RUANG LINGKUP & OBJEK PENGAWASAN
Meskipun DPS KJKS BMT memiliki fungsi penting lain diluar pengawasan yaitu pembinaan dan pengembangan produk, namun yang menjadi penting bagi nasabah dan masyarakat adalah adanya kejelasan dan indokator berjalannya prinsip-prinsip syariah pada BMT tersebut. Karenanya setiap DPS KJKS BMT harus tetap fokus dalam objek pengawasan untuk kemudian bisa dibuat laporan pandangan umum secara tahunan untuk memberikan nilai sejauh mana keselarasan aktifitas bank dengan prinsip syariah.
Laporan tersebut harus bisa menggambarkan adanya Jaminan kepatuhan syariah (shari’a compliance assurance) atas keseluruhan aktivitas KJKS/BMT dalam setahun perjalanannya. Menurut Noven Suprayogi dalam makalahnya “ DPS dan Pengawasan Internal Syariah Pada Bank Syariah”, ada beberapa indikator yang dapat digunakan sebagai ukuran secara kualitatif untuk menilai kepatuhan syariah dalam lembaga keuangan syariah antara lain :
1. Akad atau kontrak yang digunakan untuk pengumpulan dan penyaluran dana sesuai dengan prinsip-prinsip dan aturan syariah yang berlaku
2. Dana zakat dihitung dan dibayar serta dikelola sesuai dengan aturan dan prinsip-prinsip syariah
3. Seluruh transaksi dan aktivitas ekonomi dilaporkan secara wajar sesuai dengan standar akuntansi syariah yang berlaku
4. Lingkungan kerja dan corporate culture sesuai dengan syariah
5. Bisnis dan usaha yang dibiayai tidak bertentangan dengan syariah
6. Terdapat dewan pengawas syariah sebagai pengarah syariah atas keseluruhan aktivitas operasional bank syariah
7. Sumber dana berasal dari sumber dana yang sah dan halal menurut syariah
Dengan demikian, ruang lingkup dan objek pengawasan DPS KJKS BMT bisa lebih fokus dengan memberikan pengawasan, pengarahan dan memberikan penilaian kualitatif terhadap tujuh indikator di atas, khususnya terkait laporan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, baik Rapat Anggota, Pejabat Pemerintahan, maupun DSN-MUI.
MEKANISME & OPERASIONAL KERJA DPS
Meskipun tugas pokok DPS KJKS BMT telah diatur dalam regulasi yang ada (SOP), namun dalam aplikasi bentuk mekanisme pengawasan dan kerjanya, setiap BMT bisa menyesuaikan model mekanisme dan operasional kerja DPS, dimana semakin intensif keterlibatan DPS pada BMT maka hasil dan optimalisasi pengawasan syariah juga akan berbeda. Prof. Rifaat Karim, Sekertaris Jendral IFSB, menyebutkan ada tiga model pengawasan syariah oleh DPS yang diwujudkan dalam bentuk organisasi DPS yaitu :
Pertama : Model penasihat, yaitu : menjadikan pakar-pakar syariah sebagai penasihat semata dan kedudukannya dalam organisasi adalah sebagai tenaga part time yang datang ke kantor jika diperlukan
Kedua : Model pengawasan, yaitu : adanya pengawasan syariah yang dilakukan oleh beberapa pakar syariah terhadap bank syariah dengan secara rutin mendiskusikan masalah-masalah syariah dengan para pengambil keputusan operasional maupun keuangan organisasi
Ketiga : Model departemen syariah, yaitu : model pengawasan syariah yang dilakukan oleh departemen syariah. Dengan model ini para ahli syariah bertugas full time, didukung oleh staf teknis yang membantu tugas-tugas pengawasan syariah yang telah digariskan oleh ahli syariah departemen tersebut.
Untuk tercapainya optimalisasi pengawasan syariah, khususnya pada KJKS BMT yang telah mempunyai aset besar, banyak cabang, dan jenis transaksi yang begitu beragam dan dinamis, maka model pengawasan syariah bentuk ketiga, yaitu semacam model divisi audit syariah menjadi satu hal yang wajar untuk diwujudkan.
Hambatan Teknis dalam Operasional & Mekanisme Pengawasan Syariah
Sertifikasi Dewan Pengawas Syariah angkatan ke VII yang digelar DSN MUI pada Juni 2011 yang lalu, salah satu bagian agendanya adalah menginventaris beberapa hambatan dan kelemahan yang dialami oleh DPS dalam menjalankan mekanisme kerjanya. Hambatan tersebut bisa berawal dari internal (kapasitas), maupun juga dari eksternal ( pengurus dan pengelola).
Berikut beberapa point hambatan internal yang paling sering mengemuka, antara lain :
a) Tidak mengerti aplikasi fiqih muamalah di dunia perbankan
b) Kekurangan ilmu dan kemampuan dalam memeriksa bank syariah
c) Tidak bisa sharing dengan DPS lainnya karena kurangnya ilmu
d) Pengetahuan kurang memadai tentang pemeriksaan tentang angka-angka karena pengetahuannya hanya terbatas pada hukum (Islam)
e) Belum tahu apa yang harus diteliti (secara spesifik)
f) Karena masih belum memahami penuh tentang perbankan syariah
g) Anggota DPS kurang mengerti tentang operasional perbankan secara ilmiah
h) Sulit melakukan pemeriksaan neraca dalam rangka mencari dana yang tidak syariah
i) Belum memiliki pengetahuan/instrumen yang praktis dalam pengawasan
Hambatan yang muncul dari pihak Pengurus/Pengelola, antara lain :
a) Ruang kerja tidak memadai (di sebagian bank malah tidak ada ruangan sama sekali)
b) Belum ada staf khusus untuk DPS untuk DPS yang membantu melakukan uji petik.
c) Obyek pengawasan (jumlah akad, jumlah kantor cabang) banyak sekali
d) Pihak direksi kurang cooperatif, Menghadapi alasan-alasan pihak direktur
e) Data bank tidak terbuka untuk DPS
f) Direksi tidak mengikutkan DPS dalam rapat pengurus dan kurangnya konsultasi direksi dengan DPS
g) Ingin turun pemeriksaan ke lapangan, tapi belum terealisasi. Padahal program kerja sudah disampaikan kepada pengurus dan pengelola.
h) Banyak kesalahan syariah karena minimnya pengetahuan syariah pengelola
i) Teguran yang tidak diperhatikan
Inventarisasi permasalahan dan hambatan di atas menjadi penting untuk melakukan upaya preventif (pencegahan) agar tidak berulang pada KJKS BMT dan bisa segera dicarikan solusi permasalahannya.
INOVASI PRODUK & AKAD-AKAD SYARIAH DI BMT
Salah satu ciri khas KJKS BMT dibandingkan dengan BPRS adalah mempunyai peluang yang besar untuk inovasi produk. Ruang ini dibuka lebar dalam regulasi Kepmen 91 pasal 23 tentang Pembiayaan, ayat yang ke-3 yang menyebutkan : Pengembangan layanan pembiayaan dalam bentuk lain, dimungkinkan sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan memiliki landasan syariah yang jelas serta telah mendapatkan fatwa dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia.
Yang dimaksud dengan kalimat ‘telah mendapatkan fatwa dari DSN-MUI’ pada pasal tersebut tentunya bukan selalu berarti setiap rancangan produk BMT harus difatwakan dahulu secara khusus oleh DSN-MUI, karena secara aplikasi tentu akan sangat rumit dan menyulitkan, namun yang dimaksud adalah setiap produk pengembangan haruslah berlandaskan fatwa yang sudah ditetapkan DSN-MUI. Hal ini tersebutkan dengan jelas dalam pengertian DPS dalam Ketentuan Umum Kepmen no 91, bahwa : Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang dipilih oleh koperasi yang bersangkutan berdasarkan keputusan rapat anggota dan beranggotakan alim ulama yang ahli dalam syariah yang menjalankan fungsi dan tugas sebagai pengawas syariah pada koperasi yang bersangkutan dan berwenang memberikan tanggapan atau penafsiran terhadap fatwa yang dikeluarkan Dewan Syariah Nasional.
Sebagaimana tertuang dalam pembahasan sebelumnya tentang Otoritas Dewan Pengawas Syariah, maka kecermatan analisa dan kemampuan DPS lebih difokuskan dalam menterjemahkan fatwa-fatwa DSN MUI dalam aplikasi akad yang solutif dan menarik bagi masyarakat, bukan berijtihad secara mandiri apalagi menyalahi fatwa yang sudah disahkan oleh DSN-MUI. Tidak jarang ada perbedaan pendapat dalam sebuah permasalahan fiqih muamalah, maka DPS KJKS BMT hendaknya tidak ikut melibatkan dalam perdebatan wacana yang ada, namun mengikuti hasil yang sudah disepakati dalam Fatwa DSN-MUI.
Kesimpulan sederhana yang bisa ditarik adalah, dengan optimalnya Pengawasan Syariah pada sebuah BMT/KJKS maka hal tersebut juga akan membuka ruang lebih lebar untuk terciptanya produk dan inovasi baru yang menarik, solutif dan tentu saja tetap mempunyai legalitas syar’i yang mumpuni.
PENUTUP
Optimalisasi Pengawasan Syariah pada BMT bukan murni inisiatif dari DPS KJKS BMT yang telah ada, namun juga dukungan penuh dari pengurus, pengelola dan juga pihak luar yang berwenang seperti pejabat pemerintahan dan DSN-MUI. Perkembangan KJKS BMT yang begitu cepat menyebar sudah seharusnya memompa semangat untuk mengoptimalkan pengawasan syariah. Tanpa pengawasan syariah, penyimpangan kecil akan terus beranjak menjadi semakin besar dan susah terkendali, dan akan berubah menjadi bencana jika menjadi suatu hal yang dimaklumi atau bahkan di nikmati, baik oleh pengurus, pengelola, maupun nasabahnya. Semoga kita semua terhindar dari hal yang demikian. Wallahu a’lam bisshowab
Meskipun DPS KJKS BMT memiliki fungsi penting lain diluar pengawasan yaitu pembinaan dan pengembangan produk, namun yang menjadi penting bagi nasabah dan masyarakat adalah adanya kejelasan dan indokator berjalannya prinsip-prinsip syariah pada BMT tersebut. Karenanya setiap DPS KJKS BMT harus tetap fokus dalam objek pengawasan untuk kemudian bisa dibuat laporan pandangan umum secara tahunan untuk memberikan nilai sejauh mana keselarasan aktifitas bank dengan prinsip syariah.
Laporan tersebut harus bisa menggambarkan adanya Jaminan kepatuhan syariah (shari’a compliance assurance) atas keseluruhan aktivitas KJKS/BMT dalam setahun perjalanannya. Menurut Noven Suprayogi dalam makalahnya “ DPS dan Pengawasan Internal Syariah Pada Bank Syariah”, ada beberapa indikator yang dapat digunakan sebagai ukuran secara kualitatif untuk menilai kepatuhan syariah dalam lembaga keuangan syariah antara lain :
1. Akad atau kontrak yang digunakan untuk pengumpulan dan penyaluran dana sesuai dengan prinsip-prinsip dan aturan syariah yang berlaku
2. Dana zakat dihitung dan dibayar serta dikelola sesuai dengan aturan dan prinsip-prinsip syariah
3. Seluruh transaksi dan aktivitas ekonomi dilaporkan secara wajar sesuai dengan standar akuntansi syariah yang berlaku
4. Lingkungan kerja dan corporate culture sesuai dengan syariah
5. Bisnis dan usaha yang dibiayai tidak bertentangan dengan syariah
6. Terdapat dewan pengawas syariah sebagai pengarah syariah atas keseluruhan aktivitas operasional bank syariah
7. Sumber dana berasal dari sumber dana yang sah dan halal menurut syariah
Dengan demikian, ruang lingkup dan objek pengawasan DPS KJKS BMT bisa lebih fokus dengan memberikan pengawasan, pengarahan dan memberikan penilaian kualitatif terhadap tujuh indikator di atas, khususnya terkait laporan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, baik Rapat Anggota, Pejabat Pemerintahan, maupun DSN-MUI.
MEKANISME & OPERASIONAL KERJA DPS
Meskipun tugas pokok DPS KJKS BMT telah diatur dalam regulasi yang ada (SOP), namun dalam aplikasi bentuk mekanisme pengawasan dan kerjanya, setiap BMT bisa menyesuaikan model mekanisme dan operasional kerja DPS, dimana semakin intensif keterlibatan DPS pada BMT maka hasil dan optimalisasi pengawasan syariah juga akan berbeda. Prof. Rifaat Karim, Sekertaris Jendral IFSB, menyebutkan ada tiga model pengawasan syariah oleh DPS yang diwujudkan dalam bentuk organisasi DPS yaitu :
Pertama : Model penasihat, yaitu : menjadikan pakar-pakar syariah sebagai penasihat semata dan kedudukannya dalam organisasi adalah sebagai tenaga part time yang datang ke kantor jika diperlukan
Kedua : Model pengawasan, yaitu : adanya pengawasan syariah yang dilakukan oleh beberapa pakar syariah terhadap bank syariah dengan secara rutin mendiskusikan masalah-masalah syariah dengan para pengambil keputusan operasional maupun keuangan organisasi
Ketiga : Model departemen syariah, yaitu : model pengawasan syariah yang dilakukan oleh departemen syariah. Dengan model ini para ahli syariah bertugas full time, didukung oleh staf teknis yang membantu tugas-tugas pengawasan syariah yang telah digariskan oleh ahli syariah departemen tersebut.
Untuk tercapainya optimalisasi pengawasan syariah, khususnya pada KJKS BMT yang telah mempunyai aset besar, banyak cabang, dan jenis transaksi yang begitu beragam dan dinamis, maka model pengawasan syariah bentuk ketiga, yaitu semacam model divisi audit syariah menjadi satu hal yang wajar untuk diwujudkan.
Hambatan Teknis dalam Operasional & Mekanisme Pengawasan Syariah
Sertifikasi Dewan Pengawas Syariah angkatan ke VII yang digelar DSN MUI pada Juni 2011 yang lalu, salah satu bagian agendanya adalah menginventaris beberapa hambatan dan kelemahan yang dialami oleh DPS dalam menjalankan mekanisme kerjanya. Hambatan tersebut bisa berawal dari internal (kapasitas), maupun juga dari eksternal ( pengurus dan pengelola).
Berikut beberapa point hambatan internal yang paling sering mengemuka, antara lain :
a) Tidak mengerti aplikasi fiqih muamalah di dunia perbankan
b) Kekurangan ilmu dan kemampuan dalam memeriksa bank syariah
c) Tidak bisa sharing dengan DPS lainnya karena kurangnya ilmu
d) Pengetahuan kurang memadai tentang pemeriksaan tentang angka-angka karena pengetahuannya hanya terbatas pada hukum (Islam)
e) Belum tahu apa yang harus diteliti (secara spesifik)
f) Karena masih belum memahami penuh tentang perbankan syariah
g) Anggota DPS kurang mengerti tentang operasional perbankan secara ilmiah
h) Sulit melakukan pemeriksaan neraca dalam rangka mencari dana yang tidak syariah
i) Belum memiliki pengetahuan/instrumen yang praktis dalam pengawasan
Hambatan yang muncul dari pihak Pengurus/Pengelola, antara lain :
a) Ruang kerja tidak memadai (di sebagian bank malah tidak ada ruangan sama sekali)
b) Belum ada staf khusus untuk DPS untuk DPS yang membantu melakukan uji petik.
c) Obyek pengawasan (jumlah akad, jumlah kantor cabang) banyak sekali
d) Pihak direksi kurang cooperatif, Menghadapi alasan-alasan pihak direktur
e) Data bank tidak terbuka untuk DPS
f) Direksi tidak mengikutkan DPS dalam rapat pengurus dan kurangnya konsultasi direksi dengan DPS
g) Ingin turun pemeriksaan ke lapangan, tapi belum terealisasi. Padahal program kerja sudah disampaikan kepada pengurus dan pengelola.
h) Banyak kesalahan syariah karena minimnya pengetahuan syariah pengelola
i) Teguran yang tidak diperhatikan
Inventarisasi permasalahan dan hambatan di atas menjadi penting untuk melakukan upaya preventif (pencegahan) agar tidak berulang pada KJKS BMT dan bisa segera dicarikan solusi permasalahannya.
INOVASI PRODUK & AKAD-AKAD SYARIAH DI BMT
Salah satu ciri khas KJKS BMT dibandingkan dengan BPRS adalah mempunyai peluang yang besar untuk inovasi produk. Ruang ini dibuka lebar dalam regulasi Kepmen 91 pasal 23 tentang Pembiayaan, ayat yang ke-3 yang menyebutkan : Pengembangan layanan pembiayaan dalam bentuk lain, dimungkinkan sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan memiliki landasan syariah yang jelas serta telah mendapatkan fatwa dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia.
Yang dimaksud dengan kalimat ‘telah mendapatkan fatwa dari DSN-MUI’ pada pasal tersebut tentunya bukan selalu berarti setiap rancangan produk BMT harus difatwakan dahulu secara khusus oleh DSN-MUI, karena secara aplikasi tentu akan sangat rumit dan menyulitkan, namun yang dimaksud adalah setiap produk pengembangan haruslah berlandaskan fatwa yang sudah ditetapkan DSN-MUI. Hal ini tersebutkan dengan jelas dalam pengertian DPS dalam Ketentuan Umum Kepmen no 91, bahwa : Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang dipilih oleh koperasi yang bersangkutan berdasarkan keputusan rapat anggota dan beranggotakan alim ulama yang ahli dalam syariah yang menjalankan fungsi dan tugas sebagai pengawas syariah pada koperasi yang bersangkutan dan berwenang memberikan tanggapan atau penafsiran terhadap fatwa yang dikeluarkan Dewan Syariah Nasional.
Sebagaimana tertuang dalam pembahasan sebelumnya tentang Otoritas Dewan Pengawas Syariah, maka kecermatan analisa dan kemampuan DPS lebih difokuskan dalam menterjemahkan fatwa-fatwa DSN MUI dalam aplikasi akad yang solutif dan menarik bagi masyarakat, bukan berijtihad secara mandiri apalagi menyalahi fatwa yang sudah disahkan oleh DSN-MUI. Tidak jarang ada perbedaan pendapat dalam sebuah permasalahan fiqih muamalah, maka DPS KJKS BMT hendaknya tidak ikut melibatkan dalam perdebatan wacana yang ada, namun mengikuti hasil yang sudah disepakati dalam Fatwa DSN-MUI.
Kesimpulan sederhana yang bisa ditarik adalah, dengan optimalnya Pengawasan Syariah pada sebuah BMT/KJKS maka hal tersebut juga akan membuka ruang lebih lebar untuk terciptanya produk dan inovasi baru yang menarik, solutif dan tentu saja tetap mempunyai legalitas syar’i yang mumpuni.
PENUTUP
Optimalisasi Pengawasan Syariah pada BMT bukan murni inisiatif dari DPS KJKS BMT yang telah ada, namun juga dukungan penuh dari pengurus, pengelola dan juga pihak luar yang berwenang seperti pejabat pemerintahan dan DSN-MUI. Perkembangan KJKS BMT yang begitu cepat menyebar sudah seharusnya memompa semangat untuk mengoptimalkan pengawasan syariah. Tanpa pengawasan syariah, penyimpangan kecil akan terus beranjak menjadi semakin besar dan susah terkendali, dan akan berubah menjadi bencana jika menjadi suatu hal yang dimaklumi atau bahkan di nikmati, baik oleh pengurus, pengelola, maupun nasabahnya. Semoga kita semua terhindar dari hal yang demikian. Wallahu a’lam bisshowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar