Benar sekali sebagian besar kaum muslimin di dunia merayakan
idul fitri pada Selasa, 30 Agustus, sementara pemerintah Indonesia melalui
sidang istbat memutuskan lebaran pada Rabu, 31 Agustus. Bahkan dalam catatan
moonsighting setidaknya ada 31 negara yang berlebaran selasa, dan hanya
sembilan negara yang berlebaran pada hari Rabu.
Pertanyaannya adalah, apakah kenyataan yang demikian ini
menunjukkan bahwa pilihan Indonesia adalah menyimpang dan tidak benar ? Bahkan
ada salah seorang dubes yang disebutkan dalam berita gagah berkomentar bahwa
keputusan sidang itsbat tersebut ditertawakan oleh negara-negara Islam lainnya
di dunia. Sebelum menjawab lebih jauh,
perlu diketahui bahwa dari 31 negara yang berlebaran hari Selasa, 30 Agustus,
24 negara diantaranya menetapkan iedul fitri dengan metode rukyat global alias
sederhananya mengikuti keputusan Saudi.
Jadi ukuran banyaknya negara ini tidak
berarti mewakili hasil berbagai macam metode penetapan idul fitri, namun
sebagian besar adalah hasil satu metode saja, yaitu rukyah global.
Kemudian adalah berlebihan jika menganggap bahwa putusan
sidang itsbat tersebut adalah salah dan layak ditertawakan hanya dengan melihat
perbandingan jumlah negara di atas. Karena pada dasarnya keputusan yang
dibuahkan di Saudi dengan rukyah hilalnya adalah sebuah hasil ijtihad, begitu
pula yang terjadi di Malaysia dengan hisabnya adalah hasil ijtihad, sebagaimana
juga yang diputuskan dalam sidang itsbat juga merupakan hasil ijtihad.
Karena semua adalah merupakan hasil ijtihad, maka jika kita
melihat role of play dalam ushul fiqh menyebutkan : “ al ijtihad la yunqodzhu
bi mitslihi “, yang berarti bahwa sebuah hasil ijtihad tidak bisa dibatalkan
dengan hasil ijtihad lainnya yang serupa. Bahasa sederhananya adalah, sama-sama
hasil ijtihad tidak bisa menjatuhkan satu yang lainnya. Artinya, keputusan sidang itsbat tidak bisa
dianggap batal dan salah meskipun berbeda dengan banyak negara lainnya. Tentu
saja sepanjang pemerintah juga telah menggunakan metode penetapan yang sah secara
syar’i.
Bahkan sekalipun di kemudian hari bisa dibuktikan keputusan
tersebut adalah salah, maka sebagai produk ijtihad maka pelakunya tetap
mendapat pahala. Nah, sekarang tinggal
yang saling menyalahkan dan menyudutkan itulah yang mungkin tidak kebagian
pahala. Wallahu a’lam.
Bersambung Catatan Lebaran 1423 (3) : Mengapa kesaksian Hilal di Cakung dan Jepara ditolak ?
Bersambung Catatan Lebaran 1423 (3) : Mengapa kesaksian Hilal di Cakung dan Jepara ditolak ?
AssWrWb
BalasHapusMengapa kita tidak belajar pada fakta bahwa Rosululloh puasa dan Shollat Iednya bareng? mengapa kita tdk wujudkan pengiriman ahli Hisap Rikyah di Mekah sebagai kiblat umat dlm menentukan kapan kita mulai puasa, kapan megakhiri, kapan shollat Ied dll dengan mewakilkan perwakilan yg ahli di bidangnya, nah negara lain tinggal menyesuaikan shg terjalin ukuwah Islamiyah.Bukankah posisi Ka'bah lbh baik dari titik 0 di Inggris alias lebih di tengah-tengah baik lintang maupun bujurnya terhadap sumbu bumi....Yq. Hamba Allah