Selain ibadah ritual, salah satu yang terasa meningkat saat Ramadhan adalah semangat berbagi atau bersedekah. Saat puasa menahan lapar memang semestinya melahirkan perasaan solidaritas kepada sesama, khususnya kaum dhuafa. Bukan hanya itu, bahkan Rasulullah SAW pun menunjukkan dalam aplikasi nyata. Sahabat Ibnu Abbas ra memberikan testimoninya : “Rasulullah SAW adalah orang yang paling dermawan. Dan beliau lebih dermawan lagi di bulan Ramadhan saat beliau bertemu Jibril. Jibril menemuinya setiap malam untuk mengajarkan Al Qur’an. Dan kedermawanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi angin yang berhembus.” (HR. Bukhari).
Karena itu semualah, maka dengan mudah kita melihat bagaimana fenomena bersedekah semarak saat Ramadhan. Dari mulai takjilan di masjid yang tak pernah kekurangan donatur, hingga diselenggarakannya buka bersama di rumah-rumah aghniya atau instansi dengan mengundang anak-anak yatim turut serta. Kemeriahan semangat sedekah dan berbagi saat Ramadhan menjadi sempurna dengan disyariatkannya zakat fitrah menjelang hari raya. Sungguh semua ini merupakan pencapaian yang membahagiakan dan layak kita syukuri.
Namun apakah gambaran meriahnya sedekah saat Ramadhan bisa dilanjutkan setelahnya ? Apakah keistiqomahan berbagi ini bisa kita nikmati pada hari-hari setelah Ramadhan berlalu. Nampaknya kita masih harus terus saling menyemangati satu sama lain, tawashou bil haq. Betapa tidak, ternyata data yang ada justru menunjukkan suata hal yang masih menyisakan pekerjaan besar. Kita ambil gambaran dari data sedekah yang bersifat wajib, yaitu zakat misalnya. Dari penelitian terbaru yang dilakukan oleh BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) bekerja sama dengan IPB menunjukkan, bahwa potensi penerimaan Zakat di Indonesia adalah sebesar Rp 217 Trilyun pertahun. Sungguh suatu jumlah yang sangat fantastis karena hampir setara dengan 20% jumlah APBN kita. Namun sayang, aktualisasi di lapangan dari angkat 217 Trilyun, yang baru bisa ditarik hanya sekitar 1,7 Trilyun atau sekitar 1 % saja. Nanggroe Aceh Darussalam tercatat sebagai daerah di Indonesia dengan prosentase penarikan zakat terbanyak, namun itupun hanya sekitar 8% dari potensi zakat yang ada di serambbi mekah tersebut.
Perlu jujur kita akui, bahwa semangat beribadah ritual di Indonesia memang jauh lebih tinggi dari semangat ibadah sosial, atau secara khusus berzakat. Bukti nyata hal tersebut ada dalam fenomena maraknya pendaftaran ibadah haji yang bersifat ritual. Berbondong-bondong masyarakat kita menyambut seruan ini, dan dengan segenap daya upaya mendaftarkan diri satu demi satu, sementara kuota pemberangkatan tiap tahunnya tidak naik secara signifikan. Maka akibatnya bisa kita lihat dengan mudah, antrian keberangkatan haji mencapai kisaran 10 tahun lamanya. Jika kita mendaftar tahun ini, maka diperkirakan mendapatkan kursi pesawat untuk tahun 2022. Bahkan untuk pemberangkatan haji khusus – yang sering disebut dengan ONH Plus- kita pun masih perlu mengantri tiga empat tahun untuk bisa meluapkan rindu di tanah suci. Inilah yang tadi perlu kita renungkan, yaitu bagaimana menyelaraskan antara semangat ibadah ritual dengan semangat berbagi atau bersedekah.
Pekerjaan rumah terbentang dihadapan, mari menguatkan semangat untuk terus berbagi dan bersedekah, khususnya setelah kita melampaui bulan Ramadhan yang semestinya melahirkan insan bertakwa. Sementara salah satu ciri orang bertakwa adalah mereka semangat berbagi, bahkan dalam kondisi yang sulit sekalipun, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran : “ (yaitu) orang-orang yang menginfakkan hartanya dalam kondisi lapang maupun sempit .. “(QS Ali Imron 134). Semoga Allah SWT memudahkan upaya kita untuk terus istiqomah berbagi. Wallahu a’lam bisshowab
*artikel dimuat pada Rubrik Tausiyah Suara Merdeka Suara Solo, Jumat 7 Desember 2012
smoga bermanfaat dan salam optimis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar