Berawal dari sebuah keraguan.
Saya ragu bahwa banyak orang yang telah menikah masih sempat memaknai arti romantis. Bayangkan saja, setiap hari mereka akan berhadapan dengan banyak urusan. Entah pekerjaan, keuangan, kondisi rumah yang berantakan, atau juga pendidikan dan perawatan anak-anak. Di tengah itu semua, nyaris yang ada hanya aktifitas-aktifitas rutin yang statis. Pandangan dan senyuman dari pasangan kita menjadi tidak terlalu berharga. Terlewatkan setiap hari begitu saja. Kalau ada satu dua ciuman, biasanya di akhir pekan yang melelahkan. Nyaris tak berkesan.Lantas, kemana gerangan perginya senyum, lirikan dan sentuhan manja yang dulu pernah ada ? Adakah bergantinya siang dan malam telah menggerogoti cinta ? Wallahu a’lam
Berawal dari sebuah keraguan.
Saya ragu bahwa teman-teman saya mampu dan berani untuk romantis. Sebab kebanyakan dari mereka –para aktifis dakwah- adalah sosok-sosok yang tampil garang saat berdemonstrasi, serta mempunyai mobilitas dan semangat tinggi dalam beraktifitas. Sementara sebagian yang lainnya adalah sosok-sosok yang lembut, santun, khusyuk dengan wajah teduh yang khas. Saya ragu kalau mereka mau atau sempat beromantis ria dengan pasangannya sekarang ini atau kelak ketika menikah. Mendengar istilah romantis saja mungkin terasa asing bahkan cenderung phobi.
Yang saya tahu, romantis bagi sebagian dari mereka dipahami cenderung ke arah cengeng, melankolis, atau bahkan ikut-ikutan gaya barat. Belum lagi untuk para aktifis yang mempunyai jam terbang tinggi ; Romantis ? Hmm.. mana sempat akh ?
Dari keraguan-keraguan diatas, lalu pertanyaan singgah dalam benak saya : Romantis itu sebenarnya apa dan milik siapa ? Maka mulailah saya berusaha mencari jawaban yang tepat untuk hal itu. Semoga.
bersambung Bagian Kedua
Saya ragu bahwa banyak orang yang telah menikah masih sempat memaknai arti romantis. Bayangkan saja, setiap hari mereka akan berhadapan dengan banyak urusan. Entah pekerjaan, keuangan, kondisi rumah yang berantakan, atau juga pendidikan dan perawatan anak-anak. Di tengah itu semua, nyaris yang ada hanya aktifitas-aktifitas rutin yang statis. Pandangan dan senyuman dari pasangan kita menjadi tidak terlalu berharga. Terlewatkan setiap hari begitu saja. Kalau ada satu dua ciuman, biasanya di akhir pekan yang melelahkan. Nyaris tak berkesan.Lantas, kemana gerangan perginya senyum, lirikan dan sentuhan manja yang dulu pernah ada ? Adakah bergantinya siang dan malam telah menggerogoti cinta ? Wallahu a’lam
Berawal dari sebuah keraguan.
Saya ragu bahwa teman-teman saya mampu dan berani untuk romantis. Sebab kebanyakan dari mereka –para aktifis dakwah- adalah sosok-sosok yang tampil garang saat berdemonstrasi, serta mempunyai mobilitas dan semangat tinggi dalam beraktifitas. Sementara sebagian yang lainnya adalah sosok-sosok yang lembut, santun, khusyuk dengan wajah teduh yang khas. Saya ragu kalau mereka mau atau sempat beromantis ria dengan pasangannya sekarang ini atau kelak ketika menikah. Mendengar istilah romantis saja mungkin terasa asing bahkan cenderung phobi.
Yang saya tahu, romantis bagi sebagian dari mereka dipahami cenderung ke arah cengeng, melankolis, atau bahkan ikut-ikutan gaya barat. Belum lagi untuk para aktifis yang mempunyai jam terbang tinggi ; Romantis ? Hmm.. mana sempat akh ?
Dari keraguan-keraguan diatas, lalu pertanyaan singgah dalam benak saya : Romantis itu sebenarnya apa dan milik siapa ? Maka mulailah saya berusaha mencari jawaban yang tepat untuk hal itu. Semoga.
bersambung Bagian Kedua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar