Dari Abu Said Al Khudri, seorang bertanya pada Rasulullah SAW : Wahai Rasulullah! Manusia bagaimanakah yang paling utama?” Rasulullah SAW menjawab: “Seorang mu’min yang berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan hartanya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits di atas dan juga banyak dalil lainnya menegaskan tentang keutamaan jihad, sebagai salah satu dari puncak ibadah yang disyariatkan Islam. Seorang mukmin semestinya tidak perlu ragu dan takut untuk meyakini bahwa jihad adalah bagian ibadah dalam Islam.
Namun memang permasalahan tidak sesederhana itu. Perkembangan zaman dan kondisi menjadikan banyak upaya untuk mengaburkan makna jihad sebagai sebuah ibadah. Bahkan yang terkini sebagaimana kita ketahui, kata ‘jihad’ menjadi sesuatu yang ditakuti dan diidentikan dengan terorisme. Meskipun sesungguhnya keduanya tidak mempunyai hubungan sama sekali, namun pandangan masyarakat umum – yang digiring oleh pandangan media pro barat- menjadi salah paham dengan syariat Jihad dalam Islam. Kita sebagai muslim berkewajiban untuk menelaah, mengkaji lebih mendalam tentang makna jihad sesungguhnya, agar tidak mudah dikooptasi dengan pandangan dan pemikiran mereka yang sejak awal membenci Islam.
Mari kita mulai dengan melihat pengertian Jihad terlebih dahulu. Dalam Fiqh Sunnah disebutkan pengertian Jihad secara bahasa : di ambil dari kata Al Juhdu yaitu kuasa (Ath Thaqah) dan kesempitan/kepayahan (Al Masyaqqah). Imam Abdurrahman Syaikhi Zaadah mengungkapkan : “Secara bahasa, jihad bermakna pengerahan segenap potensi dengan ucapan dan perbuatan.”
Adapun dalam terminologi fiqh, para fuqoha mendefinisikan jihad sebagai upaya mengerahkan segenap kekuatan dalam perang fi sabilillah secara langsung maupun memberikan bantuan keuangan, pendapat, atau perbanyakan logistik, dan lain-lain (untuk memenangkan pertempuran). Karena itu, perang dalam rangka meninggikan kalimat Allah itulah yang disebut dengan jihad. (Hasiyah Ibnu Abidin)
Nampaknya, pemaknaan secara bahasa dan terminologi ini menghasilkan ragam pemaknaan yang berbeda di tengah umat Islam sejak lama. Belum lagi jika kemudian ada kepentingan-kepentingan tertentu yang membuat penafsiran berbeda-beda tentang makna Jihad. Dr. Yusuf Qardhawi dalam buku monumentalnya yang terbaru : Fiqh Jihad, meringkas tiga pandangan yang berbeda tentang Jihad, masing-masing sebagai berikut.
Pertama : Yaitu golongan yang ingin menaburi debu di atas makna jihad, sehingga menjadi tertutupi dan kabur pemaknaannya. Mereka ingin menggugurkan dan menghapus jihad dalam kehidupan kaum muslimin. Prioritas ibadah yang sering didengungkan adalah : menjaga nilai-nilai spiritualitas (ruhiyah) dan kemuliaan akhlak, dan menganggap dua hal tersebut sebagai jihad akbar yaitu meliputi jihad nafs dan jihad syaiton. Sesungguhnya pemikiran ini terbantahkan dengan kenyataan dilapangan bagaimana banyak tokoh-tokoh sufi yang juga tampil berjihad sebagaimana : Syeikh Umar Mohtar di Libya dan Amir Abdul Qodir di AlJazair.
Sayang sekali, pemikiran semacam ini sangat sesuai dengan yang diinginkan oleh pejuang sekulerisme dari barat dan kaum orientalis. Merekalah yang sejak awal mengingkan umat ini berlepas dari jihad dan menyibukkan diri dengan ibadah di masjid. Hal semacam ini bagaikan melepas senjata dalam diri umat Islam dan membiarkannya tanpa kekuatan dihadapan musuh-musuhnya.
Kedua : Kebalikan dari golongan pertama, golongan ini memahami jihad sebagai pengumuman perang kepada seluruh alam. Maka mereka menyamakan antara memerangi pihak yang menyerang kaum muslimin dan menghalangi dakwahnya, dengan mereka yang berdamai dan hidup bersama kaum muslimin. Bagi mereka bahwa kekafiran cukup menjadi sebab wajibnya diperangi ketika kaum muslimin punya kemampuan untuk itu. Golongan ini menyatakan bahwa ayat-ayat tentang toleransi, sabar, dakwah dan perdamaian yang jumlahnya lebih dari 140-an ayat, telah dihapus hukumnya (mansukh) dengan satu ayat yang disebut dengan ayat pedang yaitu At-Taubah 5.
Mereka meyakini bahwa Islam disebarkan dengan perang dan pedang, maka ini menjadi amunisi segar bagai para orientalis dan barat untuk semakin membombardir Islam dengan tuduhan-tuduhan sebagai agama kekerasan. Pemahaman yang terlalu sempit ini kemudian banyak mengobarkan kekacauan di beberapa tempat yang tidak semestinya menjadi kacau. Banyak pemuda yang ikhlas dan bersemangat terjebak dalam pemahaman ini dan akhirnya meninggalkan keluarga dan masyarakatnya. Golongan ini bersikap tegas dalam menyuarakan sikap dan pemahamannya ini, bahkan terkadang meremehkan dan melecehkan para ulama yang berusaha menasehatinya.
Pemahaman ini kemudian membuahkan pengaruh yang buruk bagi kaum muslimin secara umum, yaitu ketika korban yang muncul dari kekacauan yang dibuat justru adalah masyarakat sipil yang tak berdosa, dan tidak ada hubungannya dengan musuh-musuh Islam sekalipun. Akibat aktifitas inilah kemudian banyak yang menempelkan stigma terorisme pada Islam dan kaum muslimin.
Ketiga : Golongan ini menjadi penengah antara yang pertama dan kedua, yaitu memahami jihad secara lebih moderat dan pertengahan (wasathiyah). Tidak terjebak dalam pengkaburan dan pengguguran makna jihad dalam tubuh kaum muslimin, dan juga tidak terperangkap dalam pemahaman yang terlampau sempit dalam memaknai jihad. Golongan ini setelah melihat ragam makna jihad yang tertuang dalam dalil-dali Quran dan Sunnah, lalu berupaya menyelaraskan dengan kondisi realitas terkini. Golongan ini melihat bahwa jihad tidak senantiasa berarti perang, bergantung dengan kondisi dan situasi yang ada dan memungkinkan. Karena saat ini ‘pertarungan’ hak dan batil tidak lagi sekedar bersenjatakan pedang dan alat perang lainnya, namun juga melalui stasiun televisi, radio, situs internet, sosial media dan lain sebagainya, maka inilah medan jihad terkini sesuai dengan situasi dan perkembangan zaman. Tentu saja pemahaman ini tidak menutup adanya jihad qital dalam menegakkan kalimatullah di muka bumi ini.
bersambung Bagian 2 klik disini
Namun memang permasalahan tidak sesederhana itu. Perkembangan zaman dan kondisi menjadikan banyak upaya untuk mengaburkan makna jihad sebagai sebuah ibadah. Bahkan yang terkini sebagaimana kita ketahui, kata ‘jihad’ menjadi sesuatu yang ditakuti dan diidentikan dengan terorisme. Meskipun sesungguhnya keduanya tidak mempunyai hubungan sama sekali, namun pandangan masyarakat umum – yang digiring oleh pandangan media pro barat- menjadi salah paham dengan syariat Jihad dalam Islam. Kita sebagai muslim berkewajiban untuk menelaah, mengkaji lebih mendalam tentang makna jihad sesungguhnya, agar tidak mudah dikooptasi dengan pandangan dan pemikiran mereka yang sejak awal membenci Islam.
Mari kita mulai dengan melihat pengertian Jihad terlebih dahulu. Dalam Fiqh Sunnah disebutkan pengertian Jihad secara bahasa : di ambil dari kata Al Juhdu yaitu kuasa (Ath Thaqah) dan kesempitan/kepayahan (Al Masyaqqah). Imam Abdurrahman Syaikhi Zaadah mengungkapkan : “Secara bahasa, jihad bermakna pengerahan segenap potensi dengan ucapan dan perbuatan.”
Adapun dalam terminologi fiqh, para fuqoha mendefinisikan jihad sebagai upaya mengerahkan segenap kekuatan dalam perang fi sabilillah secara langsung maupun memberikan bantuan keuangan, pendapat, atau perbanyakan logistik, dan lain-lain (untuk memenangkan pertempuran). Karena itu, perang dalam rangka meninggikan kalimat Allah itulah yang disebut dengan jihad. (Hasiyah Ibnu Abidin)
Nampaknya, pemaknaan secara bahasa dan terminologi ini menghasilkan ragam pemaknaan yang berbeda di tengah umat Islam sejak lama. Belum lagi jika kemudian ada kepentingan-kepentingan tertentu yang membuat penafsiran berbeda-beda tentang makna Jihad. Dr. Yusuf Qardhawi dalam buku monumentalnya yang terbaru : Fiqh Jihad, meringkas tiga pandangan yang berbeda tentang Jihad, masing-masing sebagai berikut.
Pertama : Yaitu golongan yang ingin menaburi debu di atas makna jihad, sehingga menjadi tertutupi dan kabur pemaknaannya. Mereka ingin menggugurkan dan menghapus jihad dalam kehidupan kaum muslimin. Prioritas ibadah yang sering didengungkan adalah : menjaga nilai-nilai spiritualitas (ruhiyah) dan kemuliaan akhlak, dan menganggap dua hal tersebut sebagai jihad akbar yaitu meliputi jihad nafs dan jihad syaiton. Sesungguhnya pemikiran ini terbantahkan dengan kenyataan dilapangan bagaimana banyak tokoh-tokoh sufi yang juga tampil berjihad sebagaimana : Syeikh Umar Mohtar di Libya dan Amir Abdul Qodir di AlJazair.
Sayang sekali, pemikiran semacam ini sangat sesuai dengan yang diinginkan oleh pejuang sekulerisme dari barat dan kaum orientalis. Merekalah yang sejak awal mengingkan umat ini berlepas dari jihad dan menyibukkan diri dengan ibadah di masjid. Hal semacam ini bagaikan melepas senjata dalam diri umat Islam dan membiarkannya tanpa kekuatan dihadapan musuh-musuhnya.
Kedua : Kebalikan dari golongan pertama, golongan ini memahami jihad sebagai pengumuman perang kepada seluruh alam. Maka mereka menyamakan antara memerangi pihak yang menyerang kaum muslimin dan menghalangi dakwahnya, dengan mereka yang berdamai dan hidup bersama kaum muslimin. Bagi mereka bahwa kekafiran cukup menjadi sebab wajibnya diperangi ketika kaum muslimin punya kemampuan untuk itu. Golongan ini menyatakan bahwa ayat-ayat tentang toleransi, sabar, dakwah dan perdamaian yang jumlahnya lebih dari 140-an ayat, telah dihapus hukumnya (mansukh) dengan satu ayat yang disebut dengan ayat pedang yaitu At-Taubah 5.
Mereka meyakini bahwa Islam disebarkan dengan perang dan pedang, maka ini menjadi amunisi segar bagai para orientalis dan barat untuk semakin membombardir Islam dengan tuduhan-tuduhan sebagai agama kekerasan. Pemahaman yang terlalu sempit ini kemudian banyak mengobarkan kekacauan di beberapa tempat yang tidak semestinya menjadi kacau. Banyak pemuda yang ikhlas dan bersemangat terjebak dalam pemahaman ini dan akhirnya meninggalkan keluarga dan masyarakatnya. Golongan ini bersikap tegas dalam menyuarakan sikap dan pemahamannya ini, bahkan terkadang meremehkan dan melecehkan para ulama yang berusaha menasehatinya.
Pemahaman ini kemudian membuahkan pengaruh yang buruk bagi kaum muslimin secara umum, yaitu ketika korban yang muncul dari kekacauan yang dibuat justru adalah masyarakat sipil yang tak berdosa, dan tidak ada hubungannya dengan musuh-musuh Islam sekalipun. Akibat aktifitas inilah kemudian banyak yang menempelkan stigma terorisme pada Islam dan kaum muslimin.
Ketiga : Golongan ini menjadi penengah antara yang pertama dan kedua, yaitu memahami jihad secara lebih moderat dan pertengahan (wasathiyah). Tidak terjebak dalam pengkaburan dan pengguguran makna jihad dalam tubuh kaum muslimin, dan juga tidak terperangkap dalam pemahaman yang terlampau sempit dalam memaknai jihad. Golongan ini setelah melihat ragam makna jihad yang tertuang dalam dalil-dali Quran dan Sunnah, lalu berupaya menyelaraskan dengan kondisi realitas terkini. Golongan ini melihat bahwa jihad tidak senantiasa berarti perang, bergantung dengan kondisi dan situasi yang ada dan memungkinkan. Karena saat ini ‘pertarungan’ hak dan batil tidak lagi sekedar bersenjatakan pedang dan alat perang lainnya, namun juga melalui stasiun televisi, radio, situs internet, sosial media dan lain sebagainya, maka inilah medan jihad terkini sesuai dengan situasi dan perkembangan zaman. Tentu saja pemahaman ini tidak menutup adanya jihad qital dalam menegakkan kalimatullah di muka bumi ini.
bersambung Bagian 2 klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar