PERTANYAAN :
Assalamua’alaikum warohmatullahi wabarokatuh. Bapak Ustadz kami akan bertanya seputar penawaran umroh yang saat ini begitu menjamur di mana, terlebih lagi antrian haji yang begitu lama hingga 15 tahun ke atas menjadikan masyarakat banyak tertarik untuk berangkat umroh, termasuk diantaranya kami sekeluarga juga tentunya. Nah, terkait dengan hal tersebut ada tiga hal mendasar yang ingin kami tanyakan agar kami lebih tenang sebelum benar-benar mendaftar untuk berangkat umroh.
Pertama : Bagaimana hukumnya umroh bagi mereka yang belum pernah berhaji ?
Kedua : Bagaimana hukum umroh dengan biaya berhutang, apakah diterima, sah atau tidak ?
Ketiga : Bagaimana dengan program talangan dana umroh/haji yang banyak ditawarkan saat ini , apakah diperbolehkan atau tidak kami menggunakannya ?
JAWABAN :Wa’alaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh. Pertama kami ucapkan terima kasih atas pertanyaannya, yang saya kira juga mewakili sekian banyak pembaca Insani dan masyarakat umum yang mungkin memendam rindu untuk berkunjung ke Baitullah, semoga niatan dan harapan baik bapak sekeluarga bisa segera terpenuhi.
Pertama, Pertanyaan atau kegelisahan seputar bolehkan berumroh sebelum menunaikan ibadah haji, biasanya berdasarkan pemahaman sebagian besar yang ada dalam benak masyarakat kita bahwa hukum umroh adalah sunnah, sementara haji itu wajib. Sehingga seolah menjadi sesuatu yang janggal saat mendahulukan sunnah daripada yang wajib. Kalau kita memperdalam kajian soal hukum umroh, ternyata ada perbedaan pendapat diantara para ulama, khususnya imam madzhab. Ulama Malikiyah dan sebagian Hanafiyah berpendapat hukum umroh adalah sunnah muakkad, dan menarikanya ulama Hambali dan Syafiiyah – madzhab yang paling banyak dianut di Indonesia- justru malah mengatakan bahwa hukum umroh itu wajib sekali seumur hidup. Mereka yang mewajibkan melandaskan pada ayat dimana Allah SWT berfirman :
ÙˆَØ£َتِÙ…ُّوا الْØَجَّ ÙˆَالْعُÙ…ْرَØ©َ للهِ
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah." (Al-Baqarah: 196).
Memang meskipun ada perbedaan pendapat tentang hukum umroh diantara para ulama, tentu semuanya sepakat bahwa ibadah umroh mempunyai keutamaan dan kemulaan tersendiri, sebagaimana jelas disebutkan dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda : “Kerjakanlah secara urut antara haji dan umrah, maka keduanya menghilangkan kefakiran dan dosa, sebagaimana pandai besi menghilangkan kotoran besi, emas dan perak. Dan tidak ada pahala haji mabrur selain surga.”(HR. Tirmidzi)
Adapun tentang pertanyaan kebolehan umroh sebelum haji, maka sebenarnya para ulama semua bersepakat tentang kebolehannya. Apalagi jika kondisi saat ini yang benar-benar terkendala secara teknis untuk berangkat haji lebih dulu, karena antrian yang begitu panjang hingga belasan tahun, tentu menjadi semakin bertambah tingkat “kebolehannya’. Dalam kitab Al-Majmu’ syarh Muhadzzab disebutkan : Para ulama berijmak (bersepakat) tentang kebolehan umroh sebelum haji, baik pada tahun yang sama atau tidak, begitu pula haji sebelum umroh. Berdasarkan hadits Ibnu Umar : “ bahwasanya Nabi SAW melaksanakan umroh sebelum haji” (HR Bukhori), dan juga berdasarkan hadits shohih yang masyhur bahwa Rasulullah SAW pernah tiga kali berumroh sebelum berhaji.
Kedua : Pertanyaan tentang berumroh dengan berhutang apakah sah ibadahnya, diterima atau ditolak. Tentang keabsahan sebuah ibadah tentu ditentukan dengan terpenuhinya syarat dan rukun umroh, jika terpenuhi dengan baik dan sempurnya tentu sebuah ibadah menjadi sah diterima disisi Allah SWT. Adapun jika ada unsur lain yang di luar ibadah yang bermasalah, maka pelakunya akan mendapatkan dosa sesuai dengan jenis pelanggarannya. Berhutang tentu jelas bukan sebuah dosa, bahkanada pertanyaan yang justru lebih mendalam tentang bagaimana haji dari harta yang harom, apakah sah diterima atau tidak ?. Dalam hal ini ulama Lajnah Daimah Saudi menjawan : 'Menunaikan haji dengan ongkos dari harta yang haram tidak menghalangi sahnya haji, namun dia tetap berdosa karena harta yang berasal dari harta yang haram. Hal itu dapat mengurangi pahala haji, namun tidak membatalkannya.' (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta, 11/43) . Sehingga dalam hal ini tentu berhutang jauh lebih terhormat daripada menunaikan haji atau umroh dengan harta harom.
Adapun soal kebolehannya, maka para ulama menyebutkan, diantaranya Imam Al Khottob dalam Mawahibul Jalil, Imam Al Khotib as-Syarbaini ulama Syafii, Syaikh Utsaimin, dan juga dalam fatwa islamweb.net, dengan redaksi beragam, tetapi semua menunjukkan tentang kebolehan umroh dengan berhutang, bagi yang mempunyai kemampuan untuk membayar atau melunasinya.
Inilah yang saya kira tepat untuk menggambarkan situasi sekarang, dimana seorang berhutang untuk umroh ternyata bukan karena kondisi miskin atau menderita lalu memaksakan diri, namun lebih karena model penghasilan di jaman ini yang identik dengan bulanan atau gajian, sehingga lebih membutuhkan “talangan” untuk kemudian dibayar secara berangsur dan rutin pada waktu berikutnya.
Ketiga : Adapun tentang bentuk penawaran umroh atau haji dengan menggunakan dana talangan yang banyak ditawarkan seperti saat ini, sebenarnya tentang kebolehannya sudah difatwakan secara khusus oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia pada Fatwa no 29 tahun 2002. Namun tentu saja perlu menjadi catatan penting, apakah lembaga keuangan syariah, baik bank syariah atau koperasi syariah yang menawarkan produk tersebut sudah memenuhi ketentuan dalam fatwa tersebut atau tidak. Prinsip akad yang dibolehkan dalam fatwa itu adalah pengurusan haji, dimana pihak bank atau koperasi memang mempunyai kerjasama dengan pihak penyelenggara umroh dan haji. Kemudian nasabah datang untuk mendaftar kepada bank/koperasi untuk melakukan serangkaian pengurusan umroh dan haji tersebut, dalam hal ini bank/koperasi syariah memfasilitasi dan menjadi jembatan antara nasabah dan biro penyelanggara haji/umroh. Karena pengurusan tersebut kemudian bank/koperasi berhak mendapatkan fee/ ujroh pengurusan sesuai kesepakatan, yang tidak boleh besarannya berdasarkan dana talangan yang diberikan bank/koperasi dengan prinsip Qardh atau pinjaman tanpa bunga dan tambahan lainnya. Fase berikutnya nasabah mengembalikan dana talangan tersebut secara mengangsur, tentu saja tidak lupa juga membayar ujroh/fee pengurusan sebagaimana telah disepakati.
Penting untuk dicatat, bahwa ujroh atau fee yang dibebankan bank/koperasi bukan karena memberikan pinjaman atau talangan, tapi karena memberikan layanan pengurusan dan memfasilitasi antara nasabah dan biro travel haji/umroh. Sehingga pada akhirnya, jika semua ketentuan yang ada dalam fatwa DSN MUI tersebut bisa dilaksanakan dan dipatuhi oleh sebuah bank atau koperasi syariah, maka produk tersebut tentu menjadi boleh dan bisa digunakan oleh masyarakat. Wallahu a’lam bisshowab.
Demikian jawaban kami semoga ada manfaatnya, semoga Allah SWT memudahkan langkah kita semua menuju baitullah.
*dimuat dalam Rubrik Konsultasi Majalah Insani, Lazis KJKS BIM Karanganyar
Assalamua’alaikum warohmatullahi wabarokatuh. Bapak Ustadz kami akan bertanya seputar penawaran umroh yang saat ini begitu menjamur di mana, terlebih lagi antrian haji yang begitu lama hingga 15 tahun ke atas menjadikan masyarakat banyak tertarik untuk berangkat umroh, termasuk diantaranya kami sekeluarga juga tentunya. Nah, terkait dengan hal tersebut ada tiga hal mendasar yang ingin kami tanyakan agar kami lebih tenang sebelum benar-benar mendaftar untuk berangkat umroh.
Pertama : Bagaimana hukumnya umroh bagi mereka yang belum pernah berhaji ?
Kedua : Bagaimana hukum umroh dengan biaya berhutang, apakah diterima, sah atau tidak ?
Ketiga : Bagaimana dengan program talangan dana umroh/haji yang banyak ditawarkan saat ini , apakah diperbolehkan atau tidak kami menggunakannya ?
JAWABAN :Wa’alaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh. Pertama kami ucapkan terima kasih atas pertanyaannya, yang saya kira juga mewakili sekian banyak pembaca Insani dan masyarakat umum yang mungkin memendam rindu untuk berkunjung ke Baitullah, semoga niatan dan harapan baik bapak sekeluarga bisa segera terpenuhi.
Pertama, Pertanyaan atau kegelisahan seputar bolehkan berumroh sebelum menunaikan ibadah haji, biasanya berdasarkan pemahaman sebagian besar yang ada dalam benak masyarakat kita bahwa hukum umroh adalah sunnah, sementara haji itu wajib. Sehingga seolah menjadi sesuatu yang janggal saat mendahulukan sunnah daripada yang wajib. Kalau kita memperdalam kajian soal hukum umroh, ternyata ada perbedaan pendapat diantara para ulama, khususnya imam madzhab. Ulama Malikiyah dan sebagian Hanafiyah berpendapat hukum umroh adalah sunnah muakkad, dan menarikanya ulama Hambali dan Syafiiyah – madzhab yang paling banyak dianut di Indonesia- justru malah mengatakan bahwa hukum umroh itu wajib sekali seumur hidup. Mereka yang mewajibkan melandaskan pada ayat dimana Allah SWT berfirman :
ÙˆَØ£َتِÙ…ُّوا الْØَجَّ ÙˆَالْعُÙ…ْرَØ©َ للهِ
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah." (Al-Baqarah: 196).
Memang meskipun ada perbedaan pendapat tentang hukum umroh diantara para ulama, tentu semuanya sepakat bahwa ibadah umroh mempunyai keutamaan dan kemulaan tersendiri, sebagaimana jelas disebutkan dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda : “Kerjakanlah secara urut antara haji dan umrah, maka keduanya menghilangkan kefakiran dan dosa, sebagaimana pandai besi menghilangkan kotoran besi, emas dan perak. Dan tidak ada pahala haji mabrur selain surga.”(HR. Tirmidzi)
Adapun tentang pertanyaan kebolehan umroh sebelum haji, maka sebenarnya para ulama semua bersepakat tentang kebolehannya. Apalagi jika kondisi saat ini yang benar-benar terkendala secara teknis untuk berangkat haji lebih dulu, karena antrian yang begitu panjang hingga belasan tahun, tentu menjadi semakin bertambah tingkat “kebolehannya’. Dalam kitab Al-Majmu’ syarh Muhadzzab disebutkan : Para ulama berijmak (bersepakat) tentang kebolehan umroh sebelum haji, baik pada tahun yang sama atau tidak, begitu pula haji sebelum umroh. Berdasarkan hadits Ibnu Umar : “ bahwasanya Nabi SAW melaksanakan umroh sebelum haji” (HR Bukhori), dan juga berdasarkan hadits shohih yang masyhur bahwa Rasulullah SAW pernah tiga kali berumroh sebelum berhaji.
Kedua : Pertanyaan tentang berumroh dengan berhutang apakah sah ibadahnya, diterima atau ditolak. Tentang keabsahan sebuah ibadah tentu ditentukan dengan terpenuhinya syarat dan rukun umroh, jika terpenuhi dengan baik dan sempurnya tentu sebuah ibadah menjadi sah diterima disisi Allah SWT. Adapun jika ada unsur lain yang di luar ibadah yang bermasalah, maka pelakunya akan mendapatkan dosa sesuai dengan jenis pelanggarannya. Berhutang tentu jelas bukan sebuah dosa, bahkanada pertanyaan yang justru lebih mendalam tentang bagaimana haji dari harta yang harom, apakah sah diterima atau tidak ?. Dalam hal ini ulama Lajnah Daimah Saudi menjawan : 'Menunaikan haji dengan ongkos dari harta yang haram tidak menghalangi sahnya haji, namun dia tetap berdosa karena harta yang berasal dari harta yang haram. Hal itu dapat mengurangi pahala haji, namun tidak membatalkannya.' (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta, 11/43) . Sehingga dalam hal ini tentu berhutang jauh lebih terhormat daripada menunaikan haji atau umroh dengan harta harom.
Adapun soal kebolehannya, maka para ulama menyebutkan, diantaranya Imam Al Khottob dalam Mawahibul Jalil, Imam Al Khotib as-Syarbaini ulama Syafii, Syaikh Utsaimin, dan juga dalam fatwa islamweb.net, dengan redaksi beragam, tetapi semua menunjukkan tentang kebolehan umroh dengan berhutang, bagi yang mempunyai kemampuan untuk membayar atau melunasinya.
Inilah yang saya kira tepat untuk menggambarkan situasi sekarang, dimana seorang berhutang untuk umroh ternyata bukan karena kondisi miskin atau menderita lalu memaksakan diri, namun lebih karena model penghasilan di jaman ini yang identik dengan bulanan atau gajian, sehingga lebih membutuhkan “talangan” untuk kemudian dibayar secara berangsur dan rutin pada waktu berikutnya.
Ketiga : Adapun tentang bentuk penawaran umroh atau haji dengan menggunakan dana talangan yang banyak ditawarkan seperti saat ini, sebenarnya tentang kebolehannya sudah difatwakan secara khusus oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia pada Fatwa no 29 tahun 2002. Namun tentu saja perlu menjadi catatan penting, apakah lembaga keuangan syariah, baik bank syariah atau koperasi syariah yang menawarkan produk tersebut sudah memenuhi ketentuan dalam fatwa tersebut atau tidak. Prinsip akad yang dibolehkan dalam fatwa itu adalah pengurusan haji, dimana pihak bank atau koperasi memang mempunyai kerjasama dengan pihak penyelenggara umroh dan haji. Kemudian nasabah datang untuk mendaftar kepada bank/koperasi untuk melakukan serangkaian pengurusan umroh dan haji tersebut, dalam hal ini bank/koperasi syariah memfasilitasi dan menjadi jembatan antara nasabah dan biro penyelanggara haji/umroh. Karena pengurusan tersebut kemudian bank/koperasi berhak mendapatkan fee/ ujroh pengurusan sesuai kesepakatan, yang tidak boleh besarannya berdasarkan dana talangan yang diberikan bank/koperasi dengan prinsip Qardh atau pinjaman tanpa bunga dan tambahan lainnya. Fase berikutnya nasabah mengembalikan dana talangan tersebut secara mengangsur, tentu saja tidak lupa juga membayar ujroh/fee pengurusan sebagaimana telah disepakati.
Penting untuk dicatat, bahwa ujroh atau fee yang dibebankan bank/koperasi bukan karena memberikan pinjaman atau talangan, tapi karena memberikan layanan pengurusan dan memfasilitasi antara nasabah dan biro travel haji/umroh. Sehingga pada akhirnya, jika semua ketentuan yang ada dalam fatwa DSN MUI tersebut bisa dilaksanakan dan dipatuhi oleh sebuah bank atau koperasi syariah, maka produk tersebut tentu menjadi boleh dan bisa digunakan oleh masyarakat. Wallahu a’lam bisshowab.
Demikian jawaban kami semoga ada manfaatnya, semoga Allah SWT memudahkan langkah kita semua menuju baitullah.
*dimuat dalam Rubrik Konsultasi Majalah Insani, Lazis KJKS BIM Karanganyar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar