bersama moderator yang serius :-) |
Di setiap seminar dan kajian parenting, biasanya sejak awal saya sampaikan ulang bagaimana cara pandang kita tentang anak. Dari mulai memandang anak sebagai anugerah, amanah, bahkan sampai juga anak sebagai ujian. Dari sisi ini, jika kita bisa melampaui siklus anak sebagai ujian/fitnah, maka siklus berikutnya teramat indah, yaitu anak menjadi penyejuk mata, bahkan investasi bagi kita di akhirat nanti. Kesempatan berikutnya juga saya tekankan sebagai rambu-rambu awal dalam tarbiyatul aulad, diantaranya adalah qudwah dimana orangtua menjadi contoh bagi anak-anaknya, serta al-mahabbah artinya kasih sayang antara orangtua terhadap anak. Tentu saja kasih sayang yang dimaksudkan di sini bukan dalam konteks memanjakan dan bahkan melalaikan sebagaimana yang banyak dipraktekkan oleh masyarakat kita. Sangat banyak contoh dari sejarah Rasulullah SAW tentang anjuran kasih sayang terhadap anak-anak, bahkan juga kepada yang lainnya. Untuk lebih lengkap dan mendalam seputar hal ini, silahkan Anda lihat postingan kami terdahulu tentang Tarbiyatul Aulad atau pendidikan Anak, serta seputar pengaruh romantisme suami istri dalam pendidikan dan perkembangan anak.
Setelah mengawali dengan qudwah (keteladanan) dan mahabbah (kasih sayang), maka diperlukan juga sinergitas antara suami istri dalam perkembangan anak. Semua mempunyai tanggung jawab, dan masalah ini tidak bisa hanya sepenuhnya diserahkan kepada salah satu pihak, dalam hal ini biasanya adalah kaum ibu atau para istri. Uniknya, peserta seminar tersebut -sebagaimana seminar parenting lainnya- juga didominasi oleh kaum ibu. Rasulullah SAW telah mengingatkan seputar tanggung jawab ini dalam sabdanya : "Dan laki-laki adalah pemelihara bagi keluarganya, dia akan ditanya ttg yg dipeliharanya. Dan wanita adalah pemelihara di rumah suaminya, diakan ditanya ttg apa yang dipeliharanya" (HR Bukhori) . Sungguh gambaran yang sangat tidak mengenakkan adalah misalnya, saat ibu mengingatkan dan menegur sesuatu pada sang anak, lalu pada saat yang sama tampil ayah menjadi pembela dan menyalahkan sang ibu, begitu pula sebaliknya. Dengan sinergi, maka hal tersebut selayaknya dihindari.
peserta seminar yang kebanyak kaum ibu |
Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kembali dari Perang Tabuk, atau Perang Khaibar, beliau melihat tirai yang menutupi rak milik Aisyah tertiup angin hingga sebagian tirainya memperlihatkan boneka mainan Aisyah yang ada di dalamnya.
Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata, “Apa ini wahai Aisyah?”
Aisyah menjawab, “Itu adalah bonekaku.”
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kemudian melihat boneka-boneka tersebut, dan di antaranya terdapat boneka kuda bersayap dari kertas/kulit/kain (yang waktu itu biasa dipakai untuk tulis menulis).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bertanya lagi, “Lalu apa yang aku lihat di tengah ini?”
Aisyah menjawab, “Itu adalah seekor kuda.”
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bertanya lagi, “Ini apa yang ada di punggungnya?”
Aisyah menjawab, “Itu adalah sayap-sayapnya.”
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bertanya kembali, “Apakah ada kuda yang memiliki sayap?”
Aisyah menjawab, “Tidak pernahkah engkau mendengar bahwa Sulaiman memiliki kuda bersayap?”
Lalu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pun tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya.
Akhirnya, sungguh indah jika komunikasi orangtua dan anak dalam Islam berawal dari adanya ketenangan dan kenyamanan pada diri anak, serta kepercayaan pada kedua orangtuanya. Itu semua akan sulit tercapai jika tidak diawali dengan qudwah, mahabbah serta sinergi antara suami dan istri. Kita semua harus terus berupaya dan semoga Allah SWT memudahkan.
Semoga bermanfaat dan salam optimis di ahad pagi yang ceria.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar