Bulan lalu redaksi Majalah Hadila mewawancarai kami untuk tema Bapak Rumah Tangga, yaitu gambaran suami yang lebih banyak di rumah mengerjakan tugas domestik, sementara sang istri bertebaran untuk mencari nafkah. Tema yang cukup menarik dan banyak terjadi di tengah masyarakat kita. Berikut ulasan dan wawancara lengkapnya :
Harian terkemuka di Inggris, Telegraph, melansir berita bahwa jumlah pria Inggris yang tinggal di rumah untuk merawat anak-anak (BRT: Bapak Rumah Tangga) meningkat sepuluh kali lipat dalam satu dekade terakhir. Sekitar 6% full tinggal di rumah. Di Korea Selatan, fenomena yang sama juga terjadi. Biro Statistik Korea Selatan mencatat jumlah ayah yang sepenuhnya tinggal di rumah telah menanjak sejak 2007.
Menurut sebuah studi yang ditulis oleh Telegraph, alasan utama keluarga menyerahkan peran menjaga anak-anak kepada suami adalah penghasilan istri yang lebih tinggi. Sekian banyak wanita yang menduduki posisi penting di perusahaan dan punya penghasilan besar setiap bulan, memicu pemikiran bahwa lebih baik wanita bekerja di kantor dan suami tinggal di rumah agar ada yang fokus mengurus anak. Mereka berdalih bahwa semua itu hanyalah sebuah peralihan atau solusi pembagian peran semata, yang tidak akan menimbulkan masalah. Bagaimana sebenarnya Islam memandang hal ini ? Kita ikuti wawancara dengan nara sumber kami, Ustadz Hatta Syamsuddin, Lc :
Tanya : Pemikiran tentang ‘peralihan’ peran suami istri di barat telah demikian jamak. Di Indonesia pun mulai banyak fenomena ‘bapak di rumah’ (meski mungkin awalnya karena kondisi, tidak di setting). Bagaimana menurut, ustadz? Mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Jawab : Indonesia dalam hal ini –sepengetahuan saya pribadi- justru malah melebihi kondisi di luar negeri. Bukan saja fenomena ‘bapak di rumah’ yang marak, tapi bahkan juga ada “bapak di tanah air” yaitu ketika para istri yang berbondong-bondong ke luar negeri selama bertahun-tahun untuk menghidupi keluarga dengan menjadi TKI.
Mengapa bisa terjadi ? Tentu alasan utama yang sering disampaikan adalah kondisi keuangan keluarga yang lemah pada awalnya. Tapi kalau hal tersebut sampai terjadi bertahun-tahun, bahkan para bapak atau suami seolah “menikmati” peran ini dan menggantungkan kewajiban nafkah pada istri, maka berarti ada pemahaman yang salah seputar ini. Sekali lagi, bukan semata karena kondisi saja.
Tanya : Bagaimana Islam mengatur bagaimana seharusnya suami berperan dalam kehidupannya, khususnya dalam kehidupan rumah tangga?
Jawab : Dalam rumah tangga ada kewajiban dan hak, baik bagi suami maupun istri. Untuk urusan nafkah, jelas merupakan kewajiban suami, dan menjadi hak istri. Bukan sebaliknya. Dalam Al-Quran beberapa ayat menyebutkan hal ini dengan jelas, misalnya Allah SWT berfirman : ‘’Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf, Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.’’ (QS.al-Baqarah 233). Bahkan karena kewajiban memberi nafkah inilah, seorang suami menjadi pemimpin sekaligus penanggung jawab dalam rumah tangganya. Allah SWT berfirman : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (An-Nisaa: 34).
Tanya : Bisakah kemudian peran ini ‘ditukar atau dialihkan’ karena suatu hal? Terutama mengenai tugas mencari atau memberikan nafkah?
Jawab : Tentu tidak bisa, karena ini adalah aturan syariat yang mulia. Namun sebenarnya persoalan yang terjadi di lapangan sebenarnya tidak dalam konteks ditukar atau dialihkan, sehingga seolah-olah suami tidak lagi mempunyai kewajiban memberi nafkah, namun lebih banyak karena faktor kondisi financial yang kurang sehingga istri kemudian ikut mencari tambahan penghasilan dengan bekerja di luar. Dalam hal ini syariat kita tidak melarang seorang wanita untuk bekerja, tentu sepanjang memenuhi syarat dan adabnya. Ibnu Hajar Al Haitsami pernah ditanya tentang seorang istri yang keluar rumah dalam rangka bekerja memenuhi kebutuhan keluarganya, beliau menjawab : Boleh seorang istri keluar rumah untuk keperluan mencari nafkah jika benar nafkah suami tidak mencukupi. Permasalahan yang terjadi kemudian, bisa jadi penghasilan istri lebih besar dan atau bahkan kemudian menjadi tulang punggung keluarga.
Tanya : Bagaimana kemudian suami seharusnya bertindak berdasarkan aturan Islam mengenai hal tersebut? Bagaimana pula dengan istri?
Jawab : Perlu ditekankan bahwa dalam aturan Islam pada dasarnya harta suami dan istri itu terpisah. Hal ini sangat penting saat terjadi hal-hal yang rentan menimbulkan permasalahan di masa yang akan datang, misalnya persoalan warisan, atau juga dalam ketika suami berpoligami. Karena itu jika terjadi di lapangan, seorang istri bekerja dan kemudian menafkahi atau menjadi tulang punggung keluarga, yang sebenarnya itu menjadi kewajibannya, perlu diperjelas apakah itu adalah bentuk sedekah atau hadiah dari seorang istri kepada suami, ataukah dana talangan atau semacam hutang yang nantinya akan diganti atau dipenuhi oleh suami pada masa yang akan datang ? . Tentang sedekah istri kepada suami hal tersebut memang dibolehkan, bahkan Rasulullah SAW menyebutkan bahwa mereka yang melakukan itu mendapatkan dua pahala, yaitu pahala sedekah dan pahala silaturahim. Namun yang penting untuk diperhatikan jangan sampai sedekahnya istri ini kemudian melalaikan suami dari tugas utamanya mencari nafkah.
Tanya : Dalam Islam disebutkan bahwa suami adalah qowwam. Bagaimana qowwam itu kemudian dijabarkan dalam peran (sebagai kata kerja)?
Jawab : Qowwam adalah pemimpin, yang bertanggung jawab dalam segala urusan keluarga, dan jelas disebutkan dalam Al-Quran bahwa memberikan nafkah menjadi salah satu faktor utamanya. Allah SWT berfirman : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (An-Nisaa: 34).
Tanya : Bagaimana korelasi mencari/ memberi nafkah dengan kepemimpinan dalam keluarga?
Jawab : Bagi suami tentu jelas kolerasinya, bahwa salah satu faktor utama kepemimpinan mereka dalam rumah tangga adalah kewajiban mereka memberi nafkah. Tapi hal ini tidak bisa lantas dianalogikan bahwa jika istri yang mencari nafkah kemudian ‘kepemimpinan’ ini bergeser ke pihak istri. Sehingga istri akan terlihat dominan dalam berbagai kebijakan, atau lebih parahnya merendahkan suami dan berkurang ketaatannya kepada suami. Jadi ini adalah ujian tersendiri bagi para istri, dimana saat kondisi ‘darurat’ ia menjadi tulang punggung keluarga, ia harus tetap menghargai dan menghormati suami sebagai kepala keluarga. Dari sisi suami jelas, harus tahu diri dalam arti jangan menikmati kondisi tersebut berlama-lama.
Tanya : Jika keberadaan suami di rumah (tidak bekerja), lebih disebabkan karena (maaf) malas, hal konkrit apa yang harus dilakukan seorang istri?
Jawab : Saya beberapa kali memberikan ceramah seputar peran muslimah dalam ekonomi keluarga. Yang sering dipahami banyak orang adalah peran muslimah dalam hal ini adalah dengan bekerja saja, menambah penghasilan keluarga. Padahal ada peran lain yang juga tidak kalah pentingnya, yaitu memotivasi suami dalam bekerja. Saya kira sudah cukup banyak dalil dalam agama kita yang menganjurkan dan memotivasi seseorang untuk bekerja, tinggal bagaimana seorang istri bisa ‘mentransfernya’ ke suami agar tidak malas berusaha atau mencari kerja. Dalam rumah tangga memang perlu dibangun komunikasi yang terbuka dan tentu saja saling nasehat menasehati antara suami istri. Jika diperlukan ada pihak ketiga yang dituakan, diminta untuk turut memotivasinya, tentu dengan cara yang baik.
Tanya : Bagaimana paradigma yang tepat mengenai Bapak Rumah Tangga (BRT)
Jawab : Kalau Bapak Rumah Tangga itu dimaknai seorang suami bekerja mengurus rumah dan meninggalkan kewajiban mencari nafkah, maka itu adalah hal yang salah dan harus dihindari sejauh mungkin. Tapi kalau yang dimaksud BRT adalah seorang suami yang meski sibuk dan lelah mencari nafkah di luar, tapi tetap tanggap dengan pekerjaan-pekerjaan rumah, saling tolong menolong dengan istri mengurus rumah tangga bahkan dalam pekerjaan-pekerjaan teknis , maka tentu itu adalah definisi BRT yang lebih tepat, karena Rasulullah SAW juga member contoh pada kita. Suatu ketika ibunda Aisyah ditanya tentang kegiatan Rasulullah SAW selama di rumah, maka beliau menjawab : “Ia melakukan seperti yang dilakukan salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya, ia memperbaiki sandalnya, menjahit bajunya, dan mengangkat air di ember.”
Demikian semoga bermanfaat dan salam optimis.
*wawancara dimuat di Majalah Hadila Oktober 2014
Harian terkemuka di Inggris, Telegraph, melansir berita bahwa jumlah pria Inggris yang tinggal di rumah untuk merawat anak-anak (BRT: Bapak Rumah Tangga) meningkat sepuluh kali lipat dalam satu dekade terakhir. Sekitar 6% full tinggal di rumah. Di Korea Selatan, fenomena yang sama juga terjadi. Biro Statistik Korea Selatan mencatat jumlah ayah yang sepenuhnya tinggal di rumah telah menanjak sejak 2007.
Menurut sebuah studi yang ditulis oleh Telegraph, alasan utama keluarga menyerahkan peran menjaga anak-anak kepada suami adalah penghasilan istri yang lebih tinggi. Sekian banyak wanita yang menduduki posisi penting di perusahaan dan punya penghasilan besar setiap bulan, memicu pemikiran bahwa lebih baik wanita bekerja di kantor dan suami tinggal di rumah agar ada yang fokus mengurus anak. Mereka berdalih bahwa semua itu hanyalah sebuah peralihan atau solusi pembagian peran semata, yang tidak akan menimbulkan masalah. Bagaimana sebenarnya Islam memandang hal ini ? Kita ikuti wawancara dengan nara sumber kami, Ustadz Hatta Syamsuddin, Lc :
Tanya : Pemikiran tentang ‘peralihan’ peran suami istri di barat telah demikian jamak. Di Indonesia pun mulai banyak fenomena ‘bapak di rumah’ (meski mungkin awalnya karena kondisi, tidak di setting). Bagaimana menurut, ustadz? Mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Jawab : Indonesia dalam hal ini –sepengetahuan saya pribadi- justru malah melebihi kondisi di luar negeri. Bukan saja fenomena ‘bapak di rumah’ yang marak, tapi bahkan juga ada “bapak di tanah air” yaitu ketika para istri yang berbondong-bondong ke luar negeri selama bertahun-tahun untuk menghidupi keluarga dengan menjadi TKI.
Mengapa bisa terjadi ? Tentu alasan utama yang sering disampaikan adalah kondisi keuangan keluarga yang lemah pada awalnya. Tapi kalau hal tersebut sampai terjadi bertahun-tahun, bahkan para bapak atau suami seolah “menikmati” peran ini dan menggantungkan kewajiban nafkah pada istri, maka berarti ada pemahaman yang salah seputar ini. Sekali lagi, bukan semata karena kondisi saja.
Tanya : Bagaimana Islam mengatur bagaimana seharusnya suami berperan dalam kehidupannya, khususnya dalam kehidupan rumah tangga?
Jawab : Dalam rumah tangga ada kewajiban dan hak, baik bagi suami maupun istri. Untuk urusan nafkah, jelas merupakan kewajiban suami, dan menjadi hak istri. Bukan sebaliknya. Dalam Al-Quran beberapa ayat menyebutkan hal ini dengan jelas, misalnya Allah SWT berfirman : ‘’Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf, Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.’’ (QS.al-Baqarah 233). Bahkan karena kewajiban memberi nafkah inilah, seorang suami menjadi pemimpin sekaligus penanggung jawab dalam rumah tangganya. Allah SWT berfirman : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (An-Nisaa: 34).
Tanya : Bisakah kemudian peran ini ‘ditukar atau dialihkan’ karena suatu hal? Terutama mengenai tugas mencari atau memberikan nafkah?
Jawab : Tentu tidak bisa, karena ini adalah aturan syariat yang mulia. Namun sebenarnya persoalan yang terjadi di lapangan sebenarnya tidak dalam konteks ditukar atau dialihkan, sehingga seolah-olah suami tidak lagi mempunyai kewajiban memberi nafkah, namun lebih banyak karena faktor kondisi financial yang kurang sehingga istri kemudian ikut mencari tambahan penghasilan dengan bekerja di luar. Dalam hal ini syariat kita tidak melarang seorang wanita untuk bekerja, tentu sepanjang memenuhi syarat dan adabnya. Ibnu Hajar Al Haitsami pernah ditanya tentang seorang istri yang keluar rumah dalam rangka bekerja memenuhi kebutuhan keluarganya, beliau menjawab : Boleh seorang istri keluar rumah untuk keperluan mencari nafkah jika benar nafkah suami tidak mencukupi. Permasalahan yang terjadi kemudian, bisa jadi penghasilan istri lebih besar dan atau bahkan kemudian menjadi tulang punggung keluarga.
Tanya : Bagaimana kemudian suami seharusnya bertindak berdasarkan aturan Islam mengenai hal tersebut? Bagaimana pula dengan istri?
Jawab : Perlu ditekankan bahwa dalam aturan Islam pada dasarnya harta suami dan istri itu terpisah. Hal ini sangat penting saat terjadi hal-hal yang rentan menimbulkan permasalahan di masa yang akan datang, misalnya persoalan warisan, atau juga dalam ketika suami berpoligami. Karena itu jika terjadi di lapangan, seorang istri bekerja dan kemudian menafkahi atau menjadi tulang punggung keluarga, yang sebenarnya itu menjadi kewajibannya, perlu diperjelas apakah itu adalah bentuk sedekah atau hadiah dari seorang istri kepada suami, ataukah dana talangan atau semacam hutang yang nantinya akan diganti atau dipenuhi oleh suami pada masa yang akan datang ? . Tentang sedekah istri kepada suami hal tersebut memang dibolehkan, bahkan Rasulullah SAW menyebutkan bahwa mereka yang melakukan itu mendapatkan dua pahala, yaitu pahala sedekah dan pahala silaturahim. Namun yang penting untuk diperhatikan jangan sampai sedekahnya istri ini kemudian melalaikan suami dari tugas utamanya mencari nafkah.
Tanya : Dalam Islam disebutkan bahwa suami adalah qowwam. Bagaimana qowwam itu kemudian dijabarkan dalam peran (sebagai kata kerja)?
Jawab : Qowwam adalah pemimpin, yang bertanggung jawab dalam segala urusan keluarga, dan jelas disebutkan dalam Al-Quran bahwa memberikan nafkah menjadi salah satu faktor utamanya. Allah SWT berfirman : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (An-Nisaa: 34).
Tanya : Bagaimana korelasi mencari/ memberi nafkah dengan kepemimpinan dalam keluarga?
Jawab : Bagi suami tentu jelas kolerasinya, bahwa salah satu faktor utama kepemimpinan mereka dalam rumah tangga adalah kewajiban mereka memberi nafkah. Tapi hal ini tidak bisa lantas dianalogikan bahwa jika istri yang mencari nafkah kemudian ‘kepemimpinan’ ini bergeser ke pihak istri. Sehingga istri akan terlihat dominan dalam berbagai kebijakan, atau lebih parahnya merendahkan suami dan berkurang ketaatannya kepada suami. Jadi ini adalah ujian tersendiri bagi para istri, dimana saat kondisi ‘darurat’ ia menjadi tulang punggung keluarga, ia harus tetap menghargai dan menghormati suami sebagai kepala keluarga. Dari sisi suami jelas, harus tahu diri dalam arti jangan menikmati kondisi tersebut berlama-lama.
Tanya : Jika keberadaan suami di rumah (tidak bekerja), lebih disebabkan karena (maaf) malas, hal konkrit apa yang harus dilakukan seorang istri?
Jawab : Saya beberapa kali memberikan ceramah seputar peran muslimah dalam ekonomi keluarga. Yang sering dipahami banyak orang adalah peran muslimah dalam hal ini adalah dengan bekerja saja, menambah penghasilan keluarga. Padahal ada peran lain yang juga tidak kalah pentingnya, yaitu memotivasi suami dalam bekerja. Saya kira sudah cukup banyak dalil dalam agama kita yang menganjurkan dan memotivasi seseorang untuk bekerja, tinggal bagaimana seorang istri bisa ‘mentransfernya’ ke suami agar tidak malas berusaha atau mencari kerja. Dalam rumah tangga memang perlu dibangun komunikasi yang terbuka dan tentu saja saling nasehat menasehati antara suami istri. Jika diperlukan ada pihak ketiga yang dituakan, diminta untuk turut memotivasinya, tentu dengan cara yang baik.
Tanya : Bagaimana paradigma yang tepat mengenai Bapak Rumah Tangga (BRT)
Jawab : Kalau Bapak Rumah Tangga itu dimaknai seorang suami bekerja mengurus rumah dan meninggalkan kewajiban mencari nafkah, maka itu adalah hal yang salah dan harus dihindari sejauh mungkin. Tapi kalau yang dimaksud BRT adalah seorang suami yang meski sibuk dan lelah mencari nafkah di luar, tapi tetap tanggap dengan pekerjaan-pekerjaan rumah, saling tolong menolong dengan istri mengurus rumah tangga bahkan dalam pekerjaan-pekerjaan teknis , maka tentu itu adalah definisi BRT yang lebih tepat, karena Rasulullah SAW juga member contoh pada kita. Suatu ketika ibunda Aisyah ditanya tentang kegiatan Rasulullah SAW selama di rumah, maka beliau menjawab : “Ia melakukan seperti yang dilakukan salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya, ia memperbaiki sandalnya, menjahit bajunya, dan mengangkat air di ember.”
Demikian semoga bermanfaat dan salam optimis.
*wawancara dimuat di Majalah Hadila Oktober 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar