URGENSI PENGAWASAN SYARIAH DI BMT
Sebagaimana pada Lembaga Keuangan Syariah lainnya, pengawasan syariah mempunyai urgensi yang penting baik bagi kepentingan internal lembaga, masyarakat maupun perkembangan ekonomi syariah secara umum. Dengan pengawasan syariah yang berjalan optimal, maka secara psikologis akan menumbuhkan kenyamanan beraktifitas dan bertransaksi, baik masyarakat yang akan berhubungan dengan BMT, maupun pihak pengelola dan pengurus yang menjalankan operasional BMT. Bagi perkembangan ekonomi syariah, optimalisasi Pengawasan Syariah di BMT akan meminimalisir kesalahan dan penyimpangan yang selama ini terjadi, dan sedikit banyak akan memperbarui optimisme masyarakat dalam menyambut perkembangan ekonomi syariah.
Secara umum, pengawasan syariah bagi LKS mempunyai nilai urgensi yang tinggi, karena perkembangan jenis transaksi keuangan dan aktifitas perdagangan yang begitu cepat dan beragam, membutuhkan penyikapan yang cepat dan tepat untuk memastikan sisi legalitas syariahnya. Lembaga Pengawasan Syariah tertinggi yang dalam hal ini DSN-MUI bertugas mengeluarkan Fatwa-Fatwa untuk memberikan solusi alternatif akad-akad syariah yang paling memungkinkan dilakukan. Produk-produk pengembangan yang dihasilkan dari Fatwa-fatwa tersebut diharapkan bisa kompetitif bahkan lebih unggul dibanding produk semisal di bank konvensional. Tanpa adanya fatwa-fatwa kontemporer yang dikeluarkan DSN-MUI, maka yang terjadi adalah ekonomi syariah akan dilekatkan dengan citra ketinggalan jaman karena produk-produknya tidak berkembang dan tidak mampu menjawab kebutuhan zaman.
Adapun secara khusus terkait pada BMT/KJKS, maka pengawasan syariah di dalamnya mempunyai beberapa nilai urgensi, diantaranya disebabkan hal sebagai berikut :
1) BMT adalah LKS yang bernaung di bawah Kementrian Koperasi, sehingga tidak mempunyai alur kontrol dan pengawasan yang ketat sebagaimana Bank Syariah atau BPRS, dimana disana ada Bank Indonesia yang secara rutin mengawasi, meminta laporan dan mencari-cari celah penyimpangan yang dilakukan pihak Bank atau BPRS. Maka keberadaan DPS pada BMT/KJKS secara tidak langsung menjadi sarana audit internal kelembagaan tersebut, selaian pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah tentunya. Dalam Kepmen no 91 tentang Juklak KJKS, fungsi pengawasan internal DPS ini disebutkan dalam pasal 32 yang berbunyi : Dewan Pengawas Syariah bertugas melakukan pengawasan pelaksanaan kegiatan usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah / Unit Jasa Keuangan Syariah berdasarkan prinsip-prinsip syariah dan melaporkan hasil pengawasannya kepada Pejabat. Yang dimaksudkan dengan Pejabat ini sebagaimana disebutkan dalam Bab Ketentuan Umum adalah : aparatur pemerintah yang ditetapkan Menteri dan berwenang mengesahkan akta pendirian, perubahan AD dan pembubaran koperasi di pusat, propinsi dan kabupaten/kota.
2) Karena tidak terikat dan tidak terkait dengan Peraturan Bank Indonesia, maka dalam pengembangan dan inovasi produknya, BMT mempunyai ruang gerak yang lebih luas karena cukup dengan mendasarkan dalam perancangan produknya pada fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional- Majelis Ulama Indonesia. Sampai saat ini DSN MUI telah mengeluarkan 82 Fatwa tentang akad dan transaksi syariah, dimana masih sebagian kecil yang diaplikasikan di BMT. Untuk menterjemahkan dan memperinci Fatwa DSN –MUI dalam bentuk akad produk itulah mutlak keberadaan DPS BMT yang optimal diperlukan. Lebih lanjut tentang inovasi produk dan peran DPS di dalamnya akan dibahas secara terpisah.
3) BMT lahir, hidup dan tumbuh berkembang di tengah masyarakat. Anggota KJKS BMT biasanya kalangan menengah ke bawah yang tinggal di pedesaan maupun pojok perkotaan. Mereka menitipkan dana pada BMT sebagian besar karena alasan kedekatan lokasi, kedekatan dengan pengurus, dan tentu saja kenyamanan dari sisi syariahnya. Masyarakat yang menyimpan uang di BMT lebih disebabkan faktor ‘loyalis syariah’ bukan faktor mencari keuntungan dari Return On Investment. Sebagai loyalis syariah, masyarakat menuntut BMT benar-benar berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai syariah, baik dari sisi akad, aplikasi maupun pengelolaannya. Kepercayaan dan kecintaan masyarakat akan terpelihara selama pihak BMT mampu membuktikan berjalannya pengawasan syariah dengan baik dan optimal.
Bersambung Bagian 3 : Profil Pengawasan Syariah BMT
Sebagaimana pada Lembaga Keuangan Syariah lainnya, pengawasan syariah mempunyai urgensi yang penting baik bagi kepentingan internal lembaga, masyarakat maupun perkembangan ekonomi syariah secara umum. Dengan pengawasan syariah yang berjalan optimal, maka secara psikologis akan menumbuhkan kenyamanan beraktifitas dan bertransaksi, baik masyarakat yang akan berhubungan dengan BMT, maupun pihak pengelola dan pengurus yang menjalankan operasional BMT. Bagi perkembangan ekonomi syariah, optimalisasi Pengawasan Syariah di BMT akan meminimalisir kesalahan dan penyimpangan yang selama ini terjadi, dan sedikit banyak akan memperbarui optimisme masyarakat dalam menyambut perkembangan ekonomi syariah.
Secara umum, pengawasan syariah bagi LKS mempunyai nilai urgensi yang tinggi, karena perkembangan jenis transaksi keuangan dan aktifitas perdagangan yang begitu cepat dan beragam, membutuhkan penyikapan yang cepat dan tepat untuk memastikan sisi legalitas syariahnya. Lembaga Pengawasan Syariah tertinggi yang dalam hal ini DSN-MUI bertugas mengeluarkan Fatwa-Fatwa untuk memberikan solusi alternatif akad-akad syariah yang paling memungkinkan dilakukan. Produk-produk pengembangan yang dihasilkan dari Fatwa-fatwa tersebut diharapkan bisa kompetitif bahkan lebih unggul dibanding produk semisal di bank konvensional. Tanpa adanya fatwa-fatwa kontemporer yang dikeluarkan DSN-MUI, maka yang terjadi adalah ekonomi syariah akan dilekatkan dengan citra ketinggalan jaman karena produk-produknya tidak berkembang dan tidak mampu menjawab kebutuhan zaman.
Adapun secara khusus terkait pada BMT/KJKS, maka pengawasan syariah di dalamnya mempunyai beberapa nilai urgensi, diantaranya disebabkan hal sebagai berikut :
1) BMT adalah LKS yang bernaung di bawah Kementrian Koperasi, sehingga tidak mempunyai alur kontrol dan pengawasan yang ketat sebagaimana Bank Syariah atau BPRS, dimana disana ada Bank Indonesia yang secara rutin mengawasi, meminta laporan dan mencari-cari celah penyimpangan yang dilakukan pihak Bank atau BPRS. Maka keberadaan DPS pada BMT/KJKS secara tidak langsung menjadi sarana audit internal kelembagaan tersebut, selaian pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah tentunya. Dalam Kepmen no 91 tentang Juklak KJKS, fungsi pengawasan internal DPS ini disebutkan dalam pasal 32 yang berbunyi : Dewan Pengawas Syariah bertugas melakukan pengawasan pelaksanaan kegiatan usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah / Unit Jasa Keuangan Syariah berdasarkan prinsip-prinsip syariah dan melaporkan hasil pengawasannya kepada Pejabat. Yang dimaksudkan dengan Pejabat ini sebagaimana disebutkan dalam Bab Ketentuan Umum adalah : aparatur pemerintah yang ditetapkan Menteri dan berwenang mengesahkan akta pendirian, perubahan AD dan pembubaran koperasi di pusat, propinsi dan kabupaten/kota.
2) Karena tidak terikat dan tidak terkait dengan Peraturan Bank Indonesia, maka dalam pengembangan dan inovasi produknya, BMT mempunyai ruang gerak yang lebih luas karena cukup dengan mendasarkan dalam perancangan produknya pada fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional- Majelis Ulama Indonesia. Sampai saat ini DSN MUI telah mengeluarkan 82 Fatwa tentang akad dan transaksi syariah, dimana masih sebagian kecil yang diaplikasikan di BMT. Untuk menterjemahkan dan memperinci Fatwa DSN –MUI dalam bentuk akad produk itulah mutlak keberadaan DPS BMT yang optimal diperlukan. Lebih lanjut tentang inovasi produk dan peran DPS di dalamnya akan dibahas secara terpisah.
3) BMT lahir, hidup dan tumbuh berkembang di tengah masyarakat. Anggota KJKS BMT biasanya kalangan menengah ke bawah yang tinggal di pedesaan maupun pojok perkotaan. Mereka menitipkan dana pada BMT sebagian besar karena alasan kedekatan lokasi, kedekatan dengan pengurus, dan tentu saja kenyamanan dari sisi syariahnya. Masyarakat yang menyimpan uang di BMT lebih disebabkan faktor ‘loyalis syariah’ bukan faktor mencari keuntungan dari Return On Investment. Sebagai loyalis syariah, masyarakat menuntut BMT benar-benar berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai syariah, baik dari sisi akad, aplikasi maupun pengelolaannya. Kepercayaan dan kecintaan masyarakat akan terpelihara selama pihak BMT mampu membuktikan berjalannya pengawasan syariah dengan baik dan optimal.
Bersambung Bagian 3 : Profil Pengawasan Syariah BMT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar