Sesungguhnya perdebatan tentang metode dan konsep dalam penetapan Ramadhan dan Idul Fitri sudah lama terjadi dan akan terus berulang tanpa habisnya. Sebagai contoh saja, Prof Thomas Jamaluddin saja sudah sejak 1994 memberikan tausiyah dan konsep kepada Muhammadiyah seputar kurang tepatnya wujudul hilal, dan hasilnya kita sudah tahu hingga hari ini pun tak ada perubahan.
Apalagi jika kita rujuk perbedaan seputar yang pro rukyat dan pro hisab, ataupun wahdatul matholi dan ikhtilaful matholi, wujudul hilal dan imkanur rukyah, maka wacana diskusi dan debat pun banyak terekam dengan baik dalam kitab-kitab klasik maupun kontemporer. Sayangnya, kalau kita masih membicarakan konsep mana yang paling unggul, maka sungguh harapan idul fitri yang serempak menjadi semakin jauh saja.
Justru yang saat ini perlu dibahas adalah, perdebatan dan perbedaan seputar cara pandang terhadap lebaran : yaitu apakah Idul ftri ini adalah ibadah pribadi sesuai dengan keyakinan masing-masing, ataukah idul fitri adalah ibadah jamaiyah dan jamahiriyah yang mengandung syiar ukhuwah dan kekuatan islam. Jadi bukan sekedar fiqhul ahkam saja yang perlu dikaji, namun juga fiqih aulawiyat dalam persepsi soal lebaran ini.
Hal ini menjadi penting, karena bagi mereka yang meyakini idul fitri adalah ibadah pribadi dan harus sesuai keyakinan masing-masing, maka akan melanjutkan arena perdebatan dan diskusi baik yang ilmiah maupun tidak, dan dengan semangat ibadah pribadi tentu akan sulit menyatukan pendapat yang ada. Dengan landasan di atas, orang akan mudah menyalahkan pendapat yang lainnya, tidak mau mengalah dan akhirnya memang masing-masing berlebaran sendiri sesuai dengan keyakinannya.
Sebaliknya, bagi mereka yang meyakini idul fitri adalah ibadah syiar dan jamahariyah, maka akan dicari solusi terbaik untuk menyatukan dengan metode ijtihad yang bisa disepakati. Sungguh saya terkesan dengan ungkapan KH Ghozali Masrurie, ketua Lajnah Falakiyah NU dalam wawancara di Jawa Pos yang menyatakan NU siap mengubah metode jika memang disepakati demi persatuan umat.
Lalu bagaimana sebenarnya tentang cara pandang lebaran ini ? Jika kita melihat tentang riwayat-riwayat seputar hari raya, maka semakin meneguhkan bahwa Idul fitri adalah ibadah publik dan jamahiriyah yang menunjukkan syiar kekuatan umat Islam, dan membutuhkan kesatuan dalam aplikasinya. Diantara hal-hal yang menunjukkan nilai hari raya sebagai ibadah syiar adalah :
1. Mandi dan Memakai pakaian yang paling baik di hari raya, syiar kebahagiaan umat Islam untuk menunjukkan hari rayanya.
2. Sholat Ied diadakan di tanah lapang, pada waktu itu di batas kota bagian barat Madinah. Dan hanya satu untuk seluruh kota. Menunjukkan syiar tersendiri, dimana menyaksikan orang-orang keluar rumah menuju tanah lapang secara serempak.
3. Ajakan untuk seluruh kaum muslimin mendatangi lapangan tempat sholat, bahkan kepada wanita haid dan anak-anak, juga anjuran lainnya untuk memberikan jilbab bagi mereka yang belum memiliki. Tentu ini isyarat bahwa hari raya harus mengoptimalkan kehadiran kaum muslimin, sebanyak-banyaknya dan seoptimal mungkin. Bukan malah menjadi sedikit karena perbedaan hari raya. Dalam riwayat hadits-hadits tentang keterangan di atas, disebutkan salah satu alasannya adalah agar kaum wanita menyaksikan kebaikan dakwah kaum muslimin.
4. Sunnah Rasulullah SAW untuk mengambil jalan yang berbeda saat berangkat dan pulang, tidak lain dan tidak bukan adalah menunjukkan syiar tersendiri bagi kaum muslimin dan non muslim di Madinah
5. Adanya Takbir yang digaungkan pada hari raya, dengan waktu tertentu sebagaimana banyak riwayat menyebutkan, juga menunjukkan urgensi kebersamaan dalam aplikasinya.
6. Adanya aturan zakat fitrah yang terkait dengan pelaksanaan sholat idul fitri, maupun ibadah qurban yang terkait dengan waktu sholat idul adha, menunjukkan perlunya kekompakan dan kesatuan agar tidak terjadi kegelisahan dalam aplikasinya.
Hal di atas yang terkait dengan riwayat, secara logika kontemporer hari ini, pelaksanaan lebaran dan idul fitri sangat terkait dengan banyaknya kebiasaan masyarakat, juga meliputi hal-hal lain seperti transportasi, ekonomi dan sosial, karenanya syiar ukhuwah idul fitri menjadi sangat dibutuhkan pada saat ini.
Sebenarnya persepsi bahwa idul fitri bukanlah ibadah pribadi dan diserahkan individu-individu telah diisyaratkan oleh Rasulullah SAW. Riwayat hadist dari Abu Hurairah menyebutkan, Rasulullah SAW bersabda : “ Puasa adalah hari dimana kalian (orang-orang) berpuasa, dan hari raya berbuka (idul fitri-red) adalah hari dimana kalian (orang-orang) berbuka (dan berhari raya )“. (HR Tirmidzi dishahikan oleh Albani). Sebagian ulama menafsirkan hadits di atas dengan kesimpulan: “ bahwa berbuka dan berhari raya itu (haruslah) bersama-sama jama’ah dan sebagian besar (orang-orang) kaum muslimin.
Syeikh Albani mempertegas makna yang terkandung dalam hadits di atas, beliau mengatakan : “Inilah yang sesuai dengan syariat (Islam) yang toleran, yang diantara misinya adalah mempersatukan umat manusia, menyatukan barisan mereka serta menjauhkan mereka dari segala pendapat pribadi yang memicu perpecahan. Syariat ini tidak mengakui pendapat pribadi –meski menurut yang bersangkutan benar– dalam ibadah yang bersifat kebersamaan seperti; shaum, Id, dan shalat berjamaah.
Nah, bagi yang masih meyakini bahwa idul fitri adalah ibadah pribadi yang bersifat individu, bukan ibadah syiar dan simbol ukhuwah, maka bisa dipastikan masih akan senantiasa sibuk membela dan mempertahankan metode penetapan yang diyakininya benar. Saya sendiri, mewakili teriakan hati orang awam hanya ingin menekankan : silahkan para ulama dan ilmuwan bertemu dan berdiskusi, menentukan metode yang tepat untuk disepakati, apapun hasilnya entah itu rukyat global, rukyat lokal, hisab wujudul hilal atau hisab imkanur rukyat, kami siap mengikuti dengan niatan mengagungkan syiar idul fitri sebagai syiar agama Islam.
Firman Allah SWT : Artinya : “ … dan barang siapa yang mengagungkan syiar (agama) Allah, maka itu adalah bukti ada ketakwaan dalam hatinya “ (QS Al Hajj : 32).
Apalagi jika kita rujuk perbedaan seputar yang pro rukyat dan pro hisab, ataupun wahdatul matholi dan ikhtilaful matholi, wujudul hilal dan imkanur rukyah, maka wacana diskusi dan debat pun banyak terekam dengan baik dalam kitab-kitab klasik maupun kontemporer. Sayangnya, kalau kita masih membicarakan konsep mana yang paling unggul, maka sungguh harapan idul fitri yang serempak menjadi semakin jauh saja.
Justru yang saat ini perlu dibahas adalah, perdebatan dan perbedaan seputar cara pandang terhadap lebaran : yaitu apakah Idul ftri ini adalah ibadah pribadi sesuai dengan keyakinan masing-masing, ataukah idul fitri adalah ibadah jamaiyah dan jamahiriyah yang mengandung syiar ukhuwah dan kekuatan islam. Jadi bukan sekedar fiqhul ahkam saja yang perlu dikaji, namun juga fiqih aulawiyat dalam persepsi soal lebaran ini.
Hal ini menjadi penting, karena bagi mereka yang meyakini idul fitri adalah ibadah pribadi dan harus sesuai keyakinan masing-masing, maka akan melanjutkan arena perdebatan dan diskusi baik yang ilmiah maupun tidak, dan dengan semangat ibadah pribadi tentu akan sulit menyatukan pendapat yang ada. Dengan landasan di atas, orang akan mudah menyalahkan pendapat yang lainnya, tidak mau mengalah dan akhirnya memang masing-masing berlebaran sendiri sesuai dengan keyakinannya.
Sebaliknya, bagi mereka yang meyakini idul fitri adalah ibadah syiar dan jamahariyah, maka akan dicari solusi terbaik untuk menyatukan dengan metode ijtihad yang bisa disepakati. Sungguh saya terkesan dengan ungkapan KH Ghozali Masrurie, ketua Lajnah Falakiyah NU dalam wawancara di Jawa Pos yang menyatakan NU siap mengubah metode jika memang disepakati demi persatuan umat.
Lalu bagaimana sebenarnya tentang cara pandang lebaran ini ? Jika kita melihat tentang riwayat-riwayat seputar hari raya, maka semakin meneguhkan bahwa Idul fitri adalah ibadah publik dan jamahiriyah yang menunjukkan syiar kekuatan umat Islam, dan membutuhkan kesatuan dalam aplikasinya. Diantara hal-hal yang menunjukkan nilai hari raya sebagai ibadah syiar adalah :
1. Mandi dan Memakai pakaian yang paling baik di hari raya, syiar kebahagiaan umat Islam untuk menunjukkan hari rayanya.
2. Sholat Ied diadakan di tanah lapang, pada waktu itu di batas kota bagian barat Madinah. Dan hanya satu untuk seluruh kota. Menunjukkan syiar tersendiri, dimana menyaksikan orang-orang keluar rumah menuju tanah lapang secara serempak.
3. Ajakan untuk seluruh kaum muslimin mendatangi lapangan tempat sholat, bahkan kepada wanita haid dan anak-anak, juga anjuran lainnya untuk memberikan jilbab bagi mereka yang belum memiliki. Tentu ini isyarat bahwa hari raya harus mengoptimalkan kehadiran kaum muslimin, sebanyak-banyaknya dan seoptimal mungkin. Bukan malah menjadi sedikit karena perbedaan hari raya. Dalam riwayat hadits-hadits tentang keterangan di atas, disebutkan salah satu alasannya adalah agar kaum wanita menyaksikan kebaikan dakwah kaum muslimin.
4. Sunnah Rasulullah SAW untuk mengambil jalan yang berbeda saat berangkat dan pulang, tidak lain dan tidak bukan adalah menunjukkan syiar tersendiri bagi kaum muslimin dan non muslim di Madinah
5. Adanya Takbir yang digaungkan pada hari raya, dengan waktu tertentu sebagaimana banyak riwayat menyebutkan, juga menunjukkan urgensi kebersamaan dalam aplikasinya.
6. Adanya aturan zakat fitrah yang terkait dengan pelaksanaan sholat idul fitri, maupun ibadah qurban yang terkait dengan waktu sholat idul adha, menunjukkan perlunya kekompakan dan kesatuan agar tidak terjadi kegelisahan dalam aplikasinya.
Hal di atas yang terkait dengan riwayat, secara logika kontemporer hari ini, pelaksanaan lebaran dan idul fitri sangat terkait dengan banyaknya kebiasaan masyarakat, juga meliputi hal-hal lain seperti transportasi, ekonomi dan sosial, karenanya syiar ukhuwah idul fitri menjadi sangat dibutuhkan pada saat ini.
Sebenarnya persepsi bahwa idul fitri bukanlah ibadah pribadi dan diserahkan individu-individu telah diisyaratkan oleh Rasulullah SAW. Riwayat hadist dari Abu Hurairah menyebutkan, Rasulullah SAW bersabda : “ Puasa adalah hari dimana kalian (orang-orang) berpuasa, dan hari raya berbuka (idul fitri-red) adalah hari dimana kalian (orang-orang) berbuka (dan berhari raya )“. (HR Tirmidzi dishahikan oleh Albani). Sebagian ulama menafsirkan hadits di atas dengan kesimpulan: “ bahwa berbuka dan berhari raya itu (haruslah) bersama-sama jama’ah dan sebagian besar (orang-orang) kaum muslimin.
Syeikh Albani mempertegas makna yang terkandung dalam hadits di atas, beliau mengatakan : “Inilah yang sesuai dengan syariat (Islam) yang toleran, yang diantara misinya adalah mempersatukan umat manusia, menyatukan barisan mereka serta menjauhkan mereka dari segala pendapat pribadi yang memicu perpecahan. Syariat ini tidak mengakui pendapat pribadi –meski menurut yang bersangkutan benar– dalam ibadah yang bersifat kebersamaan seperti; shaum, Id, dan shalat berjamaah.
Nah, bagi yang masih meyakini bahwa idul fitri adalah ibadah pribadi yang bersifat individu, bukan ibadah syiar dan simbol ukhuwah, maka bisa dipastikan masih akan senantiasa sibuk membela dan mempertahankan metode penetapan yang diyakininya benar. Saya sendiri, mewakili teriakan hati orang awam hanya ingin menekankan : silahkan para ulama dan ilmuwan bertemu dan berdiskusi, menentukan metode yang tepat untuk disepakati, apapun hasilnya entah itu rukyat global, rukyat lokal, hisab wujudul hilal atau hisab imkanur rukyat, kami siap mengikuti dengan niatan mengagungkan syiar idul fitri sebagai syiar agama Islam.
Firman Allah SWT : Artinya : “ … dan barang siapa yang mengagungkan syiar (agama) Allah, maka itu adalah bukti ada ketakwaan dalam hatinya “ (QS Al Hajj : 32).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar