Setiap kali memasuki Rajab, kita biasanya akan kembali mendengar sebuah doa yang sangat populer, baik melalui SMS, ataupun langsung dari penceramah dan muballigh. Sebuah doa yang menyiratkan kerinduan akan romadhon, doa tersebut adalah :
Doa tersebut banyak disandarkan dari Rasulullah SAW, dan dinyatakan sebagai kebiasaan Rasulullah SAW ketika memasuki bulan Rajab. Hadits yang memuat doa tersebut bertebaran di banyak kitab hadits, namun memang tidak didukung dengan kekuatan sanad yang baik. Beberapa perawi yang meriwayatkan lafadz doa tersebut antara lain : Imam Ahmad dalam Musnadnya , Ibn Sunny dalam “Amal Yaumi wal Lailah” , Imam Baihaqiy dalam Syu’abul Iman , Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, dan AlBazar dalam Musnadnya.
Meskipun ada di beberapa kitab hadits, tetapi sanadnya tidak kuat, khususnya yang ada pada riwayat Imam Ahmad, dimana ada dua nama perawi masing-masing : Zaidah bin Abi Roqid dan Ziyad bin Abdullah, yang dilemahkan oleh imam ahlu hadits. Bahkan tentang Zaidah, seorang imam Bukhori pun menyatakan dengan lugas bahwa ia seorang munkarul hadits.
Hasil akhir penilaian para ulama memang menghukumi bahwa hadits ini adalah lemah sanadnya. Tak kurang Imam An-Nawawi dalam al Adzkar , adz Dzahabi didalam “Al Mizan” dan , Syeikh Ahmad Syakir, Syuaib al-Arnauth, dan Syeikh Albani menyebutkan hal yang sama dan tak jauh berbeda tentang lemahnya sanad hadits ini.
Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana dengan fenomena tersebarnya hadits tersebut dan hukum mengamalkannya ? Saya yakin hal ini menjadi pertanyaan sebagian besar mereka yang mempunyai semangat keislaman tinggi, serta penjagaan atas orisinalitas dalam hal ibadah. Untuk menjawab hal tersebut, setidaknya ada tiga hal yang bisa kita bahas secara objektif :
Pertama : Tentang Kebolehan Amal dengan Hadits Dhoif
Dalam khazanah pemikiran Islam, hadits dhoif tidak lantas kemudian ditinggalkan begitu saja dan menjadi tidak berguna begitu saja. Namun bisa digunakan khususnya terkait fadhoilul amal, motivasi (targhib dan tarhib), bukan dalam masalah halal haram apalagi keyakinan. Dalam hal ini memang ada perbedaan pandangan di antara ulama. Imam Nawawi dan sebagian ahlu hadits dan fuqoha yang lain memandang kebolehan menggunakan hadits dhoif dalam fadhoil amal.
Ibnu Hajar juga memperbolehkan untuk mengamalkan hadits dhaif dalam bidang targhib dan tarhib, tentu saja dengan syarat yang cukup selektif antara lain : tidak diriwayatkan oleh perawi yang pendusta, bukan termasuk amal perbuatan yang sama sekali tidak mempunyai asal/dasar, dan hendaknya dilakukan dengan tanpa meyakini bahwa hal tersebut adalah diperbuat oleh Rasulullah SAW.
Dengan keterangan di atas, maka melafalkan hadits doa bulan Rajab adalah boleh, sepanjang kita tidak meyakini bahwa hal tersebut benar-benar diucapkan oleh Rasulullah SAW, dan yang terpenting adalah memahami makna yang terkandung di dalamnya, sebagai bentuk motivasi dan pengingatan diri kita akan datangnya Ramadhan. Dan yang jelas, ketika menyampaikan kepada orang lain, hendaknya juga kita tekankan hal tersebut ; bahwa dari sisi riwayat hadits ini lemah, namun dari sisi makna harus kita ambil pelajaran dan motivasinya.
Kedua : Merindukan Ramadhan dengan Doa Mutlak dan Persiapan Amal
Secara riwayat, hadits tentang doa di atas memang lemah. Namun kita semua pasti sepakat bahwa apa yang terkandung di dalamnya adalah kuat secara makna. Bagaimana tidak ? doa tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah gambaran sekaligus anjuran bagaimana kita menyambut dan merindukan ramadhan, bahkan lebih jauh lagi menyiapkan diri dan banyak hal untuk menyambut kedatangan bulan mulia tersebut.
Maka hal inilah yang harus senantiasa kita utamakan dan ambil inspirasinya. Tidak hanya terjebak dalam lafal doa semata tanpa kesiapan riil dalam amal dan perbuatan. Syeikh Abdul Karim bin Abdulah al-Khudair pernah ditanya tentang seorang yang berdoa dengan “ Allahuma bariklana fi rojab wa sya’ban wa ballighna romadhon “. Maka beliau menjawab dengan tenang : Semoga Allah memberikan pahala kepadanya. Memang hadits (doa) ini tidak kuat, namun jika seorang muslim berdoa kepada Allah SWT agar menyampaikannya bulan Ramadhan, dan memberikan taufiq dalam mengamalkan puasa dan tarawih di dalamnya, dan mendapatkan lailatul qadar, atau berdoa dengan doa mutlak yang lainnya. Maka hal ini insya Allah boleh dan tidak mengapa.
Ibnu Rojab masih dalam kitab yang sama, ketika menjelaskan hadits di atas memberikan pelajaran agung kepada kita : Dalam hadits ini terdapat dalil tentang anjuran berdoa minta panjang usia agar mendapati waktu-waktu yang mulia, agar dapat menjalankan amal sholih di dalamnya. Sesungguhnya seorang muslim tidaklah bertambah usianya kecuali untuk kebaikan, dan sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya dan banyak amalnya.
Akhirnya, marilah kita tidak terjebak dalam lafadz doa hadits di atas. Yang mengamalkannya hendaknya mengetahui sejauh mana keyakinannya akan kekuatan hadits tersebut. Yang tidak sepakat, hendaknya menyadari ini wilayah perbedaan pendapat ulama sehingga sikap toleransi dan menghormati harus dijunjung tinggi. Dan yang lebih baik dari itu semua, menyiapkan diri dan semangat untuk memasuki ramadhan, tidak hanya dengan lafal doa saja, dan jika pun kita berdoa, maka bisa dengan rangkaian doa mutlak dan umum agar diberikan kesempatan dan kekuatan dalam memasuki bulan Ramadhan yang mulia. Wallahu a’lam.
Semoga bermanfaat dan salam optimis.
اللهم بارك لنا في رجب وشعبان وبلغنا رمضان
“Ya Alloh berkahilah kami dibulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikanlah kami kepada Bulan Ramadhan”Doa tersebut banyak disandarkan dari Rasulullah SAW, dan dinyatakan sebagai kebiasaan Rasulullah SAW ketika memasuki bulan Rajab. Hadits yang memuat doa tersebut bertebaran di banyak kitab hadits, namun memang tidak didukung dengan kekuatan sanad yang baik. Beberapa perawi yang meriwayatkan lafadz doa tersebut antara lain : Imam Ahmad dalam Musnadnya , Ibn Sunny dalam “Amal Yaumi wal Lailah” , Imam Baihaqiy dalam Syu’abul Iman , Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, dan AlBazar dalam Musnadnya.
Meskipun ada di beberapa kitab hadits, tetapi sanadnya tidak kuat, khususnya yang ada pada riwayat Imam Ahmad, dimana ada dua nama perawi masing-masing : Zaidah bin Abi Roqid dan Ziyad bin Abdullah, yang dilemahkan oleh imam ahlu hadits. Bahkan tentang Zaidah, seorang imam Bukhori pun menyatakan dengan lugas bahwa ia seorang munkarul hadits.
Hasil akhir penilaian para ulama memang menghukumi bahwa hadits ini adalah lemah sanadnya. Tak kurang Imam An-Nawawi dalam al Adzkar , adz Dzahabi didalam “Al Mizan” dan , Syeikh Ahmad Syakir, Syuaib al-Arnauth, dan Syeikh Albani menyebutkan hal yang sama dan tak jauh berbeda tentang lemahnya sanad hadits ini.
Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana dengan fenomena tersebarnya hadits tersebut dan hukum mengamalkannya ? Saya yakin hal ini menjadi pertanyaan sebagian besar mereka yang mempunyai semangat keislaman tinggi, serta penjagaan atas orisinalitas dalam hal ibadah. Untuk menjawab hal tersebut, setidaknya ada tiga hal yang bisa kita bahas secara objektif :
Pertama : Tentang Kebolehan Amal dengan Hadits Dhoif
Dalam khazanah pemikiran Islam, hadits dhoif tidak lantas kemudian ditinggalkan begitu saja dan menjadi tidak berguna begitu saja. Namun bisa digunakan khususnya terkait fadhoilul amal, motivasi (targhib dan tarhib), bukan dalam masalah halal haram apalagi keyakinan. Dalam hal ini memang ada perbedaan pandangan di antara ulama. Imam Nawawi dan sebagian ahlu hadits dan fuqoha yang lain memandang kebolehan menggunakan hadits dhoif dalam fadhoil amal.
Ibnu Hajar juga memperbolehkan untuk mengamalkan hadits dhaif dalam bidang targhib dan tarhib, tentu saja dengan syarat yang cukup selektif antara lain : tidak diriwayatkan oleh perawi yang pendusta, bukan termasuk amal perbuatan yang sama sekali tidak mempunyai asal/dasar, dan hendaknya dilakukan dengan tanpa meyakini bahwa hal tersebut adalah diperbuat oleh Rasulullah SAW.
Dengan keterangan di atas, maka melafalkan hadits doa bulan Rajab adalah boleh, sepanjang kita tidak meyakini bahwa hal tersebut benar-benar diucapkan oleh Rasulullah SAW, dan yang terpenting adalah memahami makna yang terkandung di dalamnya, sebagai bentuk motivasi dan pengingatan diri kita akan datangnya Ramadhan. Dan yang jelas, ketika menyampaikan kepada orang lain, hendaknya juga kita tekankan hal tersebut ; bahwa dari sisi riwayat hadits ini lemah, namun dari sisi makna harus kita ambil pelajaran dan motivasinya.
Kedua : Merindukan Ramadhan dengan Doa Mutlak dan Persiapan Amal
Secara riwayat, hadits tentang doa di atas memang lemah. Namun kita semua pasti sepakat bahwa apa yang terkandung di dalamnya adalah kuat secara makna. Bagaimana tidak ? doa tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah gambaran sekaligus anjuran bagaimana kita menyambut dan merindukan ramadhan, bahkan lebih jauh lagi menyiapkan diri dan banyak hal untuk menyambut kedatangan bulan mulia tersebut.
Semangat dan kerinduan menyambut Ramadhan, adalah gambaran para sahabat secara umum dalam kesehariannya. Ibnu Rajab meriwayatkan bagaimana kondisi para sahabat Rasulullah SAW terkait Ramadhan :
كَانُوا يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَبْلُغَهُمْ شَهْرَ رَمَضَانَ ثُمَّ يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَتَقَبَّلَهُ مِنْهُمْ
”Mereka (para sahabat) berdo’a kepada Allah selama 6 bulan agar mereka dapat menjumpai bulan Ramadlan. Kemudian mereka pun berdo’a selama 6 bulan agar amalan yang telah mereka kerjakan diterima oleh-Nya.” (Kitab Lathaaiful Ma’arif ).كَانُوا يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَبْلُغَهُمْ شَهْرَ رَمَضَانَ ثُمَّ يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَتَقَبَّلَهُ مِنْهُمْ
Maka hal inilah yang harus senantiasa kita utamakan dan ambil inspirasinya. Tidak hanya terjebak dalam lafal doa semata tanpa kesiapan riil dalam amal dan perbuatan. Syeikh Abdul Karim bin Abdulah al-Khudair pernah ditanya tentang seorang yang berdoa dengan “ Allahuma bariklana fi rojab wa sya’ban wa ballighna romadhon “. Maka beliau menjawab dengan tenang : Semoga Allah memberikan pahala kepadanya. Memang hadits (doa) ini tidak kuat, namun jika seorang muslim berdoa kepada Allah SWT agar menyampaikannya bulan Ramadhan, dan memberikan taufiq dalam mengamalkan puasa dan tarawih di dalamnya, dan mendapatkan lailatul qadar, atau berdoa dengan doa mutlak yang lainnya. Maka hal ini insya Allah boleh dan tidak mengapa.
Ibnu Rojab masih dalam kitab yang sama, ketika menjelaskan hadits di atas memberikan pelajaran agung kepada kita : Dalam hadits ini terdapat dalil tentang anjuran berdoa minta panjang usia agar mendapati waktu-waktu yang mulia, agar dapat menjalankan amal sholih di dalamnya. Sesungguhnya seorang muslim tidaklah bertambah usianya kecuali untuk kebaikan, dan sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya dan banyak amalnya.
Akhirnya, marilah kita tidak terjebak dalam lafadz doa hadits di atas. Yang mengamalkannya hendaknya mengetahui sejauh mana keyakinannya akan kekuatan hadits tersebut. Yang tidak sepakat, hendaknya menyadari ini wilayah perbedaan pendapat ulama sehingga sikap toleransi dan menghormati harus dijunjung tinggi. Dan yang lebih baik dari itu semua, menyiapkan diri dan semangat untuk memasuki ramadhan, tidak hanya dengan lafal doa saja, dan jika pun kita berdoa, maka bisa dengan rangkaian doa mutlak dan umum agar diberikan kesempatan dan kekuatan dalam memasuki bulan Ramadhan yang mulia. Wallahu a’lam.
Semoga bermanfaat dan salam optimis.
selamat datang ramadhan
BalasHapusUst. Izin Copy n Share, semoga manfa'at amin
BalasHapusIzin copas ya.. terima kasih.
BalasHapus