Menurut wikipedia, Ekspatriat adalah seseorang yang tinggal sementara maupun menetap di luar negara di mana dia dilahirkan dan dibesarkan. Nah, ekspatriat versi Jepang ini ternyata begitu banyak, dimana orang-orang Indonesia banyak yang menikah dan tinggal di negeri Sakura ini. Sebagian mereka menikah dengan orang Jepang, lalu membuat komunitas-komunitas keluarga indonesia jepang, untuk saling menjaga silaturahim sekaligus berbagi semangat dan motivasi. Beberapa agenda kajian safari dakwah PKPU sebelumnya, seperti di Kitakami, juga diramaikan oleh kehadiran beberapa keluarga campuran ini. Anak-anak mereka yang mirip Oshin saat kecil (emang masih ingat ya .. ) selalu ikut ramai bersliweran saat agenda pengajian berlangsung.
Nah kali ini saya berkesempatan mengunjungi pengajian ekspatriat yang berbeda. Mereka beberapa orang ibu-ibu yang bersuamikan orang Jepang, baru mulai kumpul-kumpul untuk kembali di bilangan Koenji, Tokyo untuk belajar Al-Quran dan ilmu-ilmu keislaman. Sebenarnya dahulu mereka sudah bisa mengaji, namun karena kesibukan di Jepang dan masa-masa berkeluarga awal, sehingga sebagian mulai canggung lagi ketika berhadapan dengan Al-Quran. Sementara kerinduan di dada untuk kembali membaca kitab suci sudah tidak tertahankan. Maka peluang ini segera disambut oleh Mbak Nunung, seorang akhwat yang juga bersuamikan orang Jepang. Beliau dengan tekun mengumpulkan ibu-ibu tersebut, dan mulai mengajarkan Al-Quran dan ilmu-ilmu keislaman.
Semangat ibu-ibu ekspatriat untuk kembali dekat dengan Al-Quran di Koenji ini begitu terasa. Saat saya hadir untuk memberikan kajian jelang berbuka di hari pertama Ramadhan 1434 ini, ternyata diawali dengan satu persatu membacakan tilawahnya, minta untuk dibenarkan bacaan tilawahnya. Bacaan yang salah dengan keinginan belajar dan terus istiqomah tentu bukanlah masalah yang besar, karena bahkan Rasulullah SAW pun mengganjar dengan dua pahala bagi mereka yang kesulitan melafalkan Al-Quran. Melihat komitmen dan semangat dalam belajar Al-Quran, tentu harapannya mereka pun siap untuk mengikuti kajian keislaman yang lebih rutin dan lebih intensif, bertambah dan terus bertambah.
Pada saat sessi kajian, selain mengapresiasi langkah rintisan yang ditempuh mbak Nunung dkk, saya juga mengingatkan tentang tafsir 'ayat-ayat keluarga' yang terselip dalam ayat-ayat tentang puasa Ramadhan. Bukan rahasia lagi bagi mereka yang tinggal di Jepang, bahwa salah satu pekerjaan rumah keluarga campuran Indonesia Jepang adalah bagaimana mengupgrade keislamaan para suami mereka yang orang Jepang - di tengah kesibukan kerja dan lingkungan - agar bisa bertambah taat, dan tentu saja menjauhi-menjauhi kebiasaan buruk jaman dahulu. Minuman sake misalnya, bagi masyarakat Jepang mungkin bagaikan wedang jahe, untuk anget-angetan keseharian yang sudah jadi gaya hidup standar mereka.
Saya melihat komitmen untuk itu sudah ada, yaitu mengupgrade aplikasi keislaman dalam rumah tangga. Anak-anak mereka pun terlihat sudah mulai berpuasa dan berhijab rapi, pertanda sang ibu peduli akan urusan ini. Tinggal menjaga agar istiqomah dan juga terus berupaya untuk mendakwahi suami.
Tiba waktunya buka puasa Ramadan pertama di Jepang, lauknya ternyata sangat Indonesia. Alhamdulillah, bertemu dengan suasana Indonesia setelah beberapa hari menyambung hidup dengan onigiri (nasi kepal ) he2. Terima kasih buat mas Musakkir, seorang chef dari Makasar yang telah sepuluh tahun meracik bumbu dan mengolah bahan di resto masakan Jepang. Beliau menemani saya dari awal menjemput di daerah Otsuka, hingga bahkan selesainya acara. Semoga ibu-ibu pengajian Koenji semakin semangat mengaji.
berpose sebelum berbuka puasa |
Semangat ibu-ibu ekspatriat untuk kembali dekat dengan Al-Quran di Koenji ini begitu terasa. Saat saya hadir untuk memberikan kajian jelang berbuka di hari pertama Ramadhan 1434 ini, ternyata diawali dengan satu persatu membacakan tilawahnya, minta untuk dibenarkan bacaan tilawahnya. Bacaan yang salah dengan keinginan belajar dan terus istiqomah tentu bukanlah masalah yang besar, karena bahkan Rasulullah SAW pun mengganjar dengan dua pahala bagi mereka yang kesulitan melafalkan Al-Quran. Melihat komitmen dan semangat dalam belajar Al-Quran, tentu harapannya mereka pun siap untuk mengikuti kajian keislaman yang lebih rutin dan lebih intensif, bertambah dan terus bertambah.
Pada saat sessi kajian, selain mengapresiasi langkah rintisan yang ditempuh mbak Nunung dkk, saya juga mengingatkan tentang tafsir 'ayat-ayat keluarga' yang terselip dalam ayat-ayat tentang puasa Ramadhan. Bukan rahasia lagi bagi mereka yang tinggal di Jepang, bahwa salah satu pekerjaan rumah keluarga campuran Indonesia Jepang adalah bagaimana mengupgrade keislamaan para suami mereka yang orang Jepang - di tengah kesibukan kerja dan lingkungan - agar bisa bertambah taat, dan tentu saja menjauhi-menjauhi kebiasaan buruk jaman dahulu. Minuman sake misalnya, bagi masyarakat Jepang mungkin bagaikan wedang jahe, untuk anget-angetan keseharian yang sudah jadi gaya hidup standar mereka.
Saya melihat komitmen untuk itu sudah ada, yaitu mengupgrade aplikasi keislaman dalam rumah tangga. Anak-anak mereka pun terlihat sudah mulai berpuasa dan berhijab rapi, pertanda sang ibu peduli akan urusan ini. Tinggal menjaga agar istiqomah dan juga terus berupaya untuk mendakwahi suami.
Tiba waktunya buka puasa Ramadan pertama di Jepang, lauknya ternyata sangat Indonesia. Alhamdulillah, bertemu dengan suasana Indonesia setelah beberapa hari menyambung hidup dengan onigiri (nasi kepal ) he2. Terima kasih buat mas Musakkir, seorang chef dari Makasar yang telah sepuluh tahun meracik bumbu dan mengolah bahan di resto masakan Jepang. Beliau menemani saya dari awal menjemput di daerah Otsuka, hingga bahkan selesainya acara. Semoga ibu-ibu pengajian Koenji semakin semangat mengaji.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar