Tulisan ini bukan menyasar soal istilah-istilah intelek Vicky yang banyak dijadikan bahan guyonan masyarakat kita. Karena sejatinya penggunaan istilah tersebut ada dalam keseharian kita, baik yang pejabat, artis, bahkan partai politik sekalipun.Artis terkenal Tukul sejak lama mempopulerkan istilah 'kristalisasi keringat' dan tak menjadi bahan olokan, tapi justru simpati yang mendalam. Partai Nasdem bahkan menggunakan istilah 'restorasi Indonesia' sebagai tagline dalam perjuangan politiknya. Pengamat politik Burhanudin Muhtadi juga dikenal dengan kecemerlangannya menghasilkan istilah-istilah politik baru yang belum pernah terdengar sebelumnya, untuk kasus PKS misalnya, Burhan menyebutnya dengan "Tsunami Politik". Di Solo lebih unik lagi, salah satu pernak-pernik Toilet World Summit yang diselenggarakan Oktober nanti, muncul baliho besar di Jalan utama Slamet Riyadi yang menyebut toilet (maaf) jamban sebagai " terminal inspirasi kreatif" !. Jadi, tidak ada hal yang baru seputar istilah-istilah intelek tersebut, hanya saja momentum tunangan dan penangkapan Vicky yang nampaknya menjadi 'penglaris' bagi maraknya istilah-istilah tersebut.
Tulisan ini membahas bagaimana perbedaan langkah menuju kesuksesan yang dijalani oleh Tukul dan Vicky, yang sangat mungkin juga dijalani oleh banyak orang disekeliling kita, atau bahkan kita sendiri. Tukul menyebutkan istilah 'kristalisasi keringat' sebagai gambaran bagaimana tangga dia menuju kesuksesan seperti yang saat ini terjadi. Jika kita menilik latar belakang kehidupan Tukul, maka barangkali istilah tersebut cukup tepat mengingat suka duka lara kehidupan yang dia alami. Kalau ada yang bilang seseorang harus melewati 10.000 jam untuk menjadi pakar dalam bidang tertentu, maka Tukul sepertinya sudah melewati hal tersebut. Bayangkan saja Tukul sudah melawak sejak kelas VI SD, dan berbagai macam lomba lawak pernah ia ikuti dari mulai tingkat kota sampai propinsi, dan sebagian diantaranya menyabet gelar Juara.
Masa sekolah Tukul sudah biasa bergelut dengan kemiskinan. Lulus SMA, Tukul mencaris sesuap nasi dengan bekerja sebagai sopir angkutan (jurusan Johar-Panggung di Semarang) dan sopir truk gas elpiji di daerah Tanah Mas, Semarang Utara.Uniknya, hobbi melawaknya tetap tak pernah dia tinggalkan. Setelah hijrah ke Jakarta karena ajakan temannya, Tukul pun sempat menjadi sopir pribadi. Lalu kemudian kehidupannya perlahan berubah setelah bekerja di Radio Humor SK, dan episode berikutnya kita sama-sama tahu bagaimana kiprah Tukul dari mulai di Lenong Rumpi, Srimulat, menjadi penari latar nyanyian Joshua, hingga kemudan bintangnya bersinar saat menjadi host acara Bukan Empat Mata.
Saat ini Tukul dikenal sebagai salah satu artis dengan bayaran tertinggi. Trans 7 berani membayarnya dengan honor Rp 35 juta rupiah per episode di program Bukan Empat Mata. Hanya selisih 5 juta rupiah dengan honor Mario Teguh dalam program Mario Teguh The Golden Ways yang konon mendapat 40 juta rupiah per episodenya. Nampaknya saat ini, insting bisnis Tukul terus berjalan, selain memiliki 3 rumah kontrakan dan dua rumah besar di Cipete Utara, Tukul kini mulai menjajaki bisnis Kuliner Bakso dan juga tampil menjadi motivator di kampus-kampus dan instansi-instansi. Di luar itu semua, Tukul nampaknya tak pernah melupakan dari mana ia berasal, di rumahnya ia mendirikan "Posko Ojo Lali" untuk menampung teman-teman seniman dari daerah yang ke Jakarta, untuk berbagi inspirasi dan ide kreatif seputar dunia lawak. Itulah 'kristalisasi keringat' dalam sejarah kehidupan Tukul Arwana.
Adapun 'konspirasi kemakmuran' ala Vicky yang sa
ya maksud adalah gaya hidup instant dalam berusaha, ingin cepat kaya, lalu kemudian menempuh jalan menipu untuk mencapai kekayaan dan kesuksesan, atau bahkan berpura-pura agar nampak kaya. Kita tentu tidak bisa memvonis apa yang saat ini tengah berjalan di pengadilan, namun indikasi-indikasi yang ada nampaknya bisa menjadi pelajaran. Sebenarnya jika mau jujur, "konspirasi kemakmuran" ini pun telah menjadi bagian dari gaya hidup sebagian masyarakat kita. Mulai dari anak-anak muda yang gonta-ganti gadget agar dibilang tidak gaptek, pinjam mobil orangtuanya saat datang ke kegiatan sekolah dan antar jemput pacar, atau mereka yang berani berhutang kesana-sini agar saat mudik bisa tampil sukses dan mewah di kampungnya. Rasanya semua itu layak disebut dengan 'konspirasi kemakmuran'. Belum lagi dengan maraknya peluang investasi dimana-mana yang menawarkan hasil luar biasa dan untung secepat kilat, pelatihan kewirausahaan yang menebar mimpi dan motivasi untuk menjadi kaya dengan cepat, maka sebagian diantaranya nekat mengambil pinjaman bank cukup besar tanpa melihat kemampuan dan pengalaman. Episode konspirasi kemakmuran tersebut biasanya berakhir di penjara atau kehinaan karena terbuka kedoknya di tengah masyarakat.
Kita semua, khususnya generasi muda dihadapkan dengan dua langkah di atas dalam mencapai kesuksesan, apakah kita akan meniti tangga "kristalisasi keringat" yang lama tapi kokoh menjanjikan, atau memilih "konspirasi kemakmuran" yang terlihat cepat tapi rapuh dalam kenyataan.
Semoga bermanfaat dan salam optimis.
Tulisan ini membahas bagaimana perbedaan langkah menuju kesuksesan yang dijalani oleh Tukul dan Vicky, yang sangat mungkin juga dijalani oleh banyak orang disekeliling kita, atau bahkan kita sendiri. Tukul menyebutkan istilah 'kristalisasi keringat' sebagai gambaran bagaimana tangga dia menuju kesuksesan seperti yang saat ini terjadi. Jika kita menilik latar belakang kehidupan Tukul, maka barangkali istilah tersebut cukup tepat mengingat suka duka lara kehidupan yang dia alami. Kalau ada yang bilang seseorang harus melewati 10.000 jam untuk menjadi pakar dalam bidang tertentu, maka Tukul sepertinya sudah melewati hal tersebut. Bayangkan saja Tukul sudah melawak sejak kelas VI SD, dan berbagai macam lomba lawak pernah ia ikuti dari mulai tingkat kota sampai propinsi, dan sebagian diantaranya menyabet gelar Juara.
Masa sekolah Tukul sudah biasa bergelut dengan kemiskinan. Lulus SMA, Tukul mencaris sesuap nasi dengan bekerja sebagai sopir angkutan (jurusan Johar-Panggung di Semarang) dan sopir truk gas elpiji di daerah Tanah Mas, Semarang Utara.Uniknya, hobbi melawaknya tetap tak pernah dia tinggalkan. Setelah hijrah ke Jakarta karena ajakan temannya, Tukul pun sempat menjadi sopir pribadi. Lalu kemudian kehidupannya perlahan berubah setelah bekerja di Radio Humor SK, dan episode berikutnya kita sama-sama tahu bagaimana kiprah Tukul dari mulai di Lenong Rumpi, Srimulat, menjadi penari latar nyanyian Joshua, hingga kemudan bintangnya bersinar saat menjadi host acara Bukan Empat Mata.
Saat ini Tukul dikenal sebagai salah satu artis dengan bayaran tertinggi. Trans 7 berani membayarnya dengan honor Rp 35 juta rupiah per episode di program Bukan Empat Mata. Hanya selisih 5 juta rupiah dengan honor Mario Teguh dalam program Mario Teguh The Golden Ways yang konon mendapat 40 juta rupiah per episodenya. Nampaknya saat ini, insting bisnis Tukul terus berjalan, selain memiliki 3 rumah kontrakan dan dua rumah besar di Cipete Utara, Tukul kini mulai menjajaki bisnis Kuliner Bakso dan juga tampil menjadi motivator di kampus-kampus dan instansi-instansi. Di luar itu semua, Tukul nampaknya tak pernah melupakan dari mana ia berasal, di rumahnya ia mendirikan "Posko Ojo Lali" untuk menampung teman-teman seniman dari daerah yang ke Jakarta, untuk berbagi inspirasi dan ide kreatif seputar dunia lawak. Itulah 'kristalisasi keringat' dalam sejarah kehidupan Tukul Arwana.
Adapun 'konspirasi kemakmuran' ala Vicky yang sa
ya maksud adalah gaya hidup instant dalam berusaha, ingin cepat kaya, lalu kemudian menempuh jalan menipu untuk mencapai kekayaan dan kesuksesan, atau bahkan berpura-pura agar nampak kaya. Kita tentu tidak bisa memvonis apa yang saat ini tengah berjalan di pengadilan, namun indikasi-indikasi yang ada nampaknya bisa menjadi pelajaran. Sebenarnya jika mau jujur, "konspirasi kemakmuran" ini pun telah menjadi bagian dari gaya hidup sebagian masyarakat kita. Mulai dari anak-anak muda yang gonta-ganti gadget agar dibilang tidak gaptek, pinjam mobil orangtuanya saat datang ke kegiatan sekolah dan antar jemput pacar, atau mereka yang berani berhutang kesana-sini agar saat mudik bisa tampil sukses dan mewah di kampungnya. Rasanya semua itu layak disebut dengan 'konspirasi kemakmuran'. Belum lagi dengan maraknya peluang investasi dimana-mana yang menawarkan hasil luar biasa dan untung secepat kilat, pelatihan kewirausahaan yang menebar mimpi dan motivasi untuk menjadi kaya dengan cepat, maka sebagian diantaranya nekat mengambil pinjaman bank cukup besar tanpa melihat kemampuan dan pengalaman. Episode konspirasi kemakmuran tersebut biasanya berakhir di penjara atau kehinaan karena terbuka kedoknya di tengah masyarakat.
Kita semua, khususnya generasi muda dihadapkan dengan dua langkah di atas dalam mencapai kesuksesan, apakah kita akan meniti tangga "kristalisasi keringat" yang lama tapi kokoh menjanjikan, atau memilih "konspirasi kemakmuran" yang terlihat cepat tapi rapuh dalam kenyataan.
Semoga bermanfaat dan salam optimis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar