Salah satu yang diyakini banyak orang adalah : bahwa jika ada yang sudah berlebaran maka kita dilarang berpuasa. Maka banyak pun sms maupun komentar yang sekilas terlihat ‘menekan’ mereka yang masih berpuasa di hari Selasa 30 Agustus kemarin. Apalagi ditambah kenyataan bahwa sebagian besar negara berlebaran pada 30 agustus, maka semakin banyak lah komentar-komentar yang terlontar mungkin terlihat sinis menyatakan : bagaimana mungkin kita berpuasa padahal ada yang sudah berlebaran ? haram hukumnya dong !
Dan tidak dipungkiri hal ini pun menjadi legitimasi bagi kalangan awam yang ragu-ragu dengan keputusan pemerintah lebaran 31 agustus, maka sebagian pun mengambil langkah aman dengan tidak berpuasa pada hari selasa, dan merayakan lebaran dan sholat ied pada rabu 31 Agustus. Saya yakin yang semacam ini banyak, dan salah satu sebab terbesarnya adalah keraguan yang timbul karena ungkapan : kehati-hatian dan haramnya berpuasa saat sudah ada yang berlebaran atau melihat hilal.
Tentunya perlu kita garis bahwa, solusi tidak berpuasa pada Selasa dan ied pada Rabu bukanlah solusi terbaik, namun justru solusi yang ‘nanggung’ yang berdasarkan pada keraguan. Meski tidak menutup kemungkinan bisa jadi karena toleransi, artinya secara keyakinan ikut yang selasa, namun menghormati keluarga dan lingkungan maka lebaran hari rabu. Untuk yang seperti itu tentu diluar konteks pembahasan kita kali ini.
Memang segala sesuatu apalagi beribadah harus berusaha dijalankan dengan sepenuh keyakinan. Tidak dijalankan dengan setengah-setengah dan penuh keraguan. Karenanya, jika yang memilih lebaran tanggal 31 agustus semestinya yakin dan tetap berpuasa pada 30 agustus, bahkan wajib jika meninggalkannya.
Lalu bagaimana dengan ungkapan haramnya berpuasa jika sudah ada yang berlebaran atau sudah 1 syawal ? Maka jika ada ungkapan demikian, sebenarnya sama dan setara jika ditanggapi dengan : haramnya berlebaran sementara ramadhan masih belum usai ?. Karenanya, sebenarnya ini wilayah yang harus ada toleransi bukan malah saling melemparkan keraguan. Semestinya bagi yang berlebaran selasa justru mengingatkan kepada yang memilih Rabu, bahwa Anda besok selasa masih harus berpuasa lho !, bukan malah melemparkan keraguan yang tidak pada tempatnya.
Mengapa tidak pada tempatnya ? Karena dalam syariat kita hanya akan terancam dosa saat melakukan sebuah pelanggaran dengan sepenuh keyakinan. Misalnya kita yakin lebaran selasa, namun ternyata selasa masih puasa, ini jelas melanggar. Begitu pula sebaliknya, kita yakin lebaran rabu namun selasa sudah berbuka, ini juga tak jauh berbeda pelanggarannya.
Jadi pada intinya, semua menjalankan sesuai yang diyakini terkait akhir puasa. Karena ancaman pelanggaran hampir bisa dianggap setara dan sama-sama harus dijauhi. Tentangnya haramnya berpuasa saat hari raya, adalah merupakan ijmak ulama yang berlandaskan ucapan Umar : sesungguhnya Rasulullah SAW melarang berpuasa pada dua hari ini, idul fitri adalh hari berbukamu dari puasa, sedangkan idul adha, makanlah kalian dari sembelihan qurban kalian “ (HR Ahmad ).
Begitu pula tentang haramnya berbuka dengan sengaja di bulan ramadhan , Al-Bukhari dalam Shahihnya secara mu'allaq (tergantung tanpa sanad dan nomor), dari Abu Hurairah secara marfu', menyebutkan : “Barangsiapa yang berbuka sehari dalam bulan Ramadhan tanpa uzur dan tanpa sakit maka tidak tergantilah puasanya sepanjang masa sekalipun ianya berpuasa.” . Dalam riwayat lain : "Siapa yang berbuka (tidak berpuasa) satu hari dari bulan Ramadlan dengan sengaja, maka puasa setahun tidak bisa mencukupinya (menggantikannya), sehingga dia akan bertemu dengan Allah; kalau Dia berkehendak akan mengampuninya dan jika berkehendak akan mengadzabnya." (HR Ibnu Syaibah)
Kesimpulannya ? Semua justru harus saling menguatkan, yang lebaran selasa harus mengingatkan yang Rabu untuk tetap berpuasa di hari Selasa. Sebaliknya, yang lebaran Rabu harus mengingatkan yang Selasa untuk berbuka dan tidak berpuasa di hari tersebut. Kalau yang dilakukan sebaliknya, maka ukhuwah menjadi taruhannya.
semoga bermanfaat dan salam optimis
Dan tidak dipungkiri hal ini pun menjadi legitimasi bagi kalangan awam yang ragu-ragu dengan keputusan pemerintah lebaran 31 agustus, maka sebagian pun mengambil langkah aman dengan tidak berpuasa pada hari selasa, dan merayakan lebaran dan sholat ied pada rabu 31 Agustus. Saya yakin yang semacam ini banyak, dan salah satu sebab terbesarnya adalah keraguan yang timbul karena ungkapan : kehati-hatian dan haramnya berpuasa saat sudah ada yang berlebaran atau melihat hilal.
Tentunya perlu kita garis bahwa, solusi tidak berpuasa pada Selasa dan ied pada Rabu bukanlah solusi terbaik, namun justru solusi yang ‘nanggung’ yang berdasarkan pada keraguan. Meski tidak menutup kemungkinan bisa jadi karena toleransi, artinya secara keyakinan ikut yang selasa, namun menghormati keluarga dan lingkungan maka lebaran hari rabu. Untuk yang seperti itu tentu diluar konteks pembahasan kita kali ini.
Memang segala sesuatu apalagi beribadah harus berusaha dijalankan dengan sepenuh keyakinan. Tidak dijalankan dengan setengah-setengah dan penuh keraguan. Karenanya, jika yang memilih lebaran tanggal 31 agustus semestinya yakin dan tetap berpuasa pada 30 agustus, bahkan wajib jika meninggalkannya.
Lalu bagaimana dengan ungkapan haramnya berpuasa jika sudah ada yang berlebaran atau sudah 1 syawal ? Maka jika ada ungkapan demikian, sebenarnya sama dan setara jika ditanggapi dengan : haramnya berlebaran sementara ramadhan masih belum usai ?. Karenanya, sebenarnya ini wilayah yang harus ada toleransi bukan malah saling melemparkan keraguan. Semestinya bagi yang berlebaran selasa justru mengingatkan kepada yang memilih Rabu, bahwa Anda besok selasa masih harus berpuasa lho !, bukan malah melemparkan keraguan yang tidak pada tempatnya.
Mengapa tidak pada tempatnya ? Karena dalam syariat kita hanya akan terancam dosa saat melakukan sebuah pelanggaran dengan sepenuh keyakinan. Misalnya kita yakin lebaran selasa, namun ternyata selasa masih puasa, ini jelas melanggar. Begitu pula sebaliknya, kita yakin lebaran rabu namun selasa sudah berbuka, ini juga tak jauh berbeda pelanggarannya.
Jadi pada intinya, semua menjalankan sesuai yang diyakini terkait akhir puasa. Karena ancaman pelanggaran hampir bisa dianggap setara dan sama-sama harus dijauhi. Tentangnya haramnya berpuasa saat hari raya, adalah merupakan ijmak ulama yang berlandaskan ucapan Umar : sesungguhnya Rasulullah SAW melarang berpuasa pada dua hari ini, idul fitri adalh hari berbukamu dari puasa, sedangkan idul adha, makanlah kalian dari sembelihan qurban kalian “ (HR Ahmad ).
Begitu pula tentang haramnya berbuka dengan sengaja di bulan ramadhan , Al-Bukhari dalam Shahihnya secara mu'allaq (tergantung tanpa sanad dan nomor), dari Abu Hurairah secara marfu', menyebutkan : “Barangsiapa yang berbuka sehari dalam bulan Ramadhan tanpa uzur dan tanpa sakit maka tidak tergantilah puasanya sepanjang masa sekalipun ianya berpuasa.” . Dalam riwayat lain : "Siapa yang berbuka (tidak berpuasa) satu hari dari bulan Ramadlan dengan sengaja, maka puasa setahun tidak bisa mencukupinya (menggantikannya), sehingga dia akan bertemu dengan Allah; kalau Dia berkehendak akan mengampuninya dan jika berkehendak akan mengadzabnya." (HR Ibnu Syaibah)
Kesimpulannya ? Semua justru harus saling menguatkan, yang lebaran selasa harus mengingatkan yang Rabu untuk tetap berpuasa di hari Selasa. Sebaliknya, yang lebaran Rabu harus mengingatkan yang Selasa untuk berbuka dan tidak berpuasa di hari tersebut. Kalau yang dilakukan sebaliknya, maka ukhuwah menjadi taruhannya.
semoga bermanfaat dan salam optimis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar