PERTANYAAN : Assalamu'alaikum ustadz, saya muslimah umur 38 tahun. Alhamdulillah saya telah dikarunia 4 orang anak laki-laki semua, dan saat ini tengah menanti kelahiran anak ke-5. Saya mau bertanya, bagaimana hukum seorang suami yang menikah diam-diam tanpa sepengetahuan istri pertama, setiap kali istrinya tersebut hamil. Sekarang istrinya sudah 4 termasuk saya, tapi yang 3 lagi dia sembunyikan. Yang ingin saya tanyakan, apa yang harus saya lakukan ustadz? Apakah saya menuntut cerai atau berpura-pura terus taat sama suami saya ? Syukron
JAWABAN : Wa'alaikum salam warohmatullahi wabarokatuh. Pertama kalinya saya sampaikan kepada Ibu, selamat menjalankan kemuliaan berlimpah pahala 'jihad'nya seorang wanita yaitu persalinan, semoga Allah SWT memberikan kemudahan, kelancaran dan keselamatan.
Berikutnya saya turut prihatin dengan kondisi serta kegelisahan yang ibu hadapi, apalagi senantiasa berulang-ulang terus dalam setiap kesempatan. Dalam masalah yang ibu tanyakan, ada beberapa hal yang perlu rasanya kita perdalam dan perjelas, antara lain sebagai berikut :
PERTAMA : Tentang hukum suami menikah diam-diam tanpa sepengetahuan istri.
Secara syariah memang tidak ada syarat dalam pernikahan kedua atau ketiga dan seterusnya disebutkan ijin atau sepengetahuan suami. Pernikahan pertama dan berikutnya dalam Islam mempunyai rukun yang sama, ada pengantian pria, wali nikah, ijab kabul dan mahar. Syarat ijin istri ketika suami akan menikah lagi memang hanya ada di dalam undang-undang perkawinan di Indonesia.
Namun meskipun tidak memerlukan ijin dari istri, bagi suami seyogyanya sejak awal mengkondisikan istri, memberitahukan dan menjelaskan alasan-alasan yang dimiliki, karena ini merupakan termasuk anjuran dalam husnul muasyaroh atau muasyaroh bilmakruf , yaitu bentuk pergaulan dan interaksi yang baik, sebagaimana diamanahkan oleh Al-Quran : " Dan pergauilah mereka (istri-istrimu) secara patut (baik) " (QS An-Nisa 19).
Apalagi jika ternyata hal tersebut dilakukan saat istri hamil, yang tentulah semestinya membutuhkan perhatian yang lebih dari suaminya. Jika sejak awal suami mempunyai niatan yang baik dalam pernikahannya yang kedua, tentunya niatan tersebut harus diikuti dengan kesiapan dan tanggung jawab untuk memberitahu dan mengkondisikan keluarganya yang lain.
Kembali ke aturan undang-undang perkawinan, tentang syarat ijin istri saat suami menikah lagi sebenarnya bukanlah produk peraturan di Indonesia saja, peraturan yang dibuat di banyak negara timur tengah -yang nota bene lebih kuat kajian keislamannya- juga menyebutkan tentang syarat ijin istri saat suami menikah lagi. Hal ini sebenarnya tidak bisa kita lihat sebagai hal yang berlebihan atau menyalahi syariat, karena yang dilakukan pemerintah tersebut adalah langkah untuk menjaga maslahah dan mencegah mafsadat. Mungkin saja berdasarkan pengalaman dan kasus yang ada selama ini. Contoh mafsadat yang dimaksud misalnya, banyak kasus poligami tanpa ijin istri ternyata kemudian melahirkan perceraian demi perceraian. Hal semacam ini mirip dengan aturan pencatatan pernikahan, yang tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menjaga hak-hak istri dan anak-anaknya, meskipun syariat tidak pernah secara spesifik menyebutkan.
Jadi pada titik ini, pernikahan kedua, ketiga dan keempat yang dilakukan suami Ibu tanpa ijin dan pemberitahuan kepada ibu, secara hukum Islam tetap sah adanya, selama rukun-rukun pernikahan benar-benar dijalankan. Namun memang suami ibu tetap saja ‘kurang pantas’ jika melakukan tersebut (nikah lagi diam-diam), mengingat ia melanggar dua hal sebagaimana saya sebutkan di atas tadi, yaitu adab pergaulan suami-istri (muasyaroh bil makruf) dan juga aturan dari ulil amri yang berdasarkan asas kemanfaatan atau maqoshid syariah.
KEDUA : Tentang Suami menikah lagi setiap kali istri sedang hamil
Hal kedua yang ingin saya cermati tentang ungkapan ibu bahwa suami menikah setiap kali istri hamil. Tentu saja –jika hal ini benar- adalah sesuatu yang kurang tepat, karena sebagaimana saya sebutkan di awal, masa-masa mengandung tentu seharusnya suami harus lebih memberikan perhatian dan kasih sayang kepada istrinya, bukan malah mencari pelarian atau ‘saluran’ yang lain, meskipun secara syariah itu dimungkinkan.
Namun hendaknya perlu diperjelas, apakah suami menikah lagi karena urusan ibu sedang hamil, sehingga tidak bisa secara optimal melayani kebutuhan suami, ataukah karena sebab lainnya ? Karena bagi saya sungguh agak terdengar aneh dan janggal. Ketika pernikahan kedua dilakukan untuk memenuhi kebutuhan seksual karena istri pertama hamil, maka mungkin hal itu agak-agak bisa dimaklumi. Namun bagaimana dengan pernikahan ketiga dan keempat suami ibu, apakah juga dengan alasan yang sama ? sementara saat itu ia juga sudah mempunyai istri lain yang sedang tidak hamil ? Sampai dititik ini hendaknya ada penjelasan dan kejelasan.
Walau bagaimanapun alasannya, dalam kasus ibu tetap saja kita bisa mengambil pelajaran bahwa suami Ibu sebagaimana laki-laki normal yang lainnya, memang diberi anugerah kelebihan berupa ‘semangat’ dalam pemenuhan kebutuhan seksual. Dan ini adalah hal fitrah yang diakui dalam syariah kita, karenanya senantiasa memang seorang istri dituntut untuk siap ‘online 24 jam’ untuk melayani kebutuhan seksual suaminya. Tentu saja dengan syarat dan ketentuan berlaku.
Rasulullah SAW bersabda : "Jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur, kemudian istrinya tidak datang kepadanya, dan suaminya pun marah kepadanya pada malam itu, maka istrinya dilaknat para malaikat hingga pagi harinya." (Muttafaq Alaih).
Rasulullah SAW bersabda, “Apabila seorang suami mengajak istrinya untuk memenuhi kebutuhannya, hendaknya si istri mendatanginya meski ia sedang berada di dapur.” (HR. Tirmidzi dan Nasa’i)
Mungkin potensi seksual yang berlebih pada kaum laki-laki inilah yang menjadi salah satu hikmah ‘kebolehan’ poligami dalam Islam, agar para suami tidak terjerumus pada perselingkuhan, pada saat-saat istrinya tidak memberikan layanan optimal, saat haid, sakit atau mengandung misalnya. Namun tentu sejatinya ‘kurang pantas’ jika poligami kemudian selalu diarahkan ke pemenuhan kebutuhan seksual yang berlebih saja, hendaknya ada niatan dan tujuan lain yang mulia dan selaras dengan syariah Islam.
Dan yang perlu dicatat juga, bahwa pemenuhan kebutuhan seksual tidak harus selalu dengan hubungan badan (jimak), khususnya saat istri haid, sakit atau mengandung. Ada banyak ragam variasi cara yang bisa dipelajari suami istri dan dipraktekan selama tidak menyalahi ketentuan atau adab dalam hubungan suami istri. Contohnya saat haid, Rasulullah SAW memprovokasi kita untuk tetap romantis dan bermesraan kepada istri dengan mengatakan : “ perbuatlah apapun sesukamu, yang penting jangan jimak “
KETIGA : Apakah yang harus ibu lakukan setelah ini ?
Tentang apakah yang harus dilakukan ; menuntut cerai atau berpura-pura taat pada suami padahal hati kecewa dan remuk redam ? Maka hal tersebut hanya bisa dijawab melalui dua pertanyaan juga : yang pertama, apakah selama ini ada perilaku suami ibu yang jelas-jelas melanggar syariah atau bermaksiat ? seperti meninggalkan sholat, tidak memberi nafkah, dan gemar mabuk-mabukan misalnya ? Karena yang saya tangkap dalam pertanyaan ibu, ‘hanya’ soal suami ibu menikah sembunyi-sembunyi yang ibu permasalahkan, selain itu ibu tidak mengeluhkan kelakuan dan perilaku lain yang membuat ibu kecewa. Jika memang demikian adanya, saya mencoba berhusnudzhon bahwa suami ibu masuk kategori muslim yang taat dan komitmen terhadap Islam dan keluarga secara umum. Jika benar ini adanya, maka alasan Ibu untuk menuntut cerai karena suami menikah diam-diam, rasanya menjadi terlalu lemah dan kurang tepat.
Pertanyaan kedua yang layak untuk diajukan adalah : Apakah ibu masih mencintai suami ibu, sayang dan cemas jika terjadi padanya sesuatu hal yang tidak diinginkan ? . Jika rasa cinta itu masih ada dan kokoh, tidak berganti dengan kebencian tanpa alasan, maka sungguh ini adalah anugerah sekaligus amanah dari Allah SWT yang harus tetap dijaga dengan kuat oleh masing-masing pasangan. Soal teknis lain-lain masih bisa dibincangkan dan diselesaikan, selama rasa cinta itu masih ada. Masalah akan terus ada dan senantiasa datang silih berganti, namun cinta suami istri bisa menjadi energi untuk bersama-sama menghadapi dan menyelesaikannya.
Semoga sukses dan kita tunggu kabar gembira berikutnya tentang kelahiran putra ke-5.
JAWABAN : Wa'alaikum salam warohmatullahi wabarokatuh. Pertama kalinya saya sampaikan kepada Ibu, selamat menjalankan kemuliaan berlimpah pahala 'jihad'nya seorang wanita yaitu persalinan, semoga Allah SWT memberikan kemudahan, kelancaran dan keselamatan.
Berikutnya saya turut prihatin dengan kondisi serta kegelisahan yang ibu hadapi, apalagi senantiasa berulang-ulang terus dalam setiap kesempatan. Dalam masalah yang ibu tanyakan, ada beberapa hal yang perlu rasanya kita perdalam dan perjelas, antara lain sebagai berikut :
PERTAMA : Tentang hukum suami menikah diam-diam tanpa sepengetahuan istri.
Secara syariah memang tidak ada syarat dalam pernikahan kedua atau ketiga dan seterusnya disebutkan ijin atau sepengetahuan suami. Pernikahan pertama dan berikutnya dalam Islam mempunyai rukun yang sama, ada pengantian pria, wali nikah, ijab kabul dan mahar. Syarat ijin istri ketika suami akan menikah lagi memang hanya ada di dalam undang-undang perkawinan di Indonesia.
Namun meskipun tidak memerlukan ijin dari istri, bagi suami seyogyanya sejak awal mengkondisikan istri, memberitahukan dan menjelaskan alasan-alasan yang dimiliki, karena ini merupakan termasuk anjuran dalam husnul muasyaroh atau muasyaroh bilmakruf , yaitu bentuk pergaulan dan interaksi yang baik, sebagaimana diamanahkan oleh Al-Quran : " Dan pergauilah mereka (istri-istrimu) secara patut (baik) " (QS An-Nisa 19).
Apalagi jika ternyata hal tersebut dilakukan saat istri hamil, yang tentulah semestinya membutuhkan perhatian yang lebih dari suaminya. Jika sejak awal suami mempunyai niatan yang baik dalam pernikahannya yang kedua, tentunya niatan tersebut harus diikuti dengan kesiapan dan tanggung jawab untuk memberitahu dan mengkondisikan keluarganya yang lain.
Kembali ke aturan undang-undang perkawinan, tentang syarat ijin istri saat suami menikah lagi sebenarnya bukanlah produk peraturan di Indonesia saja, peraturan yang dibuat di banyak negara timur tengah -yang nota bene lebih kuat kajian keislamannya- juga menyebutkan tentang syarat ijin istri saat suami menikah lagi. Hal ini sebenarnya tidak bisa kita lihat sebagai hal yang berlebihan atau menyalahi syariat, karena yang dilakukan pemerintah tersebut adalah langkah untuk menjaga maslahah dan mencegah mafsadat. Mungkin saja berdasarkan pengalaman dan kasus yang ada selama ini. Contoh mafsadat yang dimaksud misalnya, banyak kasus poligami tanpa ijin istri ternyata kemudian melahirkan perceraian demi perceraian. Hal semacam ini mirip dengan aturan pencatatan pernikahan, yang tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menjaga hak-hak istri dan anak-anaknya, meskipun syariat tidak pernah secara spesifik menyebutkan.
Jadi pada titik ini, pernikahan kedua, ketiga dan keempat yang dilakukan suami Ibu tanpa ijin dan pemberitahuan kepada ibu, secara hukum Islam tetap sah adanya, selama rukun-rukun pernikahan benar-benar dijalankan. Namun memang suami ibu tetap saja ‘kurang pantas’ jika melakukan tersebut (nikah lagi diam-diam), mengingat ia melanggar dua hal sebagaimana saya sebutkan di atas tadi, yaitu adab pergaulan suami-istri (muasyaroh bil makruf) dan juga aturan dari ulil amri yang berdasarkan asas kemanfaatan atau maqoshid syariah.
KEDUA : Tentang Suami menikah lagi setiap kali istri sedang hamil
Hal kedua yang ingin saya cermati tentang ungkapan ibu bahwa suami menikah setiap kali istri hamil. Tentu saja –jika hal ini benar- adalah sesuatu yang kurang tepat, karena sebagaimana saya sebutkan di awal, masa-masa mengandung tentu seharusnya suami harus lebih memberikan perhatian dan kasih sayang kepada istrinya, bukan malah mencari pelarian atau ‘saluran’ yang lain, meskipun secara syariah itu dimungkinkan.
Namun hendaknya perlu diperjelas, apakah suami menikah lagi karena urusan ibu sedang hamil, sehingga tidak bisa secara optimal melayani kebutuhan suami, ataukah karena sebab lainnya ? Karena bagi saya sungguh agak terdengar aneh dan janggal. Ketika pernikahan kedua dilakukan untuk memenuhi kebutuhan seksual karena istri pertama hamil, maka mungkin hal itu agak-agak bisa dimaklumi. Namun bagaimana dengan pernikahan ketiga dan keempat suami ibu, apakah juga dengan alasan yang sama ? sementara saat itu ia juga sudah mempunyai istri lain yang sedang tidak hamil ? Sampai dititik ini hendaknya ada penjelasan dan kejelasan.
Walau bagaimanapun alasannya, dalam kasus ibu tetap saja kita bisa mengambil pelajaran bahwa suami Ibu sebagaimana laki-laki normal yang lainnya, memang diberi anugerah kelebihan berupa ‘semangat’ dalam pemenuhan kebutuhan seksual. Dan ini adalah hal fitrah yang diakui dalam syariah kita, karenanya senantiasa memang seorang istri dituntut untuk siap ‘online 24 jam’ untuk melayani kebutuhan seksual suaminya. Tentu saja dengan syarat dan ketentuan berlaku.
Rasulullah SAW bersabda : "Jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur, kemudian istrinya tidak datang kepadanya, dan suaminya pun marah kepadanya pada malam itu, maka istrinya dilaknat para malaikat hingga pagi harinya." (Muttafaq Alaih).
Rasulullah SAW bersabda, “Apabila seorang suami mengajak istrinya untuk memenuhi kebutuhannya, hendaknya si istri mendatanginya meski ia sedang berada di dapur.” (HR. Tirmidzi dan Nasa’i)
Mungkin potensi seksual yang berlebih pada kaum laki-laki inilah yang menjadi salah satu hikmah ‘kebolehan’ poligami dalam Islam, agar para suami tidak terjerumus pada perselingkuhan, pada saat-saat istrinya tidak memberikan layanan optimal, saat haid, sakit atau mengandung misalnya. Namun tentu sejatinya ‘kurang pantas’ jika poligami kemudian selalu diarahkan ke pemenuhan kebutuhan seksual yang berlebih saja, hendaknya ada niatan dan tujuan lain yang mulia dan selaras dengan syariah Islam.
Dan yang perlu dicatat juga, bahwa pemenuhan kebutuhan seksual tidak harus selalu dengan hubungan badan (jimak), khususnya saat istri haid, sakit atau mengandung. Ada banyak ragam variasi cara yang bisa dipelajari suami istri dan dipraktekan selama tidak menyalahi ketentuan atau adab dalam hubungan suami istri. Contohnya saat haid, Rasulullah SAW memprovokasi kita untuk tetap romantis dan bermesraan kepada istri dengan mengatakan : “ perbuatlah apapun sesukamu, yang penting jangan jimak “
KETIGA : Apakah yang harus ibu lakukan setelah ini ?
Tentang apakah yang harus dilakukan ; menuntut cerai atau berpura-pura taat pada suami padahal hati kecewa dan remuk redam ? Maka hal tersebut hanya bisa dijawab melalui dua pertanyaan juga : yang pertama, apakah selama ini ada perilaku suami ibu yang jelas-jelas melanggar syariah atau bermaksiat ? seperti meninggalkan sholat, tidak memberi nafkah, dan gemar mabuk-mabukan misalnya ? Karena yang saya tangkap dalam pertanyaan ibu, ‘hanya’ soal suami ibu menikah sembunyi-sembunyi yang ibu permasalahkan, selain itu ibu tidak mengeluhkan kelakuan dan perilaku lain yang membuat ibu kecewa. Jika memang demikian adanya, saya mencoba berhusnudzhon bahwa suami ibu masuk kategori muslim yang taat dan komitmen terhadap Islam dan keluarga secara umum. Jika benar ini adanya, maka alasan Ibu untuk menuntut cerai karena suami menikah diam-diam, rasanya menjadi terlalu lemah dan kurang tepat.
Pertanyaan kedua yang layak untuk diajukan adalah : Apakah ibu masih mencintai suami ibu, sayang dan cemas jika terjadi padanya sesuatu hal yang tidak diinginkan ? . Jika rasa cinta itu masih ada dan kokoh, tidak berganti dengan kebencian tanpa alasan, maka sungguh ini adalah anugerah sekaligus amanah dari Allah SWT yang harus tetap dijaga dengan kuat oleh masing-masing pasangan. Soal teknis lain-lain masih bisa dibincangkan dan diselesaikan, selama rasa cinta itu masih ada. Masalah akan terus ada dan senantiasa datang silih berganti, namun cinta suami istri bisa menjadi energi untuk bersama-sama menghadapi dan menyelesaikannya.
Semoga sukses dan kita tunggu kabar gembira berikutnya tentang kelahiran putra ke-5.
Kurang adil rasanya melihat cerita di atas, byk hal yg hrs difikirkan rasanya terlalu enteng tuk berpoligami.
BalasHapus1.adilkah
2.sudah benarkah
3.mengapa hrs berpoligami
atau jangan2 hanya mencari nafsu sebanyak2nya buat sahwat kita dengan beralasan sunah nabi/ diperbolehkan menurut agama tanpa mempertimbangkan hakekat mendalam dari sebuah perkawinan.pasti menyakitkan bagi istri kita tanpa adanya dialog persetujuan buat berpoligami terlebih dahulu, coba anda fikirkan...
saya seorang istri dengan 2 orang anak laki2.
BalasHapusbelum lama ini saya baru mengetahui bahwa suami saya berselingkuh dengan pacar SMAnya dulu.
Hati saya betul2 hancur, kecewa, marah dan sedih.
Suami saya mengakui kesalahannya dan meminta maaf. Dia berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Saya maafkan dia. Tp rasa percaya kepadanya dan rasa percaya diri saya sudah terlanjur hancur. Buat saya, semua ini terasa sangat tidak adil dan menyakitkan. Dan proses pemulihannya pun terasa sangatlah berat.
Saya sangat salut dengan kisah ibu diatas. Betapa mulianya ibu, sanggup ikhlas dan bersabar dengan kelakuan suami ibu.
Saya bisa bayangkan bagaimana perasaan ibu, walaupun mungkin tidak ibu tunjukkan, tp perasaan sakit hati pastilah ada.
saya setuju dengan komentar Kokowijaya.
adil, adil itu menurut siapa? menurut suaminya atau isterinya? atau adil menurut keduanya? mungkinkah akan adil?
bagaimana dengan perasaan isteri? tidakkah perlu diperhatikan? tidak sadarkah sang suami dia telah melukai orang yg telah berjuang untuk dia dan anak2nya?
bukankah alasan untuk berpoligami haruslah kuat? bukankah harus ada niatan yg jauh lebih mulia dari sekedar mengumbar nafsu sahwat secara legal?
untuk para suami, cobalah untuk berpikir ulang sebelum anda melakukan poligami.
ingat kembali saat2 anda sedang jatuh cinta dan kasmaran dengan isteri anda dahulu.
bukankah masa2 indah itu yg perlu dibangkitkan kembali?
jangan hanya mengikuti hawa nafsu, krn saya yakin itu tidak akan ada habisnya...
sampai kapan anda akan melukai orang2 yg dengan sepenuh hati dan ikhlas berkorban untuk anda??
saya tidak menentang poligami, karena memang itu diperbolehkan oleh islam. tp saya menentang orang2 yg menyalahgunakan kesempatan tersebut.
semoga ibu dan istri2 lain yg mengalami kasus yg sama, diberikan solusi terbaik, kekuatan dan ketabahan dari Allah SWT.
Banyak yang sudah keluar jalur dari ajaran Islam sesungguhanya..
BalasHapusPolygami itu hanya di perbolehkan bagi mereka yang mampu::
Artinya:
Mampu berbuat adil.
Mampu tidak berbohong dengan istri-istrinya..
Kebanyakan orang berpolygami secara sembunyi-sembunyi sehingga membuat istri yang pertama merasa kecewa,marah dan sedihm,Dan tidak tertutup kemungkinan bahwa banyak yang melakukan polygami hanya berdasrkan nafsu belaka..
“Keindahan Poligami Dalam Islam”
BalasHapusyang dimuat pada majalah As Sunnah
Edisi 12/X/1428 H sebagai berikut:
1. Poligami adalah syariat yang
Allah pilihkan pada umat Islam
untuk kemaslahatan mereka.
2. Seorang wanita terkadang
mengalami sakit, haid dan
nifas. Sedangkan seorang lelaki
selalu siap untuk menjadi
penyebab bertambahnya umat
ini. Dengan adanya syariat
poligami ini, tentunya manfaat
ini tidak akan hilang sia-sia.
(Syaikh Muhammad Asy
Syanqithi dalam Adhwaul
Bayaan 3/377 dinukil dari Jami’
Ahkamin Nisaa 3/443-3445).
3. Jumlah lelaki yang lebih sedikit
dibanding wanita dan lelaki
lebih banyak menghadapi
sebab kematian dalam
hidupnya. Jika tidak ada syariat
poligami sehingga seorang
lelaki hanya diizinkan menikahi
seorang wanita maka akan
banyak wanita yang tidak
mendapatkan suami sehingga
dikhawatirkan terjerumus
dalam perbuatan kotor dan
berpaling dari petunjuk Al
Quran dan Sunnah. (Syaikh
Muhammad Asy Syanqithi
dalam Adhwaul Bayaan 3/377
dinukil dari Jami’ Ahkamin
Nisaa 3/443-3445).
4. Secara umum, seluruh wanita
siap menikah sedangkan lelaki
banyak yang belum siap
menikah karena kefakirannya
sehingga lelaki yang siap
menikah lebih sedikit
dibandingkan dengan wanita.
(Sahih Fiqih Sunnah 3/217).
5. Syariat poligami dapat
mengangkat derajat seorang
wanita yang ditinggal atau
dicerai oleh suaminya dan ia
tidak memiliki seorang pun
keluarga yang dapat
menanggungnya sehingga
dengan poligami, ada yang
bertanggung jawab atas
kebutuhannya. Kami
tambahkan, betapa banyak
manfaat ini telah dirasakan
bagi pasangan yang
berpoligami, Alhamdulillah.
6. Poligami merupakan cara
efektif menundukkan
pandangan, memelihara
kehormatan dan
memperbanyak keturunan.
Kami tambahkan, betapa telah
terbaliknya pandangan banyk
orang sekarang ini, banyak
wanita yang lebih rela
suaminya berbuat zina dari
pada berpoligami, Laa haula
wa laa quwwata illa billah.
7. Menjaga kaum laki-laki dan
wanita dari berbagai keburukan
dan penyimpangan.
8. Memperbanyak jumlah kaum
muslimin sehingga memiliki
sumbar daya manusia yang
cukup untuk menghadapi
musuh-musuhnya dengan
berjihad. Kami tambahkan,
kaum muslimin dicekoki oleh
program Keluarga Berencana
atau yang semisalnya agar
jumlah mereka semakin sedikit,
sementara jika kita melihat
banyak orang-orang kafir yang
justru memperbanyak jumlah
keturunan mereka. Wallahul
musta’an.
Ya Allah, hal yg serupa skrg sedang sy alami. Suami sy diam2 telah menikah lg dn sy tahu dr org lain. Betapa hancur hti sy, krn perselingkuhan yg d lakukan o suamiku akhirny ttp d lanjutkn dg pernikahan. Dn aq telah d tipu selama 3th ini. Sy benar2 bingung, ap yg hrs sy perbuat
BalasHapuskasus seperti itu menurut saya tidak adil dalam kaca mata manapun.. padahal islam menganjurkan dan memerintahkan pengikutnya untuk menegakkan keadilan..
BalasHapussuami yang menikah diam-diam adalah suami yang tdiak sanggup bersabar dalam hidupnya. mengenai kebutuhan seksual seyogyanya bila istri berada pada saat tak mampu memberikan service yang memuaskan, hendaknya seorang suami bersabar atas itu dan mensyukuri istrinya..
kalaupun hendak menikah lagi, maka seharusnysa meminta izin kepada istrinya, apakah ia menyetujuinya atau tidak, anjuran musyawarah dalam islam dikemanakan???
pernikahan dibangun bukan untuk menyakiti hati satu sama lain...
sesungguhnya suami seperti itu termasuk suami yang berdosa karena menyakiti hati istrinya...
wallohu a'lam bi showab.