Beberapa waktu yang lalu saya pernah diminta wawancara secara tertulis untuk dimuat dalam majalah Rumah Zakat, sebuah Lembaga Amil Zakat tingkat nasional yang telah mempunyai banyak cabang diseantero Nusantara. Agar lebih bertambah luas kemanfaatan, berikut kami postingkan naskah wawancara tersebut yang telah dimuat bulan yang lalu dalam versi cetaknya.
Pertanyaan : Bagaimana pemanfaatan dana zakat pada masa sahabat, untuk apa saja digunakan?
Sebagaimana kita yakini masa sahabat adalah termasuk dalam rangkaian khoirul quruun atau generasi terbaik sebagaimana dijamin oleh nabi, sehingga penyaluran dana zakat tentu berpegang teguh pada yang telah diatur dalam Al-Quran untuk al-ashnaf ats-tsamaniyah, delapan golongan mustahiq zakat sebagaimana sama kita ketahui. Hanya saja karena pada masa itu juga sedang ramai digalakkan futuhaat islamiyah pembebasan negeri-negeri untuk masuk dalam naungan Islam, maka sebagian besar dana alokasi zakat digunakan untuk pendanaan jihad fii sabilillah tersebut.
Namun, tentu itu semua tanpa meninggalkan hak bagi para fakir miskin. sebagaimana kita dapati beberapa riwayat yang menceritakan kisah ‘blusukan’ Umar bin Khottob di malam hari untuk mengetahui kondisi umatnya, bahkan kemudian beliau mengambilkan sendiri dari baitul mal gandum satu karung yang dipanggulnya sendiri. Ini menunjukkan bahwa beliau mempunyai perhatian khusus untuk mencari-cari mana rakyatnya yang masih kesusahan, dan langsung memberikan solusi riil kepada mereka.
Terkait pengelolaan dana zakat, para sahabat dikenal sangat waro’ dan amanah dalam menjalankan hal ini. Sebuah riwayat menggambarkan bagaimana Usman bin Affan mendapati Umar bin Khottob di suatu siang yang sangat panas dan terik, sedang berjalan di tengah padang pasir seakan sedang mencari sesuatu. Saat Usman memintanya untuk berteduh Umar menolak, dan saat ditanya apa yang yang dicarinya, Umar bin Khottob menjawab : “Ada dua unta dari zakat, yang lepas dari rombongannya, aku takut unta tersebut hilang dan aku akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT “.
Pertanyaan : Apa peran zakat masa itu terhadap kemakmuran masyarakatnya?
Zakat sendiri sejak awal memang identik dari orang kaya terhadap para mustahiq, agar tercipta keseimbangan kemakmuran sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah SWT : “supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu “ (QS Al Hasyr 7)
Soal kemakmuran saya kira identik dengan pemberdayaan, bagaimana seorang bisa memiliki ketrampilan untuk kemudian digunakan bekerja dan berusaha. Nah disinilah para sahabat – khususnya Amirul mukminin- menaruh perhatian, beliau sangat menyayangkan saat melihat seorang menganggur tidak beramal untuk akhirat dan juga dunia, begitu pula pada mereka yang tidak memiliki ketrampilan untuk menopang hidupnya. Karena hal itulah, saya kira isu pemberdayaan masyarakat fakir miskin sejak awal juga menjadi perhatian para salafussholeh pada masa tersebut. Salah satu yang menjadi bukti adalah riwayat bagaimana Umar bin Khottob setahun sekali mengosongkan dana di baitul maal, diberikan kepada para mustahiq, bahkan Ali bin Abi Tholib ra membagikan dana di baitul maal sepekan sekali setiap hari Jumat, hal ini tentulah menandakan bagaimana dana yang ada bisa benar-benar segera dioptimalkan untuk kemakmuran masyarakatnya. Dan saya kira puncaknya adalah masa pemerintahan Umar bin Abdul Azis, dimana konsep pemberdayaan dari dana zakat untuk kemakmuran benar-benar terlaksana efektif, sehingga hanya dalam rentang waktu yang sikat beliau kesusahan menerima para mustahiq zakat di wilayahnya.
Pertanyaan : Adakah pajak negara pada zaman dahulu. Kalau ada, lalu pemanfaatannya bagaimana?
Ini yang perlu kita pahami, bahwa baitul maal bukan hanya mengumpulkan dana zakat saja, tetapi ia menjadi semacam “kementrian keuangan” yang mengumpulkan seluruh pemasukan negara – termasuk zakat- dan mendistribusikan untuk kemaslahatan umat. Sumber dana baitul maal selain dari zakat juga dari ghanimah (harta rampasan perang), kharaj (pajak atas tanah atau tanaman), Usyur (pajak perdagangan, semacam bea cukai), dan Jizyah (pajak jiwa terhadap non-muslim yang hidup di dalam naungan pemerintahan Islam). Tentu saja untuk pemanfaatan dana zakat sesuai aturannya dalam Quran, namun secara umum dan baitul maal digunakan untuk : gaji para aparatur negara, termasuk hakim dan tentara, penyiapan alutsista (alat utama sistem persenjataan) untuk jihad dan ribath fii sabilillah, pembangunan fasilitas umum seperti jembatan, jalan dan bangunan umum dan tentu juga masjid, operasional rumah sakit, penjara dll, serta tentu untuk dibagikan kepada para fakir miskin, anak yatim, janda dan mereka yang membutuhkan. Jadi secara umum, hampir mirip dengan penggunakan pajak untuk saat ini.
Pertanyaan : Apakah pemanfaatan dana zakat sekarang menurut Ustadz sudah tepat sasaran dan berdaya guna untuk pengentasan kemiskinan?
Saya kira pekerjaan rumah kita semua kaum muslimin, khususnya LAZ dalam hal ini bukan soal pemanfaatan dana zakat saja, tapi juga pengumpulan dan penarikannya. Seperti kita sama ketahui dari data di BAZNAS, ternyata potensi zakat di Indonesia mencapai 200 T pertahun, dan hanya sekitar 1% saja yang berhasil diserap. Kalau kita lihat begitu semangatnya kaum muslimin Indonesia melaksanakan umroh hingga tercatat 7000 jemaah perharinya, semestinya antusiasme yang sama juga ada pada pembayaran zakat. Karena ini semua erat kaitannya dengan pemanfaatan, jika jumlah dana zakat yang terkumpul banyak, maka saya kira dalam hal pemanfaatannya akan semakin variatif, dinamis, dan bermanfaat untuk pengentasan kemiskinan, tentu tetap dalam koridor syariat. Jadi yang selama ini saya lihat, ya sudah tepat sasaran namun masih sedikit jangkauannya.
Pertanyaan : Apakah ada saran untuk LAZ yang ada di Indonesia tentang pemanfaatan dana zakat, agar benar-benar dapat membantu pemberdayaan masyarakat?
Perlu dibedakan antara fakir dan miskin, atau secara mudahnya mana yang dibutuhkan penyaluran secara langsung, khususnya kepada kakek nenek miskin, orang cacat, si sakit, dan mungkin kafalah anak yatim, dan mana dana yang dialokasikan untuk pemberdayaan masyarakat dalam bentuk modal usaha, modal ketrampilan, dan yang semacamnya. Keduanya adalah hal yang sama pentingnya, artinya jangan sampai atas nama pemberdayaan kemudian kita melupakan mereka-mereka yang memang membutuhkan dana secara cash karena kondisi yang memang sangat mendesak. Untuk optimalisasi dan efektifitas pemberdayaan, silahkan dilihat kemampuan SDM LAZ yang ada, jika memungkinkan dan terlatih handal maka tentu akan sangat baik, namun jika tidak, bisa bekerja sama dengan lembaga-lembaga usaha dan pemberdayaan yang sudah ada dalam bentuk kemitraan. Terakhir, soal SDM lembaga zakat yang profesional saya kira menjadi hal yang tidak bisa kita tawar-tawar lagi. Wallahu a’lam bisshowab
Semoga bermanfaat dan salam optimis
Pertanyaan : Bagaimana pemanfaatan dana zakat pada masa sahabat, untuk apa saja digunakan?
Sebagaimana kita yakini masa sahabat adalah termasuk dalam rangkaian khoirul quruun atau generasi terbaik sebagaimana dijamin oleh nabi, sehingga penyaluran dana zakat tentu berpegang teguh pada yang telah diatur dalam Al-Quran untuk al-ashnaf ats-tsamaniyah, delapan golongan mustahiq zakat sebagaimana sama kita ketahui. Hanya saja karena pada masa itu juga sedang ramai digalakkan futuhaat islamiyah pembebasan negeri-negeri untuk masuk dalam naungan Islam, maka sebagian besar dana alokasi zakat digunakan untuk pendanaan jihad fii sabilillah tersebut.
Namun, tentu itu semua tanpa meninggalkan hak bagi para fakir miskin. sebagaimana kita dapati beberapa riwayat yang menceritakan kisah ‘blusukan’ Umar bin Khottob di malam hari untuk mengetahui kondisi umatnya, bahkan kemudian beliau mengambilkan sendiri dari baitul mal gandum satu karung yang dipanggulnya sendiri. Ini menunjukkan bahwa beliau mempunyai perhatian khusus untuk mencari-cari mana rakyatnya yang masih kesusahan, dan langsung memberikan solusi riil kepada mereka.
Terkait pengelolaan dana zakat, para sahabat dikenal sangat waro’ dan amanah dalam menjalankan hal ini. Sebuah riwayat menggambarkan bagaimana Usman bin Affan mendapati Umar bin Khottob di suatu siang yang sangat panas dan terik, sedang berjalan di tengah padang pasir seakan sedang mencari sesuatu. Saat Usman memintanya untuk berteduh Umar menolak, dan saat ditanya apa yang yang dicarinya, Umar bin Khottob menjawab : “Ada dua unta dari zakat, yang lepas dari rombongannya, aku takut unta tersebut hilang dan aku akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT “.
Pertanyaan : Apa peran zakat masa itu terhadap kemakmuran masyarakatnya?
Zakat sendiri sejak awal memang identik dari orang kaya terhadap para mustahiq, agar tercipta keseimbangan kemakmuran sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah SWT : “supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu “ (QS Al Hasyr 7)
Soal kemakmuran saya kira identik dengan pemberdayaan, bagaimana seorang bisa memiliki ketrampilan untuk kemudian digunakan bekerja dan berusaha. Nah disinilah para sahabat – khususnya Amirul mukminin- menaruh perhatian, beliau sangat menyayangkan saat melihat seorang menganggur tidak beramal untuk akhirat dan juga dunia, begitu pula pada mereka yang tidak memiliki ketrampilan untuk menopang hidupnya. Karena hal itulah, saya kira isu pemberdayaan masyarakat fakir miskin sejak awal juga menjadi perhatian para salafussholeh pada masa tersebut. Salah satu yang menjadi bukti adalah riwayat bagaimana Umar bin Khottob setahun sekali mengosongkan dana di baitul maal, diberikan kepada para mustahiq, bahkan Ali bin Abi Tholib ra membagikan dana di baitul maal sepekan sekali setiap hari Jumat, hal ini tentulah menandakan bagaimana dana yang ada bisa benar-benar segera dioptimalkan untuk kemakmuran masyarakatnya. Dan saya kira puncaknya adalah masa pemerintahan Umar bin Abdul Azis, dimana konsep pemberdayaan dari dana zakat untuk kemakmuran benar-benar terlaksana efektif, sehingga hanya dalam rentang waktu yang sikat beliau kesusahan menerima para mustahiq zakat di wilayahnya.
Pertanyaan : Adakah pajak negara pada zaman dahulu. Kalau ada, lalu pemanfaatannya bagaimana?
Ini yang perlu kita pahami, bahwa baitul maal bukan hanya mengumpulkan dana zakat saja, tetapi ia menjadi semacam “kementrian keuangan” yang mengumpulkan seluruh pemasukan negara – termasuk zakat- dan mendistribusikan untuk kemaslahatan umat. Sumber dana baitul maal selain dari zakat juga dari ghanimah (harta rampasan perang), kharaj (pajak atas tanah atau tanaman), Usyur (pajak perdagangan, semacam bea cukai), dan Jizyah (pajak jiwa terhadap non-muslim yang hidup di dalam naungan pemerintahan Islam). Tentu saja untuk pemanfaatan dana zakat sesuai aturannya dalam Quran, namun secara umum dan baitul maal digunakan untuk : gaji para aparatur negara, termasuk hakim dan tentara, penyiapan alutsista (alat utama sistem persenjataan) untuk jihad dan ribath fii sabilillah, pembangunan fasilitas umum seperti jembatan, jalan dan bangunan umum dan tentu juga masjid, operasional rumah sakit, penjara dll, serta tentu untuk dibagikan kepada para fakir miskin, anak yatim, janda dan mereka yang membutuhkan. Jadi secara umum, hampir mirip dengan penggunakan pajak untuk saat ini.
Pertanyaan : Apakah pemanfaatan dana zakat sekarang menurut Ustadz sudah tepat sasaran dan berdaya guna untuk pengentasan kemiskinan?
Saya kira pekerjaan rumah kita semua kaum muslimin, khususnya LAZ dalam hal ini bukan soal pemanfaatan dana zakat saja, tapi juga pengumpulan dan penarikannya. Seperti kita sama ketahui dari data di BAZNAS, ternyata potensi zakat di Indonesia mencapai 200 T pertahun, dan hanya sekitar 1% saja yang berhasil diserap. Kalau kita lihat begitu semangatnya kaum muslimin Indonesia melaksanakan umroh hingga tercatat 7000 jemaah perharinya, semestinya antusiasme yang sama juga ada pada pembayaran zakat. Karena ini semua erat kaitannya dengan pemanfaatan, jika jumlah dana zakat yang terkumpul banyak, maka saya kira dalam hal pemanfaatannya akan semakin variatif, dinamis, dan bermanfaat untuk pengentasan kemiskinan, tentu tetap dalam koridor syariat. Jadi yang selama ini saya lihat, ya sudah tepat sasaran namun masih sedikit jangkauannya.
Pertanyaan : Apakah ada saran untuk LAZ yang ada di Indonesia tentang pemanfaatan dana zakat, agar benar-benar dapat membantu pemberdayaan masyarakat?
Perlu dibedakan antara fakir dan miskin, atau secara mudahnya mana yang dibutuhkan penyaluran secara langsung, khususnya kepada kakek nenek miskin, orang cacat, si sakit, dan mungkin kafalah anak yatim, dan mana dana yang dialokasikan untuk pemberdayaan masyarakat dalam bentuk modal usaha, modal ketrampilan, dan yang semacamnya. Keduanya adalah hal yang sama pentingnya, artinya jangan sampai atas nama pemberdayaan kemudian kita melupakan mereka-mereka yang memang membutuhkan dana secara cash karena kondisi yang memang sangat mendesak. Untuk optimalisasi dan efektifitas pemberdayaan, silahkan dilihat kemampuan SDM LAZ yang ada, jika memungkinkan dan terlatih handal maka tentu akan sangat baik, namun jika tidak, bisa bekerja sama dengan lembaga-lembaga usaha dan pemberdayaan yang sudah ada dalam bentuk kemitraan. Terakhir, soal SDM lembaga zakat yang profesional saya kira menjadi hal yang tidak bisa kita tawar-tawar lagi. Wallahu a’lam bisshowab
Semoga bermanfaat dan salam optimis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar