Jika pintu telah tertutup, bukalah mata dan hati lebar-lebar. Siapkan untuk memandang apa saja, yang disukai atau kurang disenangi. Siapkan diri untuk menyatukan jiwa raga. Malam ini semuanya telah ditakdirkan untuk dinikmati. Idealnya, malam pertama memang harus seperti itu. Masing-masing pasangan berusaha untuk mengoptimalkan mesra, meraih bahagia. Karena ini saat yang paling tepat untuk menumbuhkan cinta. Namun realita kadang jauh bertolak belakang. Ada beberapa bahkan banyak pasangan yang belum berbuat banyak di malam pertamanya. Meski sekedar bersentuhan tangan atau wajah. Ada rasa malu yang menggelegak tinggi. Membuat seluruh sendi serasa kaku dan tak mampu untuk digerakkan. Ada kisah nyata yang lebih parah lagi, sebulan paska walimah, jauh melewati malam pertamanya, ada suami istri yang belum pernah saling memeluk, mencium, dan yang lebih jauh lagi, atas nama rasa malu. Maka, apakah makna malu sebenarnya
Sesungguhnya tiada cela dalam rasa malu itu. Karena sejarah kita sebenarnya dipenuhi oleh orang-orang pemalu. Dalam Al-Quran, ingat calon istri Musa as yang berjalan penuh malu-malu saat hendak mengundang Musa as menemui ayahnya ? Allah swt berfirman : “ Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan dengan malu-malu, ia berkata : Sesungguhnya ayahku memanggil kamu agar ia memberi balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak kami ) (QS Al-Qashash 25
Dalam sejarah kenabian, para sahabat menemukan kesan, bahwa Rasulullah saw adalah seorang yang pemalu. Dari Abu Said Al-Khudri, dia berkata ; “Nabi saw lebih pemalu dari gadis pingitan “ (HR Bukhori Muslim) . Lebih dekat lagi, sifat pemalu kita saksikan ada pada sosok Utsman bin Affan ra. Hingga Rasulullah saw pun menghargai rasa malu Utsman ra, dengan menutup kain pada kakinya, saat ia datang. Padahal sebelumnya Abu Bakar dan Umar ra bebas bercengkrama dengan beliau dalam keadaan terbuka kakinya.
Sesungguhnya tiada cela dalam rasa malu. Karena malu adalah bagian dari simbol keimanan kita. Abdullah bin Umar berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam pernah melewati seorang Anshar yang sedang menasehati saudaranya mengenai masalah malu. Lalu Rasulullah bersabda : Biarkanlah dia, karena sesungguhnya malu itu adalah bagian dari iman ( HR Bukhori & Muslim I) . Lebih jauh lagi, Rasulullah saw pun bersabda mengenai rasa malu. Beliau mengatakan : “ Jika engkau tidak merasa malu, maka lakukan apa saja yang engkau kehendaki “ ( HR Bukhori) . Dalam haditsnya yang lain, beliau saw menegaskan bahwa malu adalah bagian dari akhlak Islam. Dari Ibnu Abbas ra, Rasulullah saw bersabda, “ Sesungguhnya setiap agama itu ada akhlaknya, dan akhlak Islam adalah malu.” (HR Ibnu Majah) . Semua dalil ini mengisyaratkan pada kita, bahwa rasa malu itu bukan sebuah aib yang tercela. Namun justru sebuah keadaan yang kita harus lekat daripadanya.
Maka wajar saja jika ada rasa malu yang muncul di malam pertama. Sosok asing pasti membuat jengah pada keadaan manapun. Ada pepatah arab yang mengatakan : Al Insaanu a'daa'un lima juhiluu. Bahwa seorang yang asing, akan cenderung untuk dimusuhi. Tidak jauh-jauh, khazanah sastra kita juga menyatakan : Tak kenal maka tak sayang. Saat Anda belum banyak mengenal pasangan, kecuali lewat selembar biodata dan beberapa menit dialog ta’aruf, maka sesungguhnya dapat dipastikan akan ada rasa malu yang menghadang. Permasalahannya kemudian, apakah kita membiarkan rasa malu itu menghalangi kita dalam menikmati malam pertama kita ?
Jawabnya ; tidak sekali-sekali tidak. Biarkan rasa malu itu ada dan tetap pada tempatnya, namun jangan biarkan ia merusak keindahan malam pertama ini. Apalagi, jika kemudian rasa malu itu tetap bertahan hingga malam-malam selanjutnya. Hingga menghasilkan apa yang disebut masyarakat barat dengan virgin couple : wanita yang menikah tapi masih perawan! Ini sama sekali bertentangan dengan tujuan pernikahan, untuk menghalalkan kemaluan dengan penuh keberkahan. Masih ingat, bukankah saat maghrib menjelang, maka orang yang berpuasa dianjurkan untuk segera berbuka ? Meski sebenarnya ia masih kuat menahan lapar hingga jauh selepas Isya’ ?
Malam ini tiada bermakna rasa malu yang mengganggu. Seorang perawan saja – yang biasanya malu-malu bak gadis pingitan- justru malah punya potensi besar untuk diajak bermesraan sejak hari pertamanya. Rasulullah saw tahu persis akan hal ini. Dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah saw mengomentari pernikahannya dengan seorang janda : Mengapa tidak seorang perawan (yang engkau kawini) ? sehingga engkau bisa bermain dengannya dan ia juga bisa bermain denganmu. (HR Bukhori Muslim) . Lihatlah wahai para pengantin baru, para perawan dan bujangan yang meragu, malam ini saatnya untuk bermain-main dalam mesra. Bukan saatnya untuk malu-malu.
*cuplikan dari buku Penulis : Muhammad SAW the Inspiring Romance
Sesungguhnya tiada cela dalam rasa malu itu. Karena sejarah kita sebenarnya dipenuhi oleh orang-orang pemalu. Dalam Al-Quran, ingat calon istri Musa as yang berjalan penuh malu-malu saat hendak mengundang Musa as menemui ayahnya ? Allah swt berfirman : “ Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan dengan malu-malu, ia berkata : Sesungguhnya ayahku memanggil kamu agar ia memberi balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak kami ) (QS Al-Qashash 25
Dalam sejarah kenabian, para sahabat menemukan kesan, bahwa Rasulullah saw adalah seorang yang pemalu. Dari Abu Said Al-Khudri, dia berkata ; “Nabi saw lebih pemalu dari gadis pingitan “ (HR Bukhori Muslim) . Lebih dekat lagi, sifat pemalu kita saksikan ada pada sosok Utsman bin Affan ra. Hingga Rasulullah saw pun menghargai rasa malu Utsman ra, dengan menutup kain pada kakinya, saat ia datang. Padahal sebelumnya Abu Bakar dan Umar ra bebas bercengkrama dengan beliau dalam keadaan terbuka kakinya.
Sesungguhnya tiada cela dalam rasa malu. Karena malu adalah bagian dari simbol keimanan kita. Abdullah bin Umar berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam pernah melewati seorang Anshar yang sedang menasehati saudaranya mengenai masalah malu. Lalu Rasulullah bersabda : Biarkanlah dia, karena sesungguhnya malu itu adalah bagian dari iman ( HR Bukhori & Muslim I) . Lebih jauh lagi, Rasulullah saw pun bersabda mengenai rasa malu. Beliau mengatakan : “ Jika engkau tidak merasa malu, maka lakukan apa saja yang engkau kehendaki “ ( HR Bukhori) . Dalam haditsnya yang lain, beliau saw menegaskan bahwa malu adalah bagian dari akhlak Islam. Dari Ibnu Abbas ra, Rasulullah saw bersabda, “ Sesungguhnya setiap agama itu ada akhlaknya, dan akhlak Islam adalah malu.” (HR Ibnu Majah) . Semua dalil ini mengisyaratkan pada kita, bahwa rasa malu itu bukan sebuah aib yang tercela. Namun justru sebuah keadaan yang kita harus lekat daripadanya.
Maka wajar saja jika ada rasa malu yang muncul di malam pertama. Sosok asing pasti membuat jengah pada keadaan manapun. Ada pepatah arab yang mengatakan : Al Insaanu a'daa'un lima juhiluu. Bahwa seorang yang asing, akan cenderung untuk dimusuhi. Tidak jauh-jauh, khazanah sastra kita juga menyatakan : Tak kenal maka tak sayang. Saat Anda belum banyak mengenal pasangan, kecuali lewat selembar biodata dan beberapa menit dialog ta’aruf, maka sesungguhnya dapat dipastikan akan ada rasa malu yang menghadang. Permasalahannya kemudian, apakah kita membiarkan rasa malu itu menghalangi kita dalam menikmati malam pertama kita ?
Jawabnya ; tidak sekali-sekali tidak. Biarkan rasa malu itu ada dan tetap pada tempatnya, namun jangan biarkan ia merusak keindahan malam pertama ini. Apalagi, jika kemudian rasa malu itu tetap bertahan hingga malam-malam selanjutnya. Hingga menghasilkan apa yang disebut masyarakat barat dengan virgin couple : wanita yang menikah tapi masih perawan! Ini sama sekali bertentangan dengan tujuan pernikahan, untuk menghalalkan kemaluan dengan penuh keberkahan. Masih ingat, bukankah saat maghrib menjelang, maka orang yang berpuasa dianjurkan untuk segera berbuka ? Meski sebenarnya ia masih kuat menahan lapar hingga jauh selepas Isya’ ?
Malam ini tiada bermakna rasa malu yang mengganggu. Seorang perawan saja – yang biasanya malu-malu bak gadis pingitan- justru malah punya potensi besar untuk diajak bermesraan sejak hari pertamanya. Rasulullah saw tahu persis akan hal ini. Dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah saw mengomentari pernikahannya dengan seorang janda : Mengapa tidak seorang perawan (yang engkau kawini) ? sehingga engkau bisa bermain dengannya dan ia juga bisa bermain denganmu. (HR Bukhori Muslim) . Lihatlah wahai para pengantin baru, para perawan dan bujangan yang meragu, malam ini saatnya untuk bermain-main dalam mesra. Bukan saatnya untuk malu-malu.
*cuplikan dari buku Penulis : Muhammad SAW the Inspiring Romance
Biasanya sih yang perempuan yang malu2
BalasHapus