Di bulan Syawal ini undangan halal bihalal datang dari segala penjuru. Mulai dari halal bihalal kultural yang sudah dimulai sejak awal lebaran, yaitu berupa sungkeman, saling berkunjung dan bersalam-salaman dengan keluarga dan kerabat setelah sholat ied. Kemudian masih terus berlanjut di tengah suasana mudik berupa pertemuan ‘arisan’ keluarga, reuni, silaturahim dan semua kegiatan kumpul-kumpul yang semuanya mengusung makna halal bihalal. Ucapan “minal aidin wal faizin” dan “maaf lahir dan batin” pun didengungkan dimana-mana, baik sepenuh penghayatan maupun sekedar sapaan pembuka.
Baru setelah orang-orang kembali ke rumah masing-masing, dan beraktifitas seperti biasa di bulan syawal, dimulailah periode halal bihalal yang lebih struktural, dalam arti tertata nan ceremonial penuh. Mulai dari halal bihalal di kantor, sekolahan, pesantren, jamaah masjid hingga lingkungan wilayah terkecil seperti RT dan RW. Inti acara halal bihalal biasanya adalah sambutan-sambutan yang menegaskan tulusnya hati untuk saling memaafkan lahir dan batin, serta uraian tausiyah untuk memotivasi ukhuwah dan ketaatan paska ramadhan. Kalaupun ada acara wajib lainnya, pastilah berupa aneka ragam hidangan yang tersajikan mengundang selera. Acara diakhiri dengan bersalam-salaman sebagai simbol luruh dan leburnya dosa-dosa. Sepanjang yang saya tahu, itulah yang dimaksud dan dijalankan di masyarakat kita tentang kegiatan Halal bihalal. Tidak ada ritual tertentu yang diadakan apalagi diwajibkan.
Halal bihalal memang tradisi yang 100% Indonesia. Sebuah tradisi tetaplah menjadi tradisi yang bernilai standar “mubah” atau boleh selama tidak bertentangan dengan aturan syariah. Tradisi yang berjalan begitu saja tanpa ritual khusus, dan juga tanpa pemahaman itu hal yang wajib dilakukan, maka berkekuatan hukum mubah. Apalagi jika ditambahkan niatan kebaikan, dan agenda kebaikan seperti tausiyah, maka tidak menutup kemungkinan malaikat mencatatnya sebagai pahala. Sebuah hal yang mubah, bisa kita kapitalisasi menjadi berpahala, asalkan diniatkan kebaikan sepenuh penghayatan. Maka makan, mandi dan tidur kita yang awalnya hanya sekedar adat kebiasaan, bisa berpahala penuh selama ditumpangi dengan niatan kebaikan.
Inilah yang dipahami sepenuhnya oleh Muad bin Jabal saat menyatakan : “ Sungguh aku ini berharap pahala saat tidur, sama dengan aku berharap pahala saat sholat malam “. Begitu pula halal bihalal, tradisi yang bisa jadi berbiaya tinggi, sangat disayangkan kalau tidak disertai niatan-niatan kebaikan.
Untuk mengumpulkan niatan-niatan kebaikan saat berhalal bihalal, tentunya menarik kalau kita lebih jauh mengupas tentang beberapa perspektif inspirasi munculnya halal bihalal. Baik secara tinjauan sejarah, maupun anjuran-anjuran syariah yang mengisyaratkan ‘pentingnya’ halal bihalal dengan niatan tertentu.
Pertama : Perspektif Sejarah
Karena halal bihalal adalah kekhasan masyarakat Indonesia saat lebaran tiba, maka tinjauan sejarah pun kita batasi dengan catatan riwayat sejarah negeri ini. Halal bihalal pada awalnya adalah tradisi “sungkeman massal” yang dihidupkan oleh Pangeran Sambernyawa (KGPAA Mangkunegara I ) pada masa tahun 1700-an. Beliau mengumpulkan para punggawa dan prajurit secara serentak –untuk menghemat waktu , tenaga dan biaya – setelah sholat Idul Fitri, untuk merayakan kegembiraan dengan berkumpul dan bersilaturahim.
Untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah shalat Idul Fithri diadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem idul fitri kepada raja dan permaisuri.
Tradisi halal bihalal versi pertama ini sangat kental dengan nuansa kraton dan budaya jawa yaitu sungkeman. Maka seiring dengan perkembangan jaman berupa surutnya hegemoni kraton, tradisi ini pun sempat tiarap dalam arti tidak terlampau populer. Barulah kemudian pada masa awal kemerdekaan Presiden RI bapak Soekarno menghidupkan kembali tradisi ini, kali ini dengan format halal bihalal yang lebih formal dan resmi. Sebab awalnya adalah masa revolusi kemerdekaan yang diawali dengan datangnya kembali Belanda mengancam tanah air, tokoh-tokoh pemerintahan sempat goyah dan terpecah. Keadaan begitu memprihatinkan pada waktu itu.
JJ Rizal menuliskan : "Sejumlah tokoh pada bulan puasa tahun 1946 menghubungi Soekarno. Mereka minta agar ia bersedia di hari raya yang jatuh pada Agustus saat itu, mengadakan perayaan Lebaran dengan mengundang seluruh komponen revolusi, walaupun pendirian politiknya beraneka macam dan kedudukannya dalam masyarakat pun berbeda-beda. Tujuannya, agar Lebaran menjadi ajang saling memaafkan dan memaklumi serta menerima keragaman dalam bingkai persatuan dan kesatuan bangsa". (J.J. Rizal; Tempo 5 Nov 2006).
Karena sejarahnya seperti itu, maka sangat wajar jika kemudian Halal bihalal jaman Bung Karno sangat kental nuansa nasionalisme dan persatuan. Harapan dan cita-cita Indonesia yang maju sejahtera muncul hebat terlebih lagi saat lebaran dan berhalal bihalal. Karenanya lirik lagu lebaran pada tahun-tahun itu 1950-an, yang ditulis oleh Ismail Mz dan Oslan misalnya, sangat kental nuansa patriotisme, nasionalis dan tentu saja soekarnois. Kita bisa membacanya dengan mudah pada lirik :
“ Minal Aidin wal Faizin, maafkan lahir dan batin
Selamat para pemimpin, rakyatnya makmur terjamin .... “
Sebuah lirik yang menunjukkan kecintaan rakyat pada pemimpinnya –waktu itu-, yang barangkali pada saat ini kalau dilantunkan nuansa kebatinannya agak berbeda. Ala kulli haal, setelah dihidupkan kembali oleh Bung Karno, maka kemudian halal bihalal semacam menjadi program kerja resmi tahunan bagi instansi, kantor dan sekolahan, yang diadakan secara khusus di bulan Syawal. Dan terus berlanjut hingga saat ini ....
Bersambung Bagian Kedua insya Allah
Semoga bermanfaat dan salam optimis
Baru setelah orang-orang kembali ke rumah masing-masing, dan beraktifitas seperti biasa di bulan syawal, dimulailah periode halal bihalal yang lebih struktural, dalam arti tertata nan ceremonial penuh. Mulai dari halal bihalal di kantor, sekolahan, pesantren, jamaah masjid hingga lingkungan wilayah terkecil seperti RT dan RW. Inti acara halal bihalal biasanya adalah sambutan-sambutan yang menegaskan tulusnya hati untuk saling memaafkan lahir dan batin, serta uraian tausiyah untuk memotivasi ukhuwah dan ketaatan paska ramadhan. Kalaupun ada acara wajib lainnya, pastilah berupa aneka ragam hidangan yang tersajikan mengundang selera. Acara diakhiri dengan bersalam-salaman sebagai simbol luruh dan leburnya dosa-dosa. Sepanjang yang saya tahu, itulah yang dimaksud dan dijalankan di masyarakat kita tentang kegiatan Halal bihalal. Tidak ada ritual tertentu yang diadakan apalagi diwajibkan.
Halal bihalal memang tradisi yang 100% Indonesia. Sebuah tradisi tetaplah menjadi tradisi yang bernilai standar “mubah” atau boleh selama tidak bertentangan dengan aturan syariah. Tradisi yang berjalan begitu saja tanpa ritual khusus, dan juga tanpa pemahaman itu hal yang wajib dilakukan, maka berkekuatan hukum mubah. Apalagi jika ditambahkan niatan kebaikan, dan agenda kebaikan seperti tausiyah, maka tidak menutup kemungkinan malaikat mencatatnya sebagai pahala. Sebuah hal yang mubah, bisa kita kapitalisasi menjadi berpahala, asalkan diniatkan kebaikan sepenuh penghayatan. Maka makan, mandi dan tidur kita yang awalnya hanya sekedar adat kebiasaan, bisa berpahala penuh selama ditumpangi dengan niatan kebaikan.
Inilah yang dipahami sepenuhnya oleh Muad bin Jabal saat menyatakan : “ Sungguh aku ini berharap pahala saat tidur, sama dengan aku berharap pahala saat sholat malam “. Begitu pula halal bihalal, tradisi yang bisa jadi berbiaya tinggi, sangat disayangkan kalau tidak disertai niatan-niatan kebaikan.
Untuk mengumpulkan niatan-niatan kebaikan saat berhalal bihalal, tentunya menarik kalau kita lebih jauh mengupas tentang beberapa perspektif inspirasi munculnya halal bihalal. Baik secara tinjauan sejarah, maupun anjuran-anjuran syariah yang mengisyaratkan ‘pentingnya’ halal bihalal dengan niatan tertentu.
Pertama : Perspektif Sejarah
Karena halal bihalal adalah kekhasan masyarakat Indonesia saat lebaran tiba, maka tinjauan sejarah pun kita batasi dengan catatan riwayat sejarah negeri ini. Halal bihalal pada awalnya adalah tradisi “sungkeman massal” yang dihidupkan oleh Pangeran Sambernyawa (KGPAA Mangkunegara I ) pada masa tahun 1700-an. Beliau mengumpulkan para punggawa dan prajurit secara serentak –untuk menghemat waktu , tenaga dan biaya – setelah sholat Idul Fitri, untuk merayakan kegembiraan dengan berkumpul dan bersilaturahim.
Untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah shalat Idul Fithri diadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem idul fitri kepada raja dan permaisuri.
Tradisi halal bihalal versi pertama ini sangat kental dengan nuansa kraton dan budaya jawa yaitu sungkeman. Maka seiring dengan perkembangan jaman berupa surutnya hegemoni kraton, tradisi ini pun sempat tiarap dalam arti tidak terlampau populer. Barulah kemudian pada masa awal kemerdekaan Presiden RI bapak Soekarno menghidupkan kembali tradisi ini, kali ini dengan format halal bihalal yang lebih formal dan resmi. Sebab awalnya adalah masa revolusi kemerdekaan yang diawali dengan datangnya kembali Belanda mengancam tanah air, tokoh-tokoh pemerintahan sempat goyah dan terpecah. Keadaan begitu memprihatinkan pada waktu itu.
JJ Rizal menuliskan : "Sejumlah tokoh pada bulan puasa tahun 1946 menghubungi Soekarno. Mereka minta agar ia bersedia di hari raya yang jatuh pada Agustus saat itu, mengadakan perayaan Lebaran dengan mengundang seluruh komponen revolusi, walaupun pendirian politiknya beraneka macam dan kedudukannya dalam masyarakat pun berbeda-beda. Tujuannya, agar Lebaran menjadi ajang saling memaafkan dan memaklumi serta menerima keragaman dalam bingkai persatuan dan kesatuan bangsa". (J.J. Rizal; Tempo 5 Nov 2006).
Karena sejarahnya seperti itu, maka sangat wajar jika kemudian Halal bihalal jaman Bung Karno sangat kental nuansa nasionalisme dan persatuan. Harapan dan cita-cita Indonesia yang maju sejahtera muncul hebat terlebih lagi saat lebaran dan berhalal bihalal. Karenanya lirik lagu lebaran pada tahun-tahun itu 1950-an, yang ditulis oleh Ismail Mz dan Oslan misalnya, sangat kental nuansa patriotisme, nasionalis dan tentu saja soekarnois. Kita bisa membacanya dengan mudah pada lirik :
“ Minal Aidin wal Faizin, maafkan lahir dan batin
Selamat para pemimpin, rakyatnya makmur terjamin .... “
Sebuah lirik yang menunjukkan kecintaan rakyat pada pemimpinnya –waktu itu-, yang barangkali pada saat ini kalau dilantunkan nuansa kebatinannya agak berbeda. Ala kulli haal, setelah dihidupkan kembali oleh Bung Karno, maka kemudian halal bihalal semacam menjadi program kerja resmi tahunan bagi instansi, kantor dan sekolahan, yang diadakan secara khusus di bulan Syawal. Dan terus berlanjut hingga saat ini ....
Bersambung Bagian Kedua insya Allah
Semoga bermanfaat dan salam optimis
ijin copy ustadz.... nuwun
BalasHapus