Lebaran telah diambang pintu. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, tahun ini diprediksi juga akan ada perbedaan waktu hari raya idul fitri. Masyarakat awam banyak yang bingung, sebagian ikut-ikutan, sebagian tidak peduli, tapi sebagian ikut berpolemik masalah hal ini. Bahkan ada yang baru baca satu dua artikel tentang hisab rukyat di internet, sudah gagah berani membantah dan mengkritisi pendapat profesor di bidang Astronomi yang sudah bertahun-tahun mendampingi proses hisab rukyat di Indonesia.
Potensi perbedaan yang ada berkutat antara tanggal 30 Agustus dan 31 Agustus saja, dengan ragam metode yang digunakan. Muhammadiyah misalnya dengan metode hisab dan kriteria wujudul hilal, jauh-jauh hari telah mengumumkan Idul Fitri 1432 H jatuh pada Selasa 30 Agustus. Ormas Persis menyusul kemudian, dengan metode hisab tapi dengan kriteria imkanurrukyah, mereka mengumumkan Idul Fitri 1 Syawal jatuh pada Rabu, 31 Agustus 2011. NU yang memiliki metode rukyatul hilal versi lokal (ikhtilaful mathla’), tentu menunggu Senin malam 29 Agustus untuk memutuskan kapan berhari raya, meskipun di dalam NU juga banyak pakar hisab yang siap ‘legowo’ menerima kriteria imkanurrukyat. Beberapa ormas seperti HTI yang biasa mengikuti rukyah global di Saudi, juga akan menunggu keputusan ulama Saudi Senin malam inysa Allah. Meskipun jika dilihat secara penghitungan (hisab), -baik di Indonesia maupun Saudi – maka hilal kemungkinan besar tidak akan terlihat sehingga Ramadhan akan digenapkan menjadi 30 hari, dan lebaran pada 31 Agustus 2011.
Lalu bagaimana dengan pemerintah ? Sejak awal pemerintah melalui Kemenag dan MUI akan menyelenggarakan sidang itsbat pada akhir Ramadhan, untuk menentukan 1 syawal 1432. Metode yang digunakan pemerintah adalah menggabungkan antara hisab dan rukyatul hilal. Maka berkaca dari pengalaman sebelumnya, hisab dan serta hasil rukyat (yang diprediksi tidak akan terlihat), hampir bisa dipastikan keputusan pemerintah 1 Syawal 1432 akan jatuh pada 31 Agustus 2011.
Sebagai orang awam yang tidak tahu sepenuhnya tetek bengek soal astronomi, dan juga dalil-dalil mendalam seputar hisab dan rukyat, maka saya insya Allah akan mengikuti pemerintah. Tulisan ini dibuat tanpa bermaksud untuk masuk dalam polemik pembahasan dan metode yang ada, namun sekedar memandang sisi luar dan maslahat dan manfaat yang ada saat kita mengikuti berlebaran bersama pemerintah.
Pertama : Kewajiban Mengikuti Pemerintah dalam Hal yang bukan Maksiat
Karena saya orang awam, bukan ahli ijtihad, maka dalam masalah semacam ini tentu layak saya menyerahkan urusan ini kepada yang berwenang memutuskannya khususnya pemerintah. Dalam hal ini saya berpegangan kepada Fatwa MUI no 2 tahun 2004, pasal kedua yang menyebutkan : Seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Dalil-dalil syar’i tentang kewajiban taat dan mengikuti ulul amri banyak tersebar dalam Al Quran dan Sunnah. Sebagai orang awam, wajar saya untuk berpegangan dengan Fatwa MUI.
Perbedaan pendapat dalam fikih memang sesuatu yang lumrah dan wajar terjadi. Namun dalam masalah yang penting dan menyangkut kepentingan orang banyak, maka keputusan pemerintah semestinya ditaati. Apalagi jika hal tersebut berpeluang mengundang permasalahan dan perselisihan, maka tepatlah kaidah fikih yang menyebutkan : “Keputusan pemerintah itu mengikat (wajib dipatuhi) dan menghilangkan silang pendapat”.
Realita hari ini, saya menyayangkan adanya masjid-masjid yang sama sekali tidak memiliki afiliasi khusus pada salah satu ormas Islam yang ada, hanya sekedar masjid kampung dan masjid warga biasa, lalu takmir masjid bermusyawarah menentukan idul fitri yang tidak sejalan dengan pemerintah. Saya rasa mereka tidak memiliki alasan khusus untuk “berijtihad” dalam permasalahan semacam ini.
Kedua : Untuk Merayakan Bersama-sama dengan Penuh Ukhuwah dan Meriah
Tidak dipungkiri lagi perbedaan Hari Raya sedikit banyak akan mengurangi syiar ukhuwah dan persatuan umat Islam. Sementara secara dalil dan filosofisnya, idul fitri adalah hari Raya kaum muslimin yang semestinya memperlihatkan ukhuwah dan persatuan yang luar biasa. Berhari raya bersama banyak orang adalah salah satu anjuran syariah kita, bukan dengan sedikit orang apalagi segelintir orang. Riwayat hadist dari Abu Hurairah menyebutkan, Rasulullah SAW bersabda : “ Puasa adalah hari dimana kalian (orang-orang) berpuasa, dan hari raya berbuka (idul fitri-red) adalah hari dimana kalian (orang-orang) berbuka (dan berhari raya )“. (HR Tirmidzi dishahikan oleh Albani). Sebagian ulama menafsirkan hadits di atas dengan kesimpulan: “ bahwa berbuka dan berhari raya itu (haruslah) bersama-sama jama’ah dan sebagian besar (orang-orang) kaum muslimin.
Selain itu, beberapa hadits seputar Idul Fitri mengisyaratkan bahwa lebaran adalah ibadah yang merupakan syiar dan simbol, dimana kebersamaan dan ukhuwah menjadi ciri khususnya. Lihat saja bagaimana tentang anjuran sholat di Lapangan yang besar, juga anjuran untuk mengajak para wanita bahkan sekalipun mereka dalam kondisi haid ! Ini menunjukkan salah satu semangat dalam beridul fitri adalah mengoptimalkan kebersamaan.
Karenanya, jika ada perbedaan dalam penentuan idul fitri, maka yang paling banyak diikuti dan bisa menunjukkan syiar dan ukhuwah Islam itulah yang layak untuk diikuti, dalam hal ini bisa diwakili dengan keputusan pemerintah yang biasanya diikuti sebagian besar kaum muslimin di Indonesia,
Akhirnya, tentu kita semua bersepakat tentang pentingnya menjaga ukhuwah umat dan menghindarkan dari segala potensi perselisihan dan perpecahan. Dan sungguh menakjubkan, para ulama kita sejak awal siap untuk ‘berlegowo’ dalam arti tidak memaksakan pendapatnya saat dihadapkan dengan kemungkinan perselisihan dan perpecahan umat. Dan hal ini pun mereka lakukan dalam masalah ibadah ritual yang mereka yakini sepenuhnya, dan diyakini banyak orang tidak bisa diganggu gugat.
Saya ambil contoh sederhana, meskipun Imam Ahmad berpendapat bahwa membaca qunut ketika shalat shubuh itu bid’ah. Namun beliau jelas mengatakan: ‘Jika seseorang shalat bermakmum pada imam yang membaca qunut maka hendaknya ia mengikuti dan mengamini doanya’. Subhanallah, tentu statemen beliau tersebut ditujukan dalam rangka persatuan, dan mengaitkan hati dan menghilangkan kebencian diantara kaum muslimin.
Sebaliknya, Imam syafii berpendapat bahwa membaca Qunut hukumnya sunah muakkad dan beliau selalu membacanya tiap shalat. Namun suatu ketika beliau menjadi imam shalat subuh di sebuah masjid dekat makam Abu Hanifah, lalu tidak membaca Qunut. Selesai shalat, seorang bertanya apa gerangan yang penyebabkan beliau tidak membaca qunut? Beliau menjawab “ Mana mungkin saya melakukan amalan yang tidak sejalan dengan pendapat Abu Hanifah, sedangkan saya berada dekat dengan (kubur)nya. Inilah bentuk legowo dan toleransi para ulama terdahulu bahkan dalam hal yang terkait sebagai ibadah.
Nah, bagaimana dengan ulama kita dari ormas-ormas yang ada ? Siapkah untuk berlegowo dalam masalah penentuan hari raya demi mewujudkan persatuan umat dan syiar hari kemenangan yang indah ?. Legowo disini juga dalam arti siap duduk kembali, saling membahas hal ini secara objektif dan ilmiah agar menemukan kriteria-kriteria yang disepakati, sebagaimana sering digaungkan oleh Profesor Thomas Djamaluddin dari LAPAN tentang harapan penyatuan kalender umat Islam Indonesia secara khusus.
Saya tinggal lima tahun di Sudan, perbedaan hari raya hanya ada di kitab-kitab fiqh semata, secara realita tidak ada. Banyak ulama dan orang faqih di Sudan, namun mereka semua berlegowo dalam masalah ini, menyerahkannya hanya pada pemerintah saja. Wallahu a’lam
Semoga bermanfaat dan salam optimis
Potensi perbedaan yang ada berkutat antara tanggal 30 Agustus dan 31 Agustus saja, dengan ragam metode yang digunakan. Muhammadiyah misalnya dengan metode hisab dan kriteria wujudul hilal, jauh-jauh hari telah mengumumkan Idul Fitri 1432 H jatuh pada Selasa 30 Agustus. Ormas Persis menyusul kemudian, dengan metode hisab tapi dengan kriteria imkanurrukyah, mereka mengumumkan Idul Fitri 1 Syawal jatuh pada Rabu, 31 Agustus 2011. NU yang memiliki metode rukyatul hilal versi lokal (ikhtilaful mathla’), tentu menunggu Senin malam 29 Agustus untuk memutuskan kapan berhari raya, meskipun di dalam NU juga banyak pakar hisab yang siap ‘legowo’ menerima kriteria imkanurrukyat. Beberapa ormas seperti HTI yang biasa mengikuti rukyah global di Saudi, juga akan menunggu keputusan ulama Saudi Senin malam inysa Allah. Meskipun jika dilihat secara penghitungan (hisab), -baik di Indonesia maupun Saudi – maka hilal kemungkinan besar tidak akan terlihat sehingga Ramadhan akan digenapkan menjadi 30 hari, dan lebaran pada 31 Agustus 2011.
Lalu bagaimana dengan pemerintah ? Sejak awal pemerintah melalui Kemenag dan MUI akan menyelenggarakan sidang itsbat pada akhir Ramadhan, untuk menentukan 1 syawal 1432. Metode yang digunakan pemerintah adalah menggabungkan antara hisab dan rukyatul hilal. Maka berkaca dari pengalaman sebelumnya, hisab dan serta hasil rukyat (yang diprediksi tidak akan terlihat), hampir bisa dipastikan keputusan pemerintah 1 Syawal 1432 akan jatuh pada 31 Agustus 2011.
Sebagai orang awam yang tidak tahu sepenuhnya tetek bengek soal astronomi, dan juga dalil-dalil mendalam seputar hisab dan rukyat, maka saya insya Allah akan mengikuti pemerintah. Tulisan ini dibuat tanpa bermaksud untuk masuk dalam polemik pembahasan dan metode yang ada, namun sekedar memandang sisi luar dan maslahat dan manfaat yang ada saat kita mengikuti berlebaran bersama pemerintah.
Pertama : Kewajiban Mengikuti Pemerintah dalam Hal yang bukan Maksiat
Karena saya orang awam, bukan ahli ijtihad, maka dalam masalah semacam ini tentu layak saya menyerahkan urusan ini kepada yang berwenang memutuskannya khususnya pemerintah. Dalam hal ini saya berpegangan kepada Fatwa MUI no 2 tahun 2004, pasal kedua yang menyebutkan : Seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Dalil-dalil syar’i tentang kewajiban taat dan mengikuti ulul amri banyak tersebar dalam Al Quran dan Sunnah. Sebagai orang awam, wajar saya untuk berpegangan dengan Fatwa MUI.
Perbedaan pendapat dalam fikih memang sesuatu yang lumrah dan wajar terjadi. Namun dalam masalah yang penting dan menyangkut kepentingan orang banyak, maka keputusan pemerintah semestinya ditaati. Apalagi jika hal tersebut berpeluang mengundang permasalahan dan perselisihan, maka tepatlah kaidah fikih yang menyebutkan : “Keputusan pemerintah itu mengikat (wajib dipatuhi) dan menghilangkan silang pendapat”.
Realita hari ini, saya menyayangkan adanya masjid-masjid yang sama sekali tidak memiliki afiliasi khusus pada salah satu ormas Islam yang ada, hanya sekedar masjid kampung dan masjid warga biasa, lalu takmir masjid bermusyawarah menentukan idul fitri yang tidak sejalan dengan pemerintah. Saya rasa mereka tidak memiliki alasan khusus untuk “berijtihad” dalam permasalahan semacam ini.
Kedua : Untuk Merayakan Bersama-sama dengan Penuh Ukhuwah dan Meriah
Tidak dipungkiri lagi perbedaan Hari Raya sedikit banyak akan mengurangi syiar ukhuwah dan persatuan umat Islam. Sementara secara dalil dan filosofisnya, idul fitri adalah hari Raya kaum muslimin yang semestinya memperlihatkan ukhuwah dan persatuan yang luar biasa. Berhari raya bersama banyak orang adalah salah satu anjuran syariah kita, bukan dengan sedikit orang apalagi segelintir orang. Riwayat hadist dari Abu Hurairah menyebutkan, Rasulullah SAW bersabda : “ Puasa adalah hari dimana kalian (orang-orang) berpuasa, dan hari raya berbuka (idul fitri-red) adalah hari dimana kalian (orang-orang) berbuka (dan berhari raya )“. (HR Tirmidzi dishahikan oleh Albani). Sebagian ulama menafsirkan hadits di atas dengan kesimpulan: “ bahwa berbuka dan berhari raya itu (haruslah) bersama-sama jama’ah dan sebagian besar (orang-orang) kaum muslimin.
Selain itu, beberapa hadits seputar Idul Fitri mengisyaratkan bahwa lebaran adalah ibadah yang merupakan syiar dan simbol, dimana kebersamaan dan ukhuwah menjadi ciri khususnya. Lihat saja bagaimana tentang anjuran sholat di Lapangan yang besar, juga anjuran untuk mengajak para wanita bahkan sekalipun mereka dalam kondisi haid ! Ini menunjukkan salah satu semangat dalam beridul fitri adalah mengoptimalkan kebersamaan.
Karenanya, jika ada perbedaan dalam penentuan idul fitri, maka yang paling banyak diikuti dan bisa menunjukkan syiar dan ukhuwah Islam itulah yang layak untuk diikuti, dalam hal ini bisa diwakili dengan keputusan pemerintah yang biasanya diikuti sebagian besar kaum muslimin di Indonesia,
Akhirnya, tentu kita semua bersepakat tentang pentingnya menjaga ukhuwah umat dan menghindarkan dari segala potensi perselisihan dan perpecahan. Dan sungguh menakjubkan, para ulama kita sejak awal siap untuk ‘berlegowo’ dalam arti tidak memaksakan pendapatnya saat dihadapkan dengan kemungkinan perselisihan dan perpecahan umat. Dan hal ini pun mereka lakukan dalam masalah ibadah ritual yang mereka yakini sepenuhnya, dan diyakini banyak orang tidak bisa diganggu gugat.
Saya ambil contoh sederhana, meskipun Imam Ahmad berpendapat bahwa membaca qunut ketika shalat shubuh itu bid’ah. Namun beliau jelas mengatakan: ‘Jika seseorang shalat bermakmum pada imam yang membaca qunut maka hendaknya ia mengikuti dan mengamini doanya’. Subhanallah, tentu statemen beliau tersebut ditujukan dalam rangka persatuan, dan mengaitkan hati dan menghilangkan kebencian diantara kaum muslimin.
Sebaliknya, Imam syafii berpendapat bahwa membaca Qunut hukumnya sunah muakkad dan beliau selalu membacanya tiap shalat. Namun suatu ketika beliau menjadi imam shalat subuh di sebuah masjid dekat makam Abu Hanifah, lalu tidak membaca Qunut. Selesai shalat, seorang bertanya apa gerangan yang penyebabkan beliau tidak membaca qunut? Beliau menjawab “ Mana mungkin saya melakukan amalan yang tidak sejalan dengan pendapat Abu Hanifah, sedangkan saya berada dekat dengan (kubur)nya. Inilah bentuk legowo dan toleransi para ulama terdahulu bahkan dalam hal yang terkait sebagai ibadah.
Nah, bagaimana dengan ulama kita dari ormas-ormas yang ada ? Siapkah untuk berlegowo dalam masalah penentuan hari raya demi mewujudkan persatuan umat dan syiar hari kemenangan yang indah ?. Legowo disini juga dalam arti siap duduk kembali, saling membahas hal ini secara objektif dan ilmiah agar menemukan kriteria-kriteria yang disepakati, sebagaimana sering digaungkan oleh Profesor Thomas Djamaluddin dari LAPAN tentang harapan penyatuan kalender umat Islam Indonesia secara khusus.
Saya tinggal lima tahun di Sudan, perbedaan hari raya hanya ada di kitab-kitab fiqh semata, secara realita tidak ada. Banyak ulama dan orang faqih di Sudan, namun mereka semua berlegowo dalam masalah ini, menyerahkannya hanya pada pemerintah saja. Wallahu a’lam
Semoga bermanfaat dan salam optimis
mantab ustadz saya stuju kalau ikut pemerintah
BalasHapusAlhamdulillah pencerahnan ini yang ana inginkan ....izin share ya akhi..
BalasHapusDAN TERNYATA KEPUTUSAN PEMERINTAH BERBEDA DENGAN NEGARA TETANGGA DAN SEBAGIAN BESAR NEGARA-NEGARA DI DUNIA
BalasHapusDan Ternyata Arab Saudi Shalat Ied Hari Selasa
BalasHapussilahkan lihat juga postingan kami di Catatan Lebaran 1432, mari terus belajar tanpa merasa paling benar dan pintar
BalasHapus