Nama beliau KH. Muhammad Dasuki, imam masjid Agung Surakarta. Hari ini Kamis, 14 April 2011 kami melepas kepergiannya menuju tempat peristirahatan terakhirnya di dunia. Beliau lahir padda tahun 1925, sehingga usia beliau mencapai 90-an tahun lebih, jauh di atas rata-rata usia umat Muhammad SAW. Salah seorang Kyai yang memberikan sambutan dalam upacara pelepasan jenazah di serambi Masjid Agung Surakarta menyebutkan, simbah kyai mirip yang disabdakan oleh Rasulullah SAW ,ketika ditanya sahabat siapakah orang yang terbaik : “ mereka yang panjang umurnya dan baik amalnya “ (HR Tirmidzi)
Memang hingga diakhir hidup beliau – sebelum terbaring sakit selama tiga pekan di RS PKU Muhammadiyah - , beliau masih senantiasa aktif menjadi imam di beberapa kali kesempatan sholat fardhu, dan juga mengajar pengajian baik di masjid agung maupun di lingkungan keraton. Dalam usianya yang lanjut dan langkahnya yang melambat, beliau senantiasa hadir tepat waktu dalam kesempatan sholat shubuh, dan bahkan menjadi imamnya. Di masjid Agung sendiri saat ini telah disiapkan sejumlah imam lainnya para huffadz yang lebih muda untuk menggantikan beliau di saat-saat tertentu.
Jabatan beliau sebagai Imam Masjid Agung dimulai pada tahun 1986 ketika beliau memulai masa pensiun sebagai kepala Kantor Urusan Agama di Surakarta. Saat itu beliau diminta bantuan oleh pihak Keraton untuk menikahkan salah satu keluarga keraton. Kemudian setelah acara selesai, Sinuwun PB XII meminta beliau menjadi imam di masjid Keraton dan masjid Agung. Jabatan imam ini dalam struktur kraton adalah jabatan resmi, maka beliau pun menyandang gelar KRHT (Kanjeng Raden Haryo Tumenggung) Tafsir Anom. Beliau adalah penghulu Tafsir Anom ke 22 Keraton Surakarta Hadiningrat. Sehingga posisi beliau dalam sebuah struktur pemerintahan layaknya Menteri Agama atau ketua MUI nya. Maka setelah itu kegiatan beliau pun bertambah, baik mengisi pengajian di dalam keraton maupun di masjid agung. Ilmu agama yang beliau serap di Mamba’ul Ulum pun menunjang aktifitas dakwah dan peran beliau selama ini.
KH Abdur Rozaq al Hafidz (64 tahun) ikut menambah kenangan dalam sambutannya pagi tadi. Ia mengenang ketika beliau duduk di SD Jamaatul ikhwan, yang mengajarkan beliau Ilmu Tajwid adalah KH Muhammad Dasuki. Beliau dikenal sangat tegas dalam mengajarkan ilmu tajwid. Sebagai salah satu ukurannya, setiap kali mengajar beliau membawa penggaris dimana ketika murid-murid diminta melafalkan huruf hamzah, maka penggaris beliau segera arahkan ke mulut para siswa agar benar-benar membuka mulut dalam melafalkan hamzah. Sungguh suatu bentuk keseriusan dalam pengajaran Al-Quran, dan itu berlaku terus hingga akhir hidupnya. Rasulullah SAW sendiri memuji mereka yang teguh mengajarkan Al-Quran : “ Sebaik-baik kamu adalah yang belajar al-Quran dan mengajarkannya”
Saya sendiri sebagai pendatang baru di kota Solo, baru mengenal beliau sejak empat tahun yang lampau, sekitar tahun 2007 ketika saya mulai aktif mengisi pengajian di Masjid Agung Surakarta. Saya mengisi pengajian rutin tiap Ahad Pekan ke 2 dan 4, serta Kuliah Shubuh setiap Kamis Pekan 1 dan 3. Pertama kali mengisi saat kuliah Shubuh di Masjid Agung, setelah selesai kajian saya pun bersalaman dengan beliau, dan nampaknya karena saya adalah orang baru yang belum dikenalnya, juga karena usia yang terlihat sangat muda, maka beliaupun dengan bijak men-fit and proper test – saya. Beliau menanyai saya hal-hal sederhana tentang latar belakang saya, misalnya tinggal dimana, sudah menikah belum, berapa anaknya, dan semua itu ditanyakan dengan menggunakan bahasa Arab yang fasih !. Saya pun menjawab dengan penuh takzim, karena saya sendiri merasa di Masjid Agung Surakarta ini mestinya saya masih layak menjadi seorang santrinya, bukan malah ikut mengisi pengajian rutinnya.
Tentu hal yang sungguh berkesan di hati saya adalah, dalam setiap kesempatan mengisi kuliah shubuh di masjid Agung, beliau senantiasa menyempatkan diri untuk hadir dan ikut menyimak. Begitu pula beberapa kyai sepuh lainnya seperti KH Nafi Taslim dan yang lainnya. Mereka semua hadir untuk menyimak anak bawang ini, menunjukkan kerendahan hati dan ketawadhukan yang luar biasa. Sementara ilmu dan pengalaman mereka teramat jauh di atas saya. Kenangan yang lain adalah bagaimana setelah beliau menjadi imam sholat shubuh, maka beliau pun memimpin doa yang sungguh teramat panjang bagi ukuran kebanyakan. Ini menunjukkan ukuran dhohir kedekatan beliau kepada Allah SWT.
Tepat pukul 09.45, setelah disholatkan ratusan kaum muslimin di Masjid Agung Surakarta, iring-iringan itu pun bergerak, mengantarkan beliau menuju makam keluarganya di Klaten. Allahummaghfirlahu warhamhu. Selamat jalan simbah kyai.
Memang hingga diakhir hidup beliau – sebelum terbaring sakit selama tiga pekan di RS PKU Muhammadiyah - , beliau masih senantiasa aktif menjadi imam di beberapa kali kesempatan sholat fardhu, dan juga mengajar pengajian baik di masjid agung maupun di lingkungan keraton. Dalam usianya yang lanjut dan langkahnya yang melambat, beliau senantiasa hadir tepat waktu dalam kesempatan sholat shubuh, dan bahkan menjadi imamnya. Di masjid Agung sendiri saat ini telah disiapkan sejumlah imam lainnya para huffadz yang lebih muda untuk menggantikan beliau di saat-saat tertentu.
Jabatan beliau sebagai Imam Masjid Agung dimulai pada tahun 1986 ketika beliau memulai masa pensiun sebagai kepala Kantor Urusan Agama di Surakarta. Saat itu beliau diminta bantuan oleh pihak Keraton untuk menikahkan salah satu keluarga keraton. Kemudian setelah acara selesai, Sinuwun PB XII meminta beliau menjadi imam di masjid Keraton dan masjid Agung. Jabatan imam ini dalam struktur kraton adalah jabatan resmi, maka beliau pun menyandang gelar KRHT (Kanjeng Raden Haryo Tumenggung) Tafsir Anom. Beliau adalah penghulu Tafsir Anom ke 22 Keraton Surakarta Hadiningrat. Sehingga posisi beliau dalam sebuah struktur pemerintahan layaknya Menteri Agama atau ketua MUI nya. Maka setelah itu kegiatan beliau pun bertambah, baik mengisi pengajian di dalam keraton maupun di masjid agung. Ilmu agama yang beliau serap di Mamba’ul Ulum pun menunjang aktifitas dakwah dan peran beliau selama ini.
KH Abdur Rozaq al Hafidz (64 tahun) ikut menambah kenangan dalam sambutannya pagi tadi. Ia mengenang ketika beliau duduk di SD Jamaatul ikhwan, yang mengajarkan beliau Ilmu Tajwid adalah KH Muhammad Dasuki. Beliau dikenal sangat tegas dalam mengajarkan ilmu tajwid. Sebagai salah satu ukurannya, setiap kali mengajar beliau membawa penggaris dimana ketika murid-murid diminta melafalkan huruf hamzah, maka penggaris beliau segera arahkan ke mulut para siswa agar benar-benar membuka mulut dalam melafalkan hamzah. Sungguh suatu bentuk keseriusan dalam pengajaran Al-Quran, dan itu berlaku terus hingga akhir hidupnya. Rasulullah SAW sendiri memuji mereka yang teguh mengajarkan Al-Quran : “ Sebaik-baik kamu adalah yang belajar al-Quran dan mengajarkannya”
Saya sendiri sebagai pendatang baru di kota Solo, baru mengenal beliau sejak empat tahun yang lampau, sekitar tahun 2007 ketika saya mulai aktif mengisi pengajian di Masjid Agung Surakarta. Saya mengisi pengajian rutin tiap Ahad Pekan ke 2 dan 4, serta Kuliah Shubuh setiap Kamis Pekan 1 dan 3. Pertama kali mengisi saat kuliah Shubuh di Masjid Agung, setelah selesai kajian saya pun bersalaman dengan beliau, dan nampaknya karena saya adalah orang baru yang belum dikenalnya, juga karena usia yang terlihat sangat muda, maka beliaupun dengan bijak men-fit and proper test – saya. Beliau menanyai saya hal-hal sederhana tentang latar belakang saya, misalnya tinggal dimana, sudah menikah belum, berapa anaknya, dan semua itu ditanyakan dengan menggunakan bahasa Arab yang fasih !. Saya pun menjawab dengan penuh takzim, karena saya sendiri merasa di Masjid Agung Surakarta ini mestinya saya masih layak menjadi seorang santrinya, bukan malah ikut mengisi pengajian rutinnya.
Tentu hal yang sungguh berkesan di hati saya adalah, dalam setiap kesempatan mengisi kuliah shubuh di masjid Agung, beliau senantiasa menyempatkan diri untuk hadir dan ikut menyimak. Begitu pula beberapa kyai sepuh lainnya seperti KH Nafi Taslim dan yang lainnya. Mereka semua hadir untuk menyimak anak bawang ini, menunjukkan kerendahan hati dan ketawadhukan yang luar biasa. Sementara ilmu dan pengalaman mereka teramat jauh di atas saya. Kenangan yang lain adalah bagaimana setelah beliau menjadi imam sholat shubuh, maka beliau pun memimpin doa yang sungguh teramat panjang bagi ukuran kebanyakan. Ini menunjukkan ukuran dhohir kedekatan beliau kepada Allah SWT.
Tepat pukul 09.45, setelah disholatkan ratusan kaum muslimin di Masjid Agung Surakarta, iring-iringan itu pun bergerak, mengantarkan beliau menuju makam keluarganya di Klaten. Allahummaghfirlahu warhamhu. Selamat jalan simbah kyai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar