Saat tuduhan teroris dari Metro TV mengiris hati para alumni rohis, pada saat yang sama juga membentangkan kembali segala kenangan indah, suka dan duka saat masih beraktifitas di rohis. Tuduhan yang menyalakan amarah dan menebarkan gundah itu memang amat menyakitkan. Apalagi saat disebutkan di rohis kita dijejali kebencian dan kekerasan. Padahal apa yang sebenarnya terjadi justru sebaliknya. Pola pembinaan di rohis dengan seabrek kegiatannya banyak merubah sosok-sosok bengis menjadi manis, yang jahat menjadi taat. Saya termasuk yang sempat menikmati indahnya pembinaan dan seabrek kegiatan di rohis, dan rasanya layak untuk dikenang dan dibagikan kepada siapa saja yang masih belum mengenal dunia rohis. Apa saja yang saya dapatkan dari rohis ? berikut sebagian point utamanya. Terlampau banyak untuk disebutkan satu demi satu pelajaran yang ada.
Pertama : Semangat menuntut Ilmu
Pelajaran Agama Islam di sekolah-sekolah umum hanyalah 2 jam sepekan, itu berarti hanya sekitar 90 menit dalam 7 hari yang kita jalani. Itupun berupa pelajaran dengan metode pengajaran satu arah, dimana kita hanya menerima apa-apa yang disajikan dalam buku pelajaran agama Islam. Rasa-rasanya suasana di kelas lebih ke arah persiapan menghadapi ujian dari pada keinginan untuk menambahkan ilmu Islam dan ketaatan. Karenanya saat di rohis, bertemu dengan teman-teman yang sebagian dari lulusan madrasah Tsanawiyah, menjadikan kami bersemangat untuk menambah ilmu. Dari mulai baca-baca buku di perpustakaan kecil sudut musholla, yang waktu itu banyak dihiaskan majalah Intilaq, sampai juga mulai hunting majalah Sabili dan Annida di toko buku kecil di kota kami. Kajian melingkar yang mendatangkan pengisi dari alumni rohis juga dengan semangat kami ikuti, belum lagi dengan pengajian yang diselenggarakan oleh yayasan-yayasan Islami di luar sekolah yang begitu menggairahkan untuk diikuti. Semuanya begitu alami. Bahkan teman rohis yang alumni pondok pesantren, kami minta secara khusus untuk mengajarkan bahasa arab pada kami. Setidaknya ana, antum, afwan dan syukron adalah mufrodat yang populer di telinga kami saat itu.
Kedua : Semangat Beribadah
Sejalan dengan tambah ilmu agama, makin kuat pula keinginan kami untuk menjalankannya secara nyata. Maka saat istirahat pertama dimana teman-teman berebutan menyerbu kantin, kami dengan semangat menyerbu musholla, untuk menjalankan sholat dhuha dan tilawah beberapa ayat al-quran. Mushaf kecil senantiasa tersimpan di saku baju kami. Di malam hari agenda tahajud mulai menghiasi malam-malam kami, bahkan beberapa teman gak pede saat mulai nampak noda hitam di dahi bekas panjangnya sujud di malam hari. Meski tak terlampau sering, shoum sunnah senin dan kamis pun terkadang menghiasi hari-hari kami.
Ketiga : Mencintai Masjid
Masjid sekolah adalah rumah kedua bagi aktifis rohis. Bukan hanya untuk ibadah, tetapi juga bercengkrama dan bersandar melepas lelah. Terkadang setiap selesai sholat Jumat, saya dan beberapa teman rohis, ambil inisiatif untuk menyeret karpet ke lapangan basket, kita cuci bersama lalu digantungkan di tiang ring basket agar lebih kering. Setelah lelah mendera, kami kumpulkan ribuan atau lima ratusan untuk patungan membeli nasi bungkus dan seplastik es teh. Kenikmatan yang indah tuk dikenang. Bagi kami, pulang setelah ashar atau jelang maghrib tak ada bedanya. Karena rumah kedua kami memang di musholla. Beberapa kali pun kami menginap di masjid meski tak ada acara formal seperti mabit. Bahkan saat jelang ujian ebtanas, kami sepakat untuk belajar dan menginap di masjid.
Keempat : Mencintai Masyarakat
Beberapa kegiatan rohis bersentuhan langsung dengan masyarakat, khususnya saat Ramadhan, pembagian zakat fitrah dan pembagian daging kurban. Saat malam-malam Ramadhan kita bukan musholla sekolah untuk masyarakat umum, kita pastikan mereka datang dengan nyaman tenang dan khusyuk menjalankan sholat, ahlan wa sahlan. Begitu pula saat pembagian zakat fitrah dan daging kurban, ratusan atau mungkin ribuan kupon pembagian yang biasa disebut kitir kita sebarkan di masyarakat sekitar sekolah. Kita ketuk pintu satu persatu, atau melalui ketua RT, untuk menyampaikan amanah pembagian tersebut. Dari sini kami belajar mengenal masyarakat dengan lebih mendalam, mengetahui kondisi apa yang terjadi di sekeliling sekolah kami.
Pada kesempatan lain kami juga menginisiasi bantuan, bersama teman-teman di OSIS untuk kami sampaikan di pantai Asuhan di kota kami. Secara pribadi pernah juga hanya berduaan dengan vespa yang bersahaja, kami membagikan nasi bungkus pada mereka yang bertebaran di jalanan.
Kelima : Berdakwah tanpa Lelah
Di rohis kami memahami bahwa Islam bukan untuk dinikmati sendiri, tetapi disebarkan karena ia bagian dari rohmatan lil ‘aalamiin. Maka kami pun mulai mendakwahi teman-teman di sekolahan dengan ragam cara yang unik dan menarik. Kami harus belajar nasyid meski suara kami tak begitu menawan untuk didengarkan. Kami pun berusaha menjadi wartawan, lembur beberapa malam tak tidur menyiapkan majalah Adz-Dzikr untuk kami hadirkan ke teman-teman dengan harga seribuan. Majalah rohis pertama di sekolah kami atau bahkan di kota kami, yang mendapatkan apresiasi begitu tinggi dari siswa dan guru. Beberapa tahun setelah kelulusan, kami mendengar majalah tersebut telah berkembang dan dipatenkan menjadi produk rohis, hingga saat ini, alhamdulillah.
Teman-teman Akhwat mempunyai segmen dakwah yang lebih beragam, mengenalkan siswi tentang pentingnya menutup aurat. Pada tahun-tahun itu begitu marak proses jilbabisasi, khususnya pada siswi kelas tiga, tentu sebuah pencapaian yang luar biasa. Tapi hambatan sudah siap menghadang di hadapan. Menjelang kelulusan isu larangan foto ijazah berjilbab kembali menyeruak dan menyebarkan kegelisahan. Kami dari rohis segera mengumpulkan jilbaber kelas tiga secara khusus, kita adakan briefing untuk menguatkan komitmen agar tidak lepas jilbab saat sessi pemotretan. Setelahnya kami pengurus rohis menguatkan diri untuk menghadap kepala sekolah menyampaikan aspirasi tentang hal tersebut. Bukan sambutan positif yang kami terima, tetapi justru ketegangan demi ketegangan yang tercipta. Kami keluar ruangan kepala sekolah dengan gelisah bercampur amarah, tapi kami yakin akan ada jalan keluar di hadapan. Perjuangan belum selesai.
Keenam : Organisasi dan Komunikasi
Sebagaimana organisasi lainnya di sekolah, Rohis juga memiliki kepengurusan dan program kerja. Maka kami pun menjalankan serangkaian rapat-rapat, di musholla – dengan berhijabkan tirai dari kain yang sudah mulai lusuh. Serangkaian kegiatan baik internal dan ekstenal sukses kami luncurkan. Penyiapan sholat Jumat maupun Kajian Ahad pagi sudah menjadi santapan pekanan, rutinitas yang dirindukan. Di dalamnya kami juga belajar untuk tampil dihadapan publik, dengan kultum-kultum ringan yang pada waktu itu kami masih sangat fokus di cara menyampaikan mukaddimah yang berbahasa arab saja. Di rohis kami juga belajar menjalin komunikasi dengan guru, kepala sekolah, juga tokoh-tokoh di luar sekolah. Berbekalkan proposal pembangunan masjid sekolah, kami berkeliling bersilaturahmi mengunjungi dermawan dan jutawan di kota kami, untuk mendapatkan barang enam tujuh digit rupiah agar pembangunan bisa mulai berjalan, meski kami takkan menikmati hasilnya nanti.
Rasanya masih banyak yang belum kami catatkan disini, biarlah menjadi kenangan yang abadi, juga investasi untuk ditarik di akhirat nanti. Buat adik-adik rohis, ratusan berita dan cerca mungkin akan kembali muncul dihadapan, mari terus ukir kenangan manis dengan pembinaan dan kegiatan di dalamnya. Jadikan masa-masa di rohis sebagai ayyaaman la tunsa, hari-hari yang takkan terlupa.
Semoga bermanfaat dan salam optimis.
Tulisan ini didedikasikan untuk :
Seluruh alumni dan pegiat rohis, khususnya
Temen-teman rohis Angkatan 99 Smusa Kudus
Pertama : Semangat menuntut Ilmu
Pelajaran Agama Islam di sekolah-sekolah umum hanyalah 2 jam sepekan, itu berarti hanya sekitar 90 menit dalam 7 hari yang kita jalani. Itupun berupa pelajaran dengan metode pengajaran satu arah, dimana kita hanya menerima apa-apa yang disajikan dalam buku pelajaran agama Islam. Rasa-rasanya suasana di kelas lebih ke arah persiapan menghadapi ujian dari pada keinginan untuk menambahkan ilmu Islam dan ketaatan. Karenanya saat di rohis, bertemu dengan teman-teman yang sebagian dari lulusan madrasah Tsanawiyah, menjadikan kami bersemangat untuk menambah ilmu. Dari mulai baca-baca buku di perpustakaan kecil sudut musholla, yang waktu itu banyak dihiaskan majalah Intilaq, sampai juga mulai hunting majalah Sabili dan Annida di toko buku kecil di kota kami. Kajian melingkar yang mendatangkan pengisi dari alumni rohis juga dengan semangat kami ikuti, belum lagi dengan pengajian yang diselenggarakan oleh yayasan-yayasan Islami di luar sekolah yang begitu menggairahkan untuk diikuti. Semuanya begitu alami. Bahkan teman rohis yang alumni pondok pesantren, kami minta secara khusus untuk mengajarkan bahasa arab pada kami. Setidaknya ana, antum, afwan dan syukron adalah mufrodat yang populer di telinga kami saat itu.
Kedua : Semangat Beribadah
Sejalan dengan tambah ilmu agama, makin kuat pula keinginan kami untuk menjalankannya secara nyata. Maka saat istirahat pertama dimana teman-teman berebutan menyerbu kantin, kami dengan semangat menyerbu musholla, untuk menjalankan sholat dhuha dan tilawah beberapa ayat al-quran. Mushaf kecil senantiasa tersimpan di saku baju kami. Di malam hari agenda tahajud mulai menghiasi malam-malam kami, bahkan beberapa teman gak pede saat mulai nampak noda hitam di dahi bekas panjangnya sujud di malam hari. Meski tak terlampau sering, shoum sunnah senin dan kamis pun terkadang menghiasi hari-hari kami.
Ketiga : Mencintai Masjid
Masjid sekolah adalah rumah kedua bagi aktifis rohis. Bukan hanya untuk ibadah, tetapi juga bercengkrama dan bersandar melepas lelah. Terkadang setiap selesai sholat Jumat, saya dan beberapa teman rohis, ambil inisiatif untuk menyeret karpet ke lapangan basket, kita cuci bersama lalu digantungkan di tiang ring basket agar lebih kering. Setelah lelah mendera, kami kumpulkan ribuan atau lima ratusan untuk patungan membeli nasi bungkus dan seplastik es teh. Kenikmatan yang indah tuk dikenang. Bagi kami, pulang setelah ashar atau jelang maghrib tak ada bedanya. Karena rumah kedua kami memang di musholla. Beberapa kali pun kami menginap di masjid meski tak ada acara formal seperti mabit. Bahkan saat jelang ujian ebtanas, kami sepakat untuk belajar dan menginap di masjid.
Keempat : Mencintai Masyarakat
Beberapa kegiatan rohis bersentuhan langsung dengan masyarakat, khususnya saat Ramadhan, pembagian zakat fitrah dan pembagian daging kurban. Saat malam-malam Ramadhan kita bukan musholla sekolah untuk masyarakat umum, kita pastikan mereka datang dengan nyaman tenang dan khusyuk menjalankan sholat, ahlan wa sahlan. Begitu pula saat pembagian zakat fitrah dan daging kurban, ratusan atau mungkin ribuan kupon pembagian yang biasa disebut kitir kita sebarkan di masyarakat sekitar sekolah. Kita ketuk pintu satu persatu, atau melalui ketua RT, untuk menyampaikan amanah pembagian tersebut. Dari sini kami belajar mengenal masyarakat dengan lebih mendalam, mengetahui kondisi apa yang terjadi di sekeliling sekolah kami.
Pada kesempatan lain kami juga menginisiasi bantuan, bersama teman-teman di OSIS untuk kami sampaikan di pantai Asuhan di kota kami. Secara pribadi pernah juga hanya berduaan dengan vespa yang bersahaja, kami membagikan nasi bungkus pada mereka yang bertebaran di jalanan.
Kelima : Berdakwah tanpa Lelah
Di rohis kami memahami bahwa Islam bukan untuk dinikmati sendiri, tetapi disebarkan karena ia bagian dari rohmatan lil ‘aalamiin. Maka kami pun mulai mendakwahi teman-teman di sekolahan dengan ragam cara yang unik dan menarik. Kami harus belajar nasyid meski suara kami tak begitu menawan untuk didengarkan. Kami pun berusaha menjadi wartawan, lembur beberapa malam tak tidur menyiapkan majalah Adz-Dzikr untuk kami hadirkan ke teman-teman dengan harga seribuan. Majalah rohis pertama di sekolah kami atau bahkan di kota kami, yang mendapatkan apresiasi begitu tinggi dari siswa dan guru. Beberapa tahun setelah kelulusan, kami mendengar majalah tersebut telah berkembang dan dipatenkan menjadi produk rohis, hingga saat ini, alhamdulillah.
Teman-teman Akhwat mempunyai segmen dakwah yang lebih beragam, mengenalkan siswi tentang pentingnya menutup aurat. Pada tahun-tahun itu begitu marak proses jilbabisasi, khususnya pada siswi kelas tiga, tentu sebuah pencapaian yang luar biasa. Tapi hambatan sudah siap menghadang di hadapan. Menjelang kelulusan isu larangan foto ijazah berjilbab kembali menyeruak dan menyebarkan kegelisahan. Kami dari rohis segera mengumpulkan jilbaber kelas tiga secara khusus, kita adakan briefing untuk menguatkan komitmen agar tidak lepas jilbab saat sessi pemotretan. Setelahnya kami pengurus rohis menguatkan diri untuk menghadap kepala sekolah menyampaikan aspirasi tentang hal tersebut. Bukan sambutan positif yang kami terima, tetapi justru ketegangan demi ketegangan yang tercipta. Kami keluar ruangan kepala sekolah dengan gelisah bercampur amarah, tapi kami yakin akan ada jalan keluar di hadapan. Perjuangan belum selesai.
Keenam : Organisasi dan Komunikasi
Sebagaimana organisasi lainnya di sekolah, Rohis juga memiliki kepengurusan dan program kerja. Maka kami pun menjalankan serangkaian rapat-rapat, di musholla – dengan berhijabkan tirai dari kain yang sudah mulai lusuh. Serangkaian kegiatan baik internal dan ekstenal sukses kami luncurkan. Penyiapan sholat Jumat maupun Kajian Ahad pagi sudah menjadi santapan pekanan, rutinitas yang dirindukan. Di dalamnya kami juga belajar untuk tampil dihadapan publik, dengan kultum-kultum ringan yang pada waktu itu kami masih sangat fokus di cara menyampaikan mukaddimah yang berbahasa arab saja. Di rohis kami juga belajar menjalin komunikasi dengan guru, kepala sekolah, juga tokoh-tokoh di luar sekolah. Berbekalkan proposal pembangunan masjid sekolah, kami berkeliling bersilaturahmi mengunjungi dermawan dan jutawan di kota kami, untuk mendapatkan barang enam tujuh digit rupiah agar pembangunan bisa mulai berjalan, meski kami takkan menikmati hasilnya nanti.
Rasanya masih banyak yang belum kami catatkan disini, biarlah menjadi kenangan yang abadi, juga investasi untuk ditarik di akhirat nanti. Buat adik-adik rohis, ratusan berita dan cerca mungkin akan kembali muncul dihadapan, mari terus ukir kenangan manis dengan pembinaan dan kegiatan di dalamnya. Jadikan masa-masa di rohis sebagai ayyaaman la tunsa, hari-hari yang takkan terlupa.
Semoga bermanfaat dan salam optimis.
Tulisan ini didedikasikan untuk :
Seluruh alumni dan pegiat rohis, khususnya
Temen-teman rohis Angkatan 99 Smusa Kudus
Sebagai alumni Smusaku angk. 00 saya merindukan saat-saat itu juga.
BalasHapusahlan wa sahlan mas alim , masih ingat juga dengan kaos SKI jaman kita he2
HapusAlhamdulillah masih ingat kaos tsb meski sekarang entah di mana, karena sesudah lulus SMU dan saya kuliah, saya lupa kaos tsb saya tinggal di kampung halaman atau ikut saya bawa ke Semarang. Hehe.
HapusMungkin kadar ibadah saya jauh lebih rendah dibandingkan teman-teman yg lain, tapi saya tetap bersyukur sempat menjadi bagian SKI, rohis-nya SMU/SMA 1 Kudus, karena begitu banyak pelajaran kebaikan yang saya peroleh di sana yang Insya allah selalu jadi motivasi buat saya.
Dan saya sangat tidak setuju kalau ada yang mengkait-kaitkan Rohis dengan terorisme. Selama saya jadi bagian Rohis, tak pernah saya temui kajian dengan materi yg mengarah ke ajakan untuk melakukan kekerasan, apalagi sampai ajaran terorisme.
Mas ijin saya masukkan tulisannya di blog rohisbukanteroris.wordpress.com ya..
BalasHapussilahkan di share, smoga bermanfaat dan jangan lupa cantumkan sumbernya ya. sukses dan salam optimis
Hapus