Sebagian orang mengira bahwa bersantai bukanlah bagian dari ajaran Islam. Bahkan ada yang cenderung untuk menghabiskan seluruh waktunya dengan beribadah dan berdzikir. Pada sisi yang berkebalikan, ada yang mencari dunia dengan berbasis “time is money”, maka ia bekerja dan berusaha dengan penuh semangat mengumpulkan pundi-pundi dunia. Sejatinya, kedua hal diatas kurang sesuai dengan apa yang diarahkan dalam syariat Islam. Syariat yang memanusiakan manusia, dan syariat yang luas dan luwes, tidak pernah membebani umatnya dengan hal yang tidak selaras dengan kekuatan fitrahnya. Allah SWT sendiri menegaskan tentang kelemahan manusia dan keterbatasannya.
Karenanya, sebagaimana hikmah penciptaan siang dan malam dimana malam menjadi waktu beristirahat melepas penat, waktu untuk bersantai juga menjadi perhatian tersendiri dalam ajaran Islam, dan dipraktekan dengan jelas oleh Rasulullah SAW dan para sahabat. Tentu yang dimaksud disini bukan berarti dalam koridor yang berlebihan dan melawan syariat. Mari kita lihat beberapa alasan kita harus memiliki waktu untuk bersantai sesuai syariat :
Pertama : Karena Kita bukan Malaikat
Manusia tetaplah manusia yang mempunyai jasad untuk dipenuhi kebutuhannya. Kita tidak bisa memaksakannya menjadi malaikat yang senantiasa full power dalam beribadah dan berdzikir mengingat Allah SWT. Paradigma semacam ini pernah terlintas dalam benak sahabat mulia Handzholah ra. Sebagaimana disebutkan dalam shohih Muslim, Handzholah pergi menemui Abu Bakar As-shiddiq dan menceritakan kegelisahannya. Ia begitu gelisah, karena ia bisa begitu khusyuk ketika berada dalam majlis bersama Rasulullah SAW, namun saat kembali ke rumah bertemu anak dan istri, ia kembali tertawa dan bersantai bersama mereka. Handzholah takut hal tersebut masuk dalam kategori kemunafikan. Abu Bakar tak bisa memberikan solusi dan saran, karena ia juga mengalami hal yang sama persis di alami Hanzholah. Maka merekapun akhirnya bersepakat menemui Rasulullah SAW untuk mengclearkan kegelisahan ini.
Ketika mereka menceritakan hal tersebut, maka dengan bijak, beliau bersabda : “ Demi Allah, sekiranya kalian bisa merasakan (khusyuk) terus-terusan sebagaimana saat bersamaku, atau saat berdzikir, niscaya para malaikat akan menyalamimu di tempat tidur dan jalan-jalan. Akan tetapi, ada waktunya dan ada waktunya (diulang tiga kali)“ (Shohih Muslim)
Jawaban Rasulullah SAW begitu tajam menyindir kedua sahabatnya yang mulia. Beliau memang ingin memberikan ajaran syariah yang mulia yaitu memanusiakan manusia. Beliau seolah mengatakan kepada keduanya, bahwa kalian bukanlah malaikat ! kalian masih manusia yang tidak bisa sepanjang waktu khusyuk sebagaimana malaikat dalam beribadah dan berdzikir kepada Allah SWT. Bahkan dengan ungkapan yang unik beliau menggambarkan, jika keduanya bisa senantiasa prima dalam hal kekhusyukan, maka malaikat akan turun ke bumi dan menyalami mereka di tempat tidur dan di jalan. Yah, malaikat layak bergembira karena mendapat dua anggota baru dari komunitas manusia, maka mereka khusus datang memberi selamat ! Sesuatu yang tidak mungkin bukan ?
Dalam hadits tersebut Rasulullah SAW juga menekankan dan mengulang selama tiga kali dengan ungkapan “ sa’atan- sa’atan”, ini yang kadang dipahami oleh sebagian orang dengan makna : sesaat-sesaat. Kata ‘sesaat’ dianggap mewakili arti ‘sa-atan’ sehingga akhirnya benak kita menerjemahkan bahwa bersantai itu benar-benar sebentar sekali, tanpa alokasi khusus dan seperlunya saja. Padahal secara makna banyak ulama menafsirkan hadits tersebut dengan “saatan lirobbihi” dan “ saatan liqolbihi”, yaitu ada waktu untuk Tuhannya dan ada waktu untuk hati atau dirinya. Artinya, perlu ada alokasi waktu khusus untuk meriangkan dan menyegarkan hati, sebagaimana ada waktu khusus untuk beribadah kepada Allah SWT.
Secara sederhananya, bersantai bagi seorang mukmin bukanlah waktu sisa dan sesempatnya, namun perlu waktu khusus yang jika memungkinkan: dijadwal dan dirancang sedemikian rupa !
Selamat liburan dan salam optimis !
bersambung Bagian 2
Karenanya, sebagaimana hikmah penciptaan siang dan malam dimana malam menjadi waktu beristirahat melepas penat, waktu untuk bersantai juga menjadi perhatian tersendiri dalam ajaran Islam, dan dipraktekan dengan jelas oleh Rasulullah SAW dan para sahabat. Tentu yang dimaksud disini bukan berarti dalam koridor yang berlebihan dan melawan syariat. Mari kita lihat beberapa alasan kita harus memiliki waktu untuk bersantai sesuai syariat :
Pertama : Karena Kita bukan Malaikat
Manusia tetaplah manusia yang mempunyai jasad untuk dipenuhi kebutuhannya. Kita tidak bisa memaksakannya menjadi malaikat yang senantiasa full power dalam beribadah dan berdzikir mengingat Allah SWT. Paradigma semacam ini pernah terlintas dalam benak sahabat mulia Handzholah ra. Sebagaimana disebutkan dalam shohih Muslim, Handzholah pergi menemui Abu Bakar As-shiddiq dan menceritakan kegelisahannya. Ia begitu gelisah, karena ia bisa begitu khusyuk ketika berada dalam majlis bersama Rasulullah SAW, namun saat kembali ke rumah bertemu anak dan istri, ia kembali tertawa dan bersantai bersama mereka. Handzholah takut hal tersebut masuk dalam kategori kemunafikan. Abu Bakar tak bisa memberikan solusi dan saran, karena ia juga mengalami hal yang sama persis di alami Hanzholah. Maka merekapun akhirnya bersepakat menemui Rasulullah SAW untuk mengclearkan kegelisahan ini.
Ketika mereka menceritakan hal tersebut, maka dengan bijak, beliau bersabda : “ Demi Allah, sekiranya kalian bisa merasakan (khusyuk) terus-terusan sebagaimana saat bersamaku, atau saat berdzikir, niscaya para malaikat akan menyalamimu di tempat tidur dan jalan-jalan. Akan tetapi, ada waktunya dan ada waktunya (diulang tiga kali)“ (Shohih Muslim)
Jawaban Rasulullah SAW begitu tajam menyindir kedua sahabatnya yang mulia. Beliau memang ingin memberikan ajaran syariah yang mulia yaitu memanusiakan manusia. Beliau seolah mengatakan kepada keduanya, bahwa kalian bukanlah malaikat ! kalian masih manusia yang tidak bisa sepanjang waktu khusyuk sebagaimana malaikat dalam beribadah dan berdzikir kepada Allah SWT. Bahkan dengan ungkapan yang unik beliau menggambarkan, jika keduanya bisa senantiasa prima dalam hal kekhusyukan, maka malaikat akan turun ke bumi dan menyalami mereka di tempat tidur dan di jalan. Yah, malaikat layak bergembira karena mendapat dua anggota baru dari komunitas manusia, maka mereka khusus datang memberi selamat ! Sesuatu yang tidak mungkin bukan ?
Dalam hadits tersebut Rasulullah SAW juga menekankan dan mengulang selama tiga kali dengan ungkapan “ sa’atan- sa’atan”, ini yang kadang dipahami oleh sebagian orang dengan makna : sesaat-sesaat. Kata ‘sesaat’ dianggap mewakili arti ‘sa-atan’ sehingga akhirnya benak kita menerjemahkan bahwa bersantai itu benar-benar sebentar sekali, tanpa alokasi khusus dan seperlunya saja. Padahal secara makna banyak ulama menafsirkan hadits tersebut dengan “saatan lirobbihi” dan “ saatan liqolbihi”, yaitu ada waktu untuk Tuhannya dan ada waktu untuk hati atau dirinya. Artinya, perlu ada alokasi waktu khusus untuk meriangkan dan menyegarkan hati, sebagaimana ada waktu khusus untuk beribadah kepada Allah SWT.
Secara sederhananya, bersantai bagi seorang mukmin bukanlah waktu sisa dan sesempatnya, namun perlu waktu khusus yang jika memungkinkan: dijadwal dan dirancang sedemikian rupa !
Selamat liburan dan salam optimis !
bersambung Bagian 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar