Pertanyaan :
ustadz, sy pengen denger pendapat ustadz tentang sesuatu....
Di tempat kerja saya ada koperasi yang menjalankan program simpan pinjam. Pinjaman maksimal 3 juta rupiah di kembalikan dalam jangka watu 6 bulan dengan sistem potong gaji. Sampai disitu saya tak mempermasalahkannya. Namun dibelakang ternyata ada semacam "bunga" yang harus saya bayar. Kata pengurus koperasi tersebut itu bukan bunga, karena uang yang dipinjam berupa belanja barang sesuai akadnya ( jadi uang yang dipinjam harus dibelikan barang dan ada kwitansinya yg kmd hrs diserahkan ke pengurus ).
Kata pengurus, "bunga " itu akan dimasukkan ke dalam uang SHU, yang pada akhir tahun periode akan dibagikan kembali ke anggota. Jadi katanya uang itu tidak akan kemana. Kata suami saya itu sudah termasuk riba.. jd haram hukumnya. Makanya dia melarang saya untuk pinjam uang koperasi tersebut. Saya sudah menanyakan juga ke ustadz yang kebetulan juga kerja di sekolah ini, kata beliau, kalo akadnya dibelikan barang tak apa-apa.
Yang membuat saya bingung, soal bunga itu karena sudah disepakati di awal peminjaman... Lha kalo menurut ustadz Hatta bagaimana???
Jawaban :
Memang perlu diperjelas dan dipertegas akad yang ditawarkan koperasi tersebut sejak awal. Apakah memang pinjam meminjam atau bukan. Jika pinjam meminjam, maka segala kelebihan yang disyaratkan di awal masuk kategori riba, meskipun bisa jadi kelebihan itu tidak berupa uang. Hal ini berdasarkan kaidah yang disepakati ulama : Setiap hutang yang menghasilkan keuntungan atau manfaat maka masuk kategori riba.
Adapun jika tidak disyaratkan di awal, dan kemudian anggota koperasi merasa berterima kasih dengan menambahkan untuk kas dan keuntungan koperasi, maka itu tidak mengapa. Bahkan secara umum, dalam kaitan pembayaran hutang baik barang maupun uang, kita dianjurkan untuk membayar dengan lebih baik atau lebih banyak dari sebelumnya, dengan syarat tidak disebutkan di awal dan bersifat sukarela.
Hal semacam ini diperbolehkan dengan dasar hadits Abu Rafi ra yang berbunyi: “Rasulullah SAW pernah meminjam dari seorang seekor onta yang masih muda. Kemudian ada satu ekor onta sedekah yang dibawa kepada beliau. Beliau lalu memerintahkan Abu Rafi’ radhiyallâhu'anhu untuk membayar kepada orang tersebut pinjaman satu ekor onta muda. Abu Rafi’ pulang kepada beliau dan berkata: “Aku tidak mendapatkan kecuali onta yang masuk umur ketujuh”. Lalu Beliau menjawab: “Berikanlah itu kepadanya! Sesungguhnya sebaik-baik manusia adalah yang paling baik dalam membayar hutangnya”. (HR Muslim)
Dalam konteks koperasi tadi, menurut karyawan akadnya adalah pembelian barang bukan simpan pinjam. Karenanya semestinya hal itu lebih pas disebut dengan Akad Jual Beli Murobahah. Akad jenis ini sudah banyak dikenal di dunia perbankan syariah, bahkan termasuk cukup populer dalam aplikasinya di lapangan. Sekitar 80% ke atas, perbankan syariah menjalankan akad jenis murobahah.
Akad murobahah pada dasarnya adalah jual beli dengan memberikan keuntungan tertentu yang jelas pada penjual. Dalam hal ini anggota koperasi misalnya ingin membeli sepedamotor maka ia mengutarakan niatnya dan melakukan pemesanan kepada koperasi dengan akad murobahah. Koperasi pun membelikan sepedamotor sesuai dengan pesanan nasabah, misalkan dengan harga dari dealer Rp 15.000.000,-. Kemudian pihak nasabah membeli dari koperasi seharga Rp 18.000.000,- dengan sistem pembayaran diangsur selama 24 bulan misalnya.
Maka jika yang terjadi demikian, hal tersebut sah dan diperbolehkan sesuai keumuman kebolehan akad jual beli. Namun yang perlu dipastikan adalah adanya riil barang yang dijual belikan, bukan hanya sekedar strategi atau tipuan mendapatkan pinjaman. Bahkan pada tataran idealnya, koperasilah yang membelikan dan mendatangkan barang tersebut sesuai dengan pesanan nasabah. Memang pada saat ini banyak nasabah yang datang langsung mendapatkan uang dari koperasi dengan akad murobahah, pada saat itu harus ada akad wakalah yaitu semacam surat kuasa dari koperasi kepada nasabah untuk membeli barang atas nama koperasi. Jadi nasabah membelikan barang atas nama koperasi, untuk kemudian dibeli oleh nasabah dengan sistem angsur.
Jadi kesimpulannya, keuntungan atau kelebihan dalam akad murobahah tidak masuk kategori bunga, namun adalah Margin atau Ribh atau keuntungan yang diperbolehkan dalam syariat kita. Tentu saja dengan menjaga syarat-syarat teknis yang ada dalam pembahasan ulama dan juga fatwa-fatwa kontomporer seputar murobahah. Selamat belajar dan menelaah ekonomi syariah.
Semoga bermanfaat dan salam optimis
ustadz, sy pengen denger pendapat ustadz tentang sesuatu....
Di tempat kerja saya ada koperasi yang menjalankan program simpan pinjam. Pinjaman maksimal 3 juta rupiah di kembalikan dalam jangka watu 6 bulan dengan sistem potong gaji. Sampai disitu saya tak mempermasalahkannya. Namun dibelakang ternyata ada semacam "bunga" yang harus saya bayar. Kata pengurus koperasi tersebut itu bukan bunga, karena uang yang dipinjam berupa belanja barang sesuai akadnya ( jadi uang yang dipinjam harus dibelikan barang dan ada kwitansinya yg kmd hrs diserahkan ke pengurus ).
Kata pengurus, "bunga " itu akan dimasukkan ke dalam uang SHU, yang pada akhir tahun periode akan dibagikan kembali ke anggota. Jadi katanya uang itu tidak akan kemana. Kata suami saya itu sudah termasuk riba.. jd haram hukumnya. Makanya dia melarang saya untuk pinjam uang koperasi tersebut. Saya sudah menanyakan juga ke ustadz yang kebetulan juga kerja di sekolah ini, kata beliau, kalo akadnya dibelikan barang tak apa-apa.
Yang membuat saya bingung, soal bunga itu karena sudah disepakati di awal peminjaman... Lha kalo menurut ustadz Hatta bagaimana???
Jawaban :
Memang perlu diperjelas dan dipertegas akad yang ditawarkan koperasi tersebut sejak awal. Apakah memang pinjam meminjam atau bukan. Jika pinjam meminjam, maka segala kelebihan yang disyaratkan di awal masuk kategori riba, meskipun bisa jadi kelebihan itu tidak berupa uang. Hal ini berdasarkan kaidah yang disepakati ulama : Setiap hutang yang menghasilkan keuntungan atau manfaat maka masuk kategori riba.
Adapun jika tidak disyaratkan di awal, dan kemudian anggota koperasi merasa berterima kasih dengan menambahkan untuk kas dan keuntungan koperasi, maka itu tidak mengapa. Bahkan secara umum, dalam kaitan pembayaran hutang baik barang maupun uang, kita dianjurkan untuk membayar dengan lebih baik atau lebih banyak dari sebelumnya, dengan syarat tidak disebutkan di awal dan bersifat sukarela.
Hal semacam ini diperbolehkan dengan dasar hadits Abu Rafi ra yang berbunyi: “Rasulullah SAW pernah meminjam dari seorang seekor onta yang masih muda. Kemudian ada satu ekor onta sedekah yang dibawa kepada beliau. Beliau lalu memerintahkan Abu Rafi’ radhiyallâhu'anhu untuk membayar kepada orang tersebut pinjaman satu ekor onta muda. Abu Rafi’ pulang kepada beliau dan berkata: “Aku tidak mendapatkan kecuali onta yang masuk umur ketujuh”. Lalu Beliau menjawab: “Berikanlah itu kepadanya! Sesungguhnya sebaik-baik manusia adalah yang paling baik dalam membayar hutangnya”. (HR Muslim)
Dalam konteks koperasi tadi, menurut karyawan akadnya adalah pembelian barang bukan simpan pinjam. Karenanya semestinya hal itu lebih pas disebut dengan Akad Jual Beli Murobahah. Akad jenis ini sudah banyak dikenal di dunia perbankan syariah, bahkan termasuk cukup populer dalam aplikasinya di lapangan. Sekitar 80% ke atas, perbankan syariah menjalankan akad jenis murobahah.
Akad murobahah pada dasarnya adalah jual beli dengan memberikan keuntungan tertentu yang jelas pada penjual. Dalam hal ini anggota koperasi misalnya ingin membeli sepedamotor maka ia mengutarakan niatnya dan melakukan pemesanan kepada koperasi dengan akad murobahah. Koperasi pun membelikan sepedamotor sesuai dengan pesanan nasabah, misalkan dengan harga dari dealer Rp 15.000.000,-. Kemudian pihak nasabah membeli dari koperasi seharga Rp 18.000.000,- dengan sistem pembayaran diangsur selama 24 bulan misalnya.
Maka jika yang terjadi demikian, hal tersebut sah dan diperbolehkan sesuai keumuman kebolehan akad jual beli. Namun yang perlu dipastikan adalah adanya riil barang yang dijual belikan, bukan hanya sekedar strategi atau tipuan mendapatkan pinjaman. Bahkan pada tataran idealnya, koperasilah yang membelikan dan mendatangkan barang tersebut sesuai dengan pesanan nasabah. Memang pada saat ini banyak nasabah yang datang langsung mendapatkan uang dari koperasi dengan akad murobahah, pada saat itu harus ada akad wakalah yaitu semacam surat kuasa dari koperasi kepada nasabah untuk membeli barang atas nama koperasi. Jadi nasabah membelikan barang atas nama koperasi, untuk kemudian dibeli oleh nasabah dengan sistem angsur.
Jadi kesimpulannya, keuntungan atau kelebihan dalam akad murobahah tidak masuk kategori bunga, namun adalah Margin atau Ribh atau keuntungan yang diperbolehkan dalam syariat kita. Tentu saja dengan menjaga syarat-syarat teknis yang ada dalam pembahasan ulama dan juga fatwa-fatwa kontomporer seputar murobahah. Selamat belajar dan menelaah ekonomi syariah.
Semoga bermanfaat dan salam optimis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar