saat setelah itu, keluarga sang pemuda pun menghadap ke Hajjaj untuk meminta ia mengampuni dan membebaskan saudaranya tersebut. Mereka mengatakan bahwa pemuda tadi kurang waras dan hendaknya bisa di bebaskan. Hajjaj pun berkata : Baiklah, aku bebaskan ia dengan syarat bahwa ia mengakui bahwa ia gila atau kurang waras “
Maka keluarga pemuda tadi pun dengan penuh semangat mendatangi penjara, untuk menyampaikan kepad anya agar ia mengakui ketidakwarasannya agar segera keluar dari penjara yang kumuh tersebut. Namun apa kata sang pemuda ? Ia mengatakan dengan penuh ketegasan sekaligus ketulusan : “ Aku berlindung kepada Allah, bagaimana mungkin aku mengatakan bahwa Allah telah menguji aku dengan sakit ingatan, padahal Ia telah menganugerahkan kepadaku kesehatan (akal yang sempurna) ?. Pemuda itu sungguh tak mau mengakui bahwa ia telah gila. Ia tak sudi menggadaikan rasa syukurnya, bahkan dengan kebebasan dirinya sekalipun. Akhirnya, mendengar ucapan tulus sang pemuda, Hajjaj pun akhirnya membebaskannya.
Akhirnya, kepada sang pasien dimanapun anda berada, bersyukurlah dengan nikmat kesehatan yang saat ini kita dapatkan, dan jangan gadaikan rasa syukur tersebut dengan kenikmatan dunia yang bersifat sementara. Kepada para dokter, berusahalah menyembuhkan penyakit fisik pasien Anda, jangan tambahi dengan ‘penyakit hati’ dari jenis apapun itu. Wallahu a’lam
Jawaban :Terima kasih atas pertanyaannya, semoga setiap upaya kita meyakinkan kebenaran hal-hal yang akan kita lakukan akan mendapatkan balasan yang baik di akhirat nanti. Dalam menjawab pertanyaan di atas , ada beberapa hal yang perlu kita bahas terlebih dahulu.
Pertama, Mari bertanya pada Hati Kita
Ini jawaban yang mudah sebenarnya, namun menjalankan apa yang diyakini oleh hati itulah yang susah. Sisi kebutuhan sekaligus peluang akan terus menggoda setiap manusia untuk mengingkari apa yang diperintahkan hatinya. Karenanya, diawal saya mengajak penanya untuk menilai kegiatan dan aktifitas di atas dengan ukuran hati yang masih diliputi fitrohnya. Apakah pengklaiman dan mark up pengobatan itu membuatnya resah dan gundah, apakah ia malu atau takut ketika orang lain mengetahui hal tersebut ? Hati yang bersih akan dengan mudah menentukan jawaban untuk pertanyaan di atas. Inilah saran Rasulullah SAW kepada kita dalam menjalankan banyak hal ; yaitu minta fatwa pada hati, pastikan bahwa yang kita jalankan tidak melahirkan kegundahan dan rasa malu saat tersingkap orang lain
Dari Wabishah bin Ma’bad radhiallahuanhu dia berkata : Saya mendatangi Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, lalu beliau bersabda : Engkau datang untuk menanyakan kebaikan ?, saya menjwab : Ya. Beliau bersabda : Mintalah pendapat dari hatimu, kebaikan adalah apa yang jiwa dan hati tenang karenanya, dan dosa adalah apa yang terasa mengganggu jiwa dan menimbulkan keragu-raguan dalam dada, meskipun orang-orang memberi fatwa kepadamu dan mereka membenarkannya. (HR Ahmad)
Maka, kepada mereka yang ragu dengan kegiatan pengobatan yang mirip di atas. Mari sejenak tengok hati kita, pastikan fitrah suci yang bicara. Bukan bisikan setan atau gambaran kebutuhan keuangan yang menumpuk dihadapan. Apakah artinya Rp 150ribu sebulan ( 300 ribu dibagi dua) jika dibandingkan dengan ketenangan dan kenyamanan dalam hati kita ?
Kedua, Sejauh mana Kebohongan dalam Klaim tersebut dibutuhkan
Dalam kasus diatas, adanya pemalsuan atau kebohongan dalam pengklaiman telah terjadi dengan jelas. Biaya pengobatan normal yang mencapai 450ribu dinaikkan dalam laporan atau kwitansi menjadi 700ribu. Tentu dengan mudah kita bisa menyatakan bahwa yang tertulis adalah sebuah kebohongan. Kebohongan inilah yang seharusnya dijauhkan dari seorang mukmin, dimana saja ia berada. Isyarat fitrah seorang mukmin yang anti kebohongan hendaknya melekat dalam diri kita. Mari merenungi sebuah riwayat yang sepertinya telah kita dengar dan hafal dengan baik.
Dari Malik dari Shafwan bin Sulaim berkata; "Ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, "Apakah seorang mukmin bisa menjadi penakut?" Beliau menjawab: 'Ya." Kemudian ditanya lagi; "Apakah seorang mukmin bisa menjadi bakhil?" Beliau menjawab: "Ya." Lalu ditanyakan lagi; "Apakah seorang mukmin bisa menjadi pembohong?" Beliau menjawab: "Tidak." (HR Malik)
Memang kebohongan dalam beberapa kondisi dimaklumi dalam Islam. Rasulullah SAW secara jelas menyebutkan beberapa kondisi tersebut, antara lain : menjaga hubungan suami istri, dalam peperangan yang merupakan strategi, maupun upaya mendamaikan kedua belah pihak yang berseteru. Selain tiga kasus di atas memang masih dimungkinkan legalnya kebohongan, asalkan disyaratkan dengan ketat sesuai kondisi realistisnya. Dalam kaidah kita juga mengenal : ad-dhoruroot tubiihu al-makhduroot, yaitu situasi yang mendesak (darurat) menjadikan sesuatu yang awalnya haram menjadi boleh dalam batas-batas tertentu. Ini sesuatu yang sama-sama kita pahami bukan ? Nah, dalam kasus diatas saya tidak melihat adanya sebuah kondisi yang mendesak dan bisa dipahami jika dilakukan sebuah manipulasi. Artinya, tanpa sebuah kebohongan pun situasi tetap akan berjalan normal. Nilai Rp 150 ribu tidak bisa menjadi alasan sebuah kebutuhan untuk jaman saat ini.
Ketiga, Apakah secara peraturan hal di atas adalah Korupsi ?
Korupsi di negeri kita terlalu banyak definisinya, bisa jadi hanya sebatas kesalahan wewenang, administrasi, dan lain sebagainya. Nah apakah kategori deal-deal antara dokter dan pasien dalam mark up biaya pengobatan untuk pengklaiman askes termasuk korupsi ? Jika iya maka setidaknya itu perlu dibuktikan dengan aturan perundangan yang ada, dan opini masyarakat secara umum. Saya nukil dua artikel yang mengungkapkan hal tersebut disini :
Artikel Pertama :
93 Kasus Korupsi Medis Dilaporkan KPK
Kapanlagi.com - Sebanyak 93 kasus korupsi bidang kesehatan yang melibatkan banyak dokter diadukan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sepanjang 2005, dan bahkan 11 dokter di antaranya telah dijadikan tersangka.
"Itu merupakan prestasi yang hebat dalam kasus korupsi, dan ironisnya melibatkan banyak dokter yang diadukan ke KPK," kata Sekjen KPK Dr Sugiri Syarif MPA dalam pidato Dies Natalis ke 60 Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Senin.
Ia menyebutkan di sebuah kabupaten berinisial Kabupaten K, polisi akan segera membuka kembali kasus dugaan "mark up" dana pengadaan peralatan medis di sebuah rumah sakit senilai Rp7,6 miliar, dan tersangkanya adalah dokter yang juga kepala rumah sakit setempat, serta dokter ahli yang telah merekomendasikan peralatan yang dibeli.
Modus operandi yang digunakan, kata dia, adalah dengan me-mark up nilai pembelian peralatan medis, sehingga negara dirugikan sebesar Rp4 miliar.
Disebutkan pula kasus lain yang melibatkan dokter yang terjadi di Kabupaten G. Direktur rumah sakit setempat adalah Dr AF, dan pimpinan proyek serta kepala bidang pelayanan medis rumah sakit itu dr TDW.
Mereka dijadikan tersangka karena melakukan mark up dalam pengadaan `CT Scan` pada 2002-2003, sehingga negara dirugikan Rp4,3 miliar.
Kasus lain, menurut dia, di kota S, dan di rumah sakit di kota itu muncul pengaduan penyalahgunaan dana Askes. Pengelola dana Askes dan dokter penanggungjawabnya dilaporkan telah melakukan manipulasi data dan jenis penyakit yang telah dilayani rumah sakit itu. Diperkirakan PT Askes dirugikan oleh tersangka Rp1,5 miliar.
Sementara itu, di Kota J, seorang dokter berinisial S juga dilaporkan telah melakukan KKN dengan produsen obat tertentu, karena setiap pasien selalu diberi obat dengan merk tertentu pula.
Ia mengatakan apabila kasus korupsi di bidang kesehatan tersebut dikelompokkan, sekitar 70 persen terjadi pada pengadaan barang dan jasa, 15 persen penyalahgunaan wewenang selaku pejabat di lingkungan kesehatan, dan dua persen penyalahgunaan profesi.
Selain itu, sekitar delapan persen mis-manajemen, dua persen pemerasaan, satu persen grativikasi, dan dua persen tidak termasuk korupsi.
Melihat data tersebut, kata dia, korupsi bagaikan penyakit kronis yang sulit disembuhkan, dan menjadi fenomena setiap organ pemerintah, serta menjalar ke semua aspek kehidupan. (*/rit)
Link sumber : http://berita.kapanlagi.com/hukum-kriminal/93-kasus-korupsi-medis-dilaporkan-kpk-7uq10wm_print.html
Artikel berikutnya, yang kedua :
Setali tiga uang, para pelaku penipuan dana Askes di RI.
Menteri Kesehatan RI, Siti Fadilah Supari pada Cosmo FM pagi ini berujar mengenai habisnya dana Askeskin untuk dibayarkan. Kala pada 2005 masih tersisa anggaran sebesar 1,8T, pada 2006 masih ada surplus sekitar 120M, gantian pada tahun kemarin defisit nyaris 2T!
Setelah diselidiki, ternyata terdapat banyak klaim yang tidak masuk akal. Sebagai studi kasusnya, sebuah rumah sakit kecil di Baubau, mengajukan tagihan hingga 2M per-bulannya. Padahal di rumah sakit tersebut jumlah pasien per-bulannya hanyalah sekitar 160-170 orang. Ini berarti rata-rata biaya pengobatan untuk seorang pasien di rumah sakit tersebut adalah 100 juta rupiah!
Selain dari biaya operasional yang di mark-up, ternyata untuk biaya pengobatan pun sama hal nya. Seorang pasien dalam satu kali pengobatan bisa mendapat hingga 7 macam antibiotik! (Padahal ia bukan penderita AIDS or something). Dan yang lucunya, obat-obatan tersebut ternyata bisa ditukarkan kembali dalam bentuk uang, di cabang-cabang Kimia Farma tertentu.
Dari sisi dokter pun idem; jika biaya untuk operasi usus buntu biasa adalah sebesar 2 juta rupiah, maka demi memperoleh ganti rugi yang lebih besar maka laporan administrasinya sedikit "diolah" menjadi operasi usus besar (sama-sama usus), yang nilainya sebesar 20 juta rupiah!
Dan asiknya, dari sisi masyarakatnya juga ternyata setali tiga uang; surat keterangan tidak mampu (STKM) bisa dengan mudah diperoleh di rumah sakit besar, termasuk di RSHS (Rumah Sakit Hasan Sadikin -- Bandung). Dimana menurut bu menteri, di halamannya saja sudah berkeliaran para calo STKM. Dengan STKM, maka para pasien yang tergolong mampu (atau setidaknya bukan miskin menurut standar nasional), bisa menghemat biaya pengobatan cukup besar. Katakanlah seorang penderita kanker yang harusnya membayar biaya sebesar 20 juta rupiah, maka dengan STKM biaya bisa disunat menjadi hanya 2 juta rupiah saja... dan 18 juta rupiah yang harusnya jadi jatah rakyat miskin pun akhirnya salah jurusan. Akibat permainan perijinan pada oknum pemerintahan dan pihak rumah sakit.
Pihak PT. ASKES, dalam hal ini juga harus bertanggung-jawab. Karena seperti ucapan bu menteri, Depkes membayar Askes untuk bertindak sebagai validator sah atau tidaknya (termasuk normal atau tidaknya) klaim yang diajukan para rumah sakit tersebut. Sedangkan sekarang, kelihatannya Askes hanya bertindak sebagai "juru bayar" saja, tanpa peduli apakah klaim yang diajukan benar atau tidak.
Melihat adanya kerjasama antara masyarakat mampu dan para penyeleweng STKM, Rumah Sakit dengan Kimia Farma dan Pemerintah Daerah yang korup, serta antara Rumah Sakit dan Askes, maka kesimpulan bu menteri pun cukup menyedihkan... rakyat kita ternyata masih sulit untuk menghindari korupsi.
Kenapa nggak bercermin aja pada sistem yang dipakai RRC, bahwa para koruptor akan diganjar hukuman pancung? Saya rasa kalau taruhannya nyawa, mungkin para penyeleweng itu akan bisa lebih disiplin? (bay)
Link sumber : http://kangbayu.multiply.com/journal/item/609
Setelah mencermati dua tulisan di atas, maka sungguh kengerian terbayang di hadapan kita. Inilah sesungguhnya satu dari sekian pekerjaan rumah di negeri ini, yaitu menghapus mental korupsi. Mental korupsi atau dalam istilah lain budaya korupsi ini –saya yakin – bukan domain aparat negara elit saja, bahkan di pelosok dalam pedesaan pun akan mudah kita temukan pengurus RT, RW atau bapak guru yang tergoda untuk bermain di wilayah ini. Maka kasus yang ditanyakan di atas seputar mark up biaya pengobatan, ternyata bukan lagi sekedar domain hati, antara tenang dan tidak tenang, atau domain syariah : antara halal dan harom, tetapi sungguh telah memasuki wilayah hukum, yaitu tindak pidana korupsi.
Keempat, secara dimensi akidah , jangan menggadaikan rasa syukur kita
Ini hal terakhir yang ingin saya tekankan, bahwa dibalik pengklaiman biaya pengobatan, mark up kwitansi dari angka 450ribu menjadi 750 ribu sesungguhnya ada perilaku ‘tidak bersyukur’ dengan nikmat kesehatan yang diberikan Allah kepada kita. Ini wilayah akidah dan keyakinan, yang seharusnya seorang mukmin tidak membuka ruang sedikitpun untuk terkotori dan ternodai. Secara sederhana, ia telah diberikan nikmat kesehatan oleh Allah SWT, maka sakit yang dideritanya pun bisa diobati dengan biaya 450 ribu rupiah. Maka dengan menuliskan 750 ribu, ia tidak mengakui nikmat kesehatan dengan biaya tadi , dan yang terjadi setelahnya adalah ‘berburuk sangka’ bahwa kesehatannya harus diobati sejumlah 750 ribu rupiah. Bagaimana jika buruk sangka tadi dikabulkan oleh Allah SWT ? Naudzubillah .
Saya ingin sebutkan sebuah kisah yang menarik dan sangat relevan dengan kasus di atas. Kisah nyata ini terjadi di zaman pemerintahan Hajjaj bin Yusuf, gubernur Irak yang terkenal kejam dan keras. Suatu ketika ia berpidato di depan banyak orang di ruangan terbuka yang menyengat. Kemudian saat tiba waktu sholat ada seorang pemuda yang berdiri, menginterupsi memintanya segera mengakhiri pidatonya. Hajjaj pun murka dan segera menyuruh prajuritnya untuk menggelandangnya ke penjara. Beberapa saat setelah itu, keluarga sang pemuda pun menghadap ke Hajjaj untuk meminta ia mengampuni dan membebaskan saudaranya tersebut. Mereka mengatakan bahwa pemuda tadi kurang waras dan hendaknya bisa di bebaskan. Hajjaj pun berkata : Baiklah, aku bebaskan ia dengan syarat bahwa ia mengakui bahwa ia gila atau kurang waras “
Maka keluarga pemuda tadi pun dengan penuh semangat mendatangi penjara, untuk menyampaikan kepad anya agar ia mengakui ketidakwarasannya agar segera keluar dari penjara yang kumuh tersebut. Namun apa kata sang pemuda ? Ia mengatakan dengan penuh ketegasan sekaligus ketulusan : “ Aku berlindung kepada Allah, bagaimana mungkin aku mengatakan bahwa Allah telah menguji aku dengan sakit ingatan, padahal Ia telah menganugerahkan kepadaku kesehatan (akal yang sempurna) ?. Pemuda itu sungguh tak mau mengakui bahwa ia telah gila. Ia tak sudi menggadaikan rasa syukurnya, bahkan dengan kebebasan dirinya sekalipun. Akhirnya, mendengar ucapan tulus sang pemuda, Hajjaj pun akhirnya membebaskannya.
Akhirnya, kepada sang pasien dimanapun anda berada, bersyukurlah dengan nikmat kesehatan yang saat ini kita dapatkan, dan jangan gadaikan rasa syukur tersebut dengan kenikmatan dunia yang bersifat sementara. Kepada para dokter, berusahalah menyembuhkan penyakit fisik pasien Anda, jangan tambahi dengan ‘penyakit hati’ dari jenis apapun itu. Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar