Di negara kita suasana Ramadhan memang sangat jauh berbeda dibandingkan dengan negara lainnya, bahkan dibandingkan dengan negara-negara di timur tengah sekalipun. Aroma gegap gempita Ramadhan bisa dirasakan begitu terasa di setiap tempat, dari mulai jalanan, instansi perkantoran, dan terlebih lagi di pusat perbelanjaan dan tentu saja, media. Satu sisi fenomena ini tentu harus kita syukuri, karena seolah-olah semua dikondisikan untuk bersemangat menyambut Ramadhan dan berubah menjadi lebih baik dan islami. Tidak ada hal yang salah sampai titik ini, bukankah Rasulullah SAW juga mengisyaratkan bahwa Ramadhan adalah musim kebaikan, dimana pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu.
Namun jika kita cermati lebih jauh, ada kekhawatiran bahwa masyarakat gembira dalam menyambut dan mengisi Ramadhan, justru karena gegap gempita dan pernak -pernik acara yang melingkupinya tersebut, bukan karena Ramadhan sebagai syiar yang harus diagungkan sekaligus banyaknya peluang pahala yang ditawarkan. Tentu akan sangat sayang sekali, jika kaum muslimin dalam menjalani bulan mulia ini justru disibukkan dengan pernak-perniknya - yang mungkin boleh dan baik - namun melalaikan dari ibadah-ibadah yang semestinya harus dioptimalkan dalam bulan Ramadhan.
Ada tiga kategori kegiatan Ramadhan yang setiap muslim bisa lebih cermat dalam menjalaninya, khususnya karena waktu Ramadhan yang begitu singkat sehingga bisa mengisinya dengan ilmu dan prioritas.
Kategori Pertama : Syiar Ibadah & Ukhuwah
Yaitu bahwa pada bulan Ramadhan kita dianjurkan mengisinya dengan banyak bentuk ibadah dan amal kebaikan, yang disebutkan dalam banyak riwayat hadits Rasulullah SAW dan dicontohkan para salafussholeh. Diantaranya adalah meningkatkan kedekatan kita dengan Al-Quran, berlomba mempelajari dan mengkhatamkannya. Hal lain adalah dengan memeriahkan masjid, khususnya adalah sholat tarawih berjamaah dan menjalankan sunnah itikaf pada 10 malam terakhir. Begitu pula dengan syiar ukhuwah dalam bentuk banyak bersedekah, baik dalam bentuk umum maupun dalam bentuk memberi makanan berbuka kepada mereka yang berpuasa. Hal-hal dan kegiatan seperti ini hendaknya mendapatkan prioritas yang utama bagi kaum muslimin untuk menjalankannya dengan optimal.
Kategori Kedua : Tradisi
Adapun bentuk kegiatan Ramadhan yang kedua adalah berada di ranah tradisi. Tradisi tidak selalu untuk dibenturkan dengan syariat, dan tidak selalu berarti negatif. Diakui atau tidak banyak tradisi yang sudah turun temurun berkaitan dengan ramadhan hadir di negara kita, yang jika kita telaah lebih jauh ternyata tidak bertentangan dengan syariat bulan Ramadhan. Tradisi itu hanya menambahkan secara aplikatif hal-hal yang semestinya dilakukan seorang muslim dalam bulan Ramadhan. Contoh dalam hal ini, adanya kebiasaan Takjilan, yaitu berupa mengumpulkan makanan berbuka di masjid untuk dinikmati bersama, atau terkadang dibuat jadwal bagi warga masyarakat yang ingin berbagi hidangan berbuka. Dari sisi syariat, ini sebenarnya terkait dengan dua hal, yaitu keutamaan memberikan makanan berbuka, dan keutamaan menyegerakan berbuka. Maka takjilan menjadi tradisi Ramadhan yang mengakar dimasyarakat kita. Ada juga tradisi tadarusan yang tentu tema utamanya adalah untuk saling memotivasi dalam membaca dan mengkhatamkan alquran selama Ramadhan. Ada juga kebiasaan buka bersama di berbagai instansi, organisasi dan lain sebagainya, sebagai sebuah tradisi yang tak lebih dari sisi aplikasi untuk berbagi makanan berbuka sekaligus memperkuat silaturahim. Namun ada juga tradisi yang kemudian dikembangkan menjadi hal yang salah kaprah, misalnya adalah dentuman petasan bumbung yang sejak jaman kerajaan Demak telah digunanak - yang terinspirasi penggunaan dentuman meriam oleh Kekhalifahan Turki Utsmani- untuk menandai waktu berbuka agar bisa menyegerakan, ternyata hari-hari ini diselewengkan dengan penggunaan mercon yang membahayakan dan tanpa aturan.
Kategori Ketiga : Festivalisasi
Adalah hal-hal yang tidak terkait sepenuhnya dengan ibadah Ramadhan, bentuknya bisa dalam hal yang positif, namun banyak juga yang diselewengkan hanya sebagai sebuah bentuk komersialisasi semata. Kehadirannya juga terkadang menyibukkan kaum muslimin dan merasa itu adalah bagian penting dalam bulan Ramadhan, sehingga kemudian menjadi tidak optimal dalam menjalani syiar dan ibadah yang prioritas dalam bulan Ramadhan. Fenomena festivalisasi ini tentu dengan mudah kita temukan di media dengan acara-acara Ramadhan televisi yang tidak bermutu dan tidak mendidik, hanya dilabeli "versi Ramadhan" agar terlihat seiring dan seirama serta agar bisa diterima dengan mudah. Acara pesta musik atau reality show PDKT muda-mudi, atau bahkan dunia lain, tinggal dilabeli edisi Ramadhan agar tetap menarik minat pemirsanya. Hal yang sama, fenomena festivalisasi Ramadhan juga bisa kita lihat di pusat perbelanjaan dengan gebyar diskon dan promo besar-besaran, baik yang bersinggungan secara tak langsung dengan Ramadhan seperti baju muslim dan kue-kue lebaran, maupun yang jauh bersinggungan seperti diskon kredit motor, diskon pembiayaan kredit, dan lain sebagainya.
Pada tataran tertentu, fenomena festivaliasi memang tidak bisa semuanya langsung kita nilai sebagai negatif. Tapi jika kemudian bisa kita kupas satu persatu dan efeknya yang melalaikan kaum muslimin dari menjalankan ibadah Ramadhan yang sesungguhnya, maka itulah sisi yang harus kita cermati lebih jauh. Contoh melalaikan yang paling mudah kita lihat adalah, saat jelang akhir Ramadhan yang semestinya menghidupkan sunnah i'tikaf, ternyata untuk tarawih saja jumlah jamaah yang ada semakin berkurang, sementara pada sisi yang lain pengunjung pertokoan semakin membludak. Pahala seribu bulan yang dijanjikan dalam lailatul qodar tak lebih menarik dari diskon sekian prosen di pertokoan yang diwarnai dengan dekorasi islami dan backsound lagu-lagu religi.
Akhirnya, tulisan ini hanya sekedar untuk mengingatkan, sama sekali bukan untuk menghakimi, karena banyak juga kegiatan-kegiatan Ramadhan yang gegap gempita nan meriah, serta tetap berdampak positif luar biasa, misalnya kontes dai cilik dan hafidz quran yang banyak menginspirasi para orang tua dalam mendidik anaknya.
Selamat mensyiarkan Ramadhan, salam hangat dari Athena.
sumber foto : hidayatullah.com
Namun jika kita cermati lebih jauh, ada kekhawatiran bahwa masyarakat gembira dalam menyambut dan mengisi Ramadhan, justru karena gegap gempita dan pernak -pernik acara yang melingkupinya tersebut, bukan karena Ramadhan sebagai syiar yang harus diagungkan sekaligus banyaknya peluang pahala yang ditawarkan. Tentu akan sangat sayang sekali, jika kaum muslimin dalam menjalani bulan mulia ini justru disibukkan dengan pernak-perniknya - yang mungkin boleh dan baik - namun melalaikan dari ibadah-ibadah yang semestinya harus dioptimalkan dalam bulan Ramadhan.
Ada tiga kategori kegiatan Ramadhan yang setiap muslim bisa lebih cermat dalam menjalaninya, khususnya karena waktu Ramadhan yang begitu singkat sehingga bisa mengisinya dengan ilmu dan prioritas.
Kategori Pertama : Syiar Ibadah & Ukhuwah
Yaitu bahwa pada bulan Ramadhan kita dianjurkan mengisinya dengan banyak bentuk ibadah dan amal kebaikan, yang disebutkan dalam banyak riwayat hadits Rasulullah SAW dan dicontohkan para salafussholeh. Diantaranya adalah meningkatkan kedekatan kita dengan Al-Quran, berlomba mempelajari dan mengkhatamkannya. Hal lain adalah dengan memeriahkan masjid, khususnya adalah sholat tarawih berjamaah dan menjalankan sunnah itikaf pada 10 malam terakhir. Begitu pula dengan syiar ukhuwah dalam bentuk banyak bersedekah, baik dalam bentuk umum maupun dalam bentuk memberi makanan berbuka kepada mereka yang berpuasa. Hal-hal dan kegiatan seperti ini hendaknya mendapatkan prioritas yang utama bagi kaum muslimin untuk menjalankannya dengan optimal.
Kategori Kedua : Tradisi
Adapun bentuk kegiatan Ramadhan yang kedua adalah berada di ranah tradisi. Tradisi tidak selalu untuk dibenturkan dengan syariat, dan tidak selalu berarti negatif. Diakui atau tidak banyak tradisi yang sudah turun temurun berkaitan dengan ramadhan hadir di negara kita, yang jika kita telaah lebih jauh ternyata tidak bertentangan dengan syariat bulan Ramadhan. Tradisi itu hanya menambahkan secara aplikatif hal-hal yang semestinya dilakukan seorang muslim dalam bulan Ramadhan. Contoh dalam hal ini, adanya kebiasaan Takjilan, yaitu berupa mengumpulkan makanan berbuka di masjid untuk dinikmati bersama, atau terkadang dibuat jadwal bagi warga masyarakat yang ingin berbagi hidangan berbuka. Dari sisi syariat, ini sebenarnya terkait dengan dua hal, yaitu keutamaan memberikan makanan berbuka, dan keutamaan menyegerakan berbuka. Maka takjilan menjadi tradisi Ramadhan yang mengakar dimasyarakat kita. Ada juga tradisi tadarusan yang tentu tema utamanya adalah untuk saling memotivasi dalam membaca dan mengkhatamkan alquran selama Ramadhan. Ada juga kebiasaan buka bersama di berbagai instansi, organisasi dan lain sebagainya, sebagai sebuah tradisi yang tak lebih dari sisi aplikasi untuk berbagi makanan berbuka sekaligus memperkuat silaturahim. Namun ada juga tradisi yang kemudian dikembangkan menjadi hal yang salah kaprah, misalnya adalah dentuman petasan bumbung yang sejak jaman kerajaan Demak telah digunanak - yang terinspirasi penggunaan dentuman meriam oleh Kekhalifahan Turki Utsmani- untuk menandai waktu berbuka agar bisa menyegerakan, ternyata hari-hari ini diselewengkan dengan penggunaan mercon yang membahayakan dan tanpa aturan.
Kategori Ketiga : Festivalisasi
Adalah hal-hal yang tidak terkait sepenuhnya dengan ibadah Ramadhan, bentuknya bisa dalam hal yang positif, namun banyak juga yang diselewengkan hanya sebagai sebuah bentuk komersialisasi semata. Kehadirannya juga terkadang menyibukkan kaum muslimin dan merasa itu adalah bagian penting dalam bulan Ramadhan, sehingga kemudian menjadi tidak optimal dalam menjalani syiar dan ibadah yang prioritas dalam bulan Ramadhan. Fenomena festivalisasi ini tentu dengan mudah kita temukan di media dengan acara-acara Ramadhan televisi yang tidak bermutu dan tidak mendidik, hanya dilabeli "versi Ramadhan" agar terlihat seiring dan seirama serta agar bisa diterima dengan mudah. Acara pesta musik atau reality show PDKT muda-mudi, atau bahkan dunia lain, tinggal dilabeli edisi Ramadhan agar tetap menarik minat pemirsanya. Hal yang sama, fenomena festivalisasi Ramadhan juga bisa kita lihat di pusat perbelanjaan dengan gebyar diskon dan promo besar-besaran, baik yang bersinggungan secara tak langsung dengan Ramadhan seperti baju muslim dan kue-kue lebaran, maupun yang jauh bersinggungan seperti diskon kredit motor, diskon pembiayaan kredit, dan lain sebagainya.
Pada tataran tertentu, fenomena festivaliasi memang tidak bisa semuanya langsung kita nilai sebagai negatif. Tapi jika kemudian bisa kita kupas satu persatu dan efeknya yang melalaikan kaum muslimin dari menjalankan ibadah Ramadhan yang sesungguhnya, maka itulah sisi yang harus kita cermati lebih jauh. Contoh melalaikan yang paling mudah kita lihat adalah, saat jelang akhir Ramadhan yang semestinya menghidupkan sunnah i'tikaf, ternyata untuk tarawih saja jumlah jamaah yang ada semakin berkurang, sementara pada sisi yang lain pengunjung pertokoan semakin membludak. Pahala seribu bulan yang dijanjikan dalam lailatul qodar tak lebih menarik dari diskon sekian prosen di pertokoan yang diwarnai dengan dekorasi islami dan backsound lagu-lagu religi.
Akhirnya, tulisan ini hanya sekedar untuk mengingatkan, sama sekali bukan untuk menghakimi, karena banyak juga kegiatan-kegiatan Ramadhan yang gegap gempita nan meriah, serta tetap berdampak positif luar biasa, misalnya kontes dai cilik dan hafidz quran yang banyak menginspirasi para orang tua dalam mendidik anaknya.
Selamat mensyiarkan Ramadhan, salam hangat dari Athena.
sumber foto : hidayatullah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar