PENDAHULUAN
Salah satu hal utama yang membedakan antara lembaga keuangan syariah dan konvensional adalah adanya sistem pengawasan syariah (riqobah syar’iyyah) . Maka baik lembaga keuangan syariah (LKS) yang berbentuk bank maupun non-bank pun diwajibkan memiliki Dewan Pengawas Syariah dalam struktur kelembagaannya. Kewajiban keberadaan DPS ini bahkan diisyaratkan secara jelas dan legal dalam beberapa Undang-Undang, diantaranya Undang-undang Nomer 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah, yang menyebutkan : Dewan Pengawas Syariah wajib dibentuk di Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS. Sementara untuk Lembaga Keuangan Syariah non Bank, kewajiban ini diantaranya disebutkan dalam Undang-undang Nomer 40 tahun 2007 pasal 109 tentang Perseroan Terbatas, pasal 1 tersebutkan : Perseroan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah selain mempunyai Dewan Komisaris wajib mempunyai Dewan Pengawas Syariah.
Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sebagai Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS), yang berbentuk dalam payung hukum Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS), juga mempunyai kewajiban yang sama dalam pembentukan Pengawas Syariah. Keputusan Menkop & UKM no 91 tahun 2004 yang mengatur tentang Juklak Kegiatan KJKS juga menyebutkan secara umum dalam pasal-pasalnya tentang kedudukan DPS dalam kelembagaan KJKS, beserta beberapa wewenang terkait operasional KJKS.
Meskipun ada persamaan antara semua LKS dalam kewajiban pembentukan DPS, namun dalam tataran operasional dan optimalisasinya sungguh jauh berbeda. Perbedaan ini secara umum ada antara LKS Bank dan Non Bank, dan secara khusus antara BMT dan LKS yang lainnya. Pengawasan Syariah untuk Bank Syariah relatif berjalan lebih dinamis sekalipun tetap tercatat banyak permasalahan di dalamnya, dibanding dengan Pengawasan Syariah di LKS non Bank seperti Asuransi Syariah, Pasar Modal Syariah, Reksadana Syariah, Pegadaian Syariah yang terlihat damai-damai saja tanpa banyak pembahasan dan penggalian. Hal ini sebenarnya bisa dikaitkan dengan ragam akad syariah yang digunakan, karena Bank Syariah menggunakan lebih banyak ragam akad syariah sehingga model pengawasan Syariahnya pun terasa lebih dinamis. Sementara LKS non Bank relatif hanya menggunakan akad terbatas dalam operasionalnya, sehingga Pengawasan Syariahnya pun terkesan tidak banyak gejolak dan dinamisasi. Tentu hal ini tidak selamanya tepat karena fungsi Pengawasan Syariah sendiri sebenarnya tidak terbatas pada jenis akad saja, namun banyak sisi diluar akad dan produk yang juga membutuhkan perhatian yang sama.
BMT yang secara fungsi mediasi mempunyai kemiripan dengan Bank Syariah (BPRS/BUS) dibandingkan dengan LKS non Bank lainnya, seharusnya juga memiliki perhatian yang sama tentang optimalisasi DPS di dalam struktur kelembagaannya. Namun realita di lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Meskipun dalam Standar Operasional Prosedur (SOP) KJKS telah diatur tentang jabaran Tugas Pokok , Fungsi dan Wewenang DPS dalam KJKS namun belum banyak Pengurus BMT/KJKS yang secara sungguh-sungguh menjalankannya untuk optimalisasi pengawasan Syariah di lembaganya tersebut. Bahkan tidak jarang di beberapa tempat menunjukkan keberadaan DPS di BMT tersebut hanya sebatas nama, simbol atau hanya sebagai kelengkapan syarat di awal pengajuan pendirian BMT.
Tidak optimalnya DPS bukan hanya dari sisi BMT/KJKS semata, namun dari sisi pendekatan top-down, kita juga bisa menemukan bahwa baik DSN –MUI (Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia) maupun ABISINDO (Asosiasi Baitul Maal wa Tamwil Seluruh Indonesia) belum memberikan porsi yang cukup untuk menjalankan usaha-usaha optimalisasi DPS pada BMT, bahkan terkesan mendiamkan dan membiarkan. Secara sederhana, hal ini tentu bisa dipahami mengingat porsi BMT dalam total perputaran aset perbankan syariah di Indonesia, masih teramat kecil. Menjadi pion dalam sistem ‘tata surya’ ekonomi syariah, di dalam ‘galaksi’ sistem ekonomi konvensional di Indonesia, adalah alasan yang wajar mengapa BMT dan Pengawasan Syariahnya tidak terlampau banyak diperhatikan.
Pada saat yang sama Kementrian Koperasi sebagai payung hukum formal BMT juga tidak terlampau peduli dengan Pengawasan syariah di BMT. Padahal secara wewenang Kementrian Koperasi dalam hal ini Dinas Koperasi bisa membubarkan sebuah BMT/KJKS jika dipandang tidak menjalankan prinsip-prinsip syariah berdasarkan penilaian DPS. Keputusan Menkop & UKM no 91 tahun 2004 yang mengatur tentang Juklak Kegiatan KJKS, menyebutkan wewenang ini secara jelas dalam Pasar 42 yang berbunyi : Pejabat berwenang membubarkan Koperasi Jasa Keuangan Syariah atau koperasi yang mempunyai Unit Jasa Keuangan Syariah jika Koperasi yang bersangkutan, berdasarkan penilaian Dewan Pengawas Syariah telah terbukti melanggar prinsip-prinsip syariah dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Berdasarkan aturan tersebut, dengan wewenang yang ada, semestinya Kementrian/Dinas Koperasi juga berkepentingan untuk mewujudkan optimalisasi DPS di KJKS yang ada dalam koordinasinya. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan, Dinas Koperasi selama ini sudah cukup sibuk dengan mengurusi koperasi-koperasi yang tidak sehat secara modal dan keuangan, belum menyentuh koperasi yang tidak sehat secara kepatuhan syariah.
Jika kita melihat perkembangan BMT yang begitu cepat, dimana saat ini secara kelembagaan sudah mencapai 4.000 LKMS/BMT dengan aset total sekitar Rp3 triliun rupiah, bahkan BMT yang besar seperti Bina Usaha Mandiri di Lasem dan BMT Sidogiri di Jawa Timur yang asetnya masing-masing mencapai 300 M, maka sudah sewajarnya Pengawasan Syariah di BMT ini memerlukan perhatian khusus. Salah satu hambatan dalam berjalannya Pengawasan Syariah di BMT adalah kurangnya kesadaran Pengurus BMT/KJKS akan pentingnya pengawasan syariah, sehingga tidak banyak melibatkan Dewan Pengawas Syariah dalam menjalankan BMTnya. Sementara pada saat yang sama, Dewan Pengawas Syariah yang ada pada BMT-BMT tersebut, sebagian besar belum memahami sepenuhnya tugas dan fungsi yang harus dijalankan.
Dari semua gambaran kondisi itulah, maka perlu panduan atau gambaran yang lebih jelas tentang tugas dan fungsi Dewan Pengawas Syariah di BMT, dari mulai fungsi dan kedudukannya, hingga operasional mekanisme pengawasan yang semestinya. Tulisan ini adalah sebuah gagasan, usulan, untuk mempertajam pasal-pasal yang sudah ada dalam regulasi, terkait tugas pokok dan fungsi Pengawasan Syariah di BMT. Harapan sederhana adalah, dengan mengenal ‘medan’ pengawasan syariah di BMT secara lebih jelas, maka kesadaran semua pihak akan semakin meningkat secara bertahap, menuju optimalisasinya Pengawasan Syariah di BMT/KJKS.
bersambung bagian 2 : Urgensi Pengawasan Syariah di BMT
Salah satu hal utama yang membedakan antara lembaga keuangan syariah dan konvensional adalah adanya sistem pengawasan syariah (riqobah syar’iyyah) . Maka baik lembaga keuangan syariah (LKS) yang berbentuk bank maupun non-bank pun diwajibkan memiliki Dewan Pengawas Syariah dalam struktur kelembagaannya. Kewajiban keberadaan DPS ini bahkan diisyaratkan secara jelas dan legal dalam beberapa Undang-Undang, diantaranya Undang-undang Nomer 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah, yang menyebutkan : Dewan Pengawas Syariah wajib dibentuk di Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS. Sementara untuk Lembaga Keuangan Syariah non Bank, kewajiban ini diantaranya disebutkan dalam Undang-undang Nomer 40 tahun 2007 pasal 109 tentang Perseroan Terbatas, pasal 1 tersebutkan : Perseroan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah selain mempunyai Dewan Komisaris wajib mempunyai Dewan Pengawas Syariah.
Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sebagai Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS), yang berbentuk dalam payung hukum Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS), juga mempunyai kewajiban yang sama dalam pembentukan Pengawas Syariah. Keputusan Menkop & UKM no 91 tahun 2004 yang mengatur tentang Juklak Kegiatan KJKS juga menyebutkan secara umum dalam pasal-pasalnya tentang kedudukan DPS dalam kelembagaan KJKS, beserta beberapa wewenang terkait operasional KJKS.
Meskipun ada persamaan antara semua LKS dalam kewajiban pembentukan DPS, namun dalam tataran operasional dan optimalisasinya sungguh jauh berbeda. Perbedaan ini secara umum ada antara LKS Bank dan Non Bank, dan secara khusus antara BMT dan LKS yang lainnya. Pengawasan Syariah untuk Bank Syariah relatif berjalan lebih dinamis sekalipun tetap tercatat banyak permasalahan di dalamnya, dibanding dengan Pengawasan Syariah di LKS non Bank seperti Asuransi Syariah, Pasar Modal Syariah, Reksadana Syariah, Pegadaian Syariah yang terlihat damai-damai saja tanpa banyak pembahasan dan penggalian. Hal ini sebenarnya bisa dikaitkan dengan ragam akad syariah yang digunakan, karena Bank Syariah menggunakan lebih banyak ragam akad syariah sehingga model pengawasan Syariahnya pun terasa lebih dinamis. Sementara LKS non Bank relatif hanya menggunakan akad terbatas dalam operasionalnya, sehingga Pengawasan Syariahnya pun terkesan tidak banyak gejolak dan dinamisasi. Tentu hal ini tidak selamanya tepat karena fungsi Pengawasan Syariah sendiri sebenarnya tidak terbatas pada jenis akad saja, namun banyak sisi diluar akad dan produk yang juga membutuhkan perhatian yang sama.
BMT yang secara fungsi mediasi mempunyai kemiripan dengan Bank Syariah (BPRS/BUS) dibandingkan dengan LKS non Bank lainnya, seharusnya juga memiliki perhatian yang sama tentang optimalisasi DPS di dalam struktur kelembagaannya. Namun realita di lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Meskipun dalam Standar Operasional Prosedur (SOP) KJKS telah diatur tentang jabaran Tugas Pokok , Fungsi dan Wewenang DPS dalam KJKS namun belum banyak Pengurus BMT/KJKS yang secara sungguh-sungguh menjalankannya untuk optimalisasi pengawasan Syariah di lembaganya tersebut. Bahkan tidak jarang di beberapa tempat menunjukkan keberadaan DPS di BMT tersebut hanya sebatas nama, simbol atau hanya sebagai kelengkapan syarat di awal pengajuan pendirian BMT.
Tidak optimalnya DPS bukan hanya dari sisi BMT/KJKS semata, namun dari sisi pendekatan top-down, kita juga bisa menemukan bahwa baik DSN –MUI (Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia) maupun ABISINDO (Asosiasi Baitul Maal wa Tamwil Seluruh Indonesia) belum memberikan porsi yang cukup untuk menjalankan usaha-usaha optimalisasi DPS pada BMT, bahkan terkesan mendiamkan dan membiarkan. Secara sederhana, hal ini tentu bisa dipahami mengingat porsi BMT dalam total perputaran aset perbankan syariah di Indonesia, masih teramat kecil. Menjadi pion dalam sistem ‘tata surya’ ekonomi syariah, di dalam ‘galaksi’ sistem ekonomi konvensional di Indonesia, adalah alasan yang wajar mengapa BMT dan Pengawasan Syariahnya tidak terlampau banyak diperhatikan.
Pada saat yang sama Kementrian Koperasi sebagai payung hukum formal BMT juga tidak terlampau peduli dengan Pengawasan syariah di BMT. Padahal secara wewenang Kementrian Koperasi dalam hal ini Dinas Koperasi bisa membubarkan sebuah BMT/KJKS jika dipandang tidak menjalankan prinsip-prinsip syariah berdasarkan penilaian DPS. Keputusan Menkop & UKM no 91 tahun 2004 yang mengatur tentang Juklak Kegiatan KJKS, menyebutkan wewenang ini secara jelas dalam Pasar 42 yang berbunyi : Pejabat berwenang membubarkan Koperasi Jasa Keuangan Syariah atau koperasi yang mempunyai Unit Jasa Keuangan Syariah jika Koperasi yang bersangkutan, berdasarkan penilaian Dewan Pengawas Syariah telah terbukti melanggar prinsip-prinsip syariah dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Berdasarkan aturan tersebut, dengan wewenang yang ada, semestinya Kementrian/Dinas Koperasi juga berkepentingan untuk mewujudkan optimalisasi DPS di KJKS yang ada dalam koordinasinya. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan, Dinas Koperasi selama ini sudah cukup sibuk dengan mengurusi koperasi-koperasi yang tidak sehat secara modal dan keuangan, belum menyentuh koperasi yang tidak sehat secara kepatuhan syariah.
Jika kita melihat perkembangan BMT yang begitu cepat, dimana saat ini secara kelembagaan sudah mencapai 4.000 LKMS/BMT dengan aset total sekitar Rp3 triliun rupiah, bahkan BMT yang besar seperti Bina Usaha Mandiri di Lasem dan BMT Sidogiri di Jawa Timur yang asetnya masing-masing mencapai 300 M, maka sudah sewajarnya Pengawasan Syariah di BMT ini memerlukan perhatian khusus. Salah satu hambatan dalam berjalannya Pengawasan Syariah di BMT adalah kurangnya kesadaran Pengurus BMT/KJKS akan pentingnya pengawasan syariah, sehingga tidak banyak melibatkan Dewan Pengawas Syariah dalam menjalankan BMTnya. Sementara pada saat yang sama, Dewan Pengawas Syariah yang ada pada BMT-BMT tersebut, sebagian besar belum memahami sepenuhnya tugas dan fungsi yang harus dijalankan.
Dari semua gambaran kondisi itulah, maka perlu panduan atau gambaran yang lebih jelas tentang tugas dan fungsi Dewan Pengawas Syariah di BMT, dari mulai fungsi dan kedudukannya, hingga operasional mekanisme pengawasan yang semestinya. Tulisan ini adalah sebuah gagasan, usulan, untuk mempertajam pasal-pasal yang sudah ada dalam regulasi, terkait tugas pokok dan fungsi Pengawasan Syariah di BMT. Harapan sederhana adalah, dengan mengenal ‘medan’ pengawasan syariah di BMT secara lebih jelas, maka kesadaran semua pihak akan semakin meningkat secara bertahap, menuju optimalisasinya Pengawasan Syariah di BMT/KJKS.
bersambung bagian 2 : Urgensi Pengawasan Syariah di BMT
gini saya mo nanya apa pencairan bmt emang lambat soalnya saya udah pengajuan udah satu bulan setengah blm caer kata petugasnya bulan depan baru caer gmn itu mohon penjelasanya
BalasHapus