Senin 27 Februari 2012 yang lalu, sebagai bagian dari rangkaian agenda Solo Islamic Book Fair di Grahawisata Sriwedari diadakan Bedah Buku Aku Pingin Nikah yang ditulis oleh Fadhlan al-Ikhwani. Selain menghadirkan penulisnya langsung, Pihak Pro-U Media selaku penerbit juga menghubungi saya untuk ikut mengisi acara di sore hari yang cerah itu.
Sebagaimana biasa, tema "pernikahan" selalu mengundang banyak ikhwan dan akhwat aktifis dakwah untuk hadir dan memperbarui semangatnya. Seperti biasa pula sesuai dengan estimasi awal dalam benak saya, jumlah hadirin akhwat terlihat dominan di acara ini. Jumlah mereka hampir 75 persen dari sekitar 70-an peserta yang hadir menyimak pada waktu itu.
Al-Akh Fadhlan Ikhwani adalah sosok penulis yang produktif dan konsisten mengusung tema-tema pernikahan. Bukunya sudah mencapai tujuh buah -minimal yang saya tahu- dengan tema sebagaian besar provokasi pernikahan dan juga keluarga romantis. Kesan sosoknya yang sederhana dan bersahaja sejak awal saya mengenalnya, kembali menguat saat bertemu lagi pada sore hari itu dengan baju koko dan sendal khas aktifis dakwah di kampusan. Penulis menyoroti banyaknya kendala dan hambatan yang dibesar-besarkan saat melangkah menuju pernikahan. Fadhlan juga mengkompori hadirin dengan mempromosikan keuntungan-keuntungan dan keistimewaan saat seorang telah menikah.
Giliran saya berbicara, sekitar 30 menit lebih saya menyampaikan tiga hal apresiasi dan komentar mengenai apa yang tertuang dalam buku. Pertama, tentang ingin nikah dan siap nikah. Keduanya menjadi hal yang sangat berguna, karena bisa jadi setiap bujangan akan merasa ingin nikah tetapi belum tentu siap menjalaninya dalam waktu dekat. Antara ingin dan siap nikah sebenarnya tidak terbatas pada unsur finansial semata, sebagaimana yang banyak disebut-sebut saat ini. Namun juga dari sisi psikologis dan kedewasaan hati.
Sederhananya seringkali saya sebutkan, ingin nikah berarti berpikir dan menuntut yang indah-indah dan baik tentang pasangan yang didamba. Seorang pemudah menginginkan yang cantik, sholihat, kaya mungkin. Maka itu baru sebatas ‘keinginan’ menikah yang barangkali secara fitrah manusiawi bisa dipahami. Namun ‘kesiapan’ psikologis memiliki cara pandang lain, ia adalah kesiapan menerima pasangan apapun dan bagaimanapun keadaannya. Ia meyakini setiap orang memiliki kekurangan, kelebihan dan potensi maka ia pun sejak awal menjadikan pernikahan sebagai proses bertani, bukan memanen !.
Yang kedua seputar doa dan usaha. Banyak yang ingin menikah tapi lupa menyelipkan hasrat itu dalam lantunan munajat selepas 17 rekaatnya dalam sehari. Banyak juga yang berdoa namun tidak sepenuh hati memanjatkannya, takut terlalu cepat, takut belum siap. Berdoa saja dan jika perlu dengan sedikit menyelipkan target di dalamnya. Di sepuluh akhir Ramadhan sekitar 9 tahun yang lampau, di sebuah subuh yang menggigil di Sudan saya melantunkan doa dipenuhi target : ya Allah, jadikan ini ramadhan terakhirku dalam kondisi membujang. Alhamdulillah terkabul.
Ada pula yang telah berdoa namun tak beranjak pula berusaha. Bahkan sekedar melempar gagasan awal kepada para orangtua pun tak bernyali. Sinyal lemah tanpa daya. Banyak kasus pernikahan harus diawali dengan ketegangan anak dan orangtua, atau dengan calon mertua, biasanya karena komunikasi sejak awal tidak terjalin dengan baik. Saya yakin mendadak nikah bukan judul sinetron yang enak didengar, apalagi dalam dunia nyata.
Cerita lain lagi, banyak yang mungkin telah berbusa-busa menyampaikan niatnya pada orang tua, dengan semangat berapi-api memaparkan grand planning kehidupan rumah tangganya setelah menikah. Orangtuanya pun mendengar nyaris tanpa ekspressi dan tatapan mata yang kosong, betapa tidak ? tak ada setitik prestasipun yang telah ditorehkan anaknya selama ini selain setiap akhir bulan mengirim sms tagihan kos-kosan dan bon-bonan makan di warung sebelah. Kita harus memahami para orangtua yang harus marah luar biasa, atau acuh tak acuh dengan keinginan kita, karena kita sendiri selama ini belum banyak membuktikan kelayakan dan kapasitas kita untuk melangkah menuju jenjang pernikahan. Mereka berhak khawatir selama mereka belum yakin anaknya mampu mengurusi dirinya sendiri, apalagi ditambah mengurus anak orang lain.
Hal yang ketiga seputar problematika pernikahan khas aktifis dakwah, yang kerap menggaung dan menggema di kalangan ikhwan dan akhwat. Sebagian terasa begitu menggelikan, sebagian lagi justru menggelisahkan. Insya Allah ada postingan khusus tentang hal tersebut agar semua bisa sedikit tercerahkan.
Semoga bermanfaat dan Salam optimis
Sebagaimana biasa, tema "pernikahan" selalu mengundang banyak ikhwan dan akhwat aktifis dakwah untuk hadir dan memperbarui semangatnya. Seperti biasa pula sesuai dengan estimasi awal dalam benak saya, jumlah hadirin akhwat terlihat dominan di acara ini. Jumlah mereka hampir 75 persen dari sekitar 70-an peserta yang hadir menyimak pada waktu itu.
Al-Akh Fadhlan Ikhwani adalah sosok penulis yang produktif dan konsisten mengusung tema-tema pernikahan. Bukunya sudah mencapai tujuh buah -minimal yang saya tahu- dengan tema sebagaian besar provokasi pernikahan dan juga keluarga romantis. Kesan sosoknya yang sederhana dan bersahaja sejak awal saya mengenalnya, kembali menguat saat bertemu lagi pada sore hari itu dengan baju koko dan sendal khas aktifis dakwah di kampusan. Penulis menyoroti banyaknya kendala dan hambatan yang dibesar-besarkan saat melangkah menuju pernikahan. Fadhlan juga mengkompori hadirin dengan mempromosikan keuntungan-keuntungan dan keistimewaan saat seorang telah menikah.
Giliran saya berbicara, sekitar 30 menit lebih saya menyampaikan tiga hal apresiasi dan komentar mengenai apa yang tertuang dalam buku. Pertama, tentang ingin nikah dan siap nikah. Keduanya menjadi hal yang sangat berguna, karena bisa jadi setiap bujangan akan merasa ingin nikah tetapi belum tentu siap menjalaninya dalam waktu dekat. Antara ingin dan siap nikah sebenarnya tidak terbatas pada unsur finansial semata, sebagaimana yang banyak disebut-sebut saat ini. Namun juga dari sisi psikologis dan kedewasaan hati.
Sederhananya seringkali saya sebutkan, ingin nikah berarti berpikir dan menuntut yang indah-indah dan baik tentang pasangan yang didamba. Seorang pemudah menginginkan yang cantik, sholihat, kaya mungkin. Maka itu baru sebatas ‘keinginan’ menikah yang barangkali secara fitrah manusiawi bisa dipahami. Namun ‘kesiapan’ psikologis memiliki cara pandang lain, ia adalah kesiapan menerima pasangan apapun dan bagaimanapun keadaannya. Ia meyakini setiap orang memiliki kekurangan, kelebihan dan potensi maka ia pun sejak awal menjadikan pernikahan sebagai proses bertani, bukan memanen !.
Yang kedua seputar doa dan usaha. Banyak yang ingin menikah tapi lupa menyelipkan hasrat itu dalam lantunan munajat selepas 17 rekaatnya dalam sehari. Banyak juga yang berdoa namun tidak sepenuh hati memanjatkannya, takut terlalu cepat, takut belum siap. Berdoa saja dan jika perlu dengan sedikit menyelipkan target di dalamnya. Di sepuluh akhir Ramadhan sekitar 9 tahun yang lampau, di sebuah subuh yang menggigil di Sudan saya melantunkan doa dipenuhi target : ya Allah, jadikan ini ramadhan terakhirku dalam kondisi membujang. Alhamdulillah terkabul.
Ada pula yang telah berdoa namun tak beranjak pula berusaha. Bahkan sekedar melempar gagasan awal kepada para orangtua pun tak bernyali. Sinyal lemah tanpa daya. Banyak kasus pernikahan harus diawali dengan ketegangan anak dan orangtua, atau dengan calon mertua, biasanya karena komunikasi sejak awal tidak terjalin dengan baik. Saya yakin mendadak nikah bukan judul sinetron yang enak didengar, apalagi dalam dunia nyata.
Cerita lain lagi, banyak yang mungkin telah berbusa-busa menyampaikan niatnya pada orang tua, dengan semangat berapi-api memaparkan grand planning kehidupan rumah tangganya setelah menikah. Orangtuanya pun mendengar nyaris tanpa ekspressi dan tatapan mata yang kosong, betapa tidak ? tak ada setitik prestasipun yang telah ditorehkan anaknya selama ini selain setiap akhir bulan mengirim sms tagihan kos-kosan dan bon-bonan makan di warung sebelah. Kita harus memahami para orangtua yang harus marah luar biasa, atau acuh tak acuh dengan keinginan kita, karena kita sendiri selama ini belum banyak membuktikan kelayakan dan kapasitas kita untuk melangkah menuju jenjang pernikahan. Mereka berhak khawatir selama mereka belum yakin anaknya mampu mengurusi dirinya sendiri, apalagi ditambah mengurus anak orang lain.
Hal yang ketiga seputar problematika pernikahan khas aktifis dakwah, yang kerap menggaung dan menggema di kalangan ikhwan dan akhwat. Sebagian terasa begitu menggelikan, sebagian lagi justru menggelisahkan. Insya Allah ada postingan khusus tentang hal tersebut agar semua bisa sedikit tercerahkan.
Semoga bermanfaat dan Salam optimis
intinya apa???
BalasHapus